“Selamat pa‒”
“Jangan masuk!”
Felix yang hendak melangkahkan kakinya memasuki apartemen Aiden dibuat terlejut dan secara refleks langsung memundurkan langkahnya saat mendengar seruan keras Runa. Pria itu berpegangan pada kusen pintu sambil memperhatikan Runa yang saat ini sedang bersimpuh mengepel lantai menggunakan kain yang dilipat menjadi beberapa bagian.
“Kau sedang apa?” tanya Felix.
“Sedang bayar hutang,” sahut Runa tanpa menatap Felix karena kelihatannya gadis itu sibuk sekali dengan kegiatannya‒yang meski hanya mengepel lantai apartemen yang tidak seberapa namun dilakukan dengan sangat serius seolah hidupnya bergantung pada hal itu.
“Hutang apa?” Felix kembali bertanya. Namun sebelum Runa sempat menjawab, ia berseru keras sambil menunjuk kucing hitamnya yang tanpa permisi masuk ke dalam ruangan yang lantainya masih basah itu. “Runa, kucingnya masuk!”
“Kalau kucing tidak apa-apa,” ujar Runa. “Kalau Tuan tidak boleh. Tunggu di luar sampai lantainya kering, ya.”
Aiden yang mendengarkan percakapan Runa dan Felix dari balkon itu hanya bisa menghela napas panjang, membuat asap rokok mengepul keluar dari mulutnya.
Saat pertama kali mendengar Runa berkata akan membayar hutangnya dengan tubuhnya, Aiden jadi sangat syok karena ia pikir gadis itu sedang menawarkan tubuhnya untuk dijadikan sebagai pemuas nafsunya sebagai ganti p********n hutangnya karena sudah sangat jelas jika gadis itu tidak akan mungkin bisa mendapatkan uang 7 milyar untuk dibayarkan padanya.
Namun rupanya yang Runa maksud dengan membayar menggunakan tubuhnya itu adalah menggunakan tubuhnya untuk melakukan pekerjaan rumah. Karena tidak bisa membayar dengan uang, Runa menawarkan dirinya untuk dijadikan pelayan tanpa bayaran oleh Aiden.
Aiden yang awalnya sudah merasa marah karena Runa yang dulu menangis-nangis padanya minta dilepaskan karena ingin menjaga kesuciannya sekarang justru berani menawarkan tubuhnya pada dirinya, berubah menjadi kesal saat mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud gadis itu.
Dan Aiden jadi semakin kesal saat menyadari jika dirinya dengan sialannya justru merasa kesal karena Runa tidak benar-benar menawarkan tubuhnya seperti pikiran buruk yang pertama dipikirkannya.
“Oi, oi, oi!”
Runa yang masih mengepel dengan posisi bersimpuh itu mengangkat kepalanya saat mendengar seruan Felix dan itu membuatnya melihat Aiden yang berjalan kembali dari balkon untuk mengambil jaketnya yang tergantung di belakang pintu.
“Kau tidak marah padanya? Dia jalan-jalan di kamar yang belum kering dengan kakinya yang kotor!” Felix mengadukan Aiden pada Runa yang hanya membalasnya dengan tatapan yang terlihat polos.
“Kalau Tuan Aiden tidak apa-apa,” ujar Runa yang tentu saja membuat Felix tidak terima.
“Kucing tidak apa-apa, Aiden tidak apa-apa, lalu kenapa hanya aku yang tidak boleh masuk? Padahal aku datang dengan membawa makanan, tapi kenapa tidak boleh‒”
“JANGAN MASUK!”
Felix yang semula sudah ingin melangkah masuk dibuat terkejut dan langsung melangkah mundur lagi saat mendengar bentakan galak Runa. Pria itu mengerjapkan kedua matanya, masih terkejut karena sebelumnya sama sekali tidak menyangka jika gadis kecil seperti Runa bisa berteriak sampai sekencang itu dengan suara melengkingnya yang membuat telinga jadi berdenging.
“Ayo pergi.” Aiden menarik bagian belakang kerah jas Felix sambil berjalan keluar, membuat pria itu harus menggunakan kedua tangannya untuk berpegangan pada kusen pintu agar tidak tertarik oleh Aiden hingga membuat kantong plastik berisi sarapan yang ia beli untuk dimakan bersama Runa jatuh di atas lantai.
“Mau ke mana? Aku mau makan dulu,” kata Felix.
“Kau masih bisa makan dengan tenang padahal aku baru saja kehilangan 7 milyar?” tanya Aiden.
“Tentu saja bisa! Yang hilang kan uangmu, bukan uangku!”
“Bukannya kau bilang uangku itu uangmu juga?”
“Oh? Kau setuju dengan itu?”
“Cepat ikuti aku sebelum aku marah!”
“Memangnya ini tidak marah? Kau selalu marah padaku setiap hari! Apa kau juga selalu marah-marah begini pada Runa?”
Mendengar Felix menyebut nama Runa, Aiden baru ingat pada gadis itu. Ia mengalihkan tatapannya dari Felix dan itu membuat tatapannya bertemu dengan kedua mata Runa yang menatapnya dari dalam apartemennya.
“Kalau malam Pororo tayang pukul 7,” kata Runa. “Pulanglah sebelum pukul 7 supaya tidak ketinggalan.”
“Sudah kubilang aku tidak suka Poporo!” sanggah Aiden, terdengar tidak senang karena Runa selalu menganggap dirinya menyukai kartun penguin itu padahal ia hanya melihatnya karena memang tidak ada bisa lagi yang dilihat di kamarnya saat Runa menonton kartun kesukaannya itu.
“Pororo, Tuan. Pororo!” koreksi Runa. “Cukup aku saja yang jadi sakit hati karena namanya diubah jadi Luna. Jangan ganti-ganti nama Pororo seenaknya begitu.”
“Begitu saja kau sakit hati? Lalu bagaimana denganku yang namanya diubah jadi Alex selama bertahun-tahun, uh?” timpal Felix yang membuat Aiden jadi kembali menarik tubuhnya untuk dibawa pergi.
“Aku tidak akan pulang malam ini. Jangan menungguku!” seru Aiden yang membuat Runa berlari hingga ke luar apartemen tersebut untuk bisa terus melihat pria itu yang sudah pergi dengan menyeret Felix.
“Pulangnya kapan? Besok pagi?” tanya Runa. “Pororo mulainya jam 8 besok pagi.”
“Aku tidak mau nonton Poporo!” Aiden berseru tanpa menoleh ke belakang.
“Pororo, Tuan! Nanti penguinnya bisa sakit jika namanya diubah sembarangan!” Runa balas berseru sementara Aiden dan Felix sudah mulai menuruni tangga di apartemen tua yang memang tidak memiliki lift itu.
“Jangan makan bagianku!” Felix mendongakkan kepalanya untuk berseru pada Runa yang berdiri di depan apartemen Aiden. “Simpan di dalam lemari pendingin sampai aku kembali! Jika aku tidak datang sampai waktunya makan malam kau baru boleh menghangatkannya dan memakannya.”
Runa terus memperhatikan Aiden dan Felix sampai kedua pria itu masuk ke dalam mobil mewah milik Felix yang kemudian membawa mereka pergi dari tempat itu.
“Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?” Runa bergumam pada dirinya sendiri setelah kembali ke dalam. Meski sekarang ia sudah punya TV dan ponsel untuk dijadikan hiburan, namun tetap saja rasanya akan sangat membosankan untuk menghabiskan waktu sendirian saja tanpa ada siapapun yang bisa diajak mengobrol.
“Ah, benar. Kemarin kan aku dapat nomornya Bibi Lily.” Runa buru-buru meraih ponselnya dan mencari kontak Bibi Lily untuk menghubungi wanita paruh baya itu.
***
“Bibi Lily~ Aku datang!”
Runa memasuki rumah makan milik Bibi sambil berseru ceria. Namun senyumannya langsung hilang saat ia menyadari jika rumah makan itu dipenuhi oleh para pria dengan tubuh kekar yang dihiasi tato yang penampilannya mirip dengan para mafia yang Runa temui kemarin.
“Runa datang~” Bibi Lily yang keluar dari dapur menyambut Runa dengan meniru cara bicara gadis itu sebelumnya. “Ayo duduk. Kau belum sarapan, kan? Bibi akan bawakan semangkuk sup daging untukmu.”
“Bibi.” Runa memegangi celemek Bibi Lily, menahan wanita itu untuk tidak meninggalkannya. “Kenapa semua orang di sini terlihat seperti mafia?”
“Mereka memang mafia, kok.” Bibi Lily menyahut dengan santai, membuat Runa membelalakkan kedua matanya saat rasa traumanya akan mafia kembali dan membuatnya ketakutan. Iya, memang ironis sekali karena Runa memilik trauma pada mafia tapi justru hidup dengan salah satunya yang paling berbahaya di dalam dunia mafia.
“Mereka datang hanya untuk makan, kok. Jadi jangan khawa‒”
Prang!
“Kyaaa!” Runa menjerit karena terkejut saat belum selesai ucapan Bibi Lily yang ingin menenangkannya tiba-tiba saja seorang pria memukul kepala pria lain yang ada di hadapannya dengan botol.
“Masih pagi, lho.” Bibi Lily berkata dengan santai pada dua orang pria yang entah apa masalahnya sudah kelihatan sangat emosi dan seperti siap untuk saling membunuh. Tangan kirinya memegang lengan Runa dan membawanya bersembunyi di balik punggungnya sementara tangan kanannya menodongkan pistol yang ia keluarkan dari balik celemeknya.
“Kalian membuat Nona Kecil ini ketakutan. Bertengkarnya di luar saja sana!” usir Bibi Lily. Masih terdengar sangat santai meski tangannya masih menodongkan pistol pada kedua pria yang akhirnya pergi dengan diikuti oleh seluruh pria di tempat itu.
“Bibi, orang itu kepalanya berdarah,” bisik Runa sambil melihat pria yang tadi kepalanya dipukul dengan botol berjalan keluar sambil memegangi kepalanya yang berdarah.
“Iya, biarkan saja. Mereka sengaja membuat sedikit pertunjukan agar tidak perlu membayar,” ujar Bibi Lily. Wanita itu lalu menatap sekeliling rumah makannya yang sudah kosong sambil menghela napas panjang. “Padahal mereka makannya banyak sekali. Sepertinya harus menjual nama Tuan Aiden lagi agar para mafia itu tidak semena-mena pada wanita tua sepertiku.”
Runa masih membuka mulutnya, tidak benar-benar mengerti dengan apa yang Bibi Lily katakan sampai kemudian seseorang yang berlari masuk ke dalam rumah makan itu sambil berteriak-teriak mengalihkan perhatiannya.
“Bibi Lily! Bibi! Tolong aku!”
Runa memperhatikan pemuda bertubuh tinggi yang mengenakan seragam SMA lengkap dengan ranselnya itu berlari melewatinya begitu saja untuk menyusul Bibi Lily yang berada di dapur.
Dan apa yang kemudian Runa dengar dari pemuda yang bicara dengan panik pada Bibi Lily membuat gadis itu jadi merasa sangat menyesal karena sudah memutuskan untuk datang ke tempat ini.
“Aku melakukannya persis seperti yang Bibi katakan tapi sekarang dia justru mati. Bibi, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku masih terlalu muda untuk menanggung semua tekanan ini sendirian.”
**To Be Continued**