Wanita yang Ingin Dimengerti : Part 2

1600 Kata
"Heraaaaan deh sama anak Om Fadlan satu itu. Otaknya encer banget! Masa soal bahasa inggris, matematika sama ipanya waktu MID Test kemarin gak ada satu pun yang salah, Buk! Rain aja mau jungkir balik sampai nungging buat belajar, tetep aja remed!" keluhnya pada Caca yang menahan senyum semenjak tadi. Anak bungsunya ini memang cerewet sekali. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sosok gadis yang sudah mendelik kesal di sebelahnya. Sedari tadi ia menonton televisi dan tak bisa berkonsentrasi menyimak karena mulut Rain yang tak henti-hentinya mengoceh. Ia kadang heran dengan mulut adiknya ini. Apa gak capek? "Terus nih, Buk. Waktu dia tanding debat pertama kali yang antarsekolah, lawan-lawannya disikat habis! Pada bungkam semua!" ceritanya lagi. Fasha sudah geregetan ingin menggetuk kepala bocah itu atau menempelinya dengan lakban agar bisa diam. "Farrrel emang suka baca. Buku apa saja dibaca. Suka nonton berita. Dia mana suka barbie-barbie-an gini kayak yang ditonton kakak kamu nih," ceramah Caca sambil menunjuk film barbie yang ditonton Fasha. Bocah kelas tiga SMP itu memang suka sekali menonton barbie. Sadar disindir ibunya, Fasha hanya mendengus. Toh walaupun ia main, ia tetap ingat belajar. Hanya ingat saja tapi tidak belajar. Hihihi. "Nah itu Buk masalahnya. Rain baca buku pelajaran sepuluh menit aja udah nguap!" keluhnya rada frustasi karena tidak suka membaca ditambah otak yang pas-pasan. Modalnya cuma modal cantik sama modal ngoceh non stop. Ia memang tak cocok jadi orang pintar sepertinya. "Giliran baca n****+ aja betah ya berjam-jam," sindir Caca sambil melipat baju-baju yang sudah mengering. Rain hanya nyengir disindir ibunya seperti itu. Ia sudah terbiasa. Ibunya memang bermulut pedas dan tajam. Suka marah-marah. Kalau memanggilnya, suaranya sampai lima oktaf. Bisa melengking sampai lima rumah di kanan dan kirinya. Kalau ditambah dengan menggunakan toa, mungkin suara ibunya bisa melesat hingga gerbang komplek yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari sini. Hihihi. "Kan beda bukunya, Buk!" ngelesnya yang dibalas desisan oleh Caca. Bocah ini memang pandai mengeles sama seperti suaminya. Ia gak heran kenapa Rain bisa begitu karena yah.....lihat saja suaminya. Memang tak hanya tampang yang mirip suaminya, tapi kelakuan Rain itu 100% meng-copy dan paste dari Fadli. "Kalau emang suka baca buku ya buku apa aja gak bakal bikin ngantuk. Kamu aja yang males baca buku selain n****+-n****+ gitu. Padahal isinya lebih bermanfaat dari n****+. Kalau suka baca, sebenarnya semua buku itu sama aja. Buku-buku pelajaran itu juga bercerita. Sama seperti n****+ yang juga bercerita. Kalau prinsip kerjanya sama, ketika membaca buku pun sama. Jadi seharusnya kamu bisa baca buku pelajaran juga. Tapi kalau gak ada kemauan ya salah juga!" Rain menepuk dahinya. Seharusnya ia diam saja atau kalau tidak, akan jadi begini. Ibunya ini kalau sudah menyahut jawabannya akan berbuntut panjang dan tak selesai-selesai. Sementara Fasha makin senewen. Ia mendelik ke arah Rain dan menatapnya dengan tajam. Tapi Rain malah membalasnya dengan cengiran. Fasha kan sedang serius menonton dan tak suka diganggu dengan suara-suara berisik apapun. Tapi Rain malah memancing induk bebek bernyanyi. "Contohnya aja si Farrel. Buku bahasa inggris, dia lahap semua. Buku-buku hadis, tafsir, fiqih juga. Al-Quran sudah tandas dua puluh juz. Tinggal hapalan sepuluh juz lagi. Tapi tetap masih bisa bagi waktu buat main bola atau basket. Sempat les musik juga walau cuma buat belajar gitar. Masa kamu yang kerjaannya cuma sekolah kalah sama dia? Kalau dihitung dari waktu, kamu punya lebih banyak loh, Rain," lanjut ibunya sambil menepuk-nepuk baju yang tersusun rapi. Lalu matanya beralih pada Fasha yang masih menonton televisi walau hati sudah menyumpah-nyumpah Rain. "Kamu juga, Sha! Kerjaannya nontoon aja. Bentar lagi UN loh! Jangan main mulu sama Adit. Biar suka main, Adit itu rajin loh belajarnya. Nilai MID kamu kemaren aja kalah jauh kan sama dia kan?" Matanya naik-turun menatap Fasha. Gadis itu hanya menghela nafas saja. Sepertinya ia harus menonton ulang barbie ini lagi di kamarnya atau menumpang di rumah Adit. Lain kalo, ia seharusnya menutup mulut Rain dengan lakban. Adiknya itu selalu saja memancing kebawelan ibunya. "Ibu lihat nilai Adit gak ada tuh yang dua sama tiga. Diatas enam semua meski pas-pasan. Padahal main sama-sama. Kemaren juga kalian belajar sama-sama. Seenggaknya gak beda jauh nilainya. Tapi ini?" Caca menggeleng dramatis. Rain sudah menutup mulutnya, berupaya menahan tawanya akan meledak sebentar lagi. Ini nih yang tidak Fasha sukai. Karena ujung-ujungnya pasti ia yang kena juga! Asem memang, pikirnya. Lihat saja, saat ibunya beranjak dan wanita itu menaruh baju-baju itu ke kamar, akan ia jambak rambut Rain! Lihat aja! "Ibuk gak mau loh anak ibu pada males belajarnya mentang-mentang sekolahnya pada gampang. Ayah bisa biayain kalo perlu sampe ke luar negeri. Seharusnya kalian tuh bersyukur!" lanjutnya lagi lalu mengambil satu tingkat baju dan menjejak langkah ke lantai atas. Rain mulai waspada. "Ibu dulu mau sekolah aja susah! Boro-boro ke luar negeri! Ke luar kota aja susah! Masuk perguruan tinggi apalagi! Biayanya gak sedikit. Tapi ibu usaha!" cercanya kini suaranya berdengung-dengung di dalam kamar. Mulai deh bawa-bawa dulu! keluh Fasha dalam hati. Rain yang hendak kabur langsung terjengkang kembali ke sofa saat Fasha berhasil menarik rambutnya dengan kencang dan tanpa ampun. Bocah itu meringis-ringis sambil mengaduh-aduh. Sementara suara mobil Fadli baru tiba malam itu. "Nah kan! Giliran dikasih tahu malah berantem!" cerca wanita itu sambil berkacak pinggang di depan kamarnya. Ia menggelengkan kepala lalu berjalan menuruni tangga. Kalau wanita itu sudah mengoceh dijamin satu rumah kena semua! "Ibu sama Tante Cara gak pernah berantem loh. Kita akur karena tahu hidup cuma berdua. Kalo bukan Kak Cara yang bantu Ibu, siapa lagi? Harusnya kalian itu akur bukan jambak-jambakan begini!" lanjutnya sambil menuruni tangga. Matanya menatap dua bocah yang ngos-ngosan dengan wajah memerah dan rambut acak-acakan. Sementara Fadli berseru saat memasuki rumah. Lelaki itu menyapa ceria istrinya yang berdiri di ujung tangga. Ia tak tahu kalau istrinya sedang mengomel sedari tadi. Ia juga tak sadar kalau baru saja memancing Caca untuk memperpanjang omelannya. "Nih! Yang satu ini juga nih! Sepatu bukannya dilepas di depan sana, tapi malah dipakek-pakek sampe ke dalem! Gimana mau nyontohin anaknya kalo ayahnya aja begini!" omelnya yang kali ini tertuju pada Fadli yang baru merentangkan tangannya ingin memeluk. Tangannya dikibas begitu saja oleh Caca. Wanita itu memilih duduk disofa lalu mengangkut satu tingkat baju lagi. Ogah menanggapi Fadli. Fasha dan Rajn kompak nyengir. Geli melihat wajah masam ayahnya dan pelukan yang diabaikan ibunya mentah-mentah. Sudah tak heran kalau ayah mereka sering dianiaya seperti itu oleh ibu mereka. Justru ayah yang tertindas ini lah yang membuat keduanya merasa lucu. "Ya ampun hon. Baru juga nyampe udah diomel-omeli  juga," tutur lelaki itu sambil melangkah malas menyusul langkah istrinya yang sudah berjalan menuju ke kamar. "Abisnya kebiasaan banget pakek sepatu sampe dalem rumah! Padahal apa susahnya sih? Tinggal bawa sepatunya ke dapur terus taruh diraknya. Atau kalau males ya tinggalin aja di teras sana. Emangnya aku gak capek apa bersihin rumah seharian ini?" kesalnya sambil menyusun rapi baju-baju itu. Fadli memasang wajah masam lalu merebahkan tubuh di atas tempat tidur, masih dengan memakai sepatu. Ia merasa kalau sepatunya tak kotor. Toh, yang diinjaknya kan gedung san tak ada tanahnya. Tapi Caca mana perduli. Yang namanya sepatu atau sandal jika sudah dibawa keluar dari rumah maka pasti akan kotor. Logikanya kan begitu. Saat Caca selesai menaruh baju-baju ke dalam lemari, ia menhhela nafas panjang sambil berkacak pinggang saat melihat kelakuan Fadli di atas tempat tidur. Tak perlu menunggu lama untuk membuat mulut Caca meledak. "FAAAAAAAAAAAAAA!" @@@ Akib memerhatikan Agha yang sedari tadi memilih buku. Bocah itu sudah menenteng empat buku ditangannya, tak tanggung-tanggung. Sementara Aidan sibuk mengekori kemana langkah Agha. "Bii!" Suara lembut itu menyapa. Ia menoleh dan mendapati istrinya berkeringat dengan nafas ngos-ngosan. Ditangannya, Ali cengengesan. Bocah hiperaktif itu baru saja berulah di sudut buku sana hingga membuat para penjaga kerepotan menyusun buku-buku yang jatuh. Akib menelengkan kepalanya lalu mengambil bocah itu. Lalu mengeluarkan sapu tangan disakunya. Kemudian mengelap butir-butir keringat yang menempel di sekitar dahi hingga membasahi kerudung istrinya. Wanita itu tersenyum. "Abiii! Agha mau buku yang di sana juga ya, Bi!" Teriakan itu membuatnya menoleh dan menurunkan tangannya. Lalu menatap Agha yang sudah berjarak dua meter darinya. Bocah itu mengerubungi buku-buku politik. Sambil menggendong Ali yang celingak celinguk ke sana kemari, ia berjalan mendekati Agha diikuti langkah Airin yang berjalan pelan di belakangnya. "Aak, kalo beli buku ya beli buku untuk seumuran A'ak aja. Nanti beli buku yang kayak gini. A'ak kan baca bukunya belum lancar-lancar banget," tuturnya pelan. Ia mencoba menarik hati Agha yang kini mulai bimbang. Untuk seumuran bocah enam tahun baca buku politik? Memang bukan hal baru. Tapi menurut Akib, ada baiknya ia membaca buku yang berbahasa mudah sehingga gampang untuk dipahami. Lagi pula, Agha memang masih terlalu kecil untuk memahami dunia politik yang pelik. "Gitu ya, Bi ya?" Akib mengangguk lalu menggiring bocah itu ke tempat buku anak-anak. Sementara Ali sudah merengek minta diturunkan. Ia ingin bebas. Tapi Akib tak mau melepasnya. Cukup buku-buku tadi saja yang dihamburnya. Balita satu ini memang nakal dan jahil sekali. "Ai, mending kamu duduk. Dari tadi ngilir mudik gak capek apa?" tanyanya sambil menoleh pada Airin yang hanya tersenyum tipis. Bagaimana bisa ia lelah melihat interaksi Akib dengan anak-anak mereka? Ia tak kan lelah. Karena pengobat lelahnya ada di depan mata. Ini yang namanya bahagia. Ia selalu bersyukur karena lelaki ini mau mendampinginya. Ihiy! Wanita itu berjalan mendekatinya lalu mengambil tangan kanannya. Menggemgamnya dengan erat. Kalau sudah begini, Akib tahu. Wanita itu tak ingin jauh darinya. Ia balas tersenyum lalu matanya mengikuti langkah kecil Agha. Kini buku-bukunya sudah tiga kali lipat ditangan. Seorang petugas datang, memberinya tas plastik agar mudah dibawa. Ia menuturkan terima kasih pada petugas itu. Hal yang membuat Akib tersenyum. Kebahagiaan itu tak perlu dicari. Karena kebahagiaan itu datang sendirinya. Iya kan?  "Kalo capek bilang ya, Ai?" tuturnya lalu menoleh pada Airin yang hanya tersenyum. Kalau bukan di tempat umum, mungkin sudah dipeluknya lelaki ini. Uhuy! @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN