“Kau ini bodoh, ya? Bagaimana bisa kau menolak dibelikan mansion‒ Aw! Oi!”
Felix belum selesai mengomeli Runa saat pukulan keras yang Aiden berikan di kepalanya membuat ucapannya terhenti.
Sambil memegangi kepalanya yang sakit, Felix melotot pada Aiden yang tangan ringannya baru saja mendarat di kepalanya. “Oi! Jaga tanganmu!”
“Kau yang jaga mulutmu! Kau pikir siapa yang kau bilang bodoh itu, hah?” ujar Aiden yang membuat Felix menatapnya tak percaya. Tidak percaya jika Aiden sesuka itu pada Runa sampai-sampai dirinya tidak boleh bicara sembarangan pada gadis itu.
“Tuan mau pergi?” tanya Runa saat melihat Aiden memakai sepatunya. “Apa aku juga boleh pergi?”
“Pergi ke mana?” tanya Aiden tanpa menatap Runa karena sibuk dengan sepatunya.
“Ke tempat Bibi Lily. Boleh?”
“Pulanglah sebelum mengantuk,” pesan Aiden yang membuat Runa menggembungkan kedua pipinya saat diingatkan bagaimana tempo hari ia menginap di rumah Bibi Lily karena ketiduran di sana.
“Ayo!” Aiden beralih pada Felix dan hal tersebut membuat pria itu menatapnya dengan raut tak senang karena firasatnya berkata jika Aiden pasti akan merepotkannya jika mengajaknya pergi seperti ini.
“Ayo ke mana? Mau apa? Aku sibuk hari ini,” ujar Felix tanpa mengubah posisinya yang berbaring malas di atas kasur Aiden.
“Aku butuh tanda tanganmu untuk mencairkan uang,” ujar Aiden yang karena ada kata uang dalam ucapannya membuat Felix langsung beranjak dari tempat tidur untuk menghampirinya.
“Kenapa tanda tanganku? Semuanya kan pakai tanda taganmu,” kata Felix sambil memakai sepatunya. Meski dia kelihatanya selalu malas melakukan apapun, namun jika sudah berurusan dengan uang maka ia akan maju paling cepat.
“Kau bisa meniru tanda tanganku lebih baik dari aku sendiri. Terakhir kali aku menandatanganinya sendiri pihak bank bilang tanda tanganku terlihat berbeda. Jadi nanti kau saja yang tanda tangan,” jelas Aiden yang membuat Felix mendecih sementara Runa menatap kepergian dua orang itu dengan bingung.
“Bisa begitu, ya?” gumam Runa. “Bahkan untuk tanda tangan pun... Memangnya itu bisa diwakilkan?”
***
Saat sampai di rumah makan milik Bibi Lily, Runa tidak langsung masuk seperti sebelumnya. Ia membuka sedikit pintu itu sedikit lalu melongokkan kepalanya ke dalam. Memastikan jika tidak ada lagi gerombolan mafia seperti tempo hari karena rasanya ia sudah trauma sekali untuk bertemu dengan mafia lagi‒kecuali ketua mafia tampan yang hidup dengannya dan harus ia lihat wajahnya setiap hari untuk kelangsungan hidup bahagianya.
“Oi!”
Runa tersentak kaget saat mendengar sebuah suara bersamaan dengan bahunya yang ditepuk dari belakang. Namun ia dibuat mendecakkan lidahnya saat berbalik dan melihat Harvie yang berdiri di belakangnya.
“Minggir sana!” usir Harvie sambil mendorong tubuh dari depan pintu. “Menghalangi jalan saja!”
“Memangnya tubuhku sebesar apa sampai dibilang menghalangi jalan, uh?” gerutu Runa sambil berjalan mengekor di belakang Harvie. “Kau bolos sekolah lagi, ya? Akan kukatakan pada kakakmu!”
“Bolos apanya? Ini kan hari Minggu.” Harvie berbalik pada Runa kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan wajah mengejek pemuda itu berkata, “Pasti enak sekali ya jadi orang dewasa yang menganggur sampai kau tidak perlu mempedulikan tentang hari.”
“Memangnya siapa yang menganggur?”
“Memangnya kau tidak menganggur? Lalu kerja apa? Kuliah?”
“Bukan urusanmu!”
“Ha! Sudah kuduga kau ini memang pengangguran!”
“Aku‒”
“Aduh-aduh, kalian ini. Baru bertemu mengapa sudah bertengkar, uh?” Bibi Lily menegur kedua orang yang sedang berdebat itu sambil berjalan melewati keduanya dengan membawa nampan berisi pesanan pembelinya.
Setelah mengantarkan pesanan tersebut, Bibi Lily menghampiri Runa dan Harvie sambil geleng-geleng kepala. “Jika kalian bertengkar terus nanti bisa benar-benar jatuh cinta, lho.”
“Aku tidak tertarik pada orang tua, tuh!” sanggah Harvie yang membuat Runa melotot padanya.
“Aku juga tidak tertarik pada bocah sepertimu, tuh!” Runa tidak mau kalah dan membalas Harvie sambil ikut melotot pada pemuda itu.
“Tentu saja kau tidak tertarik pada pria yang masih muda sepertiku. Kau kan tertariknya pada pria tua seperti mafia gila itu,” ejek Harvie yang membuat Runa menatapnya dengan marah.
“Siapa yang kau bilang mafia gila, uh? Aku akan melaporkanmu padanya nanti!” ancam Runa.
“Silakan saja. Aku hanya tinggal panggil kakakku nanti. Mamamu juga ada. Kalian tidak akan bisa macam-macam padaku!”
“Aduh~ Sampai kapan kalian mau bertengkar terus, uh?” Bibi Lily kembali mengeluh karena bukannya berhenti Runa dan Harvie justru semakin jadi berdebatnya. “Harvie, kau lupa niatmu ke sini untuk apa, uh?”
“Aku ingat. Tapi dia menggangguku sejak aku baru datang.” Harvie berkata sambil menunjuk Runa, membuat mereka memulai babak perdebatan yang baru.
“Memangnya kapan aku mengganggumu, ha? Kapan?” Runa bertanya dengan ketus dan Harvie tentu saja tidak mau kalah untuk menjadi lebih ketus dari gadis itu.
“Kau sengaja berdiri di depan pintu tadi saat aku datang. Jika tidak ingin menggangguku lalu itu apa namanya, ha? Kau sengaja ingin cari masalah denganku, uh?”
“Kau‒”
“Sudah, sudah!” Bibi Lily yang sudah tidak tahan dengan Runa dan Harvie yang tidak mau berhenti berdebat itu akhirnya turun tangan untuk memisahkan merea. Ia mendorong bahu Harvie dengan kedua tangannya agar pemuda itu menjauh dari Runa. “Sana. Cepat ke belakang. Anak-anakmu sudah menunggu di sana. Runa, kau duduk saja. Bibi akan menyiapkan sarapan untukmu.”
Harvie dan Runa masih sempat untuk saling bertukar tatapan tajam sebelum secara bersamaan memalingkan wajah untuk pergi ke tujuan mereka masing-masing. Harvie yang pergi ke halaman belakang dan Runa yang pergi untuk duduk di salah satu meja yang berada paling dekat dengan dapur.
“Bibi, kenapa nasinya banyak sekali? Aku sudah sarapan sebelum ke sini tadi.” Runa bertanya dengan kedua mata yang menatap horor pada banyaknya nasi yang Bibi Lily ambilkan untuknya. Meski suka makan, namun perutnya yang kecil membuat Runa tidak bisa menampung makanan dalam jumlah banyak sekaligus, Ia adalah jenis orang yang mudah meresa kenyang dan mudah merasa lapar hingga ia harus sering makan dengan porsi yang sedikit-sedikit.
“Tapi di sini kan belum makan. Kau harus makan yang banyak agar bisa cepat gemuk. Bagaimana bisa wanita yang akan memasuki usia dewasa sepertimu tubuhnya sekecil ini, uh? Kau akan jadi sangat cantik dan bisa mendapatkan pacar yang tampan nanti jika berat badanmu bisa naik beberapa kilo,” kata Bibi Lily yang tidak mempedulikan keluhan Runa dan terus memaksa gadis itu untuk makan sangat banyak setiap kali datang ke rumah makannya. “Harvie pasti akan jatuh cinta dan memohon-mohon untuk jadi pacarmu nanti.”
“Bibi!” Runa memprotes ucapan Bibi Lily dengan kedua pipinya yang menggembung dipenuhi makanan dan reaksinya itu membuat Bibi Lily yang merasa puas karena berhasil menggodanya terkekeh.
“Tapi apa yang dia lakukan di belakang sana sendirian?” tanya Runa yang jadi penasaran karena Harvie sepertinya punya sesuatu yang menarik untuk dikerjakan di halaman belakang rumah Bibi Lily.
“Dia sedang mengurus anak-anaknya.”
Ucapan Bibi Lilu membuat kedua mata Runa membulat penasaran. “Anak-anak?”
“Anak-anak kelinci, Nona Kecil. Kau pikir anak kecil sepertinya bisa punya anak, uh?’ Bibi Lily kembali terkekeh dan Runa hanya menggembungkan kedua pipinya karena merasa bodoh sekali berpikir jika bocah nakal yang kekanakan seperti Harvie bisa punya anak.
“Bibi pelihara kelinci di belakang?”
“Tidak. Itu kelincinya Harvie,” jelas Bibi Lily. “Dia membelinya beberapa hari yang lalu dan menitipkannya di sini karena mamanya tidak akan mengizinkannya memelihara kelinci. Dia sedang membuatkan kandang untuk kelinci-kelinci itu.”
“Aku ingin lihat,” kata Runa yang membuat Bibi Lily buru-buru memegangi pergelangan tangannya sebelum gadis itu beranjak dari duduknya.
“Habiskan dulu makanmu, Nona Kecil. Kau tidak boleh ke mana-mana jika makananmu belum habis.”
Runa menundukkan kepalanya dan melihat nasinya yang masih tersisa banyak sekali sementara perutnya sudah terasa sangat penuh membuatnya merasa sangat terbebani.
“Kau tidak boleh ke mana-mana sebelum makananmu habis,” peringat Bibi Lily sebelum beranjak dari duduknya untuk melayani pembeli yang baru datang.
“Tapi ini masih banyak sekali,” gumam Runa saat melihat nasinya. Ia menundukkan kepalanya, merasa sedih karena sepertinya tidak akan bisa pergi melihat kelincinya Harvie sebab ia sudah tidak mampu menghabiskan makanannya dan Bibi Lily pasti tidak akan membiarkannya sebelum ia menghabiskan semua yang telah wanita itu siapkan untuknya.
“Oh!”
Runa berjengit kaget. Ia masih menundukkan kepalanya tadi saat sentuhan seseorang yang ia rasakan di puncak kepalanya membuatnya tersentak kaget dan langsung mengangkat kepalanya.
Dan senyuman yang sangat lebar langsung muncul di wajahnya saat ia melihat kehadiran seseorang yang pasti bisa membebaskannya dari situasi ini.
“Tuan, kau pasti lapar kan? Kau pasti bisa membantuku menghabiskan makananku, kan?”
**To Be Continued**