Aku menatapi sekali lagi wajah pria itu, aku begitu menyayanginya biar bagaimanapun juga aku pernah menghabiskan waktu hampir satu tahun lamanya bersama Robert. Dan aku lah yang harus bertanggungjawab atas semua yang terjadi pada Robert.
“Cepatlah sembuh, Roo. Aku sangat mengkhawatirkanmu, lava man.” ucapku lalu mencium kening Robert pelan.
Aku beranjak dari dudukku dan bersiap untuk keluar namun langkahku terhenti karena seseorang yang memasuki ruang pengobatan.
“Apa yang kau lakukan di sini, Syahquita?” tanya Albert begitu marah.
“Aku hanya melihat keadaan Robert.” jawabku.
“Dan meninggalkan Ollie sendirian di kamar. Anak ini menangis sejak tadi karena mencarimu.” marahnya sambil mengusap punggung Oliver.
Aku mengambil alih Oliver dari gendongan Albert, “Mommy, di sini, Nak.”
“Mommy…” ucap Oliver tersedu-sedu.
“Sungguh, Al. Aku tidak tahu jika Ollie menangis, saat aku ke sini ia sedang tertidur.” kataku berusaha menjelaskannya pada Albert.
Albert memberikan tatapan marah plus kecewanya padaku dan membuatku semakin terpojok, “Kau tahu, bukan? Kalau Oliver merindukanmu, yang dibutuhkannya hanya dirimu, Syahquita.”
Aku menghela napas pelan dan memejamkan mataku sejenak, “Ya, aku tahu, sayang. Aku minta maaf karena kecerobohanku.”
Bisa aku lihat dengan jelas Albert memutar matanya jenuh saat aku berbicara, aku sungguh tidak tahu apa yang membuatnya hingga marah seperti itu.
“Sudahlah, kau begitu mengkhawatirkan Robert sehingga mengabaikan suami dan anakmu sendiri.” kata Albert.
Aku terdiam mendengar kata-kata itu, sungguh kemarahan Albert tak dapat aku hindari lagi. Aku berusaha untuk menenangkannya tetapi semakin aku berusaha maka semakin memuncak pula amarahnya.
“Aku tidak mengabaikanmu atau Ollie, Al. Tidak sekalipun.” ujarku berusaha melunakan hati Albert.
“Tapi nyatanya kau membiarkan Ollie sendirian di kamar dan menangis mencari ibunya.” bantah Albert seakan tak mau mendengarkan alasan apapun dariku.
Aku harus berkepala dingin ketika menghadapi Albert dan segala kemarahannya ini, jika aku memakai amarah maka kami akan bertengkar hebat.
“Sudahlah aku tidak ingin bertengkar, aku minta maaf atas kesalahanku.” kataku lalu melenggang pergi dari hadapan Albert.
Aku berusaha berjalan cepat untuk menghindari Albert dan pertengkaran yang mungkin saja akan terjadi. Aku tidak mau Oliver mendengar semua perdebatan kami dan mengganggu mentalnya. Aku membawa Oliver ke kamar agar ia bisa kembali tidur. Aku membaringkan tubuh Oliver di atas kasur dan mengambil tempat di sampingnya, tanganku membelai lembut rambut hitamnya berusaha untuk membuat Oliver tenang dan nyaman di dekatku.
“Tidurlah, sayang. Mommy tidak akan ke mana-mana.” bisikku.
Perlahan-lahan mata Oliver terlihat sayup-sayup dan itu membuatku lega karena ia sudah tenang tanpa ketakutannya akan diriku yang menghilang dari hadapannya. Aku memainkan jari telunjukku di kening Oliver, menggerakannya ke kanan dan ke kiri. Mata Oliver tertutup rapat seiringan dengan tanganku yang terus bergerak di keningnya.
Mataku menangkap sosok Albert yang memasuki kamar masih dengan raut wajah marahnya. Secara perlahan aku beranjak dari atas kasur tanpa membuat pergerakan yang akan membangunkan Oliver, aku menyelimuti tubuh anakku lalu berjalan menghampiri Albert.
“Apapun yang ingin kau katakan, kita bicarakan di luar.” kataku tanpa melihat wajah Albert sambil berjalan keluar dari kamar.
Albert mengekoriku keluar dari kamar, aku menutup pintu kamar rapat-rapat setelah Albert keluar. Aku menarik tangan Albert dan membawanya menjauh dari depan kamar, mencari tempat yang terbilang cukup aman untuk berteriak.
Aku melepaskan tangan Albert pelan, “Apa yang ingin kau katakan?”
“Aku tidak ingin mengatakan apapun.” dinginnya.
Aku memalingkan wajahku dari tatapan Albert, mengatur napasku yang sedikit memburu karena takut terbawa emosi saat berbicara dengan Albert, “Aku tahu kau ingin mengatakan sesuatu, katakan saja. Apapun yang mengganjal hatimu.”
“Jika kau tak ingin bicara maka lupakan kemarahanmu itu.” saranku bersiap membalikkan tubuhku namun tangan Albert menahan lengan kananku.
“Mengapa kau menghindar dariku Syahquita?” tegasnya.
Aku melihat ke arah tangan Albert dan wajahnya secara bergantian, “Aku tidak menghindarimu, aku menghindari kemarahanmu.”
Tangan Albert semakin kuat mencengkram lenganku dan aku yakin saat ini tanganku sudah memerah akan tetapi aku menahan rasa sakit itu ketimbang mengatakan bahwa itu menyakitkanku.
“Untuk apa kau menghindariku, Syahquita?” tanya Albert lagi.
“Aku tidak menghindarimu, Albert. Tidak sama sekali.” kesalku.
“Untuk apa kau menghindariku, Syahquita?” Albert kembali menanyakan hal yang sama dan membuatku semakin bingung.
“AKU. TIDAK. MENGHINDARIMU, ALBERT!!! Aku hanya menghindari kemarahanmu karena aku tidak mau bertengkar. Sekarang lepaskan tanganku!!!” marahku.
Albert melepaskan lenganku dan aku mengambil kesempatan itu untuk pergi dari hadapannya tapi lagi-lagi ia mencegahku untuk melangkah dengan mengatakan sesuatu.
“Apa yang terjadi padamu, Syahquita? Kau melupakan aku dan Oliver. Semua perhatianmu hanya tertuju pada Robert.” kata Albert.
Aku membalikan badanku dan memperhatikan dalam-dalam wajah suamiku, “Aku baik-baik saja. Aku tidak melupakanmu atau Oliver, aku juga tidak menghindarimu. Sudahlah, Albert. Aku lelah.”
“Pergilah!!! Dan acuhkan diriku, Syahquita. Aku sudah terbiasa sejak kepulangan kita ke kastil.” bentak Albert dengan suara yang sangat tinggi.
Aku menghela napas pelan mencoba untuk mengatur emosiku yang ingin keluar ke permukaan, “Dengar, Al. Aku tidak mengacuhkan dirimu sama sekali. Aku hanya..”
“Hanya mengkhawatirkan Robert. Itu yang ingin kau katakan?” marahnya.
“Ya, aku mengkhawatirakannya.” kataku membenarkan perkataan Albert.
“Mengapa kau hanya mengkhawatirkan Robert? Mengapa tidak denganku dan Oliver?” tanya Albert terdengar tegas.
Aku terdiam sejenak memandangi manik mata milik Albert, “Aku mengkhawatirkan semua orang jika mereka sedang dalam keadaan yang sama seperti Robert. Please, Al. Jangan mencari celah untuk memicu pertengkaran.”
“Why? Apa kau tak ingin mendengar seluruh isi hatiku? Bukankah kau sendiri yang memintaku untuk mengatakan segala hal yang mengganjal hatiku?” ketus Albert.
Aku menganggukan kepalaku pelan, “Ya, aku memintanya tapi bukan untuk bertengkar melainkan agar kau bisa membagi isi hatimu denganku.”
“Mengapa kau begitu mengkhawatirkan Robert?” tanya Albert datar bahkan sangat datar nyaris tak berekpresi.
“Al, tidak adakah pertanyaan selain itu? Aku sudah menjawabnya.” kataku.
“Itu bukan sebuah jawaban, Syahquita. Mengapa kau begitu mengkhawatirkan Robert?” tanya Albert masih dengan pertanyaan yang sama kali ini terdengar dingin di telingaku.
Aku menundukan pandangaku sejenak lalu mengangkatnya kembali, emosi Albert membuatku geram. “Al, please. Aku sudah mengatakannya padamu, aku mengkhawatirkan semua orang jika berada di posisi Robert saat ini.”
“Mengapa kau selalu menjawabnya dengan hal lain? Aku ingin jawaban yang sebenarnya dari hatimu.” tegas Albert dengan mata yang menyorot pada diriku.
“Luka itu disebabkan oleh diriku, Albert! Karena Robert menginginkan kebahagian untukku!” teriakku dengan mata terpejam.
“Apa hanya Robert yang menginginkan kebahagainmu? Apa aku tidak menginginkannya? Aku sangat menginginkannya, Syahquita!” kesal Albert.
Aku membuka mataku dan menatap dalam mata Albert yang terlihat seperti pedang, sangat tajam. “Tapi saat itu kau tidak ada di dekatku, Albert. Hanya Robert yang selalu berada di sampingku. Apakah salah jika aku mengkhawatirkan pria yang sudah mengorbankan segalanya untukku?”
“Apa kau pikir aku tidak mengorbankan semuanya untukku?” tanya Albert yang membuatku semakin bingung saja.
“Aku tidak tahu, Albert. Aku tidak tahu!!!” teriakku tak lagi lemah lembut.
Albert tersenyum meremehkanku setelah mendengarkan kataku, “Kau tidak tahu? Aku ini suamimu, Syahquita. Kau tidak tahu perjuanganku untukku? Ke mana saja kau selama ini?”
“Kau yang ke mana saja selama setahun sebelum pernikahan kita, heh? Kau menghilang tanpa jejak dan menemuiku bersama wanita idamanmu dan kembali menghilang.” emosiku sukses terpancing oleh kata-kata Albert yang menyebalkan.