Sejak kecil sampai sekarang, Aiden tidak pernah mengetahui siapa mamanya. Papanya yang merupakan pendiri dan pemimpin organisasi mafia yang kini menjadi miliknya merahasiakan identitas wanita itu dari semua orang bahkan dari dirinya yang sejak lahir langsung dipisahkan dari ibunya dan sama sekali tidak pernah dipertemukan dengan wanita itu.
Alasannya hanya satu. Karena papanya terlalu mencintai wanita yang telah melahirkannya dan tidak ingin membahayakan nyawanya jika identitasnya sampai diketahui oleh musuhnya. Namun dengan begitu, ia mengorbankan hidup Aiden yang harus tumbuh tanpa mengenal mamanya.
“Hihihi. Bagaimana dia bisa melakukannya?”
Aiden tersadar dari lamunannya dan menolehkan kepala ke sebelah kanannya saat mendengar suara kekehan pelan Runa. Gadis itu berbaring dengan posisi tengkurap di atas kasur mewahnya yang meski diletakkan bersebelahan dengan kasur tua milik Aiden namun karena ukurannya lebih tinggi membuat Aiden harus mendongak untuk menatapnya.
Aiden menatap Runa yang akan tertawa setiap kali melihat sesuatu yang lucu di ponselnya dan menyadari jika perasaannya pada Runa tidak mungkin bisa setulus yang ia pikirkan. Tidak mungkin hanya karena dirinya yang ingin melindungi Runa dan membuat gadis itu bahagia hingga ia mau menampung gadis itu dan membelikan semua ini untuknya.
Awalnya hanya rasa kasihan karena ia selalu melihat bayangan dirinya yang masih kecil di dalam diri gadis itu, namun semakin lama ia benar-benar melihat Runa tanpa dibayangi oleh rasa kasihan itu lagi.
Bukan hanya karena kasihan, namun karena ia ingin melihat Runa tersenyum dan merasa bahagia.
Kemudian ia tidak lagi hanya melihat Runa sebagai anak kecil tak berdaya yang butuh perlindungannya. Terkadang, saat ia diam-diam memeluk tubuh gadis itu dalam tidurnya, ia melihat Runa sebagai sosok wanita yang ingin ia peluk di sepanjang hidupnya.
“Tuan? Tuan!”
Aiden mengerjapkan kedua matanya, tersadar dari lamunannya saat Runa melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya.
“Ponselmu berbunyi,” kata Runa yang membuat Aiden akhirnya sadar jika sejak tadi ia mengabaikan ponselnya yang berdering.
“Halo?” Aiden menjawab panggilan tanpa melihat siapa yang menelepon. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya, hanya mendengarkan apa yang lawan bicaranya katakan lalu memutus sambungan telepon dan beranjak dari atas tempat tidurnya dengan kedua mata Runa yang terus mengawasinya.
“Mau pergi?” tanya Runa saat melihat Aiden memakai jaketnya. “Ini sudah hampir jam 11.”
“Ini sudah malam, jadi tidurlah,” kata Aiden sambil mengeluarkan sebuah pistol dari dalam lemarinya dan mengisinya dengan peluru.
Runa masih terus mengawasinya. Berbeda dengan saat awal tinggal bersama Aiden dulu, Runa yang sudah terbiasa melihat pria itu menenteng senjatanya tidak pernah lagi merasa terkejut. Namun ia tetap merasa khawatir jika Aiden membawa pistol karena ia tidak ingin pria itu melukai orang lain.
“Apa besok pagi sudah pulang?” Runa bertanya sambil ikut bangun dari tidurnya. Mengekori Aiden dan berdiri di belakangnya saat pria itu memakai sepatunya.
“Tidak tahu. Tidak usah menungguku,” sahut Aiden. Ia lalu berjalan keluar sambil meraih gagang pintu. Namun sebelum sempat membantingnya, Runa menahannya dengan memegangi gagang pintu di sisi sebaliknya.
“Besok Pororonya mulai jam 8 pagi.”
Ucapan Runa membuat Aiden mengerutkan keningnya. “Apa itu Pororo?”
“Kartun yang penguin itu. Yang Tuan suka.”
“Tidak, tuh. Aku tida suka nonton kartun.”
“Tapi tadi lihat bersamaku, kan.”
“Itu karena tidak ada yang bisa kulihat lagi.”
“Tapi Tuan suka.”
“Tidak, tuh,”
“Pokoknya besok pulangnya sebelum jam 8 ya,” kata Runa yang membuat sebelah alis Aiden terangkat karena sekarang gadis itu bahkan berani mengatur jam pulangnya. Namun karena Runa mengatakannya sambil tersenyum dengan manis, Aiden jadi tidak mengatakan apapun untuk mendebatnya.
“Biar aku yang menutup pintunya.” Runa kembali bicara. “Tidak usah dibanting. Biar aku saja yang menutupnya.”
“Aku tidak pernah membanting pintu,” sanggah Aiden yang membuat Runa memicingkan mata padanya.
“Tuan selalu melakukannya pada semua pintu. Pintu kamar mandi, pintu lemari pendingin, pintu lemari pakaian. Aku sampai terbangun dari tidurku saking kagetnya jika Tuan pergi dengan membanting pintu di pagi hari.”
Aiden mengerutkan keningnya. Kelihatan masih keberatan dengan perkataan Runa saat dengan pelan ia bergumam, “Tapi aku benar-benar tidak pernah membanting pintu.”
“Sebelum jam 8, ya. Besok kita sarapan bersama sambil nonton Pororo.” Runa berkata dengan nada ceria, membuat perhatian Aiden kembali tertuju padanya.
“Tidak tahu. Tidak usah menungguku,” sahut Aiden seraya menarik gagang pintu yang masih berada dalam genggamannya dengan kuat hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras yang bahkan membuat dirinya sendiri berjengit kaget.
“Dia membanting pintunya lagi.”
Aiden bisa mendengar suara Runa dari balik pintu dan untuk pertama kalinya Aiden sadar jika selama ini ia memang selalu menutup dan membuka pintu dengan cara yang kasar hingga menimbulkan bunyi bantingan yang keras seperti itu.
“Tapi aku benar-benar tidak bermaksud untuk membantingnya,” gumam Aiden yang masih tidak ingin mengakui kebiasaan buruknya itu. “Tapi kenapa bunyinya bisa jadi sekeras itu?”
***
“Dia tidak pulang.”
Ini sudah pukul lewat pukul 8 pagi dan Runa sudah memasak 2 mangkuk mie untuk dijadikan sarapannya bersama Aiden. Namun pria itu tidak kunjung pulang sampai mienya jadi dingin dan kartun Pororo yang hanya tayang 30 menit juga berganti dengan acara lain.
Runa masih terus menunggunya. Sampai malam, sampai keesokan paginya, keesokan malamnya, dan Aiden tidak pernah pulang atau menghubunginya meski ini sudah hari ketiga sejak pria itu pergi.
“Dia akan pulang jika sudah waktunya pulang. Kau tenang saja. Tidak usah khawatir dan makan saja yang banyak.”
Runa mengabaikan ucapan Felix. Sama sekali tidak berselera makan meski di hadapannya ada steak mahal yang sebagian sudah digigiti oleh kucing hitam Felix.
“Kalau begitu beri aku nomornya.” Runa berkata sambil menyodorkan ponselnya pada Felix. “Aku tidak akan meneleponnya agar dia tidak merasa terganggu. Aku hanya akan mengiriminya pesan sekali saja.”
“Dia tidak pernah mau membalas pesan. Sepertinya jarinya akan patah jika sampai mengetik pesan balasan.” Felix menyahuti ucapan Runa dengan kesal sambil menikmati steak-nya. Sama sekali tidak terlihat khawatir sedikit pun meski Aiden pergi tanpa kabar.
“Kalau begitu aku hanya akan meneleponnya sekali saja. Aku janji hanya sekali. Aku tidak akan bisa tidur jika belum memastikan dia baik-baik saja sekarang.”
“Aiden itu mafia yang terkenal, lho. Kalau sampai mati pasti akan ada beritanya di internet. Jadi kau tidak usah khawatir,” kata Felix yang maksudnya ingin menenangkan Runa namun justru membuat gadis itu jadi semakin khawatir saat mendengarnya menyinggung soal kematian.
Dan Runa tidak berbohong soal dirinya yang tidak akan bisa tidur sebelum mengetahui keadaan Aiden. Felix sudah pulang sejak berjam-jam yang lalu dan sekarang sudah pukul 1 malam namun kedua matanya sama sekali tidak mau terpejam.
Runa membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur tua milik Aiden, berharap ia bisa merasa tenang dan tertidur jika tidur di sana. Namun aroma khas tubuh Aiden yang bercampur dengan aroma rokok dan alkohol yang menempel di bantal dan selimut pria itu justru membuat gadis itu jadi semakin merasa tersiksa oleh kerinduannya pada Aiden.
Bahkan meski Aiden tidak mengajaknya mengobrol, meski mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing saat berada bersama di kamar ini, Runa merasa jika itu lebih baik saat ia bisa bersama Aiden daripada sendirian seperti ini. Meski Felix datang dan menemaninya setiap hari, menemaninya mengobrol dan menunjukkan hal-hal menarik padanya, Runa tetap merasa jika bersama Aiden yang tidak pernah melakukan apa-apa saat bersamanya tetap jauh lebih baik baginya.
Brak!
Tubuh Runa tersentak kaget ketika mendengar bunyi pintu yang dibuka lalu ditutup dengan bantingan keras. Kedua mata gadis terbelalak lebar saat melihat Aiden berjalan masuk dengan langkah tertatih sambil memegangi lengan kanannya.
“Tuan‒”
“Minggir!” Aiden menyela ucapan Runa. Sama sekali tidak menatap gadis yang telah merindukannya selama berhari-hari itu saat ia menjatuhkan dirinya di atas kasur setelah Runa menyingkir dari atas tempat tidurnya.
