HAMIL?! : Part 7 - End

1902 Kata
Keterdiaman. Wanita itu makan dalam diamnya. Ogah membuka percakapan. Sementara Farrel berada di antara dua orang yang sedang perang dingin itu. Ia mencoba meraih ponselnya. Memberitahu kedua adiknya untuk mengatur strategi guna mengakurkan kedua orang tua mereka. Ia tak suka sikap Bundanya yang begini. Ia juga tak suka sikap Papanya yang begini. Ia rindu suasana rumah yang hangat seperti biasanya. Bukan yang seperti ini. Adelina makin berbuat ulah di gendongan Farrel karena kepanasan. Bayi itu menangis. Icha langsung mengambil alih dan Farrel terpaksa menyerahkannya dengan berat hati. Wanita itu beranjak dari kursi dan memilih keluar dari resto Padang yang entah kenapa terasa hangat sekali. Fadlan menarik nafas dalam. Tak mampu berbuat apapun. Seenak apapun masakan Padang yang sedang ia santap kini sudah tak mempan. Tak berasa. Karena hatinya sangat kacau. Antara marah dan juga menyesal karena telah membentak istrinya tadi. Ia tak bermaksud begitu namun sikap istrinya itu keterlaluan. Hampir seminggu ini ia diabaikan. "Bang, kamu bayar makanannya. Beli lagi dua bungkus untuk adekmu." Lelaki itu menyodorkan selembar uang pada Farrel lalu bangkit dari kursi. Memulai sikap otoriternya lagi dengan menarik tangan istrinya menuju mobil. Mau tak mau wanita itu mengikuti dengan langkah terburu-buru sambil berdecak kesal. Tapi hanya diam saja. Tak ambil suara. Fadlan menghidupkan mesin mobil, saat Farrel telah duduk di kursi belakang, ia segera menginjak pedal gasnya. Hening. Itu yang dirasakan Farrel. Sementara line-nya sangat berisik dengan kehadiran dua adiknya yang saling menyahut. Ferril akan segera pulang. Sementara Farras beranjak mandi untuk menghilangkan kantuk. Sampai di rumah pun masih sama. Icha keluar begitu saja dengan sedikit membanting pintu mobil. Fadlan terdiam sesaat di bangku mobilnya. Mengamati punggung istrinya yang masuk ke dalam rumah. Lalu berbicara pada Farrel yang hendak keluar dari mobil. "Ambil Adel. Antar ke rumahnya. Lalu hubungi adik-adikmu untuk main di luar rumah saja. Papa perlu bicara sama Bunda." Farrel mengiyakan tanpa perlawanan. Bocah lelaki itu segera mengirim line pada dua adiknya. Memberitahukan kalau rencana dibatalkan. Lalu segera mengambil alih Adelina yang sedang dibaringkan Bundanya di atas karpet di depan televisi. "Bun," ia memanggil. Icha hanya berdeham sambil menepuk-nepuk Adelina yang mulai mengantuk. "Farrel bawa Adel ke kamar ya?" Tawarnya namun Farras langsung menyahut dari lantai atas. "Sama Farras aja, bang! Mau Farras ajakin jalan-jalan biar Adel bobo di taman!" Idenya yang langsung diiyakan Farrel. Icha menatap Farrel. Mencari gelagat terselubung yang mulai ia rasa kejanggalannya namun bocah itu tak sadar jika sedang ditatap. Wajah lugunya menunjukan kejujuran. "Ya udah. Tapi jangan bawa ke tempat panas. Ambil stroller-nya disana." Ia malah memerintah tanpa sadar kalau sudah masuk perangkap. Farras bernafas lega sementara Farrel dengan riang mengambil Adelina. Menggelitiki perut bayi itu hingga tertawa dan kantuknya hilang seketika. Ketika Farras, Farrel dan Adelina telah pergi, baru lah Fadlan muncul. Lelaki itu baru selesai mandi. Ia melihat istrinya yang sedang menonton televisi. "Yaang," panggilnya. Namun tetap