Runa yang baru selesai mandi itu mengurungkan niatnya untuk keluar dari kamar mandi saat melihat Aiden yang duduk di atas tempat tidurnya sedang mengisi pistolnya dengan peluru. Ia baru berani melangkahkan kakinya keluar setelah Aiden menyimpan pistol tersebut di sakunya.
“Apa Tuan mau pergi?”
Pertanyaan Runa membuat Aiden mendongakkan kepalanya. Di hadapannya, Runa berdiri dengan handuk yang tersampir di rambut basahnya. Gadis itu mengenakan setelan baju tidur lengan panjang bergambar kucing yang Felix belikan‒dengan uang milik Aiden tentu saja‒untuknya.
“Namaku Aiden,” kata Aiden yang membuat alis Runa terangkat karena bingung pria itu tiba-tiba memperkenalkan diri tanpa menjawab pertanyaannya lebih dahulu.
“Aku tahu. Aku mendengarnya dari orang-orang di rumah bordil,” kata Runa.
“Kalau begitu berhenti memanggilku Tuan. Panggil namaku saja.”
“Tapi kan tidak sopan.”
“Mafia itu salah satu pekerjaan paling kotor di dunia ini. Kau tidak perlu bersikap sopan pada mafia sepertiku,” kata Aiden yang membuat Runa menatapnya dengan tampang tidak setuju.
“Mafia atau bukan, Tuan ini lebih tua dariku. Tidak boleh dipanggil namanya sembarangan,” ujar Runa menyampaikan keberatannya. “Kalau panggilan tuan terasa terlalu kaku, bagaimana kalau paman saja?”
“Kau pikir aku ini setua apa sampai anak SMA sepertimu bisa memanggilku paman, eh?”
Ucapan Aiden yang terdengar tidak senang dengan idenya itu membuat Runa menggigit bibir bawahnya. Tidak ingin mengatakan apapun lagi karena khawatir kembali salah bicara.
“Aku akan pergi sekarang,” kata Aiden seraya bangkit dari duduknya yang gantian membuat Runa harus mendongakkan kepala untuk menatapnya yang tubuhnya menjulang tinggi di hadapan gadis bertubuh mungil itu.
“Tapi ada banyak luka di situ.” Runa bicara sambil menunjuk wajah Aiden yang selain dihiasi beberapa tato kecil juga dihiasi bekas perkelahian yang meninggalkan lebam dan luka. “Tidak mau diobati dulu?”
“Tidak perlu.”
“Pakai alkohol saja untuk membersihkan lukanya. Lebamnya akan cepat hilang jika diolesi salep.”
“Aku tidak punya yang seperti itu.”
“Tapi kau punya pistol dan pisau lipat.”
“Tidak ada hubungannya.”
“Harusnya punya obat luka jika menyimpan benda-benda yang berbahaya. Kalau kau terluka lalu bagaimana mengobatinya?”
Aiden mengerutkan keningnya. “Kenapa tiba-tiba kau jadi cerewet begini?”
“Aku tidak cerewet. Hanya sedang khawatir saja,” sahut Runa yang membuat kerutan di kening Aiden jadi semakin dalam. Felix juga sering mengkhawatirkannya, namun itu karena Felix khawatir sesuatu yang buruk juga akan menimpanya jika sampai terjadi sesuatu pada dirinya. Namun kekhawatiran Runa terlihat berbeda. Sepertinya gadis itu benar-benar khawatir padanya karena memang tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Karena seperti buku yang terbuka dan isinya yang terpampang bisa dibaca dengan mudah, Runa yang wajahnya mencerminkan kepolosannya itu juga bisa terlihat dengan mudah bagaimana perasaannya.
Dan melihat gadis itu mengkhawatirkannya dengan tulus entah mengapa membuat hati Aiden tiba-tiba terasa menghangat.
“Apa malam ini aku boleh meminjam jaketmu lagi?” tanya Runa.
“Tidak boleh,” tolak Aiden yang membuat kedua alis Runa saling bertautan dengan wajah memelas. Tapi kemudian pria itu menambahkan, “Tidurlah di kasurku. Aku tidak akan pulang malam ini.”
“Lalu pulang kapan?”
“Tidak tahu. Berhentilah bertanya-tanya. Kau ini cerewet sekali, uh!”
Runa menggigit bibir bawahnya, kembali menahan mulutnya agar tidak bicara dan membuat Aiden kesal lagi padanya. Tidak mengatakan apa-apa lagi sampai Aiden pergi meninggalkannya dengan membanting pintu hingga membuat tubuhnya berjengit kaget.
“Dia suka sekali membanting pintu,” gumam Runa.
Runa menjemur handuknya lalu naik ke atas tempat tidur. Ia mengubah posisinya beberapa kali sebelum berbaring telentang menatap langit-langit ruangan yang tidak begitu tinggi. “Padahal baru satu kali, tapi rasanya sekarang aku sudah terbiasa tidur dengan melihat punggung lebarnya. Ini aneh sekali karena aku harus tidur di sini sendirian sekarang.”
***
“Oi, oi! Cepat minggir! Aku tidak bisa mengangkat kasurnya jika kau terus tidur di sini.”
Runa yang sedang enak-enaknya tidur itu terpaksa membuka kedua matanya saat merasakan seseorang mengguncang tubuhnya dengan keras. Ia belum benar-benar berhasil membuka matanya saat merasakan seseorang menarik tangannya dan membuatnya beranjak dari tempat tidur.
Sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing karena bangun tiba-tiba, Runa melihat Felix yang mengenakan setelan jas dengan penampilan yang sama rapinya dengan kemarin itu sedang mengangkat kasur Aiden.
“Kenapa tidak ada? Dipindahkan ke mana?” Felix meninggalkan kasur dan membuka lemari, memeriksa isinya sebentar sebelum kembali ke hadapan Runa yang menatapnya dengan wajah mengantuk. “Kau tahu di mana Aiden menyimpan semua uangnya? Ia memindahkannya ke mana?”
“Bengkak di wajahmu itu masih belum sembuh, Tuan. Tapi kenapa kau sudah berpikir untuk mencuri lagi?” tanya Runa yang sudah bisa menebak tujuan Felix.
“Itu bukan mencuri! Itu berbeda!”
“Tuan Aiden akan marah dan memukulimu lagi jika kau mencuri uangnya. Memangnya itu tidak sakit?”
“Kau saja yang mencuri. Kelihatannya kau sudah jadi kesayangannya. Dia tidak akan tega memukulimu jika kau hanya mencuri satu atau dua koper uangnya.”
Runa menghela napas sambil geleng-geleng kepala. Heran karena ada orang yang tidak kenal kata jera seperti Felix.
“Tapi ini sudah pagi‒”
“Ini sudah siang, Tuan Putri.” Felix menyela ucapan Runa dengan nada mengejek karena gadis itu bangun pukul 10 siang‒sepertinya benar-benar tidur sangat nyenyak karena akhirnya menemukan tempat yang nyaman untuk beristirahat. “Tapi kenapa kau tidur tanpa mengunci pintu? Kau tidak takut jika ada orang yang masuk?”
“Memangnya ada yang berani masuk dan mencuri di rumahnya mafia selain dirimu?” Runa balik bertanya yang membuat Felix mendecakkan lidahnya.
“Itu bukan hanya tentang pencuri. Bagaimana jika ada penjahat yang masuk dan memperkosamu karena kau tidur tanpa mengunci pintu?”
“Tapi ini rumah mafia. Pasti tidak ada yang berani masuk sembarangan sepertimu,” sanggah Runa. Tapi kemudian gadis itu menyilangkan kedua tangannya di depan d**a dan menatap Felix dengan waspada saat bertanya, “Apa Tuan punya pikiran kotor seperti itu saat menyelinap masuk dan melihatku tidur tadi?”
“Memangnya aku kelihatan seputus asa itu sampai bisa berpikiran kotor pada anak kecil sepertimu, uh? Aku ini tidak sebejat Aiden yang mau saja membeli anak kecil sepertimu untuk melayaninya.”
“Tuan Aiden tidak begitu! Dia tidak membeliku dan justru membawaku keluar dari temoat berbahaya itu!” Runa membela Aiden, tidak terima pahlawan yang telah menyelamatkannya itu disebut sebagai pria b***t. “Tapi... Kapan dia pulang? Ini sudah hampir siang.”
“Ini memang sudah siang, Tuan Putri. Besok-besok cobalah bangun lebih pagi agar bisa sok bicara seperti itu,” ejek Felix yang membuat Runa memicingkan mata dengan tajam padanya. “Tidak usah menunggu Aiden. Jika dia sudah pergi, tidak akan ada yang tahu kapan dia pulang, Itu bisa 10 menit atau bahkan 10 bulan. Jadi tidak usah menunggunya. Dia akan pulang sendiri jika sudah waktunya pulang.”
“Memangnya dia bekerja apa selama itu?”
“Dia itu mafia, kau tahu kan.”
“Mafia itu bekerjanya bagaimana?”
“Bekerjanya berbahaya. Anak kecil yang baru bangun tidur sepertimu tidak perlu memikirkannya,” kata Felix yang kembali membuat Runa memicingkan mata padanya. “Tapi... Apa kau yakin tidak tahu di mana Aiden menyimpan uangnya? Jika dia perginya selama berbulan-bulan kau kan butuh uang untuk bertahan hidup. Ayo pakai saja uangnya. Dia tidak akan memukulmu jika nanti kau minta maaf sambil menangis.”
***
Satu hari berlalu.
Kemudian dua hari, dan saat hari ketiga datang Runa tidak bisa menutupi kekhawatirannya meski Felix selalu menyuruhnya untuk tenang.
Selama 3 hari sejak kepergian Aiden, Runa sama sekali tidak pernah mendengar kabar dari pria itu karena Felix pun tidak mendapat kabar apa-apa dari bosnya itu. Felix‒yang entah apa jabatannya dalam organisasi mafia milik Aiden hingga selalu mengenakan setelan jas rapi layaknya seorang eksekutif‒selalu datang setiap hari untuk membawakannya makanan, menemaninya, atau sekadar membuatnya kesal.
Namun kekhawatiran Runa terus menjadi semakin besar. Saat Aiden pergi beberapa jam pria itu pulang dengan wajahnya yang lebam dan luka-luka. Runa tidak bisa membayangkan akan sebanyak apa luka yang Aiden dapatkan jika pria itu tidak pulang sampai 3 hari seperti ini.
“Dia akan baik-baik saja. Dia itu sangat kuat, meski terluka pun tidak akan sampai mati dan pasti bisa sembuh sendiri. Kau tidak usah khawatir begitu. Ini, makan saja pangsitnya sebelum dingin.”
Kali ini pun, Felix menanggapinya dengan santai saat Runa kembali menanyakan tentang keadaan Aiden. Padahal ia benar-benar sangat khawatir, namun Felix yang hanya menanggapinya dengan sangat santai seolah kekhawatirannya itu memang tidak ada apa-apanya membuat Runa jadi merasa kesal.
“Bagaimana kau bisa yakin sekali jika dia tidak apa-apa? Bagaimana jika memang terjadi sesuatu?” tanya Runa saat Felix menyuapkan pangsit ke dalam mulutnya. Membuatnya harus menunggu sampai Felix benar-benar menelan makanannya sebelum menjawab pertanyaannya.
Namun Runa dibuat jadi sangat kesal hingga refleks memukul lengan Felix dengan keras saat pria itu bukannya menjawab pertanyaannya tapi malah kembali memasukkan pangsit ke dalam mulutnya.
“Iya, iya! Aduh, bagaimana tanganmu yang sangat kecil itu bisa sangat menyakitkan, uh?” Felix mengeluh sambil mengusap-usap lengannya. Sama sekali tidak melebih-lebihkan reaksinya karena pukulan Runa memang semenyakitkan itu. “Sudah, jangan khawatir! Dia mungkin sedang liburan di Amerika atau di mana sekarang.”
“Liburan ke luar negeri?” tanya Runa yang dijawab dengan anggukan oleh Felix. “Tapi dia sama sekali tidak bawa tas.”
“Dia cukup bawa ponsel dan salah satu kartunya saja untuk bisa liburan mewah ke belahan dunia mana pun yang diinginkannya,” kata Felix. “Dia itu sangat kaya, jadi tidak akan kekurangan apapun. Jadi berhentilah mengkhawatirkannya dan khawatirkan saja dirimu. Ini, aduh... Pantas saja tubuhmu kecil begini. Bagaimana kau bisa mengisi perutmu dengan makanan sesedikit itu? Memangnya kau ini anak burung, uh? Bahkan rasanya anak burung makan lebih banyak darimu!”
Meski Felix terus mengatakan jika semuanya pasti baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, namun Runa tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus merasa khawatir.
Malam ini, ketika ia naik ke atas tempat tidur Aiden kepalanya dipenuhi oleh kekhawatirannya pada pria itu. Dipenuhi oleh berbagai skenario buruk yang mungkin menimpa Aiden hingga membuat rasa khawatirnya semakin menggunung.
Jadi Runa mengaitkan kesepuluh jarinya dan sambil memejamkan kedua matanya, dengan penuh ketulusan ia mulai mendoakan Aiden.
“Tuhan, kumohon bawalah Tuan Aiden pulang ke tempat ini dengan selamat. Aku janji akan memperlakukannya dengan lebih baik jika dia pulang nanti.”
***
Dan sepertinya karena doanya benar-benar tulus, tuhan langsung mengabulkan doanya malam itu juga.
Runa tidak tahu jam berapa ini atau sudah berapa lama ia tidur saat sebuah pelukan erat yang mendekap tubuhnya dari belakang mengusik tidurnya hingga membuatnya terbangun.
“Tuan?” Runa bertanya dengan suara berbisik. Ia terkejut, namun lebih banyak merasa gugup karena terlalu senang sebab ia sangat mengenali aroma rokok bercampur alkohol yang menguar dari tubuh orang yang sedang memeluknya ini.
“Tuan Aiden, kau sudah pulang?”
“Jangan ajak aku bicara.” Itu suara Aiden. Pria itu bicara dengan suara pelan yang terdengar serak. “Aku sangat mengantuk. Aku ingin tidur,” bisiknya sementara ia baru saja membuat Runa yang sejak dirinya pergi terus mengkhawatirkannya itu tidak lagi bisa memejamkan matanya karena terlalu senang dengan kepulangannya.
**To Be Continued**