Wanita yang Ingin Dimengerti : Part 1

2366 Kata
Bukan cuma Farras dan Ferril yang heran,  sepupu-sepupu mereka yang lain juga sama. Heran akan kecerdasan tokcer milik sulung si Fadlan yang satu itu. Baru duduk di kelas satu SMP hampir setengah tahun, ia sudah diikutkan berbagai macam perlombaan mulai dari tingkat lokal, nasional bahkan internasional. Minggu lalu, bocah yang satu itu sudah memboyong medali emas di Singapura atas prestasinya dibidang sains dan matematika. Belum lagi debat bahasa inggris dan berhasil menjadi salah satu peserta jambore Nasional. Lalu hari ini puncaknya. Bocah itu menggondol juara satu tingkat provinsi untuk lomba tilawatil Quran tingkat anak-anak. Farras dan Ferril sampai bungkam dibuatnya. Karena prestasi yang melejit itu. Orangtuanya dan Oma-Opanya dibuat bangga. Om-Tante dan Tiara apalagi. Nah yang jadi masalah adalah para sepupunya. Mereka mulai bertanya-tanya apa rahasia bocah yang satu itu bisa gila prestasi? Bocah itu punya saudara kembar. Tapi kedua-duanya jauuuuuuuh sekali darinya. Berarti bukan masalah gen. Lalu apa? Itu yang menggelayut dalam benak Farras, Ferril, Ardan, Dina, Fasha, Rain, Ando, Anne dan Agha. Apa rahasianya? Farrel itu pekerjaannya tak jauh-jauh dari bangun pagi terus belajar lalu berangkat sekolah. Pulang sekolah ya makan, baca buku sebentar terus nonton. Abis itu ya ke masjid. Belajar ngaji dengan rutin pada Marshall. Pulangnya main. Malamnya belajar lagi. Setelah itu tidur. Hanya seperti itu. Ardan pernah mengamati kelakuan Farrel yang setiap hari itu tak berubah. Ia bahkan mencatat jamnya dengan lengkap. Lalu setelah diperhatikannya, Farrel selalu tertib dan disiplin menggunakan waktu. Ia selalu melakukan kegiatan yang sama di jam yang sama dan akan berakhir di jam yang sama disetiap harinya. Akhirnya membuat Ardan mengikuti gaya lelaki itu. Bangun di pagi hari terus belajar. Tapi Ardan bosan. Ia malah tidur. Bangun-bangunnya lagi malah kesiangan ke sekolah. Jam bangun pagi dan belajar ala Farrel itu dicoretnya besar-besar. Ia tak kuat menahan kantuk. Lalu setelah pulang sekolah, ia langsung pulang. Kepulangannya itu bikin heboh Mbok Darmi dan Mang Rajab. Pasalnya baru sekali itu bocah kelas tiga SMP itu pulang langsung ke rumah. Biasanya kelayapan dan setiap sore, beberapa menit sebelum Mama dan Papanya tiba ia sudah kabur ke kamar mandi. Tapi ia bingung habis makan siang harus baca buku apa. Hingga ia berjalan ke ruang kerja Papanya lalu mengambil buku di sana. Buku yang sama sekali tak ia mengerti. Membuatnya molor di sofa di depan televisi. Mbok Darmi yang melihat itu, memeriksa kening Ardan. Takut bocah itu demam makanya bertindak abnormal seperti itu. Seperti bukan Ardan. Tapi tidak apa-apa. Kenapa ia seperti itu ya? Wanita paruh baya itu bertanya-tanya. Ia bangun jam tiga sorenya. Lalu segera mengabur ke kamar mandi. Pergi mandi lalu bersegera menjejak langkah ke masjid. Orang-orang heran menatapnya. Mulai dari Mbok Darmi dan Mang Rajab sampai Marshall. Lelaki itu yang paling shock akan kehadiran Ardan ditengah-tengah pengajian. Tapi ia menghargai bocah itu. Mungkin sudah tobat, pikirnya. Ia ikut mengaji tapi kesusahan mengikuti setiap irama yang diajarkan