diabaikan. Icha acuh saja dengan gayanya mengganti saluran televisi. Bodo amat! Lelaki itu menarik nafas dalam. Mengambil duduk di sofa sementara Icha duduk di atas karpet di depannya. "Kita gak bisa kayak gini. Gak mengelesaikan masalah. Kamu jangan besarkan masalah yang gak ada ini dengan sikap acuh kamu itu." "Acuh?" Icha menyahut sinis. Kini wajahnya sempurna menghadap Fadlan. Kekesalan itu memuncak. Pertama, karena sikap otoriter lelaki itu. Kedua, karena bentakannya tadi. Wanita itu sakit hati. "Aku begini karena siapa?" Fadlan berdecak. "Aku bukannya ingin kamu begini." Icha balas mencibir. Wanita itu mematikan televisi lalu beranjak dari duduknya. "Pokoknya kalau kakak tetap dengan pendirian kakak, maka aku juga." Ia balas dengan kekeraskepalaan yang lebih tinggi. Fadlan mengepalkan tangannya. Sabar itu masih ada namun kian menipis. "Mudah membuat kamu hamil itu mudah, yang! Tapi apa kamu pernah memikirkan konsekuensinya?" Icha membalik badan. Tak jadi menaiki tangga. Matanya balas menatap Fadlan dengan tajam. "Nyawa? Iya? Itu yang kakak takut kan?" Ia berjalan mendekat. "Mati itu urusan Allah, kak! Aku melahirkan atau tidak, aku akan tetap mati!" Ia menekan suaranya untuk tak berteriak. Hingga yang terdengar berupa bisikan. "Tapi kamu gak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku!" Ia balas dengan suara yang lirih. Mata lelaki itu memerah. Kini mereka berdiri saling berhadap-hadapan. "Bagaimana rasanya ngelihat kamu gak berdaya? Terluka? Tapi aku gak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kamu!" Ia meledak di kata terakhir. Membuang wajahnya ke atas agar istrinya tak melihat matanya yang berlinang. Ia bukan lelaki cengeng. Ia hanya lelaki yang ingin istrinya tahu betapa ia menyayangi wanita itu hingga tak sanggup kehilangannya. Walau ia tahu, apa yang ia miliki akan kembali kepada-Nya. "Pertama, kecelakaan itu." Ia angkat suara lagi. Kali ini kembali menatap istrinya yang membuang wajah ke arah lain. Tangannya gemetar meraih lengan wanita itu untuk ia cengkeram erat-erat. Bukan untuk menyakitinya tapi untuk memperingatkan betapa ia takut sekali saat itu. Takut kehilangan istrinya. "Kita baru menikah saat itu. Baru setengah tahun. Kamu hamil dan kamu mengalami kecelakaan hebat. Kamu tahu apa yang ada diotak aku?" Ia bertanya tajam. Mencoba membuat wanita itu menatapnya dengan menggetarkan tubuh istrinya melalui cengkraman kedua tangannya. "Kematian, yang! Kehilangan!" Serunya dengan air mata yang benar-benar meluncur. Sementara Icha menunduk. Wanita itu terisak-isak tak berdaya. Ia mulai paham kenapa suaminya tak mau ia hamil lagi. Karena lelaki itu sangat menyayanginya. Takut kehilangannya. Walau kematian itu ditangan Allah, setidaknya sebagai manusia, Fadlan berusaha mengurangi resiko celaka yang mungkin terjadi. "Kedua, waktu kamu melahirkan anak kita. Kamu kekeuh untuk normal. Tak mau caesar. Aku biarkan." Ia menarik nafas dalam. "Lalu kamu tahu kan hasilnya? Pendarahan! Ferril masih terjebak di dalam perut kamu dan kamu pingsan! Kamu tahu apa yang aku rasain saat itu?" Ia bertanya lagi namun kali ini dengan memeluk istrinya dengan erat. "Ketakutan, yang. Aku benci ketakutan itu. Aku benci!" Ia terisak sambil memeluk istrinya dengan erat. Lelaki itu kini bahkan mampu merasakan ketakutan yang teramat dalam itu sekarang. Maka, ia tak mau lagi merasakannya. Bukannya ia ingin menolak rejeki akan kehadiran anak. Namun ia tak pernah mampu berdamai dengan rasa takut itu. "Jadi aku mohon sama kamu," kali ini tangannya beralih menangkup wajah Icha yang sudah banjir air mata. "Turuti aku yang iniiiiii aja. Aku gak minta yang lain, yang. Hanya jangan hamil lagi." Wanita itu malah makin terisak. Namun diiringi tangannya yang balas memeluk Fadlan dengan erat. "Bisa, yang? Bisa?" Lelaki itu berusaha mendongakan wajah istrinya. Icha balas mengangguk lalu terisak hebat sambil memeluknya dengan erat. Ia sadar betul. Betapa perasaan itu makin hari makin dalam. Betapa perasaan lelaki itu tak pernah berpaling darinya sedikit pun. Bahkan sejak pertama mereka bertemu. Cintanya tak pernah berkurang. Malah kian hari kian bertambah. Karena Fadlan mencintainya karena Tuhannya. Mencintainya karena Allah. Mencintainya dengan cara yang begitu indah. Cinta yang tak pernah disangkanya akan hadir dan menenggelamkannya begitu saja. Cinta yang tak melukainya. Cinta yang terus mendekatkan kepada-Nya. Maka cinta itu tak kan pernah pudar melainkan selalu mekar dengan indah. Layaknya bunga yang terus bersemai di semua musim. Indah karena dalam cintanya tak pernah mengotorinya dengan nafsu. Cinta karena-Nya. @@@ "Faaaaa," suara seksi itu kembali menyapa paginya. Fadli berpura-pura pulas. Namun tak berhasil saat tangan itu menarik telinganya. Ia mengaduh. Penderitaannya dimulai kembali sejak tiga bulan lalu. Sejak kehamilan istrinya memasuki trimester ke dua. Rain yang ikut membuntuti terkikik. Gadis yang sudah lengkap dengan seragam SMA itu langsung melompat ke atas tempat tidur kemudian mencubit-chbit perut ayahnya yang sampai sekarang masih keren karena rajin fitness. Beda dengan omnya--kembaran ayahnya--yang perutnga sedikit membuncit namun istrinya makin cinta. Maka sekeren apapun penampilan Fadli dimata Caca, ia akan tetap menderita. Apalagi kejutekannya naik ke level dewa. Mengkhawatirkan. "Anak-anak mau ke sekolah! Kamu anterin napa!" Ucapnya lalu menampar lengan Fadli. Lelaki itu enggan bangun. Caca berdesis. Perutnya yang semakin besar membuatnya cepat lelah walau hanya membangunkan lelaki ini. Akhirnya ia berkacak pinggang lalu berteriak setelah memberi kode pada Rain untuk turun ke bawah. "SHA! BERANGKAT SAMA ADIT AJA!" Teriaknya yang langsung membuat Fadli bangun. Wanita itu terkikik geli. Sementara Fadli menggerutu lalu berlari ke kamar mandi. Tak rela anak gadisnya pergi bersama lelaki lain selain dirinya. "Lain kali, jangan begini lagi!" Tutur lelaki itu usai keluar dari kamar mandi. Ia mengecup kening Caca sekilas lalu mengecup perutnya dan segera berlari ke bawah. Menyusul anak gadisnya yang sudah berdecak di teras rumah. Tiga jam kemudian, Fadli dan Caca sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit kakaknya--Fadlan. Lelaki itu sengaja mengambil libur sehari untuk menemani Caca periksa kandungan sekaligus mengajak wanita itu berjalan-jalan untuk mengurangi penat di rumah. Tiba di lobby rumah sakit, mereka bertemu Icha yang sedang menggendong Adelina. Kini bayi sebelas bulan itu lebih sering menginap di rumah Fadlan dari pada di rumahnya sendiri. Penyebabnya? Ada pada kemunculan