Dering ponsel yang tidak berhenti membuatku menyibakkan selimut dengan kesal. Nama Eda tertera di sana. Segera kuraih ponsel dan menjawab panggilannya.
"Halo, Ra? Kamu nginep di mana?"
"Aku di kost. Kenapa?"
Kudengar desahan pelan Eda. "Abang di Kemayoran mau jemput kamu."
Spontan aku bangkit dari posisi tidur dan terduduk di atas kasur. "HAH? Aku gak bilang mau nginep."
"Kemarin kamu bilang akan nginep." Dia gak mau kalah. "Yasudah, Abang ke kost kamu."
Dia mematikan sambungan telepon tanpa mendengar argumenku.
Aku kan gak serius ngomong mau nginep.
Notifikasi baterai lemah ponselku berbunyi, setelah melihat jam aku mencolokkannya ke pengisi daya.
Perutku keroncongan. Segera aku beranjak dari kasur, mencuci muka dan menuju dapur untuk membuat mie instan. Di lantai atas, aku mendengar suara dua orang bercakap - cakap.
Lantai atas dihuni anak ibu kost, mbak Nita. Tapi dia jarang pulang. Kadang seminggu sekali baru pulang. Sepertinya dia ada di atas kali ini. Letak dapur berada di bawah tangga persis, percakapan semakin jelas. Itu percakapan dua orang, laki - laki dan perempuan.
Aku sengaja berdiri membelakangi tangga saat mendengar suara langkah turun dan obrolan mereka berdua.
"Hai Ra, belum berangkat?" Mbak Nita menyapaku, mau gak mau aku menoleh dan tersenyum ke arahnya.
"Belum Mbak, siaran malam." Jawabku dan sempat melirik pria di belakang mbak Nita yang ikut tersenyum.
"Jalan dulu ya. Dagh!" Aku melambaikan tangan ke mbak Nita yang berlalu.
Baru kusadari ada mobil yang terparkir di carport depan saat melongok ke jendela untuk melihat mbak Nita pergi. Semalam pasti aku terlalu lelah sampai - sampai tidak ngeh kalau ada mbak Nita dan pacarnya.
Aku tahu jika tidak pulang ke sini, mbak Nita tinggal di apartemen pacarnya. Kenapa gak nikah aja sih? Udah cukup umur semua. Mereka juga tidak malu - malu menunjukkan kemesraan di depanku. Bahkan mereka sempat berciuman tadi sebelum membuka pintu.
Aku memukul kepala sendiri, kepo banget deh lu Ra!
***
Selesai menandaskan mie, aku menghubungi orang laundry untuk menjemput baju - baju kotorku. Sambil menunggu mereka datang, aku membersihkan kamar.
Bel berbunyi tidak lama, aku membawa baju - baju yang akan di laundry ke depan dan memberikannya pada Intan, petugas laundry yang sudah kukenal.
Karena tidak ada yang ingin kulakukan lagi, aku pun memilah buku koleksi dan memilih membacanya sambil meluruskan punggung di sofa ruang tamu. Pintu sengaja kubuka agar sirkulasi udara di dalam ruangan berganti dengan udara yang bagus.
Memasuki bab 4, aku mendengar suara pintu pagar yang dibuka dan mesin motor dimatikan, itu pasti Eda. Suara langkah kaki yang mendekat membuatku menutup buku Memoirs of a Geisha yang sedang k****a.
Eda masuk mengucapkan salam, yang kujawab dan memintanya duduk. Wajahnya memerah karena panas, padahal hari belum terlalu siang. Baru jam setengah sebelas. Aku masuk ke dalam kamar mengambilkan tissue dan air mineral untuknya.
Saat keluar, Eda sudah memegang buku yang tadi k****a.
"Aku cuma bercanda waktu bilang akan nginep." Aku-ku menyesal.
Wajah Eda tampak kelelahan. Dia meneguk air yang kuberikan dan mengelap wajahnya dengan tissue.
"Abang gak ngajar?" Tanyaku, memecah diam karena tidak ada respon darinya.
"Libur." Jawabnya singkat.
Eda malah membaca buku yang tadi k****a. Aku duduk di sofa panjang, memanggil Eda dan memintanya duduk di sebelahku. Dia menurut meski matanya tidak lepas dari buku yang dipegangnya. Aku mengambil bantal sofa untuk dipeluk dan membaringkan diri dengan menggunakan pahanya sebagai bantal.
Eda masih betah dengan keterdiamannya. Dan aku lelah, secara emosional, untuk memintanya berinteraksi denganku. Jadi, aku memejamkan mata. Membiarkan Eda larut dengan buku yang seharusnya k****a lagi.
Sayup - sayup dalam kantuk, aku merasakan tepukan pelan Eda di kepalaku. Nyaman, membuat kelopak mataku semakin berat.
Suara Eda yang memanggil - manggil namaku, membuatku membuka mata. Wajah Eda yang menunduk di atas kepalaku lah hal pertama yang kulihat. Kedua alisnya naik dan bibirnya terbuka sedikit.
Entah setan dari mana, aku kembali membayangkan adegan mbak Nita yang berciuman dengan pacarnya tadi. Mataku sekarang tidak bisa berpaling dari bibir Eda. Dia mengucapkan sesuatu, yang rasanya jauh dari pendengaranku. Fokusku hanya satu, ingin menyentuh bibirnya.
Eda mengelus pipiku dan kembali memanggil namaku. Namun yang terjadi kemudian, aku mengangkat kepala dan meraih tengkuk lehernya. Dalam hitungan nano detik, bibir kami bertemu.
Kurasakan Eda terpaku di depanku. Dia diam, tidak merespon ciumanku. Peduli setan, aku sudah kadung penasaran dengan rasanya. Jadi kulanjutkan saja apa yang telah kumulai. Namun, reaksi Eda membuat hatiku sakit. Dia diam saja dan malah membiarkanku menciumnya sendirian.
Aku melepaskan diri dan menatap kedua matanya yang menatapku lekat - lekat. Ada gejolak emosi di sana yang berusaha dia tahan. Aku tahu itu setelah bertahun - tahun mencari diriku di matanya.
"Abang normal kan?" Tanyaku, suaraku menjadi berat karena gairah dan terluka.
Bayangan tentang film Freddy Mercury membuatku berimajinasi yang tidak - tidak mengenai Eda.
Eda memejamkan mata, seolah pertanyaanku adalah hal tersulit yang harus dia jawab. Hatiku tercubit lagi. Eda bernapas dengan berat namun tidak menyingkirkanku yang sekarang duduk di atas pahanya.
Aku mengelus leher belakangnya, Eda membuka mata. Kini tatapannya mengunci kedua mataku. Lalu berpindah ke bibirku. Selanjutnya adalah hal yang tidak kuduga, Eda melumat bibirku dengan kasar. Membuatku gelagapan. Tidak sampai situ, kedua tangannya yang merangkulku kini berusaha mendekatkan tubuhku untuk lebih erat dengannya.
Aku sulit bernapas. Gairah menelan kami berdua. Eda juga mendorongku hingga berbaring di sofa tanpa melepaskan pagutan kami. Tangan kirinya memegang ujung kaosku. Aku tahu ini kelewat batas, tapi jiwa jalangku tidak ingin berhenti. Aku ingin Eda melakukan hal lebih dari ini.
Tapi tiba - tiba, Eda melepaskan diri dengan terengah - engah. Meninggalkanku yang sudah setengah lupa. Eda duduk di sofa tunggal, seperti sengaja menjauh dariku. Meneguk air minumnya dan memejamkan mata. Aku menyukai Eda yang berantakan seperti ini, dia terlihat berbeda dari Eda yang kaku dan pendiam.
"Abang bisa melakukan hal yang lebih dari ini, Ra. Jangan pancing aku." Katanya pelan.
Aku bangkit untuk duduk dan merapikan bajuku yang sempat tertarik - tarik.
"Aku gak masalah kalau--"
"Abang yang bermasalah kalau memanfaatkan kamu." Jawabnya tegas. Dia berdiri, mengambil kunci motornya. "Sudah dzuhur. Nanti Abang jemput, kita makan siang bareng."
Aku terduduk pasrah melihat punggungnya yang keluar dari rumah ini. Baru saja aku merasa di atas angin karena membuatnya tampak manusiawi, tapi apa itu, pengendalian diri huh?
Tapi senyum bodoh menguasaiku kini, terbukti sudah bahwa Eda ternyata masih memiliki ketertarikan seksual terhadapku. Aku berlari ke kamar dan duduk di depan cermin rias. Bibirku membengkak, ini adalah ciuman pertama kami dan aku langsung mendapatkan jackpot karena hampir membuatnya lupa diri.
Seketika, aku lupa bahwa semalam Kelvin sempat membuatku baper. Eda yang seperti ini lebih memabukkan dari siapapun. Aku bertekad akan memancingnya lagi untuk merasakan Eda yang tampak lebih manusiawi seperti tadi.
Aku terkikik sendiri membayangkan ide - ide konyolku.
***