Marshall. Berkali-kali Marshall menyuruhnya mengulang hingga bagiannya untuk mengaji saja menghabiskan waktu hampir satu jam. Alhasil ia menyerah. Ia tak bisa mengaji seperti itu. Esoknya ia tak pernah datang lagi dan Marshall membenarkan kalau bocah itu kerasukan. Sepulangnya dari masjid, ia bertemu Mama dan Papanya di halaman rumah. Dua orang itu sampai mengucek-ucek matanya melihat Ardan memakai baju koko dan kopiah. Apalagi Dina. Gadis itu sampai terjengkang dari sofa karena terlalu shock. Ardan kayaknya lagi kerasukan setan bukan malaikat, dumelnya dalam hati. Malamnya, Ardan mencoba belajar dengan khusyuk di kamar. Tingkahnya yang tak biasa itu membuat Aisha dan Wira malah cemas. Sejak kapan Ardan mau belajar? Tapi melihat kesungguhannya, keduanya memilih diam. Walau mata sering melirik-lirik ke atas untuk melihat kemunculan bocah itu. Tapi tak kunjung keluar. Aisha dan Wira senang bukan main. Mungkin anaknya sudah berubah. Kini malah Dina yang tersisa di sofa ruang keluarga malam itu. Bocah itu diomeli oleh Aisha habis-habisan karena bukannya belajar, gadis itu malah asyik menonton televisi. Tepat jam sembilan malam, Aisha beranjak ke dapur hendak membuat jus untuk Ardan yang malam ini tumben mau belajar. Wanita itu menghancur habis buah strawberry lalu menuangnya ke dalam gelas. Wira yang tahu gelagat istrinya, ingin mengikuti. Ia juga ingin melihat bocah tengil itu belajar. Jadi keduanya berjalan pelan menuju kamar bocah lelaki yang satu itu. Saat membuka pintunya, keduanya terpaku. Pasalnya karena kepala Ardan sudah jatuh diatas buku. Lalu saat dilihat dari dekat tahu apa yang terjadi? Diatas lembaran buku itu telah terbentuk pulau-pulau kecil yang bernama iler. Bocah itu tidur dan hal itu membuat dua orang dewasa itu terkekeh-lekeh. Ardan..... Ardan..... "Tabah aja ya, Wir. Punya anak kayak gini," nyinyir Aisha sambil menyelimutkan bocah itu usai digendong Wira ke tempat tidur. Lelaki itu hanya tersenyum geli. Semoga saja anaknya ini berubah menjadi yang lebih baik. Memang yang namanya proses itu tak ada yang mudah dilewati. Pasti ada saja hambatannya. Pun setan-setan yang senantiasa bekerja keras menggoda mereka agar tak berubah. Agar lebih terpuruk saja. Ibaratnya hidup yang mengalir seperti air. Air itu selalu mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Kalau dibayangkan sebagai hidup seseorang. Maka bukannya semakin baik tapi malah sebaliknya. Semakin hari semakin menurun imannya. Semakin hari semakin menurun akhlaknya. Semakin hari semakin menurun ilmunya. Mau? @@@ Akib mengernyitkan dahinya melihat dua anaknya, Agha dan Aidan, yang sedang membaca buku dengan fokus sampai mengabaikan seruan salamnya. Lelaki itu baru saja tiba di rumah. "Salam Abi kok gak dijawab?" tanyanya sambil berjalan mendekati bocah enam tahun dan dua tahun itu. Keduanya kompak menoleh. Lalu malah terkekeh geli. "Salam Abi jawab dulu!" titahnya pada dua bocah itu. "Waalaikumsalam Abi!" jawabnya kompak lalu berebut menyalami Abinya. Airin yang baru muncul sambil menggendong Ali turut menyalami lelaki itu. Ali, balita satu tahun itu, langsung mengulurkan tangan padanya. Minta digendong. Akib langsung mengambil alih balita itu sementara Airin mengambil alih tasnya. Lelaki itu menciumi Ali berkali-kali. Lalu berjalan ke lantai atas diikuti Airin. Wanita itu hanya tersenyum melihat betapa sayangnya Akib pada ketiga anak mereka. "Tadi ke rumah sakit jam berapa, Ai?" tanyanya saat tiba di kamar. Lelaki itu memerhatikan perut buncit Airin yang menuju lima bulan. Padahal Ali baru 1,5 tahun. Tapi yang namanya rejeki, Akib selalu bilang, tidak boleh ditolak. Lelaki itu memang berniat memperbanyak anak. Selain karena merasa kesepian menjadi sosok tunggal, sampai kelahiran yang ketiga kemarin pun, anaknya masih laki-laki. Belum ada yang perempuan. Ia ingin setidaknya ada satu yang perempuan seperti ibunya. Seperti Airin. "Jam satuan," tuturnya lalu mengambil gambar hasil USG yang kemudian ia serahkan pada Akib. Laki-laki itu mengernyitkan kening tak mengerti sambil menatap gambar itu. "Alhamdulillah tadi kelihatan, Bi. Cewek sama cowok," tuturnya yang disambut sujud syukur oleh Akib. Lelaki itu sampai meneteskan air matanya. Lalu menatap Airin dengan dalam. "Ai, kamu jangan sering-sering jahilin Ardan sama Dina. Aku gak mau anak aku yang ini kayak mereka," tuturnya yang disambut gelak tawa Airin. "Terus pengunduran diri kamu udah selesai?" Wanita itu mengangguk. "Kak Fadlan juga sebenarnya gak ngasih izin buat aku kerja lagi setelah hamil Ali kemarin. Khawatir anak-anak terbengkalai katanya. Mama kan masih di Bandung. Kalau mesti nitipin ke rumah Mami lumayan jauh muternya waktu masih kerja kemarin." Akib mengangguk-angguk. Ia tak terlalu mempermasalahkan pekerjaan Airin karena itu cita-citanya. Tapi kalau sudah punya anak tiga begini ditambah dua lagi, mana mungkin bisa bekerja lagi. Waktu untuk anak-anaknya pasti berkurang. Ia juga sibuk di kantor lalu siapa lagi yang akan mengurus mereka kalau bukan istrinya? Ali sudah berbaring di atas tempat tidur menatap dua orang dewasa di depannya itu. Bocah itu sebenarnya hiperaktif. Tapi akan diam kalau sudah melihat kemunculan Abinya. "Harusnya tadi aku batalin aja meeting-nya ya. Biar bisa nemenin kamu," tuturnya sambil melepas jasnya lalu menyerahkannya pada Airin. Kemudian lelaki itu kembali bercengkrama dengan Ali. Menggelitiki balita itu sampai gelak tawanya menguasai kamar. "Gak apa-apa, Bi. Ntar investornya pada lari lagi," tutur Airin sambil meletakan jas itu di ranjang khusus baju kotor. "Oh ya, Bi. Tadi Agha bilang mau beli sepeda yang gede. Kayak sepeda lamanya Farrel. Terus nanti malem, Agha ngajakin ke toko buku. Katanya mau beli buku yang banyak." Kening Akib mengerut mendengarnya. Ia menoleh pada Airin yang sudah duduk di pinggir ranjang. "Buat apa?" "Ya buat dibacalah, Bi. Masa iya buku buat dimakan," ucapnya senewen yang dibalas kekehan geli oleh Akib. Mata lelaki itu mengikuti gerak badan Airin yang berjalan menuju pintu kamar. "Tumbenan mau beli buku. Biasanya bawa buku Farrel kan?" "Katanya gak seru kalau minjam terus sama Farrel. Dia maunya punya buku sendiri," tutur wanita itu sambil membuka pintu kamar lalu menoleh pada Akib yang masih memerhatikannya. "Terus dia mau ikut nyantri di pesantren. Katanya gak usah jauh-jauh. Yang di Cilegon aja sampai kelas lima. Sama kayak Farrel dan Ferril yang mau dimasukin ke sana tahun depan sama Kak Fadlan." Akib mengangguk. Jika untuk kebaikan, ia rela melepas anaknya jauh darinya. "Nanti naik kelas enamnya diusahain pindah lagi ke sekolah yang sekarang. Tapi.....nanti Abi yang ngurusin yah?" tutupnya lalu terkekeh kecil. Akib hanya mengangguk pasrah. Agha memang menempel sekali pada Farrel. Jadi tak heran, bocah yang satu itu semangat sekali untuk belajar sesuatu. Layaknya pengikut, ia mengintili Farrel kemana pun. Lelaki itu mengaji di masjid, ia ikut. Lelaki itu les musik, ia ikut. Lelaki itu main bola, ia ikut. Bahkan cara belajar Farrel, ia copy paste. Saat ditanya cita-cita, ia sampai bilang mau jadi seperti Farrel. Menurut Akib, tak apa. Bocah itu masih dalam tahap belajar untuk mengenali diri. Nanti kalau sudah diarahkan dengan baik, ia pasti tahu akan kemana tujuan hidupnya di dunia tapi tetap tak mengenyampingkan urusan akhirat. Dunia dan akhirat itu harus seimbang. Airin menuruni tangga. Ia bingung ketika melihat rumah keluarga itu kosong. Padahal sebelumnya masih ada Agha dan Aidan disana. "Aaaak! Aaa'aak Agha!" teriaknya lalu matanya berseliweran menuju dua bocah dengan hanya mengenakan handuk saja, mucul dari depan kamar Agha. Rambut dua bocah itu basah. "Di sini, Mi! Aak Agha sama Aidan mau mandi buat ke masjid. Nanti ketemu Bang Farrel disana!" teriak si sulung yang dibalas senyum tipis milik Airin. "Ya udah. Cepat pakai bajunya," titahnya lalu berjalan ke dapur. @@@ Mobil Feri baru memasuki halaman sekitar jam setengah enam sore itu. Lelaki itu baru saja pulang dari Sukabumi untuk melihat pabrik baru disana. Kedatangannya disambut kesepian. Sara tak terlihat batang hidungnya. Padahal pintu rumah terbuka lebar. Ando dan Anne juga tak ada saat ia berjalan ke ruang keluarga sampai ke dapur. Rumah itu kosong. Entah di mana orang-orang itu. Kalau Tiara jangan ditanya. Gadis itu pasti main sama teman-temannya. "Loh, Bang?" Sara baru nongol dari pintu depan dengan belanjaan. Wanita itu habis berbelanja di supermarket tak jauh dari rumah. Ia langsung menghampiri Feri yang terduduk sendirian di sofa. Kemudian menyalamiya lalu beranjak ke dapur, meletakan belanjaannya. "Baru sampe?" tanyanya saat kembali ke ruang tamu. Feri hanya mengangguk. Agak jengkel sebenarnya karena tak ada yang menyambut kepulangannya. "Ando sama Anne mana?" Sara menghela nafasnya. Lalu duduk mendesah di sampingnya. Sebelah alis Feri terangkat, menunggu jawaban. "Ando ngambek. Mau nginep di rumah Fadlan tapi gak aku kasih." "Kenapa?" Sara menarik nafasnya lalu menyandar punggung di sofa. "Dia mau nginep di sana seminggu. Ya mana aku kasih lah!" serunya menggebu-gebu. Nada suaranya naik drastis. "Emangnya mau ngapain nginep di sana segala?" "Katanya mau belajar. Biar bisa pinter kayak Farrel." Feri terkekeh geli mendengar jawaban itu sementara Sara sudah manyun. Sebenarnya Feri tahu alasan kenapa Sara tak menginjinkan. Tentu saja persoalannya karena ia baru sampai di rumah sore hari. Yang tersisa di rumah hanya Ando dan Anne. Tiara pasti kelayapan. Tak kan mau berdiam di rumah. Kalau Ando pergi, Anne juga pasti ingin pergi. Bocah delapan tahun itu memang menempel pada Ando. Kalau semuanya pergi, Sara sama siapa di rumah? "Ando di mana sekarang?" Tanya lelaki itu sembari beranjak. Sara hanya menunjuk kamar Ando dengan dagunya. "Ann juga disana," tuturnya yang hanya diangguki Feri. Lelaki itu berjalan menaiki tangga menuju kamar Ando yang berada di tengah antara kamar Tiara dan Anne. Ia menarik daun pintu lalu membukanya. Dilihatnya Ando sedang bermain game melawan Anne. "Udah mandi, Bang?" tanyanya yang hanya dilirik sekilas oleh Ando. Bocah sepuluh tahun itu masih marah. Sementara Anne langsung menghampiri daddy-nya lalu menyalami lelaki itu ditambah ciuman dipipi. Kemudian ikut duduk di samping Feri yang mengambil duduk di ranjang Ando sambil melihat bocah itu duduk di depan televisi kecil. Televisi kecil yang sudah di-setting agar tersambung dengan PS-nya. "Bang!" panggilnya agak keras. Tapi Ando memilih abai sementara Anne memilih kabur. Ia memang takut kalau gelagat daddy-nya sudah seram seperti ini. Ia sudah sering menjadi saksi mata Tiara yang dimarahi Feri karena selalu pergi pagi dan pulang malam. Akhirnya ia menarik kabel televisi itu dari arusnya. Matanya mengecam menatap Ando yang berdecak kesal karena permainannya dihentikan. Bocah ini memang keras dan berani melawan. "Mandi sekarang! Sebentar lagi magrib!" titahnya sambil berkacak pinggang. Ando menatap kesal ke arahnya. Sedikit membanting stick PS lalu beranjak ke kamar mandi. Tak lupa, mata mengintimidasi khasnya yang kalau tak suka dikecam Feri seperti itu. Feri menarik nafas dalam saat bocah itu masuk ke kamar mandi. Menghadapi Ando sama saja dengan menghadapi Tiara. Harus keras kalau tidak ya....... tidak didengar. "Daddy tunggu di mushola!" teriaknya lalu keluar dari kamar anak itu. Matanya langsung menemukan sosok Sara yang menatap khawatir saat melihat kemunculannya. Ia hanya menarik nafas lalu berjalan ke kamar. Kenapa Tiara dan Ando sangat sulit diatur? "Kamu udah telpon Tiara untuk pulang sebelum magrib?" tanyanya dengan nada dingin. Sara bergidik ngeri tapi ia mengangguk. Padahal ia belum mengingatkan gadis yang satu itu. Bisa habis Tiara pulang ini kalau sampai magrib tiba, ia tak kunjung pulang. "Abang mandi dulu aja," tuturnya lalu mendorong lelaki itu masuk ke dalam kamar mereka sementara ia mengabur ke dapur. Mengeluarkan ponselnya lalu menelepon Tiara. "Cepat pulang, Ya! Harus sampai sebelum magrib! Nanti daddy marah!" bisiknya pelan pada ponsel yang disambut keterkejutan oleh Tiara. Gadis itu sedang hunting foto di Kota Tua untuk proyek pemotretan desain bajunya. Demi tugas sekaligus mulai bergelut bisnis. Sejak kecil, ia memang gemar sekali menggambar baju. "Tiara masih di Kota Tua, Mom. Haduuuh kok gak bilang dari tadi sih Mom. Alamat sampai abis isya nih! Yaaah masa nanti mobil Tiara digembok lagi sama daddy?!" Ia malah menggerutu. Konsentrasinya memotret buyar sudah. Dua sahabatnya menatap prihatin. Sementara Sara berdecak gelisah. Wanita itu mengintip kamarnya. Berdoa semoga Feri masih lama mandinya. "Langsung pulang sekarang. Nanti Mommy bantu cari alasan," tuturnya yang dibalas dengusan oleh Tiara. Ia menutup telepon itu lalu bersikap sewajarnya takut Feri curiga. Ia memang kerap kali mem-back up kesalahan Tiara. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN