Pria Yang Mengkhawatirkan

1429 Kata
“Apa tidak diberi obat bius dulu?” “Dia kan sudah pingsan.” “Kalau nanti siuman saat lukanya dijahit bagaimana?” “Bagus jika dia bangun, jadi aku bisa memukul anak nakal ini karena sudah membuatku terbangun pagi buta begini!” Runa mengerutkan keningnya, menatap khawatir pada luka Aiden yang saat ini sedang diobati oleh Bibi Lily. Dan kerutannya jadi semakin dalam saat tatapannya beralih pada wanita paruh baya yang meski gerakannya tampak cekatan namun kelihatan tidak ada lembut-lembutnya saat mengobati Aiden hingga membuat Runa meringis melihat cara wanita itu mengguyur luka Aiden dengan cairan alkohol. “Apa Nyonya ini dokter?” tanya Runa. “Bukan. Aku hanya seorang pelayan,” jawab Bibi Lily sambil terus fokus membersihkan luka Aiden. “Pelayannya dokter?” “Pelayannya mafia, Nona Kecil. Aku mafia yang keren di masa mudaku sampai anak nakal ini lahir dan aku harus jadi perawatnya. Sekarang aku sudah pensiun dan punya rumah makan kecil. Kau suka sup daging?” “Aku suka semua makanan. Nyonya menjual sup daging?” “Aku jual makanan apa saja yang kumasak hari itu tapi sup dagingku yang paling enak. Dan jangan panggil aku Nyonya. Panggil aku Bibi Lily saja.” Bibi Lily selesai dengan pekerjaannya sekitar pukul setengah 3. Ia menguap lebar sambil membereskan barang-barangnya sementara Runa hanya terus menatap luka Aiden yang saat ini sudah terbalut perban dengan ekspresi khawatir di wajahnya. “Kenapa dia belum bangun? Dia tidak senang koma, kan?” tanya Runa yang membuat Bibi Lily menoleh padanya. “Dia tidak akan bisa jadi ketua mafia jika yang begini saja sampai membuatnya koma,” ujar Bibi Lily. “Ngomong-ngomong kau ini siapa, Nona Kecil? Bagaimana bisa kau punya kasur mewahmu sendiri di tempat ini?” “Itu Tuan Aiden yang membelikannya untukku karena jaketnya yang biasanya kujadikan alas tidur sobek dan tidak bisa digunakan lagi,” jawab Runa yang membuat  Bibi Lily mengerutkan keningnya. “Aku tidak tahu apa yang direncanakan anak ini dengan membawamu tinggal bersamanya seperti ini. Tapi pergilah selagi bisa. Karena jika terlalu lama, kau akan terjebak dan tidak akan bisa pergi lagi saat tanda ini sudah melekat di tubuhmu.” Bibi Lily berkata sambil menunjukkan sebuah tato yang menghiasi lengan kiri bagian atasnya. Runa yang merasa familiar dengan tato itu sekali lihat saja langsung tahu jika itu tato yang sama dengan yang ada di d**a kiri Aiden. “Tuan Aiden juga punya tato yang sama. Itu tato apa?” tanya Runa. “Tato organisasi mafia kami, Nona Kecil. Pergilah sebelum Tuan Aiden membuat tatp seperti ini di tubuhmu karena jika itu terjadi, kau harus menyerahkan seluruh hidupmu pada organisasi ini.” Bibi Lily lalu beranjak dari tempat tidur Runa, membuat Runa buru-buru menyusulnya dengan membawa beberapa gulung perban dan plester. “Nyonya, kau meninggalkan ini.” “Bibi Lily, Nona Kecil. Kau membuatku merasa tua sekali jika memanggilku Nyonya,” protes Bibi Lily. “Dan aku memang meninggalkannya untukmu. Perbannya harus diganti setiap hari, jadi pastikan kau melakukannya dengan baik, uh.” “Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.” “Lihat caranya di internet, Nona Kecil. Aku tidak mau dibangunkan tengah malam lagi hanya untuk merawat anak nakal itu. Jadi kalau sempat, sekalian saja kau belajar caranya menjahit luka karena dia sering sekali terluka parah.” Bibi Lily lalu mengulurkan tangannya, menyeka air mata di wajah Runa dengan mengerutkan wajahnya sambil berkata, “Kenapa kau menangis sampai matamu bengkak begini, uh? Orang jahat itu tidak akan bisa mati dengan mudah, jadi tidak usah mengkhawatirkannya sampai menangis seperti ini.” “Tapi Tuan Aiden itu bukan orang jahat!” Tangan Bibi Lily berpindah ke puncak kepala Runa, mengacaknya dengan gemas setelah mendengar gadis itu membela Aiden dengan wajah serius. “Kalau begitu jaga dia dengan baik, uh, Kupercayakan dia padamu. Sampai jumpa.” “Tapi ini...” Runa berdiri dengan kikuk sambil memegangi gulungan perban di kedua tangannya sementara Bibi Lily sudah pergi meninggalkannya. “Lukanya kelihatan parah. Bagaimana mungkin aku bisa merawatnya?” Runa kembali meneghampiri Aiden, berdiri di depan tempat tidurnya yang kini menjadi tempat Aiden tidur. Tatapannya tertuju pada tato yang menghiasi d**a kiri Aiden yang bisa terlihat dengan jelas olehnya karena Bibi Lily yang membuka atasan pria itu. “Tato mafia,” gumam Runa sambil menatap tato tersebut. “Apa jika aku juga punya satu yang seperti aku bisa tinggal di sisi Tuan Aiden selamanya?” *** “Runa! Runa! Ayo bangun!” Runa mengerang keras, merasa kesal karena tidurnya diganggu oleh guncangan keras di tubuhnya padahal rasanya belum lama ia tertidur karena menjaga Aiden semalaman. “Kau kenapa? Apa yang pria berengsek itu lakukan padamu?” Felix bertanya dengan suara yang terdengar panik setelah berhasil membuat Runa yang masih sangat mengantuk itu mendudukkan dirinya. “Aku kenapa?” Runa mengulangi pertanyaan Felix dengan suara serak. “Aku ngantuk.” “Kenapa ada banyak darah di sini? Kenapa selimutmu berdarah?” Pertanyaan Felix langsung membuat kedua mata Runa terbelalak ketika gadis itu teringat pada Aiden. Ia melihat ke sekelilingnya, baru sadar jika dirinya yang sebelumnya tidur di kasur tua milik Aiden kini telah berada di atas kasurnya sendiri sementara pria itu tidak ada di mana pun di ruangan ini. “Apa Aiden yang telah mengambil kesucianmu?” Felix bertanya sambil mencengkeram kedua bahu Runa, memaksa gadis itu untuk menatapnya. “Kesucian apa?” Runa balik bertanya dengan bingung. “Tuan Aiden mana? Apa dia pergi bekerja lagi saat tangannya sedang terluka seperti itu?” “Tangannya terluka?” “Iya. Lukanya parah dan darahnya banyak sekali sampai harus dijahit,” jelas Runa. Felix mengerjapkan kedua matanya sambil menatap noda darah di selimut yang sebelumnya membuatnya berpikir jika Aiden sudah mengambil keperawanan Runa hingga ada noda darah di selimutnya. Felix menghembuskan napas lega sebelum berkata, “Kupikir karena apa. Ternyata hanya tangannya saja yang terluka, uh?” “Tapi lukanya parah sekali. Sampai harus dijahit oleh Bibi Lily!” “Bibi Lily datang ke sini? Jadi itu benar-benar parah?” Felix bertanya dengan melebarkan kedua matanya. Jika itu hanya luka biasa, Aiden tidak mungkin minta bantuan orang lain untuk mengobatinya. Namun jika sampai Bibi Lily diminta datang untuk mengobatinya, sepertinya kondisi Aiden memang separah itu. “Tapi dia kelihatan baik-baik saja tadi,” gumam Felix yang sepertinya masih tidak percaya jika Aiden benar-benar terluka parah. “Tuan melihatnya di mana?” “Di luar. Dia berjalan dengan santai sekali sambil merokok‒ Oi! Kau mau ke mana?” Runa tidak menunggu sampai Felix menyelesaikan ucapannya untuk langsung beranjak dari tempat tidur dan berlari keluar untuk menyusul Aiden. “Kau mau ke mana dengan pakai baju tidur seperti itu? Setidaknya cuci muka dulu! Wajahmu banyak ilernya! Runa!” Runa sama sekali tidak mempedulikan teriakan-teriakan Felix yang memanggilnya dari ambang pintu. Gadis itu terus berlari untuk mencari Aiden, tidak akan mengizinkan pria itu pergi ke mana pun yang bisa membuat luka di tangannya jadi susah sembuhnya karena sekarang ia merasa jika dirinya bertanggung jawab aras kesembuhan tangan Aiden. “Padahal tangannya terluka begitu, kenapa dia masih berpikir untuk memindahkanku ke kasurku? Memangnya tangannya tidak sakit saat mengangkat tubuhku? Walaupun kurus kan tetap saja aku ini berat!” Runa menggerutu sambil terus berlari untuk mencari Aiden. Dan kedua matanya langsung membulat saat melihat Aiden yang berjalan menghampiri sebuah bus yang terparkir di seberang jalan. “Tuan!” Runa mencoba memanggil Aiden, namun suaranya tidak sampai terdengar oleh Aiden yang kini sudah memasuki bus tersebut. Membuat Runa kembali berlari sekuat tenaga saat melihat bus tersebut kembali melaju. Ckiiiit! Runa memejamkan kedua matanya erat-erat ketika menengar bunyi decitan roda bus yang berad keras dengan aspal. Ia berdiri di depan bus tersebut dengan merentangkan kedua tangannya, dengan jantungnya yang seperti ingin melompat keluar dari rongga dadanya saat tanpa pikir panjang menghadang bus tersebut. “Maaf, maaf. Maafkan aku.” Runa masuk ke dalam bus tersebut dengan minta maaf berulang kali sambil tersenyum kikuk. Namun senyumannya langsung hilang saat ia melihat supir bus tersebut adalah seorang pria botak bertubuh kekar yang lengannya dihiasi tato berukuran besar. Gadis itu lalu menolehkan kepalanya ke arah penumpang, yang terdiri dari 7 orang pria dengan pakaian serba hitam yang saat ini semuanya sedang menodongkan pistol ke arahnya. Runa mengerjapkan kedua matanya lalu mengalihkan pandangannya pada seorang pria yang berdiri di bagian paling belakang bus itu. Pada Aiden yang meski melotot padanya namun tetap membuat gadis itu merasa tenang karena setidaknya ada pelindungnya itu di sini. Namun kemudian mulut Runa dibuat menganga tak percaya saat Aiden yang ia pikir bisa menyelamatkannya di situasi ini justru ikut menodongkan pistol padanya. “Tu-Tuan... Mengapa kau juga menodongkan pistol padaku?” **To Be Continued**
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN