“Apa-apaan ini? Springbed? Di tempat sesempit ini?”
Runa dan Felix sedang menikmati makan siang saat beberapa orang datang untuk mengantarkan sebuah kasur springbed berukuran king size yang membuat Felix jadi marah-marah.
“Kalian lihat kan jika tempat ini sempit sekali? Mana mungkin ada orang bodoh yang memesan springbed mewah yang sangat besar untuk diletakkan di dalam ruangan yang kecil?” Felix masih marah-marah, menolak untuk menerima springbed tersebut hingga membuat para pekerja yang tugasnya hanya mengantar springbed itu jadi ikut kesal.
“Ini alamatnya sudah benar dan springbed ini dikirimkan untuk orang bernama Luna,” jelas pekerja itu yang membuat Runa mengerutkan keningnya bingung sementara Felix langsung berkacak pinggang.
“Sudah kubilang kalian itu salah kenapa keras kepala sekali, uh? Siapa itu Luna? Tidak ada orang bernama Luna di sini!” ketus Felix.
“Kenapa ini springbed-nya belum dimasukkan? Ini menghalangi jalan.” Perhatian semua orang teralihkan oleh kehadiran Aiden di tempat itu. Pria itu menepuk-nepuk springbed mahal yang telah dibelinya itu sambil mengangguk-anggukkan kepala, membuat Felix melotot tak terima padanya.
“Kau benar-benar beli ini? Tanpa izin dariku?” tanya Felix.
“Kenapa juga aku harus minta izin darimu saat aku membelinya dengan uangku sendiri?” Aiden lalu mengalihkan perhatiannya pada para pekerja. “Cepat masukkan!”
“Oi, oi! Kau tidak bisa begitu hanya karena itu uangmu. Aku ini penanggung jawab keuanganmu, jika ada apa-apa dengan hartamu aku akan jadi orang yang lebih direpotkan darimu,” kata Felix yang kemudian melotot sambil menunjuk meja di dalam kamar saat orang-orang yang hendak meletakkan springbed itu nyaris menendangnya. “Awas makan siangku!”
Runa buru-buru mengangkat meja itu, kelihatan kebingungan mau meletakkannya di mana lagi karena sekarang sudah tidak ada ruang yang tersisa setelah springbed besar itu mengisi ruangan tersebut.
“Coba naik,” kata Aiden seraya mengambil alih meja dari tangan Runa dan meletakkannya sembarangan di depan kamar mandi. “Itu bisa dikembalikan jika kau tidak suka.”
Runa mengerjapkan kedua matanya bingung. “Memangnya ini dibelikan untukku?”
“Tadi aku merobek jaketku sampai tidak bisa dipakai lagi. Karena itu aku membelikanmu springbed agar nanti malam kau tidak kebingungan mencari alas untuk tidur.”
Penjelasan Aiden membuat kedua mata Runa membulat takjub sementara Felix melotot dengan sangat bengis padanya.
“Kau.. Kau membeli springbed semewah ini hanya untuk Runa, uh?” Felix bertanya dengan nada tak terima. Sebenarnya merasa iri juga karena kasur di rumahnya bahkan tidak semewah yang Aiden belikan untuk Runa. “Kau gila atau bagaimana sampai membelikan gadis yang bahkan tidak kau tahu namanya barang semahal ini, uh?”
“Tentu saja aku tahu namanya,” kata Aiden. Ia lalu menatap Runa dan dengan percaya diri berkata, “Namamu Luna, kan?”
Runa membuka mulutnya, namun tidak mengatakan apapun selain hanya menunjukkan ekspresi kecewanya pada Aiden sementara dengusan keras Felix membuat Aiden menoleh padanya.
“Luna itu siapa, uh? Wanitamu yang mana yang namanya Luna, hah?” Felix bertanya dengan nada mengejek dan itu membuat Aiden jadi bingung.
Aiden menatap Runa dan bertanya, “Namamu benar Luna, kan?”
“Tuan benar-benar tidak tahu namaku?” Runa balik bertanya dengan nada kecewa yang membuat Aiden jadi semakin bingung.
“Lu... Benar Luna, kok!” Aiden lalu menunjuk Felix, tidak ingin menjadi satu-satunya orang yang salah di sini. “Kau selalu memanggilnya Luna setiap hari. Namanya memang Luna, tuh!”
Felix hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau ini keterlaluan sekali. Bagaimana bisa menampung seorang gadis tanpa tahu namanya, uh?”
“Tapi kau selalu memanggilnya Luna, kan?” Aiden masih tidak sadar di mana kesalahannya.
“Tapi namaku bukan Luna!” Runa tidak lagi terdengar kecewa, ia bicara dengan nada ketus karena kesal Aiden tidak tahu namanya.
“Kalau bukan Luna lalu siapa?”
“Bukan siapa-siapa! Aku ini memang bukan siapa-siapa sampai Tuan tidak perlu mengetahui namaku seperti ini. Panggil saja aku ‘oi’ seperti biasanya. Namaku pasti tidak ada artinya untuk Tuan!”
Runa kelihatannya benar-benar kesal dan itu membuat Felix jadi merasa sangat terhibur melihat Aiden yang jadi gusar karena tidak tahu di mana kesalahannya.
“Dasar pria berhati dingin.” Dan lihatlah bagaimana Felix semakin menuang bensin di api yang sedang berkobar. “Ayo kita pergi makan siang di tempat lain saja. Biar dia yang memakai kasurnya dengan Lunanya itu.”
“Tapi Luna itu kau!” Aiden berkata pada Runa yang menghampiri Felix. “Kau Luna, kan? Itu namamu, kan?” tanya Aiden yang sayangnya sama sekali tidak dipedulikan oleh Runa dan Felix yang sudah berjalan meninggalkan tempat itu.
“Itu benar-benar Luna...” Aiden mengerutkan keningnya, berpikir keras mengingat bagaimana Felix memanggil nama Runa selama ini. “Namanya benar Luna, kan?”
***
“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Dia itu memang berengsek, jadi tidak usah terlalu dimasukkan ke hati.”
Felix mencoba menghibur Runa dengan membawanya naik ayunan di taman kecil yang berada tidak jauh dari gedung apartemen Aiden. Namun sepertinya Runa sudah terlanjur kesal karena meski Felix sudah mendorong ayunannya pun cemberut di wajah gadis itu tidak mau hilang.
“Itu karena dia keterlaluan sekali! Bagaimana bisa tidak tahu namaku padahal kami tinggal bersama?” gerutu Runa. “Pantas saja dia hanya memanggilku oi oi selama ini. Rupanya dia tidak tahu namaku.”
“Dia juga baru-baru ini tahu namaku. Selama bertahun-tahun dia pikir namaku itu Alex. Jauh sekali kan Felix dan Alex itu,” kata Felix yang membuat kedua mata Runa terbelalak tak percaya. “Lagipula apa bagusnya punya nama yang diingat oleh orang sepertinya? Itu hanya akan merepotkanmu saja jika dia tahu namamu dan terus memanggilmu untuk melakukan ini-itu.”
“Kenapa dia bisa begitu? Dia pelupa atau bagaimana?”
“Itu karena dia banyak ditinggalkan orang sejak kecil,” ujar Felix. “Teman-teman atau orang yang dipercayainya akan pergi dengan cepat dari sisinya hanya karena satu kesalahan yang mereka perbuat karena mendiang papanya itu kejam sekali. Karena itulah dia jadi tidak peduli dengan nama orang di sekitarnya karena menurutnya orang-orang itu pasti akan segera pergi darinya.”
Felix berhenti mendorong ayunan Runa lalu menempatkan kedua tangan di pinggangnya. Kemudian entah dengan perasaan bangga atau menyesal ia menambahkan, “Aku sudah bersamanya sejak SMA, jadi aku adalah seseorang yang paling lama berada di sisinya. Dan setelah bertahun-tahun melihatku masih hidup dan ada di sisinya dia baru mau mengingat namaku dengan baik. Itu rasanya momen yang sangat mengharukan saat dia pertama kali menyebut namaku dengan Felix.”
Runa menyimak ucapan Felix dengan wajah melamun. Dibandingkan tentang namanya yang tidak diketahui Aiden, sekarang gadis itu lebih memikirkan tentang bagaimana pria itu menjalani hidupnya dengan melihat orang-orang yang pergi meninggalkannya.
Dipaksa menerima kenyataan jika seseorang yang diharapkan untuk terus bertahan justru pergi itu benar-benar sesuatu yang sulit. Runa merasakannya sendiri bagaimana hidupnya yang memang tidak pernah bahagia berubah menjadi neraka sejak setelah ia menemukan mamanya berkubang di dalam darahnya sendiri di kamar mereka yang sempit setelah memotong nadinya untuk mengakhiri nyawanya.
Itulah mengapa hal pertama yang Runa lakukan ketika sampai di apartemen Aiden adalah memperkenalkan dirinya pada pria itu.
“Runa. Namaku Runa, bukan Luna. R-U-N-A. Tuan harus mengingat namaku dengan baik. Jangan sampai salah jadi Luna lagi karena namaku itu pakai r bukan l. Runa. R-U-N-A.”
Aiden menatap Runa dengan kerutan di keningnya sambil berpikir bisa-bisanya selama ini ia salah mendengar Felix saat memanggil Runa hingga berpikir jika nama gadis itu adalah Luna.
Namun kemudian kerutan di wajah Aiden memudar saat Runa mengatakan sesuatu yang terdengar seperti sebuah janji padanya.
“Tuan harus mengingat namaku karena kita akan bertemu setiap hari dan mungkin akan jadi seseorang yang paling sering Tuan sebut namanya. Aku tidak berencana untuk pergi dalam waktu dekat, jadi Tuan harus ingat namaku dan memanggilnya dengan benar. Runa. Tuan harus memanggilku Runa dengan benar mulai sekarang. Bukan Luna atau oi. Aku hanya akan menyahut jika Tuan memanggil namaku Runa dengan benar.”
**To Be Continued**