Airin yang ditemani Akib. Keduanya baru saja usai memeriksa kandungan Airin dengan usia kandungan menginjak tiga bulan. Dan kali ini, Akib berjanji pada kakak-kakak istrinya kalau ini adalah kehamilan terakhir. Kehamilan yang membuat Akib menjadi bulan-bulanan Fadlan dan Feri yang terus mengomel-omel. Sementara Airin hanya cekikikan saja melihat nasib suaminya yang selalu teraniaya. Sedangkan Fadli tak bisa ikut memarahinya karena ia juga tersangka yang menyebabkan perut istrinya membesar sekarang. Kehamilan Airin memang disambut gembira oleh keluarga. Tapi tentu menyisakan kejengkelan pada kakak-kakak iparnya. Bahkan Mami sampai pingsan saat mendengar anak bungsunya hamil lagi. HAMIL??! Oh Akib...Akib.... "Nanti setelah melahirkan, Airin pasang kontrasepsi." Fadlan mulai otoriter. Lelaki itu merangkul istrinya sambil mengomeli adik iparnya yang hanya mampu menunduk pasrah. Icha cekikikan sambil menggendong Adelina yang gembira sambil bertepuk tangan. Mungkin bayi itu senang melihat Abinya menderita. "Lo juga! Sadar umur!" Kali ini omelannya mengarah pada Fadli yang hanya mampu mendengus. Giliran Caca yang terkekeh. "Adel mau ikut Ummi atau Bunda?" Icha bertanya pada bayi di gendongannya. Adel melihatnya dengan mata membulat besar yang membuatnya terlihat lucu dan cantik lalu beralih pada Umminya yang memasang senyum. Kemudian bayi itu terkekeh dan memeluk Icha dengan erat. Enggan bersama Umminya yang membuat Airin cemberut. Wanita itu menepuk bahu Akib dan melepaskan tangan lelaki itu yang membelit pinggangnya. "Kamu sih, Bi!" Ia menyalahkan. Sementara Akib hanya mampu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Lagi pula, kehamilan kali ini tak ia rencanakan. Semua terjadi begitu saja. Fadlan tentu senang karena kini Adel lebih banyak tinggal bersama mereka. Bayi itu bisa membuat Icha perlahan-lahan menghilangkan keinginannya untuk hamil lagi. Wanita itu memang tak pernah merengek lagi soal kehamilan sejak pembicaraan dingin mereka saat itu. Wanita itu mematuhinya. Mengerti akan keinginannya. Sementara Fadli dan Caca sudah berada di ruang pemeriksaan. Hendak melihat jenis kelamin anaknya. Fadli harap kali ini anaknya laki-laki. Sebab, ia tak mau diliputi rasa ketakutan jika anak perempuannya bertambah. Ia takut apa yang ia lakukan pada perempuan-perempuan di masa lalu terjadi pada anak-anak perempuannya. Jika yang ini lelaki, setidaknya bebannya akan sedikit berkurang. Karena ia hanya perlu menjaga Fasha dan Rain dengan ketat. Tapi harapan tinggal harapan. Saat semua yang dilihatnya begitu jelas. Jenis kelamin calon bayinya terlihat. Dan....ia sempat menahan nafas saat jenis kelamin yang terlihat itu sama dengan jenis kelamin bertahun-tahun lalu yang ia lihat. Perempuan lagi..... Caca sudah cekikikan puas. Senang melihat wajah Fadli yang terlihat semakin tua karena memikirkan anak-anak perempuan mereka. Aah....ia memang tak mau ada anak laki-laki di rumahnya. Ia tak mau ada lelaki lain seperti Fadli. Ia hanya ingin Fadli yang menjadi lelaki satu-satunya di rumah. "Makanya Faa.....baik-baik sama perempuan kalo gak mau anaknya digituin," ia mengingatkan sambil mengelus-elus dagu lelaki itu kemudian melenggang keluar sambil cekikikan. The End
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN