"Yaaaang!"
Percuma. Hampir seperempat jam Fadlan mengetuk-etuk pintu pun, wanita itu tetap enggan membukanya. Ia bertanya berkali-kali pasa wanita itu tentang alasan memperlakukannya seperti ini namun hanya keterdiaman yang ia terima. Lelah. Akhirnya ia putuskan untuk memanggil Farrel dan menyuruh lelaki itu mengambil alat apa saja yang ada di garasi mobil untuk membuka pintu ini. Ini tak dapat dibiarkan. Wanita itu terbiasa marah sendiri hingga lelah dan melupakan kemarahannya. Namun kali ini sudah keterlaluan. Apalagi seingatnya, ia tak melakukan kesalahan apapun. Harusnya ia yang marah. Pertama, wanita itu baru pulang hampir sejam yang lalu tanpa izin darinya. Kedua, kepulangannya tak disambut karena wanita itu tak ada di rumah. Ketiga, wanita itu mengabaikannya.
Ia membuka pintu dengan kesal. Ada sedikit peluh yang mengucur dari dahinya tapi ia abaikan. Ia baru bisa bernafas lega saat pintu itu telah terbuka walau secara paksa. Farrel yang enggan mencampuri masalah orang tuanya memilih menyeret Ferril ke kamar masing-masing usai mengembalikan peralatan yang diambilnya tadi. Sementara Fadlan menutup pintu dengan perlahan. Dilihatnya, istrinya yang memunggunginya. Jujur saja, menghadapi kekeraskepalaan wanita ini membuatnya harus lebih banyak bersabar atau jika tidak, ia turut akan tersulut emosi. Maka, karena tak mau menambah masalah, ia memilih untuk meredam kemarahan yang muncul lalu ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelahnya, ia hampiri istrinya yang ternyata sedang menangis. Wanita itu menangis dalam diamnya. Membuat Fadlan jadi serba salah.
Ia peluk wanita itu dari belakang. Menghapus air matanya yang jatuh. Kemudian mengecup keningnya lama. Lalu ia rengkuh lebih erat lagi.
"Kenapa? Aku bikin salah apalagi?"
Dari pada menyalahkan istrinya, ia lebih memilih untuk menjadi lelaki yang disalahkan. Sementara wanita itu masih enggan membuka mulut namun suara isaknya mulai terdengar.
"Yaang," panggilnya lembut. "Udah belasan tahun kita hidup bersama. Tapi aku gak pernah bisa tahu apa kesalahanku hingga membuatmu menangis seperti ini. Aku gak mau menyalahkanmu. Tapi kalau kamu gak mau bicara gini, dari mana aku akan tahu kesalahanku?" Tanyanya sambil perlahan membalik tubuh wanita itu untuk menghadapnya. Kali ini tanpa perlawanan. "Kenapa marah?"
Icha diam. Matanya menatap mata Fadlan yang memancarkan ketulusan. Ia tak pernah tak berdesir jika ditatap lelaki ini seperti ini. Bibirnya ingin membuka tapi suaranya seakan hilang. Hingga Fadlan bertanya lagi, baru lah ia membuka mulutnya walau ragu. Entah kenapa, jika menyangkut kehamilan, ia langsung pesimis. Lelaki ini tak ingin ia hamil lagi. Benar-benar tak ingin.
"Aku bakal bilang," ia berucap dengan nada manja. Membuat Fadlan menyimpul senyum. Senang karena nada manja itu selalu terdengar dari mulut istrinya. Ia sungguh menyayangi wanita ini. "Tapi kakak harus janji dulu," ancamnya. Mencoba mencari akal dan celah agar keinginannya dikabulkan. Namun tetap saja ia pesimis. Mengingat betapa kuatnya lelaki ini dalam memegang keputusannya. Belasan tahun hidup bersama, membuat Icha paham betul akan lelaki ini. Tak mudah tergoyahkan.
Sepintas memang terlihat sebagai lelaki yang memanjakan istrinya. Tapi sekali ia berkata 'tidak' maka akan berlaku selamanya. Ketegasan yang baik namun juga menyebalkan bagi Icha. Karena ia merayu dengan cara apapun, tak kan mempan pada lelaki ini.
"Janji apa dulu? Aku tak suka yang macam-macam dan hal yang tidak aku sukai."
Icha langsung mencebik. Ia mendengus lalu membalik tubuhnya tapi berhasil ditahan Fadlan. Mata lelaki itu menatap tajam. Tak ada canda, yang ada hanyalah keseriusan. Lelaki itu tak sedang bermain-main. Kalau sudah begini, Icha sudah tahu hasilnya. Ia kalah sodara-sodara!
"Belum ngomong aja udah diancem gitu," kini wanita itu ganti mendumel. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Enggan menatap Fadlan yang melengkungkan senyum tipis. Lelaki itu menyentil dahinya.
"Aku mengenalmu hampir dua puluh tahun lebih, yang. Hidup dengan mu hampir delapan belas tahun. Aku tahu setiap makna yang tersirat dari ucapanmu. Walau terkadang aku meragu. Tapi...," ucapannya menggantung sementara Icha sempurna membalik badannya--memunggungi. "Perlahan aku pasti bisa menangkap apa yang kamu inginkan dan apa yang kamu sembunyikan. Dan kalau sudah begini...," Fadlan menarik nafas frustasi. Lalu beranjak dari tempat tidur. "Tak ada kompromi. Aku gak mau kamu hamil lagi." Lanjutnya lalu keluar dari kamar dan menutup pintu.
"Dasar lelaki otoriter!" Icha mendumel. Lalu ikut bangkit dari tempat tidur. Memilih tidur bersama anak lelakinya yang manja dan pengertian. Tidak seperti papanya itu!
"Mau kemana, yaang?" Fadlan mengernyit melihat wanita itu berjalan ogah-ogahan, keluar dari kamar. Sementara ia masih di pertengahan tangga.
"Males sama kakak!" Cebik wanita itu lalu melengos pergi. Meninggalkan Fadlan dengan kekehannya. Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Percuma, nanti ia akan angkut wanita itu kembali ke kamar mereka. Lihat aja!
@@@
"Iiih!" Rain mendesis. Gadis itu terjepit antara ayah dan ibunya. "Ayah geseran napa!" Ia mendelik pada Fadli yang pura-pura tak mendengar dan lebih memilih memejamkan mata. Rain mendesis lalu berteriak memanggil ayahnya. "Yaaaaaah!"
Caca terkekeh kecil. Tempat tidur yang seharusnya untuk berdua kini dihuni empat orang. Sementara Fasha sudah terlelap di sampingnya. Tak terganggu oleh gerutuan Rain yang mendumel karena ayahnya terus memepetinya supaya bisa memeluk ibunya.
"Kalo gini Rain gak bisa tidur nih, Buuuuuk!" Gadis itu berteriak. Hal yang membuat Fasha mendesis lalu memunggungi ibunya. Memilih menghadapkan wajahnya pada tembok.
Fadli sengaja melakukan itu agar dengan sukarela, anak-anaknya kembali ke kamar masing-masing. Caca membuka matanya. Agak geli, ia terkekeh sebentar lalu menarik kuping Fadli hingga membuat lelaki itu mengaduh. "Fa... geseran. Kalo enggak, kamu tidur di luar!"
"Kejaaaamnyaaa, hooon!" Lelaki itu langsung menggerutu. Rain terkekeh. Ia menang saat ayahnya memilih bergeser sehingga ia tak terjepit lagi. Caca terkekeh namun kekehannya hilang saat rasa mual itu kembali menyerang. Wanita itu beranjak dari tempat tidur lalu berlari ke kamar mandi. Membuat Fadli dan Rain beranjak menghampiri. Sementara Fasha menutup wajahnya dengan guling.
"Gara-gara Ayah nih, ibu jadi gini!" Rain menyalahi sambil memukul punggung Ayahnya. Sementara Fadli berdecak sambil mengurut tengkuk Caca. Wanita itu ingin ikut mengomelinya, namun rasa mual yang kian menjadi membuatnya hanya bisa pasrah sambil terus memuntahkan isi perutnya.
"Ayah tanggung jawab pokoknya!"
"Ya ini lagi tanggung jawab!" Fadli balas berdecak membuat Caca antara ingin muntah dan tertawa.
"Yeee...gantiin ibu lah! Masa ibu mulu yang hamil!"
"Kalo bisa juga ayah gantiin deh!" Ia balas menyahut membuat Caca benar-benar terkikik. Wanita itu membasuh mulutnya sementara Rain terkikik kecil. Berhasil membuat ayahnya kesal. "Udah mendingan, hooon?"
Wanita itu hanya mengangguk lemah. Sementara tangan Fadli masih heboh memijit tengkuknya. "Makanya aku peluk aja tidurnya biar gak mual lagi."
Rain memutar bola matanya dengan malas. "Itu sih modusnya ayah!"
"Tau tuh ayahmu! Suruh tobat gih!" Caca mengompori lalu meloyor ke tempat tidur.
"Iya nih! Ayah dinas aja gih jauh-jauh! Baliknya nanti kalau ibu udah lahiran!"
"Entar kangeen lagi!" Fadli balas menggoda. Hal yang membuat dua wanita itu terkekeh.
@@@
"Kakak bawa Adel aja ya? Biar dia tinggal sama kakak aja. Ya, Rin, ya? Kamu bikin anak aja lagi. Akib pasti mau!"
Wanita itu pagi-pagi sudah bikin rusuh di rumah adik iparnya. Saat datang langsung mengambil alih Adelina yang selalu digendong Airin setiap pagi. Tentu saja bayi itu girang. Apalagi Icha sangat memanjakannya.
Mama Akib yang turut mendengar ucapan Icha tadi malah terkekeh. "Fadlan tetap gak mau, Cha?"
Icha hanya mendengus pasrah lalu mengambil duduk di meja makan bersama. Ia tadi kabur dari rumah dengan alasan ada keperluan ke kampus sepagi ini. Padahal ia hanya kesini untuk membawa pulang Adelina.
"Jebak aja." Wanita paruh baya itu menghasut.
"Atau cari suami lain aja, kak." Akib mengompori. Jawabannya membuat Mamanya menggetuk kepala lelaki itu. Sementara Airin hanya terkekeh.
"Gak berhasil, Ma. Dia tahu taktikku." Icha mengeluh.
Airin terkikik puas. Ia kenal sekali dengan kakaknya yang satu itu. Cermat dan teliti. Walau terkadang tak peka. Tapi menjebaknya sama sekali bukan jalan yang tepat. "Saran Airin nih, kak." Airin mengajukan saran yang langsung mendapat perhatian penuh dari Icha. "Pasrah aja sama Allah." Sarannya yang membuat Icha gondok. Wanita itu terkikik melihat wajah kesal kakak iparnya.
"Kalo gitu, Adel buat kakak aja ya?" Tanyanya yang spontan membuat Airin melotot. Mama terkekeh geli sementara Akib santai saja. Kan bisa bikin lagi! Akib...Akib.....
"Kalo nginep sih gak papa," Airin mengambil keputusan. Ia juga agak ribet sih mengurus anak yang cukup banyak ini. Agha dan Aidan sih sekolah jadi bebannya agak berkurang. Sisanya masih ada Ali yang super aktif ditambah si kembar, Adrian dan Adshilla yang super aktif dan super nakal. Tiga bocah itu yang membuatnya pusing.
"Mulai kamis sampai minggu, Adelina kakak bawa ya?" Icha menawar. Ia agak senggang di empat hari itu karena jadwal kuliah tidak sepadat di tiga hari lainnya.
Airin menoleh pada Akib. Meminta izin dari lelaki itu. Tentu saja Akib mengangguk. Yang bisa mengganggu malamnya dengan Airin mulai berkurang.
"Udah minta izin sama Fadlan belum? Nanti kayak puasa kemaren lagi." Mama mengingatkan. Icha langsung mendengus. Per-cu-ma! Ingatnya dalam hati. Tapi ia janji, kali ini ia akan mempertahankan Adelina mati-matian di rumahnya. Salah sendiri! Siapa yang gak mau dia hamil lagi? Ck! Ia mencibir dalam hati. Biarin aja dia susah! Gak bisa grepe-grepe lagi!
"Kelakuan Kak Icha ada-ada aja," Akib menggeleng dramatis saat mobil wanita itu telah keluar dari pekarangan rumahnya. Agha dan Aidan malah diantar Icha ke sekolah. Tidak berangkat bersamanya.
"Kamu kenapa?" Airin ingin tertawa melihat wajah suaminya yang mendadak kusut usai mencium tangan lelaki itu.
"Ai, kamu tahu apa yang bakal menimpaku setelah ini?"
Airin malah terkikik. Tentu saja ia tahu. Amukan Fadlan! Karena pasti ujung-ujungnya ia yang disalahkan! Padahal kalau Akib berani melawan, yang salah kan Fadlan. Siapa suruh gak mau istrinya hamil lagi!
@@@
Dua mobil itu nyaris saling menabrak saat hendak berbelok--mengambil jalan yang sama. Saling mencicit ditikungan persimpangan tiga itu. Dua pengemudinya turun lalu malah terkekeh sambil saling menatap.
"Mau kemana, kak?"
"Tadinya mau ke rumah sakit. Tapi dari pada ngamuk disana mending pulang deh." Tuturnya lalu beralih masuk ke dalam mobil. Memundurkan mobilnya agar mobil Aisha bisa masuk ke jalan. Aisha turut masuk ke dalam mobil lalu melesat menghadang mobil Icha. Icha mengerut melihat Aisha keluar dan datang menghampirinya lagi.
"Kak Fadlan gak pulang semalem?" Todong wanita itu.
Icha mengangguk. Keningnya mengerut tanya, bagaimana Aisha bisa tahu?
"Wira juga, kak. Aisha lagi kesel sama dia." Curhatnya.
Icha memberi kode agar wanita itu masuk saja ke mobilnya. Aisha menurut. Wanita itu mendesah ketika duduk di sampingnya.
"Tadi aja Aisha gak ke rumah sakit. Dari pada malah bunuh orang mending nyendiri di taman. Tapi malah senewen. Banyak pasutri yang mesra-mesraan disana."
Icha terkikik geli mendengar ceritanya. Wanita yang lebih tua empat tahun darinya ini malah seperti lebih muda darinya. Kekanak-kanakan. Tapi ia juga sih. Suka sekali bersikap kekanak-kanakan. Padahal usia nyaris empat puluh. Tapi yah mau bagaimana? Yang namanya sifat mau ia berusia berapa puluh tahun juga, susah diubahnya. Apalagi sifat yang inginnya diperhatikan. Ingin dipedulikan. Gak perduli umur. Gak perduli kalau sudah nenek-nenek sekalipun.
"Jalan yuk kak! Kalo perlu kita nginep! Biar pada repot ngurusin anak! Biar pada tahu rasa!" Ajaknya menggebu-gebu.
Icha terkekeh. "Mau kemana?"
"Kemana aja deh. Kakak ada ide?" Tanyanya dan dibalas Icha dengan senyuman tipis.
"Ya udah. Turun dulu." Tuturnya.
Aisha mengembangkan senyumnya. Emang yang paling mudah diajak kompromi itu wanita yang satu ini.
Kalo Sara?
Wanita yang satu itu patuh banget sama Feri.
Caca?
Heeuh. Yang ada dia malah diomel-omelin.
Airin?
Huuh. Ia malah dibuat jengkel. Iri karena adiknya mendapatkan suami yang perhatiaaaaan banget. Sedangkan ia?
Ah, sudahlah. Mending keluar sekarang. Kalau tidak ya tidak jadi perginya.
Ia segera menjejak langkah. Masuk ke dalam mobilnya sementara Icha sudah memutar setir. Berbalik ke jalan raya meninggalkan jalanan perumahan. Disusul Aisha dibelakangnya.
Sebenarnya Icha juga sama. Marah pada Fadlan. Telpon diabaikan. Siapa yang tak marah?
Ini nih biar rasain tuh laki! Serunya menggebu. Aisha memang pandai sekali mengompori wanita yang satu ini. Mudah terhasut.
Mobil itu menyusuri jalanan siang menuju ITC Depok. Kening Aisha mengernyit ketika dengan santainya Icha memarkir mobil disana. Tapi tak urung ia ikuti juga. Setahunya wanita yang satu ini tak suka berbelanja ke Mall. Ia lebih suka belanja online.
Ia langsung mengejar langkah Icha yang berjalan memasuki lift. Disusulnya wanita itu dan disejajarinya langkahnya.
"Ngapain?"
"Ganti baju. Katanya mau main?" Nyinyir wanita itu yang membuat Aisha terkekeh.
Benar juga. Memang sih baju yang mereka kenakan semiformal. Tapi lebih baik baju bebas kan?
Wanita itu mengajaknya kesana kemari. Hingga baju-baju, sepatu bahkan kacamata pun dibeli. Keduanya melangkah turun sambil terkekeh lebar.
"Loh-loh?"
Aisha bingung ketika langkah Icha tak berbelok ke mobil. Wanita itu malah menyeretnya keluar dari parkiran basement.
"Mau kemana lagi?"
"Katanya jalan-jalan."
Jawaban itu membuat Aisha manyun. Tanpa bertanya ia mengikuti jejak langkah kakak iparnya yang santai menuju area belakang ITC Depok. Kakinya melangkah menuju Stasiun Depok Baru.
"Naik kereta?"
Ia nyaris menjerit ketika melihat Icha mengantri tiket. Wanita itu mengangguk sambil terkekeh. Aisha melirik jam tangannya. Ini baru jam dua siang.
"Kita mau kemana emangnya?"
"Kota Tua." Tutur wanita itu lalu menarik tangan Aisha untuk segera masuk.
Wanita itu menggelengkan kepalanya. Ia belum pernah naik kereta begini. Tapi kakak iparnya pasti tahu sekali. Ia pasrah saja dibawa menuruni tangga lalu berdiri menunggu kereta.
Kerudungnya berkibar-kibar saat kereta datang. Icha langsung menarik tangannya untuk masuk ke gerbong khusus wanita di gerbong paling depan. Keduanya berdiri. Aisha memegang erat tangan kakak iparnya karena tak dapat pegangan. Penumpang kereta siang itu penuh dan sesak sekali.
Aisha hanya diam. Menyimak para penumpang hari ini. Seharusnya ia bersyukur karena tak pernah merasakan hal yang sama seperti mereka. Berdiri di dalam kereta berjam-jam untuk sampai di tempat tujuan. Sedangkan ia?
Selalu ada mobil yang mengantarnya kemana pun pergi. Tapi tetap saja seolah tak bersyukur. Entah apa maunya manusia. Ia juga tak mengerti. Kenapa hawa nafsu itu selalu membuat manusia mana pun buta?
Ia menarik nafas dalam lalu menundukan kepala. Rasa syukur yang tak terhingga pada-Nya hingga membuatnya ingin sekali menangis. Ia mendongak lagi. Menatap wanita yang telah menyeretnya kemari. Bersyukur abangnya mendapat wanita seperti ini. Tak salah pilih. Wanita ini selalu saja mampu mengajarkannya cara untuk bersyukur. Tak perlu berkata, cukup lihatlah sekitarmu.
Ia menggemgam tangan itu semakin erat. Membuat Icha menoleh lalu terkekeh geli. Ia pikir, Aisha takut. Sementara Aisha hanya tersenyum. Lama sekali kereta itu membawa mereka. Kini mesin bergerak ini baru sampai di Manggarai. Kaki Aisha sudah pegal berdiri sejak setengah jam tadi.
Ia melirik jam tangannya. Sementara Icha santai saja. Berpegangan. Mata memandang keluar. Berapa lama ia tak merasakan ini? Membuatnya rindu pada masa-masa susah dulu. Menatap jalanan disetiap harinya. Menghabiskan waktu di jalan. Boleh saja orang menilai betapa susah hidupnya tapi ia bahagia saat itu. Karena perjuangannya sekeras itu. Menapaki jalanan dengan langkah kaki sendiri. Berkali-kali jatuh dalam hidup lantas tak membuatnya terpuruk. Bangkit, itu bisikan hatinya setiap ia jatuh. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa seperti ini?
Ia menundukan kepalanya. Hampir menangis. Rasa syukur itu menerpanya. Kini ia mengerti, oh begini cara Allah mengubah nasibnya.
@@@