“TV? TV 60 inchi? Kau bercanda?!”
Pagi ini, Felix kembali dibuat syok saat memasuki rumah Aiden dan mendapati TV berukuran super besar terpasang di dinding ruangan sempit itu. Namun tidak ada yang mempedulikannya karena baik Aiden maupun Runa sedang makan sepotong roti sambil menonton acara TV.
“Kenapa kau tiba-tiba beli TV, uh? Kau kan tidak suka nonton TV, untuk apa beli TV yang sampai makan banyak tempat seperti ini?” Felix kembali mengomeli Aiden. Meski Aiden itu menyeramkan, namun jika sudah berurusan dengan masalah keuangan Felix yang merupakan penanggung jawab keuangan dalam organisasi Aiden ini bisa jadi jauh lebih menyeramkan.
Lihatlah bagaimana sekarang Felix melotot pada Aiden dengan kedua mata yang seperti hampir melopat keluar dari rongganya karena Aiden berani beli TV tanpa izin padanya padahal beberapa waktu yang lalu ia baru saja beli kursi pijat untuk diletakkan di rumahnya dengan menggunakan uang milik organisasi tanpa minta izin pada si pemilik uang.
“Runa tidak punya hiburan apa-apa di rumah ini sampai-sampai dia bisa ketiduran saat duduk saking bosannya karena tidak tahu harus melakukan apa. Itulah mengapa aku membelikannya TV agar dia tidak bosan lagi di sini,” jelas Aiden yang membuat Runa yang duduk di atas kasur mewahnya yang kelihatan sangat tidak cocok dengan pemukiman kumuh ini mengangguk-anggukkan kepalanya dengan wajah senang menyetujui apa yang Aiden ucapkan.
“Tapi kenapa harus beli TV yang sebesar ini, uh? Kau tidak sadar jika tempat tinggalmu yang hanya sepetak ini sempit sekali? Kasur yang memenuhi lantai dan TV yang memenuhi dinding... Jika hanya sekadar untuk hiburan kenapa tidak belikan dia ponsel saja?”
Felix marah-marah lagi sementara Aiden hanya mengangkat sebelah alisnya. Pria itu lalu beranjak dari atas kasurnya‒yang mana mereka harus melakukan semua aktivitas di atas kasur karena tidak banyak ruang yang tersisa dengan keberadaan tempat tidur raksasa milik Runa‒dan memakai jaketnya. Membuat Felix berkacak pinggang sambil geleng-geleng kepala.
“Lihat, lihat! Sekarang kau mau kabur saat aku belum selesai‒”
“Ayo pergi!” Aiden tidak menunggu Felix menyelesaikan ucapannya untuk menyela dengan bicara pada Runa yang menatapnya bingung karena tiba-tiba dirinya yang sejak menikmati TV baru ini diajak pergi.
“Kau mau ke mana lagi, uh? Mau apa lagi?” tanya Felix yang punya firasat buruk sebab Aiden selalu menghamburkan banyak uang jika sudah mengajak Runa keluar.
“Mau beli ponsel,” jawab Aiden yang membuat kedua mata Runa berbinar senang sementara Felix kembali melotot padanya. “Kau bilang aku harusnya membelikannya ponsel, kan? Aku akan beli satu untuknya sekarang.”
***
“Kau benar-benar membelikannya sebuah ponsel?”
Kedua mata Felix terbelalak tidak percaya saat melihat Aiden dan Runa kembali dengan sebuah ponsel keluaran terbaru yang tergenggam di tangan Runa‒yang harganya bahkan lebih mahal dari TV 60 inchi yang baru sampai ke apartemen itu pagi tadi.
“Bagaimana kau bisa membelikannya ponsel baru yang sebagus dan semahal ini saat kau sendiri sama sekali tidak pernah mengganti ponselmu selama lebih dari 5 tahun sampai layarnya pecah dan‒ KAU JUGA BELI PONSEL BARU?!”
Felix berteriak di kalimat terakhirnya saking terkejutnya melihat Aiden mengeluarkan ponsel dengan model yang sama dengan Runa.
“Kau bukan Aiden. Kau ini siapa, uh? Aiden yang kukenal tidak mungkin seperti ini. Dia tidak mungkin menghamburkan uang‒”
“Ini untuk apa?” Aiden tidak mempedulikan ocehan Felix dan menunjukkan ponsel barunya pada Runa, bertanya tentang fitur yang membuatnya bingung karena ponsel barunya yang menggunakan tekhnologi terbaru ini benar-benar membuat dirinya yang terbiasa menggunakan ponsel tua ini jadi bingung.
“Itu untuk buka kunci,” jelas Runa.
“Bisa dengan wajah saja?”
“Iya. Pegang ponselnya seperti ini dan kuncinya akan terbuka jika berhasil mendeteksi wajah Tuan.”
“Kalau yang ini?”
“Itu untuk bicara dengan Siri.”
“Siapa itu Siri?”
Felix memegangi kepalanya yang terasa pening melihat bagaimana Runa mengajari Aiden menggunakan ponsel barunya sementara pria itu kelihatan seperti anak kecil yang mendapat mainan baru yang membuatnya jadi sangat penasaran.
Felix sudah kenal Aiden sejak SMA dan ia tahu betul jika Aiden bukan orang yamg suka menghambur-hamburkan uangnya seperti ini.
Meski uangnya sangat banyak dan tidak akan pernah habis jika dihamburkan karena bisnis gelapnya yang berkembang di mana-mana, Aiden hidup tanpa menikmati kemewahan.
Aiden menyewa apartemen kecil ini sejak pertama kali keluar dari istana megah milik mendiang papanya saat mereka terlibat pertengkaran sengit yang membuat Aiden yang kala itu masih berusia 18 tahun memilih untuk keluar dari rumahnya.
Namun bahkan setelah kematian papanya dan ia menerima semua harta kekayaan yang pria itu tinggalkan, Aiden tetap memilih untuk tinggal di apartemen ini.
Warisan yang Aiden miliki sangat banyak namun pria itu bahkan tidak memiliki mobil pribadi. Jika perlu mobil, ia akan memakai mobil mana pun yang bisa anak buahnya berikan padanya‒paling sering mobil mewah milik Felix karena pria itu yang paling sering berada di dekatnya.
Aiden bisa beli makanan mahal apapun yang diinginkannya, namun pria itu tidak peduli dengan hal-hal tersebut dan hanya makan apapun yang bisa membuatnya kenyang. Paling sering beli mie instan dari mini market dan memakannya bersama sepotong sosis dan segelas s**u kotak rasa stroberi.
Namun meski begitu, Aiden tetap menghamburkan banyak uang jika sudah pergi ‘jajan’ ke rumah bordil. Biasanya ia datang seminggu sekali atau dua kali atau bahkan kadang-kadang 3 kali dan menghabiskan uangnya untuk menyewa wanita penghibur terbaik yang bisa Madam tawarkan padanya.
Tapi sekarang, hanya dalam waktu 2 hari Aiden menghamburkan uangnya untuk membeli kemewahan yang selama ini tidak pernah ia pedulikan. Kasur, TV, ponsel, dan semuanya itu ia berikan untuk Runa.
“Apa kau menyukainya?” Felix bertanya dengan suara berbisik pada Aiden saat Runa pergi ke kamar mandi.
“Siapa?”
“Runa.”
“Maksudku siapa yang bisa tidak suka anak yang manis seperti itu.”
Sontak kedua mata Felix terbelalak mendengar jawaban Aiden. “Jadi kau benar-benar menyukainya?”
“Iya. Jadi jangan ganggu dia! Dia itu milikku!”
Felix mengerjapkan kedua matanya, jadi bingung lagi karena ini benar-benar pertama kalinya ia tahu jika Aiden juga bisa menyukai seseorang seperti ini. Ia sudah bersama pria itu sejak SMA, namun tidak pernah sekali pun tahu ada wanita yang membuat pria itu menyukainya sampai seperti ini. Yang ia tahu, Aiden hanya tertarik pada wanita ketika pergi ke rumah bordil, ketika berada di luar ia sama sekali tidak pernah berurusan dengan wanita mana pun.
Felix sudah cukup lama berada di sisi Aiden untuk tahu jika bagi pria itu wanita hanyalah seseorang yang ia bayar untuk melayaninya. Tapi... Kenapa dengan Runa pria ituu bisa jadi sangat berbeda?
“Kau tahu kan Runa itu masih kecil? Meski dia sudah berumur legal, masa depannya masih sangat panjang.” Felix masih berbisik-bisik. Ia jadi khawatir jika Aiden terlalu menyukai Runa sampai memanfaatkan gadis itu untuk melayani nafsunya.
“Aku berada di umur yang sama dengannya ketika keluar dari rumah,” kata Aiden sambil mengingat kejadian 12 tahun lalu yang menjadi titik balik kehidupannya.
Saat itu usianya baru 18 tahun ketika ia memutuskan untuk keluar dari rumah dan memulai hidupnya sendiri. Ia putus sekolah dan uangnya yang tidak banyak memaksanya untuk melakukan pekerjaan apa saja demi menyambung hidup. Hidupnya sulit, namun ia bekerja keras mencari uang dengan cara yang baik sampai kemudian kematian papanya memaksanya untuk mengambil alis posisi sebagai pemimpin organisasi mafia yang membuatnya harus mengubur dalam-dalam angan-angannya untuk menjalani hidup sebagai pria baik-baik setelah meninggalkan rumah papanya.
“Setelah hidup sendiri, aku kesulitan dan menderita. Bahkan untukku yang bisa melakukan apa saja itu tetap hidup yang sangat sulit, aku tidak bisa membayangkan bagaimana Runa bisa bertahan jika dia benar-benar sendiri.”
Felix diam saja mendengar ucapan Aiden, terlalu takjub karena ini pertama kalinya ia mendengar pria itu bisa sesimpati ini pada orang lain.
“Mengapa kau peduli padanya? Kalian bahkan tidak saling mengenal,” kata Felix yang masih tidak habis pikir mengapa Aiden bisa jadi seperti ini untuk seorang Runa.
“Karena aku tidak bisa menolong diriku yang dulu dan sekarang aku melihat seseorang dalam kondisi yang mirip denganku. Aku tidak ingin anak itu menjalani hidupnya sepertiku.” Aiden lalu menatap Felix dan menambahkan, “Kau mungkin tahu semua kisahku, tapi hanya Runa yang akan bisa memahami bagaimana perasaanku. Kami menanggung nasib sial buruk yang sama dan aku tidak ingin dia terus bergelut dengan nasib buruk hingga kehidupan mengubahnya menjadi pria buruk sepertiku.”
Felix tidak pernah mengatakan ini pada siapapun dan hanya menyimpannya untuk dirinya sendiri, namun alasan terbesar yang membuatnya bertahan di sisi Aiden bukanlah uang tak terbatas yang bisa ia dapatkan dengan mudah atau todongan pistol Aiden yang mengancamnya setiap kali ia berkata ingin pergi. Namun karena ia tahu di dalam tubuh kekar penuh tato milik Aiden, bersemayam jiwa anak kecil yang selalu merasa ketakutan dan kesepian.
Dan sekarang, saat Aiden pikir jika dirinya melakukan semua ini karena ingin melindungi Runa, itu sebenarnya karena jiwanya yang kesepian akhirnya menemukan tempat yang nyaman untuk bersandar.
Namun saat memikirkan tentang lebarnya jurang perbedaan yang terbentang di antara Aiden dan Runa, pria itu jadi ragu.
Bahkan meski Aiden memiliki jiwa anak kecil yang baik di dalam dirinya, pria itu hidup di dalam dunia yang sangat berbahaya. Itu membuat Felix tidak yakin untuk membiarkan Runa terus hidup bersama Aiden.
Karena itu, meski tahu jika pertanyaannya akan membuat Aiden merasa tidak senang, Felix dengan hati-hati tetap mempertanyakan ganjalan yang ia rasakan di hatinya.
“Tapi... Jika kau memang ingi Runa menjalani hidupnya dengan baik, bukankah itu artinya kau harus membuatnya tinggal sejauh mungkin dari hidupmu yang penuh bahaya ini agar dia tidak bernasib sama dengan mamamu?”
**To Be Continued**