"Jam berapa ini?" Tttur Feri dengan nada dingin.
Lelaki itu sudah berdiri menyandari pintu ketika mobil Tiara baru masuk ke dalam rumah. Gadis yang baru saja mematikan mesin mobilnya meringis mendengar suara tajam daddy-nya. Habis lah ia!
Ia baru tancap gas dari Kota Tua setelah magrib tadi. Karena nanggung waktunya. Kalau tak magrib di sana, mungkin ia tak kan sempat solat magrib. Lalu mengantar dua sahabatnya yang memang berlawanan arah ditambah harus memutar ke rumahnya. Jadi lah hampir jam delapan malam ia baru sampai karena ditambah macet juga dijalan.
Sara yang baru saja berjalan mendekat langsung diacungkan Feri dengan telapak tangan kanannya untuk tak mendekat. Lelaki itu sudah tahu, istrinya pasti akan membantu Tiara lolos dari kicauannya.
Gadis berkerudung dengan pipi gembil itu keluar dari mobilnya. Otaknya sedang bekerja keras mencari rayuan maut untuk meluluhkan hati daddy-nya yang dingin ini.
"Daddy..... tadi sebenarnya Tiara udah mau pulang. Taaaaaapiii sssstttt jangan dipotong dulu daddy!" koarnya yang seperti biasa, ia akan membekap mulut daddy-nya. Sementara Sara sudah terpingkal-pingkal di belakang sana bersama Anne. Sudah tak heran dengan kelakuan anak sulungnya tapi entah kenapa, selalu lucu seperti ini. Selalu sukses menghibur mereka.
"Berhubung udah mau magrib dan Aya yakin kalau tancap gas sebelum magrib, pasti gak bakal dapet magrib. Teruuuuuusss nanti Allah marah sama Aya. Kalo Aya gak selamet gara-gara Aya gak magrib-an, daddy mau nanggung? Ayooooooo!" serunya sambil menahan geli melihat wajah masam milik daddy-nya.
Anak yang satu ini kan emang pandai sekali merayu. Cowok-cowok diluar sana saja klepek-klepek dibuatnya. Apalagi daddy-nya ini.....
Sementara sara menggelengkan kepalanya. Seharusnya ia tak perlu khawatir berlebihan. Tapi karena ia sudah pernah melihat Feri yang luar biasa marah, ia agak gelisah juga. Takut Tiara tak lolos dari hukuman lelaki itu.
"Makanya daddy, Aya solat dulu terus pulang. Teruuuuus kan Aya nganterin dua temen Aya yang udah mau nemenin hunting foto. Rumahnya kan jauh, dad! Mesti muter dulu makanya, Aya baru sampe rumah jam segini," alasannya yang membuat Feri gondok setengah mati.
"Tapi kan bisa pulangnya habis ashar. Jadi pas magrib di rumah. Gak kelayapan mulu sampai malem!" cerca lelaki itu saat Tiara beranjak memasuki dapur untuk menyimpan sepatunya.
Gadis itu kembali menghampiri daddy-nya. "Aya bukannya kelayapan loh, dad. Cuma jalan-jalan aja. Lagiaaan nih, bukan tanpa tujuan loh. Hunting foto itu perlu untuk kelangsungan pemotretan desain baju Aya. Kan gak lucu kalo bajunya apa, latarnya apa."
Ia malah menyerocos panjang lebar. Lalu berjalan menaiki tangga, masih sambil menyerocos.
"Jadiiii daddy kan gak tahu nih bidangnya Aya. Mending diem deh. Duduk di samping mommy kan enak liatnya. Adem kalem gitu. Dari pada ngomel-ngomel gak jelas. Bikin dosa tahu dad!"
Malah ia yang menasehati Feri. Lelaki itu hanya menghela nafasnya. Sementara Sara dan Anne kembali terkikik di depan televisi. Musuh terbesar Feri itu ya Tiara. Anak itu memang jago merayu dan jago mengeles!
"Sini dulu kamu. Daddy ngomong belum selesai!" titah lelaki itu yang kemudian dibantah telak oleh Tiara. Gadis itu berhenti berjalan menaiki tangga lalu menoleh dramatis pada daddy-nya.
"Aya belom isya loh, dad! Daddy sendiri yang bilang kalo solat itu harus didahulukan!" tukasnya yang sukses membuat Feri mendengus keras. Ia sudah siap-siap lari sebelum Feri meledak. "Jaaaaadddiiii kalau daddy mau marah-marah kapan-kapan aja ya dad!" teriaknya sambil berlari menaiki tangga menuju kamarnya lalu terkekeh-kekeh riang. Sara menghanpiri lelaki itu. Mengelus-elus punggungnya sambil menahan tawa geli.
"Yang sabar ya, Bang," tuturnya lalu menghilang ke dapur.
@@@
Akib menggeleng kepalanya. Ia menggendong Ali dengan kuat sambil berjalan menuju parkiran basement. Balita yang satu itu suka sekali menghancurkan barang dan saat makan di resto tadi, ia memecahkan piringnya. Hal yang membuat Akib harus minta maaf berulang kali pada manajer resto itu. Kini balita itu mengamuk ingin turun dan menangis kencang. Di belakang sana Airin berjalan ditemani dua jagoannya yang memegang tangan kanan dan kirinya.
Akib membuka pintu sembari menunggu Airin sampai di dekatnya. Menyuruh wanita itu duduk dan menunggu dua anaknya masuk ke dalam mobil. Lalu ia menyuruh Agha untuk memegang Ali dengan kuat di sepanjang perjalanan. Ia khawatir, perut Airin akan terganggu karena amukan balita itu jadi ia tak mau menyerahkan Ali pada wanita itu.
"Aak, pegang yang bener adeknya," tutur wanita itu sambil menoleh ke belakang. Bahkan seperempat tubuhnya sudah menyerong ke kanan. Memantau Ali yang bertingkah di pangkuan Agha. Untung saja bocah sulung itu bisa diandalkan.
Akib hanya melirik sekilas. Fokusnya sepenuhnya pada perjalanan menuju rumah. Agar segera sampai dan bisa meniduri Ali dengan cepat. Balita yang satu itu memang hanya bisa dengan mudah ditangani olehnya.
"Aak gendong adeknya dulu. Abi masukin mobil dulu!" titahnya pada Agha begitu tiba di rumah. Sementara ia memantau istrinya yang keluar dari mobil. Agha mengangguk paham. Ia meninggalkan buku-bukunya di jok. Biar Abinya yang membawa masuk. Tangannya gesit menggendong Ali yang gendut. Balita itu meraung-raung. Membuat Airin tak tega hingga menengadahkan tangan untuk mengambilnya dari Agha. Bocah itu nampak berat hati menyerahkan Ali pada Umminya tapi tak urung ia lepas juga balita itu.
Dalam gendongan Airin, dalam belaian Airin, dalam kecupan Airin. Baru balita itu tenang dan kini malah menatap manja padanya. Membuat wanita itu terkekeh. Lalu mengambil duduk di sofa. Sementara Agha sudah melesat ke garasi. Hendak membantu Abinya membawa buku. Sedangkan Aidan masih tertinggal di mobil. Bocah itu sudah molor ditengah perjalanan.
"Anak Ummi kenapa nakal banget sih?" tanyanya lembut pada balita yang kini menatapnya dengan berlinang. "Liat nih perut Ummi. Kan ada dedeknya Ali nanti," lanjut wanita itu sambil mengelus perut dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya merengkuh pinggang Ali yang duduk di pangkuannya.
Balita itu menatapnya lalu beralih pada tangan lembut wanita itu. Ia ikut mengulurkan tangannya di sana. Ikut mengelus perut Umminya. Meskipun nakal, Airin tahu kalau balita ini pasti menyayangi saudara-saudaranya.
"Disayang ya nak, ya?" tanyanya lembut.
Membuat Ali kembali menatapnya lalu terkekeh kecil. Kemudian kembali melihat perut Umminya yang membuncit.
Akib muncul tergesa-gesa takut Ali membuat lelah Airin. Tapi ternyata tidak. Balita itu malah terkekeh kecil sambil mengelus perut istrinya, membuat Akib bisa menghela nafas dengan lega. Lalu lelaki itu membawa buku-buku milik Agha dan Aidan ke kamar mereka.
"Sikat gigi, cuci muka, cuci kaki, ambil wudhu terus tidur," titah Akib pada Agha lalu meninggalkan kamar itu.
Bocah itu mengangguk. Ia masih ngos-ngosan karena menggendong Aidan dari garasi ke kamar Aidan. Sementara Akib sudah berlalu pergi. Tapi baru sampai di tangga paling atas, suara Agha memanggilnya. Bocah itu menongolkan kepalanya.
"Kenapa, Aak?"
"Abi katanya Bang Farrel, ngambil wudhu sebelum tidur itu membuat kita suci. Sehingga kalau saat kita tidur ternyata kita meninggal dalam tidur itu berarti meninggalnya insya Allah dalam keadaan suci. Itu bener gak, Bi?" tanyanya yang membuat Akib terkekeh.
"Iya. Makanya Abi suka nyuruh wudhu. Karena kita tak tahu kapan maut itu menjemput."
Agha mengangguk-angguk ria. "Makasih Abi!" serunya lalu menutup pintu.
Akib menampilkan senyum khasnya. Agha memang dekat sekali dengan Farrel. Mungkin karena mereka satu karakter. Tapi yang kini mengkhawatirkannya adalah Ali. Balita yang satu itu nakal sekali.
"Anak Abi gak nakal kan?" tanya lelaki itu saat tiba di tangga terbawah.
Tangannya langsung menyongsong Ali dari pangkuan Airin. Balita itu terkekeh ria saat berada digendongannya. Airin turut bangkit dan berjalan bersama lelaki itu saat menaiki tangga menuju kamar.
Setibanya di kamar Ali, Akib langsung mencuci wajah dan kaki balita itu lalu melatihnya berwudhu sementara Airin menyiapkan baju tidur untuk Ali. Setelahnya, ia membuka habis baju Ali. Balita itu sempat-sempatnya melompat-lompat sebelum akhirnya diam dan patuh saat Akib menyuruhnya mengangkat tangan. Kemudian lelaki itu membaca doa tidur dan terakhir mengecup kening balita itu. Ditungguinya Ali sampai tertidur sementara Airin sudah melesat ke kamar mereka. Melakukan hal yang sama seperti Agha lakukan. Lalu mengambil duduk diranjang. Rasanya lelah sekali tapi ia juga bahagia. Meskipun repot karena usia anak-anaknya tak berbeda jauh. Namun kini ia mengerti kenapa kakak iparnya, Icha, tak mengeluh sedikit pun saat mengurus tiga bayi sekaligus. Bahkan menikmatinya. Karena apa saja yang dilakukan dengan hati itu akan terasa menyenangkan. Ikhlasnya dapat. Berkahnya dapat. Pahalanya dapat.
"Udah mau tidur, Ai?"
Lelaki datang dibalik pintu. Airin membuka matanya lagi. Lalu tersenyum tipis.
"Aku capek," tutur wanita itu.
"Biar sekalian capeknya, lembur sama aku yuk!" goda lelaki itu yang langsung menerima bantal guling dari Airin.
Akib......Akib.......
@@@
"Bang! Bang Ando!" seru Sara seraya mengetuk pintu kamar anak laki-laki satu-satunya itu. "Bang turun. Abang kan belum makan malam. Gimana mau belajar kalau gak makan?" serunya lagi tapi tak ada jawaban.
Ia mendesah lelah. Bocah ini memang sebelas dua belas dengan Tiara kalau sudah marah. Tak kan mau keluar kamar. Tak perduli pada kondisi tubuh. Maunya dituruti segala keinginannya.
Feri yang menangkap kekalutan suara itu, langsung berjalan naik.
"Jangan keras-keras sama dia. Dilembutin biar luluh. Jangan dikerasin!" tutur Sara memperingati.
Ia tahu benar tipikal Ando yang keras pendirian itu. Tapi Feri mana mau mendengarkan. Lelaki itu lebih keras dari Ando. Jadi saat Sara akan menariknya, ia sudah mendobrak pintu itu lalu berkacak pinggang melihat anak lelakinya membaca buki diatas tempat tidur.
"Makan dulu baru belajar lagi!" titahnya dengan suara yang besar.
Tapi mana mempan untuk Ando. Lelaki itu mengabaikan daddy-nya hingga Feri menarik buku itu dari tangannya. Mata Feri seperti ditatap tajam oleh matanya sendiri saat Ando menyalang mulai membantahnya.
"Bang, makan sama mommy yuk. Temani mommy !" tutur Sara sambil mendekap bocah itu.
Menutup matanya agar tak menyulut emosi Feri. Tapi Ando tetaplah Ando. Ia malah mendorong Sara hingga wanita itu terjengkang dari tempat tidur. Puncak kepalanya sukses membentur ujung nakas yang membuat Feri naik darah seketika. Sementara Ando malah membanting pintu kamar mandi. Tak tahu kalau ulahnya tadi sanggup membuat darah membanjiri lantai. Menyebabkan Sara tak sadarkan diri.
@@@
Fadlan yang baru saja menyelesaikan operasi dan hendak pulang langsung menghentikan langkahnya saat melihat sosok Feri berlari sambil menggendong Sara. Ia tergagap lalu langsung meneriaki siapa saja untuk membantu abangnya. Di belakang lelaki itu ada Anne dan Tiara yang tak kalah paniknya. Gadis itu menyusul mobil daddy-nya. Tak perduli pada titah Feri untuk tetap di rumah. Ia lebih mengkhawatirkan mommy-nya.
Fadlan langsung melempar tasnya pada salah satu perawat untuk mengembalikannya ke ruangan. Lelaki itu turut berlari bersama perawat-perawat yang membawa Sara ke UGD. Tiara sudah menderai tangis. Didampingi Anne yang tak kalah menyeruahnya. Feri hanya diam dalam duduknya. Pikirannya bercabang-cabang. Ia memikirkan Sara. Mengkhawatirkan wanita itu. Tapi ia juga mengkhawatirkan Ando meski anak itu salah. Seharusnya ia mendengar ucapan Sara tadi agar tak menyulut keras pada Ando. Karena bocah itu masih labil. Masih kuat egonya. Jangan lawan dengan k*******n pula. Tak ada guna yang didapat. Tapi bijaklah dengan kelembutan. Insya Allah ia akan menurut secara perlahan. Kini ia merasakan sesalnya.
Seharusnya Sara tak apa-apa. Hanya terbentur ujung nakas kan? Tapi masalahnya, ujung itu sangat tajam. Kalau tidak, mana mungkin begitu banyak darah mengucur di kepala istrinya tadi? Sampai membasahi wajah Sara dan telapak tangan serta bajunya bagian depan. Ia bahkan sudah tak perduli pada bau anyir ditubuhnya. Tak perduli. Karena kekhawatirannya tertuju pada Sara dan Ando. Bagaimana anak lelaki itu di rumah? Takutkah ia ditinggal sendiri?
Ia mengambil ponselnya. Lalu menelepon Mami. Berharap wanita paruh baya itu belum tidur. Tapi sayang, ia keliru. Orang tuanya sudah tidur. Ia mendesah. Rumah yang paling dekat dengannya itu rumah orang tuanya. Rumah Fadli lumayan jauh darinya. Apalagi rumah Fadlan, Aisha dan Airin. Ia mendesah. Matanya melirik Tiara yang kalut. Anak gadisnya yang bawel dan pandai mengeles itu kini menangis. Ia tak mungkin menyuruh Tiara pulang dan menjaga Ando. Pasti tak kan bisa menyetir dengan baik karena pikirannya pun sama kalutnya.
Fadlan keluar dari UGD. Bukan ia yang memeriksa Sara. Ia memang paling anti memeriksa keluarganya sendiri. Ia tak bisa berkonsentrasi.
"Ando mana?"
Ia malah bertanya kehadiran Ando karena Anne dan Tiara hadir disini. Hal yang membuat Feri mendesah. Ia mengkhawatirkan anak lelakinya.
"Sopir lo masih kerja jam segini?" tanyanya yang membuat Fadlan mengerti.
Lelaki itu melihat jam tangannya dan sedikit tak yakin. Tapi tak urung mengeluarkan ponsel lalu menelepon istrinya.
"Assalamualaikum, kak. Udah di mana?" wanita itu bertanya.
Padahal ia baru saja mendialnya. Kentara sekali khawatirnya tapi cukup membuat Fadlan tersenyum senang. "Waalaikumsalam. Yang, Mang Dedi masih di rumah gak?"
"Udah pulang, kak. Kenapa emangnya? Mobil kakak kenapa-napa? Atau ada masalah dijalan?"
"Enggak. Aku mau nyuruh dia buat jemput Ando. Ya sudah lah kalau begitu," tuturnya lalu mengucap salam sebelum Icha bertanya untuk apa menjemput Ando.
"Kak, gue aja yang jemput Ando," tuturnya lalu menepuk bahu Feri.
Feri mengangguk penuh terima kasih. Ia tenang sekarang.
@@@