“Bibi harus tanggung jawab. Katanya kalau diberi selimut yang hangat dan diletakkan di bawah lampu dia tidak akan mati. Tapi kenapa sekarang dia jadi mati begini?”
Runa duduk berhadapan dengan Harvie‒pemuda berseragam sekolah yang tiba-tiba datang dengan rusuh ke rumah makan Bibi Lily‒dengan tatapannya yang tertuju pada seekor burung kecil yang tergeletak tak bernyawa di atas meja di hadapan mereka dengan sebuah kain hangat yang menjadi alasnya.
Iya, itu seekor burung. Burung kenari kecil yang awalnya Runa pikir adalah manusia yang pemuda itu buat mati hingga membuatnya butuh bantuan dari mafia senior seperti Bibi Lily.
“Ya sudah, beli saja lagi yang baru,” kata Bibi Lily sambil menyodorkan beberapa lembar uang pada Harvie yang langsung menerimanya dengan wajah cemberut.
“Tapi burung kenari kakakku ada tadi lalat di paruhnya dan kuku di jari tengah kaki kirinya lebih panjang dari yang lain. Di mana lagi aku bisa menemukan burung yang seperti ini? Kakak pasti akan langsung tahu jika burung kenarinya diganti yang lain,” kata Harvie.
“Siapa suruh kau bermain pesawat-pesawatan dengan burung kenari ini, hah? Kenapa tidak main pakai pesawat kertas saja, anak nakal!” Bibi Lily memukul punggung Harvie dengan gemas, tidak keras namun sanggup membuat pemuda itu berteriak dengan suara keras yang sampai bisa terdengar hingga ke bagian luar rumah makan itu.
“Kembalikan uangku! Daripada berbohong beli burung kenari dan ketahuan kakakmu, lebih baik kau berlutut saja dan minta maaf yang tulus pada kakakmu,” saran Bibi Lily seraya menadahkan telapak tangan kanannya di depan wajah Harvie yang membuat pemuda itu buru-buru memegangi saku bajunya.
“Uangnya sudah diberikan padaku tidak boleh diminta lagi! Ini untuk jaga-jaga kalau Kakak marah sekali padaku dan mengusirku dari rumah,” kata Harvie.
“Bukannya untuk main ke warung internet, uh?” tebak Bibi Lily yang sudah hafal betul dengan kebiasaan pemuda di sebelahnya ini.
“Kaburnya ke sana. Itu lebih aman dari menggelandang di jalan,” sahut Harvie yang kembali membuat Bibi Lily memukul punggungnya.
“Oi, oi!” Runa yang sejak tadi sibuk sendiri dengan burung kenari di atas meja, terlonjak kaget saat tiba-tiba tangannya yang berada di atas meja ditepis dengan kasar oleh Harvie. “Apa yang kau lakukan pada burung ini, uh? Kalau sampai kenapa-kenapa kau mau tanggung jawab?”
“Tapi ini kan sudah kenapa-kenapa,” sahut Runa. “Tapi dagingnya lumayan banyak, ya. Kalau diberikan pada si hitam yang ada di rumahku pasti dia senang sekali.”
“Si hitam siapa?”
“Kucing liar yang ada di apartemennya Tuan Aiden. Dia suka makan apa saja dan sepertinya akan senang sekali jika kubawakan oleh-oleh burung yang sudah mati ini.”
Ucapan Runa membuat Harvie buru-buru mengambil burungnya yang ada di atas meja dan memeluknya di atas dadanya agar tidak bisa terjangkau oleh tangan Runa. “Bisa-bisanya kau berpikir jahat begitu, uh? Kau tidak tahu betapa berharganya‒”
“Kau, kau!” Runa menyela ucapan Harvie dengan nada tidak senang. “Kenapa anak kecil sepertimu bicaranya tidak sopan begitu pada orang dewasa sepertiku?”
Ucapan Runa membuat Bibi Lily yang mendengarkannya sambil membereskan meja-meja yang ditinggalkan oleh para mafia tanpa membayar itu menaikkan sebelah alisnya. Padaha; Felix bilang Runa itu gadis berusia 18 tahun. Namun mengapa sekarang gadis itu bersikap sok dewasa di hadapan Harvie yang seumuran dengannya?
“Anak kecil apa? Kau kelihatan lebih kecil dariku, tuh!” Harvie bicara sambil melihat penampilan Runa yang tubuhnya kurus dan pendek ini‒yang bahkan tidak lebih besar dari kebanyakan murid-murid perempuan di kelasnya.
Namun saat menyadari jika Runa berada di rumah makan ini dengan pakaian biasa saat seharusnya seorang siswa masih berada di sekolah‒kecuali Harvie yang memang dasarnya anak nakal yang suka bolos‒Harvie dengan merendahkan suaranya bertanya, “Memangnya kau ini umur berapa, uh? Sudah kuliah? Atau sudah bekerja?”
“Aku sudah besar,” jawab Runa yang membuat Harvie menaikkan sebelah alisnya sambil matanya dengan lancangnya turun ke d**a Runa‒dalam hati mempertanyakan di mana bagian besarnya yang gadis itu banggakan? “Pokoknya aku ini sudah besar. Sudah dewasa. Jadi anak kecil sepertimu harus memanggilku kakak!”
Harvie mendecih. Rasanya tidak sudi sekali untuk memanggil kakak pada wnaita yang kepalanya hanya melewati sedikit dari bahunya itu.
“Bibi, aku lapar.” Harvie berkata sambil meletakkan burungnya kembali di atas meja. Ia melotot pada Runa saat berkata, “Awas jika kau berani menyentuhnya dan membuatnya kenapa-kenapa!”
“Padahal kan sudah kenapa-kenapa,” gerutu Runa sementara Harvie sudah beranjak untuk mengambil makanannya sendiri. “Bibi, dia itu siapa?”
“Anak tetangga,” jawab Bibi Lily. “Bibi pikir kalian seumuran. Tapi sepertinya kau lebih tua, ya?”
“Seumuran, kok. Aku juga kelas 3 sepertinya,” sahut Runa. “Tapi aku juga ingin tahu bagaimana rasanya dipanggil kakak, jadi Bibi pura-pura tidak tahu saja, uh.”
Bibi Lily menatap Runa dengan kedua alis terangkat. “Bagaimana bisa kau berpikir untuk menjadikan anak senakal itu sebagai adikmu saat kakaknya sendiri ingin sekali mengirimnya ke planet Mars.”
“Bibi!” Pintu rumah makan itu terbuka dan seorang wanita muda berjalan masuk dengan kedua mata Runa yang memperhatikannya.
“Nah, itu kakaknya. Bersikap yang manis. Dia akan melakukan apa saja untuk adik manis yang menurut padanya,” ujar Bibi Lily. “Kau tidak pergi kuliah, Hana?”
“Hari ini libur,” jawab gadis muda bernama Hana itu. “Harvie tidak bolos ke sini lagi, kan?”
“Tidak, dia‒”
“Bibi! Kenapa daging sapinya yang besar dipisah? Aku boleh makan satu, ya?”
Hana memicingkan kedua matanya pada Bibi Lily sementara wanita paruh baya itu hanya meringis pelan karena Harvie yang tidak menyadari keberadaan kakaknya itu berteriak padanya dari arah dapur sebelum Bibi Lily sempat menyelesaikan kebohongannya.
“Bibi, aku minta‒ YA AMPUN!”
Harvie benar-benar terkejut sampai nyaris melemparkan piringnya saat melihat Hana yang sudah berkacang pinggang di tempat itu. Pemuda itu meringis kecil sambil dengan suara sok manis berkata, “Hai.”
“Kau bolos sekolah lagi, uh? Kau ingin kuhajar lagi, ya?” ancam Hana yang membuat Harvie memundurkan langkahnya saat melihat kakaknya itu mendekat padanya.
“Tidak bolos, kok. Aku hanya pergi untuk makan karena sedang jam kosong. Rencananya aku akan kembali lagi setelah menghabiskan makanku.”
“Oho, kau pikir kakakmu ini orang bodoh, uh?”
“Memangnya bukan?”
“Kau‒” Hana menghentikan kalimatnya saat tatapannya tertuju pada sesuatu yang sangat familiar yang tergeletak di atas meja. “I-ini... Sunny... Anakku...”
“O-ow.” Harvie bergumam pelan. Ia sama sekali lupa soal burung kenari kesayangan kakaknya itu dan sekarang ia sadar dirinya sedang dalam bahaya besar karena Hana mengetahuinya sendiri seperti ini.
“Kau!” Itulah kenapa Harvie dengan lancangnya menunjuk wajah Runa yang langsung terkejut dengan tampang polosnya yang tampak bodoh saat Harvie tiba-tiba menunjuk wajahnya seperti itu. “Kau apakan Sunny kesayangan kakakku, uh?”
“A-aku?” Runa menunjuk dirinya sendiri sebelum mengalihkan tatapannya pada Hana yang sudah berdiri di sebelahnya dengan kedua mata memelototi dirinya. Membuat gadis itu buru-buru melambaikan kedua tangannya untuk menyanggah fitnah yang dengan kejamnya Harvie berikan padanya.
“Aku tidak tahu apa-apa. Burungnya mati karena dia menjadikannya pesawat-pesawatan,” adu Runa yang membuat pelototan Hana beralih pada Harvie sementara pemuda nakal itu melampiaskannya dengan memelototi Runa yang wajahnya masih kelihatan bingung karena tiba-tiba saja terseret ke dalam konflik kakak-adik ini.
“Kenapa sih kau jadi tukang ngadu begitu?” Harvie mulai mengomeli Runa.
“Kau duluan yang memfitnahku!”
“Bukannya kau bilang mau jadi kakakku? Jadi seorang kakak itu artinya kau harus melindungiku!”
“Aku tidak pernah bilang begitu, tuh!”
“Kau benar-benar cari mati, uh!” Hana yang tidak mau melihat Harvie lebih banyak mengulur waktu dengan berdebat bersama Runa itu langsung meraung terlinga pemuda itu, membuat Harvie menjerit-jerit kesakitan karena Hana menyeretnya pergi dengan menarik telinganya. Kali ini tidak berlebihan, tapi jeweran Hana itu bukan main sakitnya.
“Kau!” Harvie menunjuk Runa sambil memelototinya saat ia melewati gadis itu. “Awas kau! Aku akan buat perhitungan denganmu nanti!”
Runa hanya cemberut, sebenarnya kesal juga karena dirinya yang sejak tadi hanya duduk manis malah dibawa-bawa ke dalam masalah Harvie dan Hana.
“Bibi, dia itu nakal sekali!” Runa mengadukan Harvie pada Bibi Lily yang menanggapinya dengan kekehan pelan.
“Dia itu sebenarnya anak yang sangat manis, kok. Kau bisa berteman dengannya jika datang ke sini setiap hari. Kalian kelihatan manis saat bersama.”
“Manis apanya! Aku tidak mau berteman dengan anak yang nakal!” gerutu Runa seraya bangkit dari duduknya. “Bibi, biar aku saja yang cuci piringnya. Aku bosan jika hanya duduk-duduk saja, jadi biarkan aku membantu Bibi juga, uh.”
***
Brak!
Aiden berjengit kaget setelah pintu yang ia buka sendiri dengan cara membantingnya menimbulkan bunyi yang keras. Pria itu menahan pintu tersebut dengan tangannya sambil memiringkan kepalanya.
“Pintu ini kenapa, sih? Padahal hanya digerakkan pelan saja tapi bunyinya heboh begitu,” gumamnya.”
Aiden masuk ke dalam rumahnya lalu melepaskan sepatunya. Namun saat menyadari keheningan yang tidak biasa ia mengangkat kepalanya untuk kemudian dibuat mengerutkan keningnya saat tidak mendapati siapapun di sana.
“Kau di dalam?” Aiden mengetuk pintu kamar mandi, namun saat tidak mendengar suara apapun dari dalamnya pria itu membukanya dan mendapati tempat itu kosong. Runa tidak ada di sana atau di mana pun di dalam apartemen kecil itu.
“Dia tidak pergi, kan?”
Aiden tidak tahu mengapa tiba-tiba dadanya berdenyut sakit saat pemikiran tentang Runa yang pergi meninggalkannya setelah dirinya menagih 7 milyar pada gadis itu. Padahal sebelumnya dirinya sendiri yang menawarkan kebebasan pada Runa, namun sekarang ia menjadi bingung saat gadis itu benar-benar tidak ada lagi di apartemennya.
“Ah, benar. Aku bisa menghubunginya.” Aiden mengeluarkan ponselnya. Namun kemudian terdiam tanpa bisa melakukan apapun saat ingat jika dirinya tidak menyimpan nomor Runa.
“Bisa-bisanya aku tidak memiliki nomornya padahal aku yang membelikannya ponsel,” gerutu Aiden.
Pria itu lalu memutuskan untuk menghubungi Felix, berharap pria itu bisa ditanyai tentang keberadaan Runa saat pesan yang Bibi Lily kirimkan padanya beberapa saat yang lalu terbaca olehnya.
‘Runa ada di tempatku. Dia ketiduran di sini jadi aku akan membiarkannya menginap malam ini.’
Aiden terdiam untuk beberapa saat sebelum mengangkat kepalanya. Dan rasa sepinya jadi semakin nyata saat ia melihat dua kasur yang diletakkan berdampingan itu kosong.
“Padahal biasanya aku selalu sendirian. Tapi mengapa sekarang rasanya aku kesal sekali harus melalui malam ini sendirian?”
Aiden memutuskan memakai kembali sepatunya dan pergi. Ia akan menghabiskan malam ini dengan bersenang-senang di rumah bordil seperti yang biasa dilakukannya.
Namun entah mengapa, di penghujung malam itu, Aiden bukannya tidur bersama wanita penghibur yang memuaskan hasratnya. Ia justru berakhir di dalam salah satu kamar yang berada di rumah Bibi Lily dengan tubuh terlelap Runa yang berada di dalam dekapannya.
**To Be Continued**