“Nama wanita itu adalah Grasella, ia pemimpin dari kawanan penjaga hutan. Kau tahu Albert, ternyata dia sangat baik dan friendly. Kau akan terkesan dengan kebaikan dan kerendahan hatinya.” seru Syahquita.
“Ya siapapun dia aku tidak peduli, yang aku pedulikan hanya dirimu. Dan terima kasih untuk Grasella karena tanaman ini kita bisa segera kembali ke Swedia.” kata Albert.
Syahquita mengangguk mantap dengan senyuman lebarnya, “Ayo, kita bersiap.”
Syahquita beranjak dari duduknya, ia berdiri di depan suaminya, “Maafkan aku karena membuatmu khawatir.” ucapnya lalu mencium pucuk kepala Albert.
Ia berlalu ke kamar tidur mereka untuk membereskan barang-barang, Syahquita sudah tak sabar ingin kembali ke rumahnya hmm tidak, ia sudah tak sabar untuk bertemu dengan Oliver. Albert membantu Syahquita untuk merapikan barang mereka agar mereka bisa segera berangkat dan sampai di Swedia secepat mungkin.
***
“We back.” teriak Syahquita sangat riang memasuki kastil.
Syahquita dan Albert tiba di kastil perbatasan setelah melalui perjalanan panjang yang memakan waktu berjam-jam lamanya, bukan lagi melelahkan tapi juga membosankan dan menguras tenaga bagi Albert. Bagi Syahquita perjalanan mereka sangat menyenangkan, hitung-hitung second honey moon.
“Syahquita, Albert. Mengapa kau tidak memberitahu kami jika kalian akan tiba hari ini.” sambut Joven yang keluar dari ruang tengah bersama Dawin.
“Aku sudah meminta Albert untuk memberitahu kalian tapi dia lebih memilih naik taksi daripada harus menunggu lama.” ejek Syahquita melirik suaminya yang terlihat begitu datar.
“Suamimu memang aneh.” timpal Dawin sambil cipika cipiki dengan Syahquita.
Albert dengan kelelahannya melihat Dawin memanfaatkan kebungkamannya untuk mendekati Syahquita, “Jika kau melakukannya lagi aku akan membunuhmu.”
Dawin terkekeh mendengar ancaman dari kakaknya, ia menganggap itu hanya sebagai angin lalu. Dawin merangkul Syahquita dan menuntun kakak iparnya ke ruang tengah tempat di mana permata hati Syahquita berada.
“DAWINNN!!!” geram Albert melihat tangan kekar Dawin melingkar di bahu istrinya.
Syahquita tersenyum geli mendengar kekesalan suaminya yang marah hanya karena melihat hal sepele saja, ia justru merangkul pinggang Dawin dan menambah kekesalan Albert. Mungkin jika terlihat kedua tanduk Albert sudah keluar dan wajahnya memerah serta mengeluarkan asap.
“Ollie.” teriak Syahquita mendapati anaknya sedang duduk bersama ketiga babysister.
“Mommy..” seru Oliver.
Syahquita menghambur begitu saja menghampiri anaknya, ia menggendong dan memeluk Oliver sangat erat, “I miss you so much, sweetheart.”
“Mommy…” lirih Oliver.
“Iya, sayang. Mommy di sini, Nak.” bisik Syahquita mengusap punggung anaknya.
“Syah, badannya sedikit panas.” kata Arla dengan raut wajah khawatirnya.
Syahquita tertegun, ia menempelkan punggung tangannya ke kening Oliver dan benar saja apa yang Arla katakan suhu badan Oliver sedikit naik.
“Sejak kepergianmu ia selalu menangis dan meminta dirimu.” sahut Jessie.
Syahquita mengelus-elus belakang kepala Oliver, hatinya remuk mendengar berita tak mengenakan dari Jessie. Meski ia sudah meminta Oliver untuk tak menangis tetap saja jika seorang anak jauh dari ibunya pasti ia akan merindukan sosok wanita yang selalu berada di dekatnya.
“Dan belakangan ini nafsu makannya sedikit berkurang. Aku rasa ia terlalu merindukanmu.” timpal Martha.
“Kalian tenang saja, aku akan menjaganya sebaik mungkin. Terima kasih telah menjaganya selagi aku tak ada.” ucap Syahquita berusaha tenang.
Jessie mendekat ke Syahquita, ia mengelus lembut punggung Oliver, “Dia merindukanmu, Syah. Luangkan waktu sebanyak mungkin untuknya.”
“Tentu, kau tak perlu khawatir.” jawab Syahquita dengan senyumannya.
“Albert, Syahquita. Kalian sudah datang?” celetuk Keenan memasuki ruang tengah. Semua mata langsung tertuju pada kehadiran Keenan bersama dengan Alger.
“Alger, kau bisa langsung melakukan pengobatan untuk Robert.” seru Keenan dengan raut gembiranya.
Alger mengangguk setuju dengan saran Keenan, “Tentu saja, Tuan.”
“Al, berikan bunga itu pada Alger.” titah Syahquita.
Albert menidurkan koper yang di pegangnya, ia membuka relsleting koper dan mengeluarkan satu per satu barang yang ada di atas tanaman itu. Saat mengemas barang tentunya Albert harus berpikir pandai agar ia tidak kehilangan bunga itu di bandara ketika pemeriksaan. Albert memberikan semua tangkai bunga anggrek hitam berbalut kain satin putih ke Alger.
“Bagaimana bunga ini bisa lolos dari pemeriksaan di bandara?” Tanya Joven penasaran.
Syahquita terdiam memandangi anggrek hitam di tangan suaminya, ia tersenyum kecil saat mengingat mimpi nyata yang menghampirinya. Di dalam mimpinya Grasella mendatangi Syahquita, ia memberikan kain satin putih ajaib agar pemeriksaan ketat di bandara tidak dapat mendeteksi bunga tersebut. Betapa langka serta berharganya bunga itu jika ketahuan lalu disita oleh pihak bandara. Dikarenakan hal itulah Grasella menemui Syahquita di dalam mimpinya tepat pada malam sebelum dirinya meninggalkan tanah Papua.
“It’s long story.” Sahut Syahquita memberikan senyumannya kepada Joven.
“Tuan, kau bisa mendapatkan bunga sebanyak ini? Sungguh luar biasa.” puji Alger.
“Bukan aku yang mendapatkannya tapi Syahquita dengan keistimewaannya lah yang berhasil membawa bunga sebanyak itu.” sahut Albert.
“Kalian berdua memang luar biasa.” puji Dawin.
“Alger, lebih baik kau bergegas karena waktu Robert tak banyak lagi.” timpal Joven.
“Baik, Tuan.” kata Alger lalu melenggang pergi bersama dengan Keenan dan Dawin ke ruang pengobatan tempat Robert berada sekarang. Mereka harus berusaha keras agar Robert bisa selamat dari racun yang hampir menyelimuti seluruh tubuhnya bahkan sudah menyebar ke jantungnya. Seperti yang kita ketahui jantung di dalam tubuh Vampire bagaikan inti sari dari kehidupan mereka, jika terjadi sesuatu pada jantung mereka maka tamatlah hidup mereka.
PART 3
~Syahquita Pov~
Mataku tak bisa berpaling sedikitpun dari pria yang terbaring tak sadarkan diri di atas brankar, aku sangat mengkhawatirkannya bukan lagi khawatir tetapi juga merasa sangat bersalah karena luka di tubuh Robert diakibatkan olehku. Robert dengan segala obsesinya kala itu menyetujui pertemuannya bersama Drake di hutan hanya untuk membuatku bebas dari jeratan pria k*****t itu.
Drake memang pria tak berhati, sejujurnya aku sangat ingin membunuh pria itu tapi apa daya aku tak mampu melakukannya. Meski kejahatannya tak terhitung, aku tetap membelanya di depan semua orang karena aku percaya sejahat apapun Drake pasti memiliki sisi baik tersendiri, disadari atau tidak sisi baik pria itu mulai muncul.
“Bagaimana keadaannya, Alger?” tanyaku setelah Alger dan kedua medikus selesai mengobati luka Robert.
“Sedikit membaik, Nona. Hanya tinggal menunggu lukanya tertutup. Bunga itu bereaksi sangat cepat, semoga saja malam nanti lukanya benar-benar menutup.” jawab Alger yang memberikan sedikit kelegaan di hatiku.
“Terima kasih, Alger dan kalian berdua. Kalian sudah berusaha keras.” kataku.
“Sudah menjadi tanggungjawab kami untuk membantu menyembuhkan tuan, Nona.” sahut Bart-salah satu medikus.
Aku mengangguk pelan menanggapi apa kata medikus itu, aku sangat menghargai kerja keras mereka yang berusaha mengobati Robert setiap waktunya.
“Baiklah, Nona. Kami permisi.” pamit Alger.
“Iya, pergilah. Aku akan menjaganya.”
Alger dan kedua medikus meninggalkan ruang pengobatan menyisahkan diriku dan Robert yang masih setia memejamkan matanya. Aku mendudukan tubuhku di tepi brankar dan memperhatikan wajah pucat milik Robert, aku tak bisa menahan tanganku yang ingin membelai kepala pria itu.
“Roo, kau bisa mendengarkan aku, bukan? Aku mohon berjuanglah, para medikus di sinipun juga berjuang untukmu. Kuatkan dirimu, Roo. Aku yakin kau bisa melawan racun dalam tubuhmu.” bisikku di telinga Robert.
Tanpa aku sadari setetes air mata jatuh membasahi bantal Robert, melihat Robert seperti ini menggoyahkan jiwaku. Andai saat itu aku mampu melunakan kekerasan kepala pria ini, andai aku datang tepat waktu sehingga Drake tak dapat melukai jantung Robert, andai aku dapat mencegah Robert mungkin saja luka itu tidak akan ada dan dirinya tak mungkin terbaring seperti ini, aku sangat menyesali kebodohanku.