“Berani sekali kau mengganggu gadisku seperti ini, hah? Kau harus kuberi pelajaran agar tahu bagaimana caranya bersikap pada orang yang lebih tua, bocah!”
Runa tidak tahu apa Aiden sadar atau tidak dengan apa yang baru saja diucapkannya, namun dirinya langsung dibuat melongo saat mendengar pria itu menyebutnya sebagai ‘gadisku’.
Gadisku, katanya.
Gadis milik Aiden.
Runa masih melongo seperti orang bodoh dengan mulutnya yang terbuka sementara jiwanya seperti terhisap masuk ke dunia yang dipenuhi oleh warna merah muda karena ucapan Aiden yang menyebut dirinya sebagai ‘gadisku’
Hingga akhirnya bunyi pukulan yang cukup keras menyadarkan Runa dari lamunannya dan membuatnya langsung membulatkan kedua matanya terkejut saat melihat Aiden memegangi kepalanya sementara di belakangnya Hana yang baru memukulnya dengan tote bag-nya yang berisi laptop memelototinya dengan wajah paling galak yang bisa diciptakannya dari wajahnya yang sebenarnya tidak ada tampang galak-galaknya sama sekali itu.
“Kau‒”
“Kau!” Hana tidak membiarkan Aiden mengatakan apapun. Meski wajah Aiden yang dihiasi tato dan bekas-bekas luka itu terlihat menakutkan, Hana tetap berusaha untuk jadi lebih galak dengannya saat dengan kasar menarik tangan Harvie hingga terlepas dari cengkeraman Aiden dan menyembunyikan adiknya itu di belakang tubuhnya‒yang ngomong-ngomong tidak lebih tinggi dari tubuh Harvie.
“Kau pikir kau siapa berani mengganggu adikku, hah? Hanya aku, kakaknya yang sudah membesarkannya ini, yang boleh mengganggunya!” Hana membentak Aiden sebelum menolehkan kepalanya pada Harvie. “Kau diapakana? Dipukul? Orang jahat ini melakukan apa padamu?”
“Aku di‒”
“Tidak diapa-apakan, kok!”
Ucapan Harvie yang sudah ingin memfitnah Aiden agar semakin diomeli oleh Hana itu terhenti saat Runa menyelanya, berkata dengan wajah cemberut yang terlihat tidak terima dan membuat perhatian semua orang teralih padanya.
Termasuk Aiden yang saat ini menatap gadis itu dengan sebelah alis terangkat. Rasanya lucu sekali melihat Runa berusaha membelanya padahal jika itu hanya Hana ia bisa membereskannya hanya dengan sekali pukulan dan gadis itu tidak akan pernah bisa bicara dengan bentakan yang sekeras itu pada siapapun lagi.
“Dia yang menggangguku lebih dulu. Kakak, dia itu sudah menggangguku sejak kemarin.” Runa mengadukan Harvie pada Hana, membuat pemuda itu menatapnya dengan wajah tak terima.
“Kapan aku‒ Ah! Kakak!”
Harvie tidak sempat membela dirinya saat Hana menarik telinganya dengan kuat. “Bukankah Kakak selalu bilang, bahkan meski kau ini nakal sekali jangan pernah mengganggu anak perempuan, uh? Kau ini bukan anak kecil lagi! Jika kau terus mengganggu anak perempuan kau tidak akan pernah punya pacar! Padahal Nona ini cantik sekali, tapi sekarang dia pasti tidak akan pernah mau jadi pacarmu lagi karena kau sudah mengganggunya!”
Ucapan Hana membuat semua orang yang mendengarnya jadi mengerutkan kening. Namun dibandingkan Runa dan Harvie yang sedang dibicarakan gadis itu, Aiden justru jadi orang yang kerutan di dahinya kelihatan paling dalam. Sepertinya paling tidak terima karena ucapan Hana yang memasangkan Runa dengan Harvie.
“Kakak kenapa bicara begitu? Bahkan meski dia tidak menggangguku aku tetap tidak mau pacaran dengan orang seperti ini!” kata Runa sambil mengarahkan tatapan sinisnya pada Harvie. Membuat pemuda itu tidak mau kalah untuk balas memberikan tatapan sinisnya pada Runa.
“Memangnya aku mau pacaran dengan orang tua sepertimu, uh?”
“Orang tua apa? Aku...” Runa menghentikan ucapannya saat ingat dengan apa yang dikatakannya pada Harvie kemarin soal dirinya yang lebih tua dari pemuda itu. Karena itu ia kemudian berkata, “Iya, aku ini lebih tua darimu jadi kau harus hormat padaku! Apa? Kenapa menatap orang yang lebih tua darimu seperti itu? Cepat tundukkan pandanganmu!”
“Tundukkan pandanganmu!” Aiden memukul kepala Harvie saat melihat pemuda itu bukannya menundukkan pandangannya pada Runa namun justru semakin melotot pada gadis itu.
“Kau yang jaga tanganmu, Tuan! Sudah kubilang hanya aku yang boleh memukul adikku!” dan tentu saja Hana yang tidak terima karena Aiden memukul kepala adiknya langsung membalas dengan memukul lengan pria itu menggunakan tasnya yang berisi laptop. “Apa? Kenapa menatapku seperti itu? Kau mau balas memukul wanita yang lemah sepertiku?”
“Aku tidak peduli kau ini wanita atau bukan tapi aku tidak masalah untuk mematahkan tanganmu sekarang juga karena sudah berani memukulku, Nona,” ancam Aiden.
Runa yang ingat jika Aiden bukan hanya orang yang bisa mengancam karena ia sudah pernah melihat sendiri bagaimana ia menembak guci di dekat Madam yang ada di rumah bordil ketika mengancamnya buru-buru menggamit lengan kiri Aiden dengan kedua tangannya sebelum pria itu benar-benar mematahkan tangan Hana‒tidak sadar jika hal tersebut membuat Aiden terkeju karena ini pertama kalinya Runa berinisiatif untuk menyentuhnya terlebih dahulu seperti ini.
“Ayo kita pergi saja,” ajak Runa sambil menyeret Aiden pergi dari tempat itu. “Katanya ingin mengajakku ke tempat yang kusukai, kan? Ayo kita pergi sekarang. Aku sudah tidak sabar.”
Harvie menatap kepergian Runa dan Aiden dengan wajah merengut. “Bisa-bisanya gadis itu‒ Ah!”
“Kau mau kulaporkan pada Mama, hah? Berani sekali kau cari masalah dengan mafia gila itu!” Hana mulai mengomeli Harvie setelah mendaratkan satu jitakan di kepala pemuda itu.
“Memangnya siapa yang cari masalah dengan mafia itu? Masalahku dengan gadis menyebalkan itu!”
“Itu sama saja! Mencari masalah dengan pacarnya itu sama saja kau mencari masalah dengan mafia itu!”
“Memangnya mereka pacaran?”
“Memangnya tidak? Kau tidak lihat bagaimana dia menggamit lengan mafia itu?” Hana menjawab dengan disertai dengusan keras. Kemudian dengan gumaman yang hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri ia menambahkan, “Sial sekali karena pria sekeren itu sudah punya pacar. Aku benar-benar menyia-nyiakan semua kesempatan yang kumiliki selama ini.”
***
“Ini… Ini pasar?
Runa berdiri di depan pasar yang sangat ramai itu dengan tampang tidak percaya. Ia lalu menoleh pada Aiden yang berdiri di sebelahnya dengan kedua tangan yang tersimpan di dalam saku celananya sementara sebuah rokok yang menyala terselip di antara kedua bibirnya. “Tuang bilang mau mengajakku ke tempat yang kusukai, kan? Kenapa malah mengajakku ke pasar?”
“Bukankah kau bilang kau suka pergi ke pasar?” Aiden balik bertanya. Kau merajuk pada Bibi Lily tadi karena dia tidak mengajakmu ke pasar padahal kau suka pergi ke tempat ini.”
“Ah…” Runa bergumam pelan. Ia lalu tersenyum pada Aiden saar bertanya, “Jadi Tuan mendengarnya tadi?”
“Apa kau tidak suka pergi ke pasar?”
“Tentu saja aku suka. Suka sekali,” jawab Runa sambil tersenyum. Rasanya ia senang sekali karena Aiden melakukan ini karena ingin menyenangkannya. “Aku sudah lama tidak pergi ke pasar. Tuan, ayo kita lihat-lihat ke dalam.”
“Berjalanlah di depanku,” ujar Aiden yang membuat Runa menatapnya bingung. “Aku ingin merokok, jadi aku akan jaga jarak agar asapnya tidah terhirup olehmu.”
“Aku tidak apa-apa.”
“Berjalanlah di depanku.” Runa menggembungkan kedua pipinya, namun saat melihat jika Aiden sepertinya tidak akan berjalan kecuali dirinya mulai berjalan di depan pria itu Runa tidak punya pilihan selain melangkahkan kakinya meninggalkan Aiden.
Satu langkah, dua langkah. Runa menghitung langkahnya dalam hati dan di langkahnya yang kelima ia menolehkan kepalanya ke belakang. Untuk kemudian dibuat tersenyum saat melihat Aiden berjalan mengikuti di belakangnya.
Sebenarnya itu bukan hanya tentang asap rokok. Aiden sengaja menjaga jarak dengan Runa karena ia tidak ingin orang-orang melihat gadis itu berjalan bersama pria seperti dirinya, seorang mafia yang kemana pun dirinya pergi hanya akan mendapat tatapan takut atau benci bahkan dari orang-orang yang tidak mengenalnya.
Aiden ingin berjalan di sisi Runa. Ingin memberikan lengannya untuk digamit oleh gadis itu seperti sebelumnya. Namun ia tidak ingin orang-orang ikut menatap Runa dengan tatapanyang sama seperti yang selalu ia terima. Ia tidak masalah karena selalu mendapat tatapan semacam itu setiap hari, namun ia tidak ingin gadis sebaik hati Runa jadi sedih karena mendapat tatapan kebencian dari orang-orang.
“Belilah sesuatu.”
Runa menolehkan kepalanya ke belakang tanpa menghentikan langkahnya saat mendengar suara Aiden.
“Ada banyak barang yang dijual di sini. Belilah sesuatu yang kau inginkan,” kata Aiden yang membuat Runa kembali menghadapkan kepalanya ke depan untuk melihat beraneka ragam dagangan yang dijual di pasar itu.
“Aku hanya ingin lihat-lihat. Aku sudah merasa senang jika bisa melihat-lihat semua yang ada di pasar,” sahut Runa. Ia masih tersenyum, namun tatapannya berubah sendu saat kenangan masa kecilnya muncul dalam ingatannya.
“Mama tidak suka membawaku ke mana pun dengannya. Dia tidak suka menunjukkan jika dirinya sudah memiliki anak, karena itu dia lebih sering meninggalkanku di rumah sendirian. Tapi karena itu membosankan, jika tahu Mama akan pergi ke pasar-pasar aku diam-diam mengikutinya. Walaupun ada banyak kue yang enak, aku hanya bia melihatnya karena aku tidak bisa memintanya pada Mama. Aku tidak pernah beli apa-apa saat pergi ke pasar, tapi entah mengapa aku senang sekali mengikuti Mama ke pasar dan melihat orang berjualan macam-macam.”
“Tapi sekarang mamaku tidak ada di sini,” kata Aiden sambil melangkahkan kakinya melewati tubuh Runa. Membuat gadis itu menatapnya bingung saat ia berhenti di depan penjual yang menjual berbagai macam kue tradisional.
“Kau suka makanan manis, kan? Pilihlah kue yang kau suka. Aku akan membelikannya untukmu,” kata Aiden. “Jangan bertingkah seolah kau datang ke sini diam-diam untuk mengikuti mamamu hanya karena kau terbiasa dengan hal itu. Sekarang aku yang membawamu ke sini dan aku akan membelikan apapun yang kau inginkan. Jadi jangan hanya lihat-lihat saja! Pilih apapun yang kau sukai!”
Runa tumbuh dengan kedua orang tua yang tidak pernah memperlakukannya sebagai seorang anak. Meski bersama kedua orang tuanya, ia seperti tumbuh sendirian tanpa merasakan kasih sayang dari mama dan papanya. Dan mendapati sikap Aiden yang memperlakukannya seperti ini membuat Runa merasa tersentuh sampai ingin menangis rasanya.
“Aku suka donat.” Runa masih tersenyum, namun suaranya terdengar serak karena menahan air matanya. Ia berdiri di sebelah Aiden sambil menunjuk sebuah donat yang dipenuhi meses warna-warni. “Belikan aku donat. Aku sangat ingin makan donat sekarang.”
Aiden mengambil donat yang ditunjuk Runa lalu memberikannya pada penjualnya. Dan ia membuat kedua mata Runa terbelalak tak percaya saat dengan entengnya berkata, “Bungkus semua donat yang ada di sini.”
“Satu saja, Tuan! Bagaimana aku bisa menghabiskan semua donat ini? Aku hanya ingin satu,” kata Runa.
“Kau mungkin ingin sebuah donat selama bertahun-tahun tapi tidak ada yang pernah membelikannya untukmu,” ujar Aiden yang membuat Runa terkesiap karena pria itu menebaknya dengan tepat.
Dulu setiap kali membuntuti mamanya pergi ke pasar, Runa akan berdiri lama di depan penjual kue. Ia sering makan donat yang polos atau yang diberi meses coklat, tapi tidak pernah makan yang mesesnya warna-warni. Ia sangat ingin mencobanya, namun tidak berani memintanya pada mama dan papanya karena takut dimarahi.
Hingga suatu hari, penjual kue yang merasa kasihan padanya memberinya donat dengan meses warna-warni itu. Ia membawanya pulang ke rumah dengan bahagia dan berniat untuk memakannya bersama mamanya. Namun wanita itu justru mengamuk, memukulinya dan menyebutnya pencuri seperti papanya sambil membuang donatnya hingga ia tidak pernah makan donat dengan meses warna-warni itu.
Tapi sekarang, Aiden memberinya satu kantong plastik yang dipenuhi donat dengan meses warna-warni sampai ia bingung bagaimana harus menghabiskannya. Sambil melangkahkan kakinya, Runa memeluk kantong plastik berisi donat itu di dadanya sambil tersenyum. Merasa jika semua kesedihan masa kecilnya seperti terbayarkan dengan kantong plastik yang dipenuhi donat ini.
Di belakangnya, Aiden berjalan dengan kedua matanya yang tidak lepas dari punggung kecil Runa. Ia lalu menoleh ke sebelahnya dan sebuah senyuman kecil muncul di sudut bibirnya saat ia melihat seorang anak laki-laki yang sangat mirip dengannya berjalan sambil menggandeng tangannya sambil menikmati donat dengan meses warna-warni.
Aiden senang memanjakan Runa seperti ini karena itu membuatnya merasa seolah ia juga sedang memanjakan dirinya yang masih kecil yang tidak pernah mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya. Ia hanya tidak sadar, betapa berbahayanya itu saat ia terus memanjakan jiwa anak kecilnya yang selama ini selalu ia kurung di dalam dirinya yang keras dan tidak pernah merasakan kasih sayang itu hingga akhirnya Runa muncul di dalam hidupnya dan membuatnya ingin melepaskan jiwa anak-anaknya itu.
**To Be Continued**