“Ini...” Runa menatap darah yang berceceran mulai dari pintu hingga ke tempat tidur di mana Aiden sedang berbaring dengan memunggunginya. Runa tidak bisa melihat wajah Aiden, namun kedua matanya kembali dibuat terbelalak tak percaya saat melihat tangan kiri Aiden yang dengan kuat meremas lengan kanannya yang sepertinya terluka cukup parah hingga mengeluarkan darah yang begitu banyak.
“Tuan, kau kenapa?” Runa bertanya dengan khawatir. Nyaris menangis saat melihat darah yang begitu banyak yang mengingatkannya pada saat dirinya menemukan mamanya yang tak bernyawa di dalam kamarnya dengan darah yang menggenangi tubuhnya setelah wanita itu memotong nadinya sendiri.
“A-ayo ke rumah sakit.” Runa berkata dengan suara bergetar sementara kedua matanya menatap Aiden yang masih memunggunginya dengan berkaca-kaca. “Tuan harus segera pergi mengobati luka ini.”
“Anjing liar sepertiku tidak butuh diobati. Nanti juga akan sembuh sendi‒”
“Tuan bukan anjing! Tuan manusian yang sangat berharga, mengapa terus menyamakan diri dengan anjing liar?!”
Runa menyela ucapan Aiden dengan suara melengking yang membuat genangan air mata yang memenuhi pelupuk matanya berhamburan keluar membanjiri wajahnya. Mengundang Aiden untuk berbalik menghadapnya saat mendengar tangisan Runa yang jadi semakin keras.
“Mengapa kau yang menangis seperti itu padahal aku yang terluka?” tanya Aiden yang tidak habis pikir mengapa Runa bisa menangis sampai sesenggukan seperti ini padahal dirinya yang terluka biasa saja. “Aku hanya ingin tidur sekarang. Jadi berhentilah menangis agar aku bisa beristirahat.”
“Ha-harus diobati dulu.” Runa berkata susah payah dengan tersendat-sendat karena suaranya yang keluar berlomba dengan isakannya. “Jika sampai terjadi apa-apa bagaimana? Ini lukanya besar dan darahnya banyak sekali, mana mungkin bisa sembuh hanya dengan ditinggal tidur?”
Aiden melirik lukanya sekilas, melihat separah apa luka yang tercipta di sana hingga membuat Runa menangis sampai seperti ini. “Seharusnya tidak masalah karena pelurunya sudah dikeluarkan,” gumamnya. Benar-benar mengentengkan lengannya yang terkena tembakan itu.
Aiden lalu menatap Runa. Entah mengapa bisa membuat hatinya terasa menghangat saat melihat gadis itu dengan tampang polosnya yang tampak sangat cemas menangis sesenggukan sambil menatap lengan kanannya.
“Kalau begitu obati,” kata Aiden yang membuat Runa menatapnya. “Kau masih punya obat merah dan perban yang beli waktu itu, kan?”
“Tapi ini lukanya besar sekali. Bagaimana bisa hanya diperban saja? Ini harus dijahit.”
“Kalau begitu jahitlah.”
“Aku tidak bisa.”
“Kalau begitu biarkan aku tidur saja supaya cepat sembuh.”
Runa yang awalnya sudah berhenti menangis kembali menangis dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya karena jawaban yang Aiden berikan. Namun entah mengapa, hal itu justru membuat Aiden merasa geli hingga tidak bisa menahan senyuman kecil yang muncul di sudut bibirnya.
“Halo, Bibi Lily?”
Runa menggigit bibir bawahnya, menahan isakannya agar tidak mengganggu aat melihat Aiden menghubungi seseorang dengan ponsel barunya yang entah bagaimana sudah retak layar lcd-nya.
“Aku tahu ini waktunya kau tidur. Tapi datanglah sekarang. Aku butuh jahitan untuk lukaku. Cepatlah karena aku ingin sehera tidur setelah mengobati luka ini.”
Aiden memutus sambungan lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Runa yang sudah berhenti menangis namun malah jadi cegukan.
“Itu dokter?” tanya Runa dengan diiringi cegukannya.
“Itu lebih hebat dari dokter,” sahut Aiden.
Aiden melihat kedua telapak tangannya yang dipenuhi darah. Ia lalu menggosok-gosok telapak tangan kirinya pada selimutnya dan menggunakannya untuk menyeka air mata di wajah Runa. Tubuhnya masih terasa dingin karena kehilangan banyak darah, namun hatinya kembali menghangat saat ia menyentuh pipi Runa yang terasa panas karena air matanya.
“Aku tidak akan mati dengan mudah, jadi jangan menangis seperti ini hanya karena aku sedikit terluka,” bisik Aiden. “Aku tidak akan mati semudah itu, jadi jangan menangis la‒”
Bruk.
Aiden bahkan belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika tubuhnya tiba-tiba jatuh di atas pangkuan Runa. Membuat tangisan gadis itu kembali pecah di malam sunyi yang dingin ini.
**To Be Continued**