Feri, Regan dan Kandra kompak terbahak melihat kemunculan Fadli di hari pertama masuk kantor usai kabar hamil itu menyebar. Ia habis-habisan di-bully. Di hari kedua, masih sama. Malah makin parah. Vanessa--sepupunya--turut datang meramaikan kantor dengan niat khusus mem-bully-nya. Namun beda cerita ketika hari ketiga tiba. Hari yang membuat Feri, Wira, Kandra dan Regan berhenti mem-bully. Karena apa?
Caca. Wanita itu mendadak manja dan manis sekali. Terus menempel pada Fadli dan tak mau jauh. Bahkan di hari biasa saja wanita itu enggan ke kantor suaminya kini malah nongol bahkan sudah hampir seminggu tak pernah absen. Hal yang membuat Fadli girang karena bisa membungkam semua bully-an yang datang kepadanya. Ditambah sikap istrinya yang jutek dan judes mampus itu mendadak manja dan manis padanya. Ternyata dampak kehamilan berbuah besar pada Fadli. Kini dua anaknya malah diusir Caca kembali ke kamar masing-masing. Kalo kata Rain, ibunya kerasukan hantu 'manja'. Sementara Fasha malah bilang, kalau ibunya dipelet ayahnya. Dua bocah itu tak menyangka saja kalau ibunya akan semanja itu pada ayah mereka. Ibu yang galak, jutek dan judes itu berubah drastis. Selama hampir delapan belas tahun Fasha hidup, baru kali ini ia melihat ibunya dengan karakter yang berbeda. Seperti bukan ibunya.
Fadli malah punya rencana lagi. Kalau hamil bisa membuat Caca menempel begini padanya, ia akan buat wanita itu hamil lagi. Lihat aja! Hati kecilnya tertawa terbahak-bahak. Pikiran nakal kembali merajainya. Kini gilirannya yang memasang wajah songong pada kakak, ipar dan sepupunya. Ia balik menghina dan meledek mereka hingga puas.
"Hoon," ia memanggil dengan sumringah. Ia baru saja balik dari ruang meeting. Dihampirinya Caca yang sedang berbaring di kamar khusus yang ada di dalam ruang kerjanya. Wanita itu langsung bangkit. "Mau makan apa?"
"Sushi, Fa. Aku mau sushi," ucapnya manja lalu langsung memeluk lengan Fadli. Hal yang membuat Fadli amat sangat berbunga-bunga sekaligus berterima kasih pada calon anaknya.
"Ya udah. Kita berangkat sekarang."
Wanita itu menggeleng. Bibirnya mencebik. Hal yang membuat Fadli ingin mengecup bibirnya. "Pesen aja. Makan disini aja." Rengeknya yang membuat Fadli gemas juga takjub. Ini seperti bukan istrinya.
"Ya udah. Aku telpon dulu," tukasnya lalu segera mengeluarkan ponsel. Senyumnya mengembang.
Tapi beda lagi cerita dengan nasib saudara kembarnya yang hanya mampu menatap istrinya dari jauh. Gara-gara berita hamil itu, ia semakin menderita karena diabaikan.
@@@
Aisha terkikik melihat wajah kusut Fadlan. Lelaki itu nyaris menghempas ponselnya karena kesal. Karena kini istrinya enggan mengangkat teleponnya. Padahal biasanya, wanita itu akan ke rumah sakit untuk menjumpainya tapi kini lebih memilih mengajak jalan Adelina. Entah kemana wanita itu, ia tak dapat menguntitnya.
"Aisha bilang juga apa. Ngalah aja napa sih, kak?" Aisha menepuk bahunya--kasihan. "Apa susahnya bikin hamil?"
Fadlan hanya mendengus. Mengabaikan tawa Aisha yang semakin menjadi-jadi. Sementara Fadlan berjalan ke ruangannya. Ia ingin pulang. Masalah yang diada-adakan ini harus selesai. Ia tak bisa terus menerus seperti ini. Ditambah lagi dengan kehadiran Adelina sejak seminggu lalu. Ia sudah meminta Airin untuk mengambil kembali anaknya tapi adiknya memilih angkat tangan. Sementara Akib terus menerus kabur darinya. Takut digetok olehnya.
"Pulang lo?" Fahri mencegat ketika Fadlan sampai di lift. Ia hanya balas menganggukan kepala lalu masuk ke dalam lift. Hal yang tidak Fadlan ketahui adalah Fahri terbahak setelah lelaki itu menghilang dari hadapannya. Lucu sekaligus prihatin akan nasib sahabatnya.
@@@
Farrel baru tiba bersama Farras. Dua bocah itu baru saja pulang sekolah. Farrel yang tadi pagi tak sempat sarapan karena ada rapat OSIS di pagi hari, langsung menyambar meja makan yang ternyata kosong. Tak hanya meja makan, kulkas pun kosong. Ia melirik sekitar. Mencari Bundanya.
"Bun...," ia memanggil. Walau ia kelaparan setengah mati, ia tak kan berteriak memanggil bundanya. "Bunda!"
Ia mendapati Bundanya sedang duduk di gazebo sambil cekikikan bersama Adelina. Wanita itu menoleh dan segera melambaikan tangan. Menyuruhnya kemari.
"Bunda gak masak?" Tanyanya setelah duduk di samping Adelina yang berbaring. Turut menggelitiki perut bayi itu. Memang kehadiran Adelina cukup membuat rumahnya semakin riuh.
"Kita makan di depan aja yuk. Bunda pengen masakan Padang!" Wanita itu berceloteh lalu bangkit setelah menggendong Adelina.
Farrel tak mau membantah. Ia memilih segera bangkit dan menyusul langkah Bundanya. Namun baru saja akan mengeluarkan motor dari garasi, mobil Papanya memasuki pekarangan rumah. Icha melengos saja sambil menggendong Adelina.
"Mau kemana?" Lelaki itu bertanya dingin usai keluar dari mobil. Farrel menggaruk tengkuknya. Bingung. Apa ia harus mengeluarkan motornya atau tidak?
"Bang, cepat keluarin motornya!"
"Yaaang," lelaki itu memanggilnya. Matanya melotot tajam. Sementara Icha terus menghindari tatapannya.
"Bang mau kemana?"
"Abang!"
Farrel makin kikuk. Bingung karena berada di antara dua orang yang sedang perang dingin itu. Ia menghela nafas. "Mau ke depan, Pa. Ke resto Padang." Ia menjawab pelan dan memilih mengeluarkan motornya saat bundanya makin ngotot dengan mata yang mendelik tajam.
"Sama Papa aja. Naik mobil." Lelaki itu memberi perintah. Ia segera beranjak ke mobil. Farrel menghela nafasnya. Sementara Icha malah berjalan menuju gerbang rumah. Mengabaikan suaminya. Bodo amat! Ia benar-benar ngambek sekarang!
"Yaaang! Yaaang!" Fadlan berteriak lalu berdecak.
Saat Farrel telah masuk ke dalam mobilnya, ia segera tancap gas dan menyusul langkah wanita itu. "Naik!" Titahnya saat berhasil menjajarinya. "Rissa! Naik!" Tapi wanita itu tetap keras kepala. Ia terus berjalan mengabaikan Fadlan. "RISSA! AKU BILANG NAIK!" Teriaknya kesal. Hal yang membuat Farrel kaget sementara Bundanya tak kalah kaget langsung menghentikan langkah.
Melihat keterbekuan istrinya, ia segera membuka pintu dan menarik wanita itu lalu mendudukannya di mobil. Ia langsung menginjak gas. Mengabaikan air mata istrinya yang mulai jatuh. Sementara Farrel menahan nafas duduk di belakang. Ia segera mengambil Adelina dari pangkuan bundanya. Ia mengerti gejolak batin yang dirasakan Bundanya. Sementara Fadlan kacau. Antara marah dan menyesal.
"Aku gak suka dibantah. Jangan coba-coba membantahku lagi," ucapnya dingin.
Sungguh menyeramkan. Baru kali ini Farrel melihat Papanya yang humble itu tiba-tiba marah dan membentak. Sementara Icha? Ia jarang dibentak lelaki itu. Namun setiap dibentak, ia masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya.
@@@
"Ciyee yang bakal punya adik lagi!"
Fasha langsung mengetuk kepala Ardan yang ember ketika ia tiba di parkiran sekolah. Gadis itu menarik rambut Ardan dengan kuat hingga membuat bocah lelaki itu terkekeh sambil meringis menahan sakitnya. Sementara Adit hanya menggelengkan kepala melihat tingkah dua sepupu itu.
Ardan mengelus-elus rambutnya usai dijambak habis oleh Fasha. Gadis itu segera naik ke atas motor Adit. Bocah itu terkekeh. Ia senang sekali mengejek Fasha dengan tema 'adik baru'. Karena sebetulnya gadis itu tak terlalu menyukai kenyataan jika ibunya hamil lagi. Ia tak terlalu suka anak kecil. Punya adik seperti Rain saja sudah cukup merepotkan. Apalagi jika ibunya lahiran nanti? Haduh! Masih di dalam perut saja, ia sudah pusing.
"Daaan gue nebeng!"
Dina muncul dengan wajah kusutnya. Ia ditinggal Farras. Padahal mereka sudah berjanji untuk naik angkutan umum saja tapi ternyata gadis licik satu itu sudah kabur dengan Farrel.
"Berani bayar berapa lo?" Bocah lelaki itu bertanya dengan songong. Ia memakai helmnya lalu duduk di atas motornya. Matanya menatap Dina yang cekikikan.
"Gue bayar pakek ketek gue nih! Nih! Nih!" Ia berseru sambil mengangkat tangannya. Mengarahkan keteknya ke wajah Ardan yang langsung menutupi diri dengan kaca helm. Dina terkikik lagi lalu naik dengan sembrono ke atas motor Ardan.
"Makanya cari cowok. Biar pulangnya ada yang nganterin!" Ledek bocah itu.
Dina mencibir. Ia memegang pundak bocah lelaki yang kini menggas motornya. Tiga tahun lalu, biasanya Ardan yang suka menebengi sepedanya. Kini malah berbalik. Pertama, ia tak diperbolehkan membawa motor oleh Papanya. Kedua, mobil pemberian Mamanya disita Papanya gara-gara ia sering kelayapan.
"Gue jadi kepikiran tante Caca deh," ia mengungkap pikirannya. Jujur saja, ia dan Ardan jarang bicara serius. Persamaan karakter yang mencolok bukan membuat keduanya akur namun malah sebaliknya--tidak akur. Kembar yang unik dengan segala tingkah lakunya. Ardan yang tengil dan Dina tak kalah tengilnya walau sedikit cengeng.
"Soal hamil itu?"
"Hem," Dina berdeham. Motor Ardan berhenti di perempatan. Lampu lalu lintas masih berwarna merah. "Kalo Mama hamil lagi gimana?"
"Gak! Gak bakal!" Ardan percaya diri akut. "Jangan sampe Mama hamil lagi!"
Dina mengangguk setuju. "Gue gak mau punya adek lagi." Tuturnya lalu menggeplak helm Ardan. "Apalagi model lo begini. Nyusahin!" Ketusnya.
"Gue juga ogah! Cengeng gini!" Balasnya tak mau kalah.
"Lo ngatain gue?"
"Lo yang duluan!"
"Gue sunat lagi juga lo!"
"Coba kalo bisa! Weee," Ardan menggoda. Tubuhnya habis dipukul Dina hingga yang membuatnya berteriak ketika Dina menggigit bahunya dengan erat. "Aaaaaa! Turun lo turun!"
"Gak mau! Weeee!" Ia balas. Lalu memeluk pinggang Ardan dengan erat namun bocah itu berusaha menepis tangannya sambil memajukan tubuhnya. Dina terkikik. Ia semakin memajukan badannya agar dapat terus memeluk pinggang Ardan sementara bocah itu terua menghindar. Hingga tubuh Ardan merempet ke stang motor dan Dina langsung mengambil alih motor dan menggasnya ketika lampur berubah menjadi warna hijau. Meninggalkan tawa yang terbahak-bahak dari orang-orang di belakangnya. Geli melihat kelakuan dua bocah itu. Kini Dina yang mengambil alih motor dengan Ardan yang dibonceng ke depannya--seperti dulu. Seperti saat 'masa depan' Ardan terjepit di stang sepeda. Hanya saja kini mereka bertambah usia bukan dewasa.
@@@