“Berani sekali kalian menantangku, hah?”
Bug!
Tubuh kekar itu kembali tumbang, begitu tak berdaya dengan darah yang mengalir dari pelipisnya setelah Aiden menghajarnya sementar 5 pria lainnya berlutut dengan tubuh babak belur yang gemetaran di hadapan ketua mafia itu.
“Bukankah aku sudah memperingatkan kalian untuk tidak pernah mengganggu usaha Bibi Lily? Berani sekali kalian makan di tempatnya tanpa membayar? Kalian ini mafia atau preman jalanan, hah?!”
Aiden kembali melampiaskan kekesalannya dengan menendang wajah yang sudah babak belur itu menggunakan sepatu kulitnya yang bersol tebal.
“Biar kujelaskan pada kalian, bocah-bocah tengik.” Aiden berjongkok sambil meraup kerah kaos salah satu pria yang ada di hadapannya. Dengan suara beratnya yang pelan memberi ancaman pada orang-orang yang telah berani makan di rumah makan Bibi Lily tanpa membayar itu.
“Seorang mafia itu hanya boleh bersikap kejam pada musuhnya. Jika kalian menggunakan status kalian sebagai mafia untuk menakut-nakuti wanita tua yang tidak berdaya seperti Bibi Lily, kalian tidak ada bedanya dengan preman jalanan. Dan kalian tentu tahu kan apa yang akan kulakukan pada anak buahku yang berani bersikap seperti preman jalanan?”
“Aaaargh! Bos... Ampun, Bos!” Pria bertubuh kekar itu mengerang keras, benar-benar merasa kesakitan saat Aiden mencengkeram kuat gambar tato organisasi mafia mereka yang ada di d**a kirinya.
“Aku akan menguliti tempat di mana tato ini berada agar kalian bisa menjalani hidu kalian sebagai preman jalanan. Camkan itu baik-baik!”
Aiden bangkit dari posisi jongkoknya sambil menghisap rokok yang ada di tangan kirinya, berjalan meninggalkan 6 orang pria yang benar-benar sial karena harus dihajar Aiden sepagi ini.
“Oh, ya ampun!”
Bibi Lily yang sedang berjalan menuju rumahnya sambil menjinjing 2 tas belanja yang dipenuhi oleh bahan masakan untuk rumah makannya berseru kaget saat tiba-tiba seseorang mengambil alih dua tas belanja yang membuat langkahnya menjadi sulit itu.
“Astaga, kau ini! Harusnya kan bisa mengambilnya baik-baik! Kalau orang tua ini sampai kena serangan jantung kau mau tanggung jawab, uh?” Bibi Lily berkata kesal sambil memukul lengan Aiden yang kelihatan enteng sekali membawa tas belanjanya sementara sebuah rokok terselip di antara kedua bibirnya,
“Bibi, jika ada siapapun yang berani mengganggu usahamu kau harus langsung mengatakannya padaku! Mengapa kau selalu sungkan begini padaku?”
“Tidak sungkan, kok. Bibi lupa memberitahumu,” kata Bibi Lily. Tapi kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat punggung tangan Aiden yang berdarah karena tergores. “Tapi sepertinya kau sudah memberi mereka pelajaran, uh?”
“Jika ada siapapun yang mengganggu Bibi lagi, Bibi harus langsung mengatakannya padaku. Pistol yang kuberikan pada Bibi tidak akan ada gunanya karena Bibi tidak pernah mengisi pelurunya.”
“Iya, iya. Kau hanya perlu datang setidaknya seminggu sekali untuk makan di tempat Bibi, dengan begitu kawasan ini akan jadi sangat aman dan tidak akan ada yang berani mengganggu usaha Bibi lagi,” kata Bibi Liliy. “Kau mau sarapan pagi ini? Sup daging?”
“Aku sudah merokok,” kata Aiden yang rokoknya masih terselip di antara bibirnya.
“Memangnya merokok saja bisa kenyang? Harus makan nasi baru bisa disebut sarapan!” kata Bibi Lily seraya mendecakkan lidahnya. “Runa bilang dia ingin sarapan dengan sup daging pagi ini. Kau juga makanlah bersamanya sebelum pergi.”
Bibi Lily masuk ke dalam rumah sementara Aiden masuk lewat rumah makan yang ada tepat di sebelah rumah untuk meletakkan bahan-bahan masakan yang akan Bibi Lily olah untuk dagangannya hari ini.
“Bibi dari mana?”
Bibi Lily yang baru minum meletakkan gelasnya yang telah kosong sambil menatap Runa yang berjalan menghampirinya sambil menggosok-gosok matanya yang masih sangat mengantuk. Gaun lengan pendeknya yang manis yang kemarin ia kenakan saat datang kemari telah diganti dengan daster terusan milik Bibi Lily yang dipenuhi motif bunga-bunga kecil yang terlihata sangat besar untuk tubuhnya yang mungil hingga membuatnya seperti tenggelam di dalam daster tersebut.
“Bibi dari pasar, Sayang. Apa tidurmu nyenyak?”
“Kenapa tidak mengajakku?” Runa balik bertanya dengan nada merajuk. “Aku juga ingin pergi ke pasar. Aku suka pergi ke pasar dan melihat-lihat orang yang berjualan sayuran.”
“Eii, kenapa anak muda sepertimu harus suka pergi ke pasar? Tempat itu sangat ramai dan bau. Untuk apa kau ikut Bibi pergi ke pasar pagi-pagi buta hanya untuk berdesakan dengan pengunjung lainnya, uh?”
“Tapi aku suka.” Runa bersikeras dengan mengerucutkan bibirnya. “Bibi, lain kali jika aku menginap di sini lagi ajak aku pergi ke pasar juga, ya?”
Bibi Lily mengangkat sebelah alisnya. “Memangnya kau mau menginap di sini lagi?”
Runa ikut mengangkat sebelah alisnya. “Memangnya aku tidak boleh menginap di sini lagi?”
Bibi Lily terkekeh melihat Runa yang meniru cara bicaranya. “Iya, iya. Kau boleh datang dan menginap di sini kapan saja. Bahkan jika ingin pindah ke sini pun kau boleh.”
“Bibi, tadi malam aku mimpi Tuan Aiden datang ke sini,” kata Runa. “Apa dia benar-benar datang, ya? Rasanya nyata sekali.”
“Dia tidak datang ke sini semalam,” kata Bibi Lily yang memang tidak tahu jika Aiden datang ke sini semalam sebab pria itu datang dan masuk sendiri lalu menyelinap keluar pagi-pagi buta sebelum Bibi Lily bangun hingga wanita itu tidak tahu ada tamu lain yang menginap di rumahnya dan tidur bersama di kamar Runa.
“Tapi sepertinya di datang untuk menjemputmu. Bibi bertemu dengannya di depan,” ujar Bibi Lily yang membuat kedua mata Runa langsung berbinar senang.
“Benarkah? Di mana dia sekarang?”
“Dia ada di rumah makan‒”
“Tuan~” Runa tidak menunggu sampai Bibi Lily menyelesaikan ucapannya untuk langsung berlari ke rumah makan yang terhubung dengan dapur.
“Sepertinya mereka sudah saling merindukan,” gumam Bibi Lily. “Padahal biasanya anak nakal itu paling malas jika disuruh datang ke sini, tapi kenapa sekarang malah datang sepagi ini tanpa ada yang mengundangnya?”
“Lho? Tidak ada?” Runa bergumam dengan nada kecewa saat tidak mendapati Aiden di rumah makan tersebut. Kedua matanya sudah menyisir setiap bagian rumah makan, namun tidak menemukan Aiden di mana pun.
Sampai kemudian, kedua matanya membesar dengan binar-binar kebahagiaan saat melihat Aiden yang bersandar di tiang listirk yang berada di depan rumah makan Bibi Lily sambil menyalakan sebatang rokok yang baru.
“Tuan!”
Aiden mengangkat kepalanya, menatap Runa yang saat ini sudah berdiri dengan senyuman lebar di hadapannya. Ia mengerutkan keningnya saat bertanya, “Pakaian apa yang kau pakai itu?”
“Ini punya Bibi Lily,” jawab Runa. Kedua tangannya melebarkan daster yang dikenakannya sambil memutar tubuhnya di hadapan Aiden untuk memamerkan pakaian yang dikenakannya di hadapan pria itu. “Cocok tidak, untukku?”
“Kau kelihatan seperti orang tua,” komentar Aiden yang membuat senyuman Runa langsung lenyap. “Bukankah Felix membelikanmu banyak pakaian yang bagus? Kenapa sekarang pakai pakaian seperti itu?”
“Ini kan untuk tidur, Tuan. Aku tidak mungkin pakai baju yang bagus untuk tidur. Rasanya tidak nyaman.”
“Itu tidak nyaman?”
“Itu hanya nyaman untuk pergi jalan-jalan. Kalau tidur, daster seperti punya Bibi Lily yang dingin ini yang paling nyaman.”
Aiden membuang rokoknya yang masih panjang ke tanah lalu menginjaknya dengan sepatunya. Ia lalu melepaskan jaketnya dan memberikannya pada Runa. “Pakai ini.”
“Pakai jaketmu? Untuk apa?” tanya Runa yang tetap menuruti perintah Aiden untuk memakai jaket kulit hitam milik pria itu. Senyumannya terbit begitu saja saat aroma khas tubuh Aiden yang bercampur dengan aroma rokok dan alkohol tercium dari jaket tersebut. Meski baru berpisah sehari, rasanya ia sudah sangat merindukan aroma milik pria ini.
Dan itu membuat Runa teringat pada sesuatu hingga langsung mengangkat kepalanya untuk menatap Aiden dan bertanya, “Tuan, semalam tidak datang ke sini, kan?”
Aiden menjaga wajahnya tetap terlihat datar saat sebenarnya ia bertanya-tanya dalam hati apa semalam Runa sadar saat dirinya datang dan memeluk gadis itu dalam tidurnya. “Kenapa tanya begitu?”
“Semalam aku bermimpi Tuan datang ke rumah Bibi Lily dan aku rasanya bisa mencium aroma yang sangat mirip dengan jaket ini dalam mimpi itu.”
“Mana mungkin bisa mencium bau dalam mimpi. Ada-ada saja,” ujar Aiden yang lebih memilih untuk menyanggahnya daripada mengakui jika semalam dirinya diam-diam datang ke tempat ini agar bisa memeluk Runa yang sedang tidur seperti yang biasa ia lakukan setiap malam.
“Tapi rasanya itu nyata sekali,” gumam Runa sambil memiringkan kepalanya. Namun kemudian gadis itu tersenyum lagi pada Aiden saat bertanya, “Tuan mau mengajakku ke mana?”
“Ke tempat yang kau sukai,” jawab Aiden yang membuat Runa mengerutkan keningnya bingung.
“Tempat yang kusukai itu di mana?”
“Ayo jalan saja. Itu tidak jauh dari sini,” kata Aiden lalu mulai melangkahkan kakinya, membuat Runa mengekor di belakangnya sambil tersenyum. Meskipun tidak tahu ke mana Aiden akan membawanya, namun sepertinya ia akan tetap merasa bahagia asalkan itu bersama Aiden.
“Oi! Oi!” Kau pikir kau mau ke mana?”
“Ah! Ah!” Runa yang sedang berjalan berteriak kaget saat tiba-tiba seseorang menarik kerah jaket yang dipakainya dari belakanga. Orang itu menariknya tinggi-tinggi hingga membuat Runa harus menjinjitkan kedua kaki pendeknya.
“Kau...” Harvie yang berdiri di belakang Runa sambil terus menenteng jaket gadis itu memajukan wajahnya, dengan jelas memperlihatkan lebam di atas tulang pipinya karena dihajar oleh Hana setelah ketahuan membuat burung kenari kesayangan kakaknya itu mati. “Kau mau kabur ke mana setelah membuatku dihajar begini, uh? Aku harus membuat perhitungan dulu denganmu, Non‒ Ah! Ah!”
“Kau pikir apa yang sedang kau lakukan?”
Runa yang mendengar Harvie berteriak-teriak sebelum sempat menyelesaikan ucapannya itu mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang membuat pemuda itu jadi begitu, yang kemudian membuatnya tanpa sadar membuka mulutnya saat melihat jika itu Aiden yang menenteng kerah seragam Harvie.
Dan mulut Runa jadi menganga semakin lebar saat ia mendengar apa yang Aiden katakan pada Harvie untuk mengancam pemuda yang sudah mengganggunya itu.
“Berani sekali kau mengganggu gadisku seperti ini, hah? Kau harus kuberi pelajaran agar tahu bagaimana caranya bersikap pada orang yang lebih tua, bocah!”
**To Be Continued**