Jeda Kelima

1262 Kata
Aku rela bangun pagi hari ini, demi untuk melakukan rekaman siaran yang akan diputar nanti malam. Karena aku akan pergi menonton acara yang sedang dilangsungkan selama seminggu ini dengan tema musik 90-an dan mendatangkan penyanyi - penyanyi lawas yang pernah hits di jaman itu. "Kamu baru bangun?" Suara Eda membuat tempat sabun yang kubawa berjatuhan. "Abang ngagetin aja!" Omelku saat menyadari dirinya duduk dengan laptop menyala di meja ruang tamu indekost yang kutempati. Pintu terbuka lebar dan ibu kost sedang menyapu halaman depan. Aku keluar untuk menyapa ibu kost yang sedang berkunjung, apalagi tujuannya kalau bukan untuk membersihkan rumah kost miliknya. Aku baru saja hendak menumpang mandi di kamar mandi luar, karena keran kamar mandiku sedang bermasalah. "Abang kira sudah rapi." Lanjutnya. Dia melirik handuk dan tempat sabun dan isinya yang sudah kupunguti kembali. "Keran kamarku rusak, mau mandi di sana." Tunjukku. Eda bangkit dari duduknya. "Coba Abang lihat." Aku mengganjal pintu kamar dengan kursi dan membiarkannya memeriksa kamar mandi di kamarku setelah meminta izin pada ibu kost. Saat aku kembali dari mandi, Eda masih berkutat dengan keran di kamar mandi. Kali ini ibu kost juga ikut membantu. Kemeja yang tadi dipakai Eda, diletakkan di kursi. Sekarang dia hanya menggunakan kaos oblong berwarna putih sambil memutar - mutar keran yang dia ganti. Sepertinya ibu kost punya cadangan. Keringat menyembul di pelipisnya. Dia berdiri setelah menyelesaikan apa yang dia kerjakan. Ibu kost tersenyum padaku seraya memujinya. "Untung ada abang kamu, Ra. Kalau enggak, lama deh manggil tukang buat benerinnya." Aku meringis sambil mengangguk. Ibu kost selalu mengira Eda adalah kakak laki - lakiku. Makanya dia dengan mudah keluar masuk di sini, karena tidak seorangpun menyangka bahwa kami tidak ada hubungan darah. Tidak perlu bertanya mengapa. Sedih. Aku memberikannya beberapa lembar tissue untuk menyeka keringat. Dan Eda langsung memakai kemejanya lagi begitu selesai membersihkan diri. "Abang yakin enggak ikut nonton nanti malam?" Tanyaku saat kami sudah di depan motornya. "Enggak." Eda memberikan helm padaku dan memakai untuknya sendiri. "Aku nonton sama temen kantor. Partner siaranku." Eda tahu partnerku laki - laki, aku harap informasi ini membuatnya tergerak dan berubah pikiran. "Abang jemput atau diantar sama dia nanti?" Pertanyaannya membuat harapanku pupus  sirna dan lenyap seperti debu yang dihembus angin. "Aku nginep." Jawabku lempeng. Pelajaran berharga mengenalnya bertahun - tahun adalah, jangan pernah emosi. Percuma. Energiku hanya akan sia - sia jika meluapkan emosi padanya. "Oh. Di hotel apa?" Aku menghembuskan napas pelan dan menutup kaca helm. "Ayo jalan!" Eda seperti tidak lagi tertarik dengan pertanyaannya barusan. Dia pun mulai menjalankan motornya tanpa tahu di belakang sini aku berusaha mengingat - ingat, dosa apa yang pernah kulakukan hingga menerima hukuman seperti ini? Kami sampai tepat saat aku melihat Kelvin yang sedang berjalan masuk ke dalam gedung kantor. Dengan semangat aku turun dan menyapanya. Kelvin yang kutahu belakangan ini memang tipe orang yang asyik dan mudah bergaul, langsung merangkul bahuku saat menyadari keberadaanku. "Haura!" Aku baru sadar, bahwa Eda masih ada di belakangku. Aku menoleh dan melihatnya memanggilku dengan isyarat. Aku melepaskan rangkulan Kelvin dan mendekati Eda. Jantungku berdetak tidak karuan. Wajah datar dan lirikan Eda pada Kelvin membuatku berprasangka macam - macam. Ada harapan Eda cemburu dan mulai menunjukkan sisi emosionalnya padaku. Tapi ada ketakutan juga yang kurasakan, takut Eda menganggapku perempuan centil dan gampangan. "Kamu enggak siaran pake helm kan?" Tanyanya begitu aku mendekat. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengerti bahwa Eda memang memiliki karakter ajaib seperti ini. Perlahan, kulepaskan helm dan memberikannya pada Eda. Setelah pamit, dia pergi begitu saja dari hadapanku yang masih mematung di tempatku berdiri. Hingga Kelvin menepuk bahuku dan mengajak masuk. *** Tidak ada yang tidak nyanyi saat lagu andalan Blue dinyanyikan. Termasuk aku. Dengan semangat aku ikut mendendangkan lagu yang bahkan pernah dicover puluhan artis se-Asia. Hingga tak kusadari, tubuh Kelvin yang tinggi dan 'melindungi' sudah menempel di belakangku. Secara tidak langsung, aku bersandar padanya. Tapi Kelvin tidak merasa risih, dia malah seperti memang berusaha melindungiku dari arus penonton yang ikut bergoyang di sekitar kami. "Lo haus Ra?" Aku mengangguk. "Habis ini cari minum ya." Aku mengangguk lagi. Kami dilarang membawa makanan dan minuman ke dalam venue. Jadi harus siap tahan haus ya kecuali kalau mau nekat selundupin tupperware dalam tas sih. Di sekitar lokasi konser, banyak booth - booth yang menjual beraneka pernak pernik yang pernah hits di tahun 1990-an. Setelah selesai dengan band - band luar Negeri, kami kembali dihibur dengan band lokal yang dulu sangat hits. Sebut saja The Groove, Sheila on 7, Padi dan masih banyak yang lainnya. Aku menyerah saat Padi membawakan lagu 'Begitu Indah' dan menyeret Kelvin untuk mencari minum. Kerongkonganku rasanya kering. Kelvin menyodorkanku sekaleng minuman isotonik yang langsung kubuka secepat mungkin karena kehausan dan merasa lemas kekurangan cairan. Tetesan keringat kurasakan di dahiku, baru saja hendak mengelapnya, tangan Kelvin sudah menghapus jejak keringatku dengan sapu tangan yang dia bawa. Setelahnya, dia juga merapikan rambutku yang berantakan membuatku tersenyum canggung. "Lo punya pacar, Ra?" Tanya Kelvin setelah tangannya melepaskan area kepalaku. Aku bingung ingin menjawab apa. Jiwa nakalku ingin menggeleng, tapi aku lebih khawatir kalau Kelvin justru tahu dari anak - anak kantor kalau aku sudah punya Eda. Perlahan, kuanggukkan kepala. "Kok gak sama doi nontonnya?" Kuhembuskan napas pelan. "Dia kurang suka acara musik begini." "Oh. Kerja di mana pacar lo?" "Ngajar." "Oh guru." "Dosen." Ralatku, Kelvin mengangguk - angguk. "Eh ada yang jual telur gulung. Mau Ra?" Aku semangat mengangguk - angguk. Kelvin menarikku ke depan booth yang menjual telur gulung. Kami ikut dalam antrian dan berhasil membeli 20 tusuk telur gulung dan duduk di atas rumput - rumput untuk menikmatinya. Kelvin menceritakan pengalamannya saat meliput konser dan acara musik sebelum dirinya masuk ke Stay Tune. Dan aku menikmati ceritanya. Menikmati suara, tawa dan ekspresi wajahnya saat bercerita. Aku suka bagaimana dia begitu bersemangat dan larut dalam kenangan - kenangannya. Tepat jam setengah dua belas malam, aku merasa tubuhku kelelahan. Kelvin menawarkan untuk menginap di hotel dekat sini tapi aku tebak pasti sudah penuh. Mengingat pengunjung acara ini banyak yang berasal dari luar Jakarta. Aku pun memutuskan untuk kembali ke kost dan tentu saja Kelvin bersedia mengantarku. Begitu duduk di dalam mobil, mataku langsung terasa berat. Entah apa yang dikatakan Kelvin, aku hampir tidak mendengarnya dan memilih larut dalam kantukku. "Ra. Haura! Udah sampai, Ra." Aku menguap begitu menyadari bahwa kami sudah berada di depan indekostku. "Nyenyak banget lo tidur, sampe ngiler gitu." Spontan aku memeriksa pipi dan bibirku, lalu memukul Kelvin karena berbohong. Dia tertawa dan membantu melepas seatbeltku. "Dah sana istirahat, besok bangun siang. Kita siaran malam." Aku mengangguk dan meraih barang - barangku di kursi belakang. "Makasi ya Vin." "Sama - sama. Sleep tight, Haura." Kelvin berdadah - dadah, tapi tiga kata terakhirnya sukses membuat bibirku nyengir lebar. Seumur - umur pacaran sama Eda, gak pernah dapat ucapan selamat tidur yang manis. Aku masuk ke dalam kamar dengan hati riang, badanku yang tadi lelah rasanya menjadi ringan. Dosa gak sih baper sama orang lain saat kita punya pacar? Pertanyaan itu menari - nari di benakku. Wajah tampan Kelvin tiba - tiba muncul dalam bayangan saat aku memejamkan mata dan menghilang berganti wajah datar Eda. Aku membuka mata dan kembali memejamkannya. Lagi, bayangan wajah Kelvin pop up sebentar kemudian berganti wajah datar Eda. Aku bangkit duduk di pinggiran kasur, menghadap ke cermin. Memanyunkan bibir. Seolah - olah, Eda tahu kalau aku sedang memikirkan cowok lain. Kututup bingkai foto di atas meja rias yang berisi Eda dan aku saat aku wisuda. "Bang Eda jangan lihat, aku mau menikmati kebaperan ini sebentar aja." Bisikku pada foto itu dan kembali berguling sambil membayangkan wajah Kelvin saat mengucapkan 'sleep tight, Haura'.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN