Sesungguhnya Ando ketakutan sekarang. Bocah itu baru tahu apa yang terjadi saat melihat daddy-nya membopong mommy-nya menuruni tangga. Ia melihat dengan jelas darah-darah yang berceceran di lantai itu. Membuatnya menggigil dan ketakutan setengah mati. Bagaimana mommy-nya? Apa karena ulahnya tadi?
Sungguh ia ketakutan sampai tak tahu harus berbuat apa. Hanya air mata yang kian menderas menjadi jawaban. Coba kalian bayangkan bagaimana ketakutan itu menyulutnya ketika apa yang tak sengaja dilakukan malah hampir mencelakakan nyawa ibu sendiri. Bagaimana takutnya?
Tak usah kan kita yang mencelakai, orang lain yang mencelakai saja sudah membuat jantung ini rasanya seperti tak berdetak lagi. Pasokan oksigen seolah bersembunyi enggan dihirup. Apalagi kalau kita sendiri yang lakukan? Hanya berpatut pada ego anak sepuluh tahun seperti Ando. Betapa ia ketakutan!
Bocah itu menangis sesenggukan lalu berteriak-teriak. Memanggil Tiara. Memanggil Anne. Memanggil siapa saja. Tapi tak ada jawaban.
Nekat, ia keluar. Meninggalkan rumah begitu saja. Ia ingin melihat mommy-nya sungguh. Ia igin melihat wanita itu. Wanita yang melahirkannya antara hidup dan mati. Tapi berkali-kali melukainya. Berkali-kali menyakiti hatinya. Berkali-kali membentaknya. Berkali-kali Allah....berkali-kali. Tapi adakah sekali saja ia membalas perlakuan kasar kita? Atau luka yang kita buat? Bentakan kita?
Tak sekalipun.
Tak akan ada ibu yang tega melukai anaknya. Tak ada. Tapi terkadang yang menjadi anak ini sungguh tak tahu diri.
Apa perlu tunggu maut menjemput baru menyesal?
Jangan!
Jangan sekali pun.
Maka dari itu, sikapi ia dengan lembut. Sekali pun banyak kekhilafan yang diperbuatnya. Ia tetaplah manusia biasa. Bukan malaikat yang tak pernah salah. Terima kekurangannya. Tapi sesungguhnya ia sudah memberikan yang terbaik untuk kita.
Kini Ando tahu apa rasanya menyesal. Pelajaran berharga seumur hidup yabg akan mengubah dirinya sendiri untuk menjadi lebih baik. Apa gunanya hidup tanpa ridhonya? Karena tanpa ridhonya, ridho Allah tak kan digapai.
Kini ia tahu bagaimana rasanya sendiri dalam gelap. Tak ada yang menemaninya. Tak ada yang menenanginya. Tak ada.......
@@@
Fadlan menyusuri setiap ruang di dalam kamar itu. Tapi tak ada sosok bocah laki-laki berwajah arab tulen itu. Tak ada. Ia bahkan berteriak-teriak. Tapi kosong. Hanya hampa dan sunyi yang menemaninya. Ia mulai gelisah. Ia tak mau menghubungi kakaknya. Takut lelaki tu bertambah kalut karena Ando menghilang. Belum lagi masalah Sara selesai.
Ia keluarkan ponselnya. Keningnya mengernyit melihat nomor istrinya berulang kali menelepon. Pasti mengkhawatirkannya. Tapi ia abaikan. Ia harus menelepon Fadli, Akib dan Wira. Tiga laki-laki itu harus membantunya. Ia tak mungkin mencarinya sendirian.
@@@
Fadlan benar-benar membuat masalah. Disatu sisi ia sibuk mencari Ando. Berbagi tugas dengan tiga adik-adiknya. Sementara yang di rumah sana?
Kalut dibuatnya!
Berulang kali wanita itu menelepon. Tapi tak diangkat atau sedang sibuk. Ia kesal tapi juga khawatir. Namun tak bisa berbuat apa-apa.
Farrel yang paling peka akan kondisi Bundanya saat mengangkut s**u untuk diminum sebelum tidur, langsung menghampiri Bundanya yang gelisah. Sesekali menatap ponsel lalu mendengus. Begitu bermenit-menit ia amati.
"Kenapa, Bun?"
Wanita itu menoleh. Matanya sudah berkaca-kaca. Marah, cemas dan kalut sekali. Farrel yang melihat ekspresi itu langsung menandaskan susunya lalu menghampiri Bundanya. Tapi wanita itu hanya diam lalu tangisnya tumpah. Farrel malah pusing dibuatnya. Sungguh walaupun ia peka akan perasaan Bundanya tapi ia paling ogah berurusan dengan Bundanya yang merengek begini. Namun mau tak mau dipeluknya. Berharap sedikit kekalutan itu dapat ia rasakan.
@@@
"Ardaaaaaaaan!"
Bocah itu berteriak sambil mengguncang-guncang selimut Ardan. Ia menarik selimut itu hingga tergeletak tak berdaya di lantai. Tangannya berkacak pinggang tapi Ardan tak kunjung bangun. Bocah bebal itu malah menungging. Lalu menebar bau busuk yang diam-diam menusuk hidung Dina. Gadis kecil itu langsung menendang b****g Ardan ketika ia sudah naik ke tempat tidur. Membuat Ardan menggelepar kesakitan.
"Lo kualat ngentutin gue!" Seru gadis kecil itu sementara Ardan mengaduh-aduh sambil mengelus bokongnya.
Sebenarnya ia sudah bangun. Dina tak perlu masuk ke dalam kamarnya. Karena teriakan Dina dari bawah tangga sana saja sudah sampai ke telinganya. Ia hanya ingin mengisengi gadis itu saja. Soal kentut itu ya bonus.
"Disuruh Mama mandi! Buruaaaaan!" Teriaknya lalu menghempas pintu kamar Ardan.
Bocah itu mendengus lalu melirik jam weker di nakas. Masih jam setengah enam.
Lanjut tidur lagiiii............
Tapi tak sampai semenit ternyata Dina sudah kembali ke kamarnya. Kali ini tidak dengan tangan kosong. Ditangan kanannya terdapat gayung lalu dalam hitungan ketiga ia ayunkan gayung itu hingga airnya meruah ke wajah Ardan. Ia terkekeh puas.
"Bangun lo! Mandi buruan! Mood Mama lagi gak bagus!" Kecamnya lalu pergi sambil tertawa riang. Tapi ia tak main-main dengan ucapannya.
@@@
Farrel nampak menguap-nguap. Ia terpaksa menemani Bundanya yang tertidur di sofa semalam. Alhasil badannya pegal-pegal karena tidur dalam keadaan membungkuk. Bundanya sudah menghilang saat ia bangun jam setengah lima tadi. Ia cek ke kamar Bundanya dan wanita itu sedang mandi. Namun Papanya tak kunjung pulang. Tak apa, pikirnya. Yang penting Bunda masih di rumah. Jadi ia santai saja di kamar mandi. Lalu solat subuh. Mengaji sebentar lalu siap operasi tempat tidur. Membangunkan dua kembarannya kalau-kalau belum bangun.
Saat tiba di kamar Farras, telinganya langsung pengang. Gadis itu berteriak kalau ia sudah bangun dari dalam kamar mandi sana. Ia hanya menghela nafas lalu berjalan menuju kamar sebelah Farras. Kamar Ferril yang serba merah.
Ia buka pintu kamar itu, lalu tampaklah Ferril yang sedang susah payah menahan handuknya agar tak jatuh. Lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi.
"Kira-kira dong, bang kalau buka pintu!" Tegurnya yang membuat Farrel menggaruk tengkuk serba salah. Lalu ia menutup pintunya.
Baru saja berbalik, Bundanya sudah keluar kamar dengan rapi. Wanita itu tergesa-gesa menuruni tangga. Ia mengernyit heran. Bundanya tak mungkin ke kampus sepagi ini. Ia langsung menyusul tapi wanita itu terlalu gesit. Ia sudah menghilang dengan mobilnya. Farrel menggelengkan kepala dramatis. Mungkin menyusul Papanya yang tak pulang semalaman.
@@@
Ardan baru saja keluar dari kamar. Seperti biasa, baju seragam tak pernah rapi. Dasi hanya digantung dikerah leher. Menenteng tas sandang dengan tangan kanan dan berjalan sok cool menuruni tangga. Langkahnya terhenti ditengah tangga saat mendengar suara sumbang Mamanya.
"Bagus! Pergi gak pamit! Pulang pagi!" Cibir wanita itu dengan pedas sambil sedikit membanting-banting sendok yang sedang dipegangnya. Ia sedang menyiapkan sarapan kala itu.
Wira yang pulang dengan wajah kusut--enggan menanggapi. Tak mau menyulut amarah. Ia lelah karena semalaman tak tidur. Ia baru tiba di rumah dan baru akan tidur kala Fadlan menelepon.
"Sekalian aja gak pulang!"
Tak puas, wanita itu berteriak dan kali ini piring dibantingnya hingga pecah. Ardan langsung merinding. Saudara kembarnya benar. Mood mamanya sedang tak bagus. Jadi jangan sekali-kali berbuat kesalahan.
"Coba aja giliran aku yang pergi! Marah-marah dia! Giliran dia?"
Aisha berdecih. Mengomel sendiri. Ardan sudah kabur ke kamar Dina. Tak mau menghadapi Mamanya sendirian.
Aisha menghempas gelas. Di lantai itu sudah pecah piring-piringnya. Sudah berhamburan garpunya. Kesal akan sikap Wira yang pergi tak memberitahunya. Ditelpon tak diangkat.
Bagus! Bagus! Serunya dalam hati.
Lebih baik ia pergi sekarang ke rumah sakit sebelum rumahnya hancur sepagi ini.
@@@
"Bener kan kata gue?" Tanya Dina.
Bocah itu sedang menyisir rambutnya. Biasanya kalau suasananya sedang darurat begini, mereka akan bersatu untuk menghadapi dunia bersama.
Ardan mengangguk-angguk. Ia mengiyakan.
"Tadi aja, waktu gue ke dapur terus mau balik lagi ke kamar, Mama ngeliatin gue tajeeeeeem banget. Mirip kunti. Tahu kan lo?" Kompornya padahal bohong. Tapi bodohnya Ardan--ia percaya saja.
"Gue ampe mau teriak tapi gue sadaaar," lanjutnya dengan ekspresi dibuat-buat. Sangat menghayati peran dalam khayalan otaknya. Lalu Ardan menyimak dengan sepenuh hati. Ia geregetan sendiri menunggu kelanjutan cerita Dina. "Ternyata itu beneran kuntiiiiiii!" Serunya lalu bergidik ketakutan yang membuat Ardan langsung menarik rambutnya.
Ia terkekeh kecil saat sosok Ardan menghilang dari kamarnya dengan wajah kesal.
"Satu kosong!" Nyinyirnya di depan cermin. "Siapa suruh ngentutin gue!" Keluhnya kali ini ia mencebik. Lalu meludah-ludah tanpa air ludahnya keluar. Jijik sendiri saat Ardan berhasil mengentutinya tadi.
Sementara itu, langkah Ardan terhenti lagi. Papanya memasang wajah masam ketika melihat kondisi ruang makan yang didominasi barang pecah belah. Benar-benar pecah belah. Lelaki itu mendesah hendak mengamuk tapi saat melihat tangan Ardan menyodor ke arahnya ingin berpamitan, ia menghela nafas. Menahan amarahnya sendiri. Tapi ia mengernyit saat Ardan masih menyodorkan tangan padahal sudah ia salami.
"Apalagi?" Tanyanya sedikit kesal.
Bocah itu nyengir. "Duit bensin, Pa." Tuturnya padahal jelas-jelas ia memakai sepeda.
Namun malas mengomel panjang lebar, Wira mengeluarkan uangnya lalu memberinya pada Ardan. Bocah itu kegirangan saat tiba di teras rumah. Pasalnya uang yang diberi Papanya itu selembar meraaah. Meraaaah broooo meraaaah!
Ia mengipas-ipas wajah dengan uang itu. Sambil bersiul-siul ia berjalan menuju sepedanya.
Bisa ngecengin cewek-cewek dia hari ini. Itu pun kalo gak diperas Fasha.
@@@
Airin heran ketika melihat tempat disebelahnya kosong. Tangannya meraba-raba tapi tak ada sosok tegap dan kokoh itu di sampingnya. Ia menguap lalu membuka mata. Akib benar-benar tak ada.
Kemana? Tanyanya dalam hati.
Air di kamar mandi tak berbunyi. Ia beranjak turun. Ini masih jam empat pagi. Biasanya Akib mandi. Tapi ini tak ada.
Ia mencuci mukanya lalu mengambil wudhu. Setelahnya berjalan keluar menyusuri tangga sampai ke dapur. Tapi Akib tak ada dimana pun. Lelaki itu menghilang tanpa jejak.
Ia keluar dari rumah dan matanya membulat saat tak ada mobil Akib disana. Benaknya bertanya-tanya. Ia langsung mengambil ponselnya lalu menelepon lelaki itu. Tapi....kasusnya sama dengan kakak iparnya.
Tak diangkat!
Berulang kali ia coba, tapi tak diangkat juga. Hingga suara operatorlah yang menjawab panggilannya.
Ponsel lelaki itu mati!
Ia mendesah. Mulai khawatir. Tapi tak mau menampakan kekhawatirannya. Namun semakin ditahan, semakin ia kalut. Ia mengambil duduk di sofa. Memasang wajah frustasi yang benar-benar frustasi.
@@@
"FASHAAA, RAIIN! CEPAT SARAPAAAN!" Teriak wanita itu dengan suara nyaris kejepit.
Rain langsung mengelus-ngelus dadanya. Kaget akan suara teriakan milik ibunya. Ia langsung mempercepat sisiran rambutnya. Sementara Fasha sudah berlari menuruni tangga. Firasatnya tak enak.
"Cepat sarapan!" Titah wanita itu tak seramah biasanya.
Fasha hanya mengangguk lalu mengambil duduk. Tak mau berbicara sedikit pun atau ia akan disemprot oleh ibunya. Kalau perasaanya sudah tak enak begini pasti terjadi sesuatu.
"RAAAA--"
"Disini, Buk! Rain disini!" Potong gadis itu sambil berlari menuruni tangga.
Ia mengacung tangan sambil tergesa-gesa berlari. Fasha menahan tawanya. Ibunya sedang tak bisa diajak kompromi.
"Cepat makan terus berangkat sendiri. Numpang Adit aja!" Ketus wanita itu lalu berjalan ke dapur.
Rain langsung melirik Fasha yang dibalas kendikan bahu. Tak tahu apa yang terjadi dengan ibunya hingga badmood sepagi ini.
"Pergi gak pamit! Awas aja kalo pulang! Kalo aku bisa nyetir juga aku pergi kayak dia! Biar tahu rasa gimana rasanya ditinggal gak bilang-bilang!"
Wanita itu mengomel-ngomel di dapur sambil mengulek sambel rujak. Kalau sedang marah, ia memang senang sekali membuat sambel. Bukan untuk dimakan. Hanya untuk diulek saja. Sebagai upaya pelampiasan. Karena Fadli tak disini jadi ia tak bisa menghajar lelaki itu.
@@@
Bocah lelaki itu basah keringat. Tubuhnya menggigil. Tapi tiap ingat mommy-nya, ia berjalan penuh semangat. Semalaman ditempuhnya perjalanan dari rumah menuju rumah sakit. Menggunakan mobil, tidak sampai satu jam akan sampai disana. Tapi ia jalan kaki tanpa takut sama sekali. Justru yang ia takutkan adalah waktu. Ia takut terlambat. Takut kalau ternyataa.....
Ia menggeleng kuat!
Berulang kali berteriak pada hatinya. Mommy-nya tak kan apa-apa! Mommy-nya pasti baik-baik saja. Ia yakin! Tapi keyakinan itu selalu menyurutkan keraguan dibenaknya. Membuatnya berlari dan terus berlari. Memutari jalan. Ia kalut dan dalam kalutnya, ia tak dapat berpikir. Berkali-kali ia tersesat. Berkali-kali ia berlari ketakutan saat sosok pria-pria dewasa memanggil-manggilnya. Laki-laki bertubuh preman. Mereka mengira ia gelandangan. Tapi Allah selalu menolongnya. Karena apa?
Karena doa ayahnya. Doa Feri yang memohon perlindungan untuknya. Membuat ia bisa menjejak diri di depan rumah sakit pagi ini. Lalu berlari menerobos tiap ruangan. Hingga matanya memincing melihat sosok daddy-nya yang nampak sedang berusaha menelepon seseorang di depan sebuah kamar rawat. Ia percepat langkahnya. Terdiam sebentar di depan lelaki itu. Tapi saat tangan kekar dan besar itu merengkuhnya. Membawanya dalam pelukan. Ia menangis tersedu-sedu sambil berulang kali meminta maaf. Feri mengecup bocah laki-laki itu. Memeluknya dengan erat. Pikirannya kalut sekali saat Fadlan tak kunjung kembali. Saat Fadlan akhirnya menyerah dan mengatakan hal yang sebenarnya kalau anaknya menghilang dari rumah. Sekarang ia lega sekali.
Walau tubuhnya basah keringat. Walau luka tergores dimana-mana. Asal anaknya selamat dan ada di depan matanya sekarang pun cukuplah.
Dibawanya Ando ke dalam kamar rawat Sara. Wanita itu tak apa-apa. Hanya kehilangan banyak darah saja. Karena ia memang bertekanan darah rendah. Wajar saja kalau ia pingsan. Sekarang, wanita itu masih tidur ditemani Tiara dan Anne yang menghimpitnya ditengah-tengah.
Wanita itu tak tahu apapun yang terjadi. Yang ia tahu, Ando ada di rumah Fadlan. Menginap disana--begitu jawaban Feri saat ia bertanya tentang Ando.
"Abang mandi dulu. Daddy pulang ambil baju abang." Tuturnya lalu menurunkan bocah lelaki itu di depan kamar mandi. "Jangan deket mommy dulu. Nanti dia khawatir."
Ando mengangguk mengerti. Lalu tersenyum tipis saat Feri mengecup keningnya. Biarpun lelaki itu tampak dingin di luarnya. Tampak kaku. Tampak keras. Tapi Ando tahu, lelaki itu sangatlah menyayanginya. Ia keras karena ingin Ando menurutinya bukan untuk membangkangnya. Tapi yang namanya anak, kalau dikeraskan egonya malah meninggi. Tak kan mau mengalah. Jadi lebih baik lembutkan ia. Ia akan luluh sekeras apapun pertahanannya.
"Daddy hati-hati!" Pesannya yang dibalas anggukan Feri.
Lelaki itu lega sekali karena anaknya sudah kembali. Tak lupa ia menghubungi Fadlan dan ketiga adiknya untuk menghentikan pencarian.
@@@