“Oh come on. Kau mengukit hal itu? Aku bahkan sudah menjelaskannya padamu, Syahquita! Mengapa kau mengalihkan pembicaraan kita? Apa sekarang hatimu terbuka untuk Robert?” tegur Albert dengan nada meninggi.
Aku terdiam menatap nanar wajah pria di hadapanku, “Apa kau sudah gila? Aku wanita yang bersuami, mana mungkin aku membuka hati untuk pria lain.”
“Lantas jika kau tidak membuka hatimu untuk Robert, mengapa kau sangat mengkhawatirkannya? Jangan katakan karena luka di tubuhnya itu!!!”
“Mengapa kau mengkhawatirkannya, Syahquita?” bentak Albert.
Air mata mulai terkumpul di pelupuk mataku hingga membuatku sulit melihat dengan jelas, “Tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengkhawatirkannya, Albert. Aku berhutang budi padanya, dia membawakan semua kebahagian untukku tanpa memikirkan dirinya sendiri. Seharusnya kau pun merasakan apa yang aku rasakan karena tanpanya kau tidak akan mungkin menjadi suamiku saat ini!!!”
“Apa kau memiliki perasaan untuknya?” tanya Albert.
Mataku yang terpejam sejenak menjatuhkan air mata ke wajahku, hancur sudah pertahananku. Perkataan Albert menggoyahkan batinku, suamiku sendiri meragukan perasaanku padanya. Entah di mana akal sehatnya saat ini.
“Kau tidak waras, Al. Lupakanlah semua pembicaraan ini, aku terlalu lelah untuk membahasnya.” kataku memilih untuk menghindar dari pertengkaran ini.
Aku mengangkat kakiku dan berjalan menjauh dari Albert tetapi belum ada lima langkah aku menjauh darinya suara Albert kembali terdengar di telingaku.
“Ya, lupakan saja, Syahquita. Lupakan aku seperti yang ingin kau lakukan saat hari pernikahan.”
“Aku berniat seperti itu karena aku mengira bahwa aku akan menikah dengan Robert. Come on, Al. Kau mengukit semua hal yang sudah berlalu. Apa tidak ada perkataanmu yang lebih berbobot dari sekedar masa lalu?” teriakku tak kuasa menahan emosiku yang meronta-ronta ingin keluar.
“Apa kau tak ingin mengingat masa lalumu yang menyenangkan bersama Robert?” tanya Albert dengan senyuman menyebalkannya.
Aku menarik napas dalam lebih dalam dari biasanya agar emosiku bisa turun kembali, “Hentikan, Al. Aku mohon hentikan perkataan konyolmu itu.”
“Masa lalumu bersama Robert begitu menyenangkan sampai kau melupakan semua masa lalumu bersamaku bahkan kau melupakan diriku dan anakmu, Syahquita.” kata Albert.
“Kau melupakan semua hal tentang kehidupanmu saat ini hanya karena rasa khawatirmu pada mantan tunanganmu itu. Kau melupakan aku, melupakan Oliver sekalipun.” teriak Albert dengan penekanan saat mengatakan kata mantan tunangan.
Aku berjalan mendekati Albert, “Ya, Robert memang mantan tunanganku. Apa kau ada masalah dengan hal itu? Kau sendiri yang membiarkannya menjadi tunanganku dan kau sendiri pula yang mempermasalahkan hal itu sekarang.”
Aku menggelengkan kepalaku pelan dengan tatapan tajam ke wajah Albert, “Aku tidak mengerti dengan jalan pikirmu, Albert. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu sampai membahas masa lalu yang sudah terlewatkan sejak lama. Aku tidak mau membahas masalah ini lagi, Albert. Hentikan saat ini juga atau jangan pernah berbicara apapun padaku sebelum emosimu stabil.”
Aku melenggang pergi dari hadapan Albert setelah mengatakan semua hal itu, apa yang aku katakan membuat Albert terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi. Aku meninggalkan Albert beserta kebungkamannya tanpa mau menoleh ke belakang walau hanya untuk sekedar menenangkan emosinya yang aku yakini tidak akan bisa menghilang dalam waktu lima menit.
***
~Author Pov~
Selama satu hari Albert mengasingkan dirinya dari Syahquita lebih tepatnya ia tidak melihat Syahquita selama seharian ini, ia lebih memilih pergi pagi hari ke kantor sebelum istrinya bangun. Albert tidak menjauh hanya saja Syahquita tidak memberinya kesempatan untuk berbicara selagi emosinya tak stabil, sejujurnya ia sangat merindukan istrinya itu, sangat-sangat merindukannya. Sepulangnya Albert dari kantor tidak langsung kembali ke kastil melainkan menginjakkan kakinya ke salah satu bar yang ia jumpai saat perjalanan pulang. Mungkin dengan meminum sedikit pikirannya yang kacau akan lebih tenang.
Albert menghabiskan waktu tiga jam lamanya di dalam bar dengan wiski yang sudah membuatnya melayang bak kupu-kupu antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan mabuk Albert memaksakan diri menyetir, untung saja tidak mencelakakan pengemudi lain ataupun dirinya.
Setibanya Albert di kastil, semua orang sedang melaksanakan makan malam bersama. Albert masuk ke dalam kastil dengan pakaian kerja yang sudah tak beraturan lagi, jas yang di jinjing di belakang tubuhnya, dasi yang kendur dan sedikit miring ke kiri serta kerah baju yang terbuka lebar.
Mata Syahquita tak sengaja menangkap sosok suaminya yang urakan itu, “Oh shitttt!!!” gumamnya segera berlari menghampiri Albert.
“Apa yang terjadi padamu, Al?” tanya Syahquita khawatir.
Albert tersenyum menyebalkan ke Syahquita, “Aku hanya sedikit mabuk.”
Syahquita hendak merangkul Albert namun pria itu mendorong tubuh istrinya hampir jatuh ke lantai untung saja Syahquita dapat menyeimbangi tubuhnya.
“Apa yang kau lakukan, Syahquita?” desis Albert.
“Biarkan aku membantu, Al.” Kata Syahquita.
Semua yang ada di ruang makan mulai merasa khawatir akan terjadi pertengkaran di antara keduanya. Joven dan Dawin menghampiri Albert untuk membawa pria itu pergi dari sana. Keduanya membawa Albert ke kamarnya.
“Mommy.. “ rengek Oliver saat Syahquita hendak menyusul Albert.
Syahquita mengusap lembut kepala Oliver, “Sayang, kau tetaplah di sini dengan bibi Arla, oke.”
“Oke, Mommy.” Sahut Oliver menuruti apa kata ibunya.
Syahquita berlari dari ruang makan, menaiki anak tangga hingga ke lantai dua kastil, ia berjalan cepat menuju kamarnya. Samar-samar Syahquita mendengar perdebatan dari dalam kamarnya. Dengan segera ia membuka pintu kamarnya dan benar saja seperti yang di dengarnya, Albert dan Joven sedang beradu mulut.
“Kau yang tidak waras, Albert!!!” bentak Joven
“Joven, Dawin. Kalian bisa pergi, aku akan mengurusnya.” ucap Syahquita berusaha mereda perdebatan.
Keduanya menatap Syahquita seakan meminta keyakinan darinya untuk menangani Albert tapi wanita itu justru memberi isyarat pada Joven dan Dawin agar keluar sesegera mungkin. Mau tak mau Joven dan Dawin melenggang pergi dari kamar Syahquita.
Syahquita menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan membalikan tubuhnya menatap serius suaminya yang sedang dirundung kemarahan. Syahquita menghampiri Albert dengan niat untuk menenangkan suaminya tapi yang ia lakukan justru membuat Albert semakin marah.
“Berhentilah untuk membantuku, Syahquita!!” teriak Albert.
Syahquita tidak mau mendengar apa kata Albert, ia terus melakukan apa yang harus ia lakukan saat ini. Albert menghempaskan tangannya di udara sehingga Syahquita terdorong beberapa langkah darinya.
“Apa yang kau lakukan, Al?” geram Syahquita.
“Apa yang aku lakukan? Apa yang kau lakukan, Syahquita? Tidak usah berpura-pura peduli padaku.” bentak Albert.
Syahquita menghela napas pelan, “Al, please.”
Albert mengacungkan jari telunjuk nya ke Arah Syahquita, “Kau, tidak perlu memikirkan apa yang aku lakukan. Kau pikirkan saja kesehatan adikku itu!!!”
“Keadaan Robert lebih penting untukmu, Syahquita. Kau pergilah, temui mantan tunanganmu.” Albert mendorong tubuh Syahquita agar menjauh darinya.
“Please, Al. Stop it!!!” teriak Syahquita dengan mata terpejamnya.
“Hentikan? Oke baiklah, aku akan berhenti bicara. Sekarang tinggalkan aku dan pergilah ke pria yang kau khawatirkan itu!!!” Kata Albert.
Air muka mulai memupuk di mata Syahquita, ia berusaha menggapai suaminya namun lagi-lagi Albert menepis tangan Syahquita.
“AKU SUDAH BILANG HENTIKAN KEPEDULIANMU PADAKU, SYAHQUITA!!!” teriak Albert murka.
“Kau suamiku, Al. Aku selalu mengkhawatirkanmu, Al.” ucap Syahquita selembut mungkin.
Albert menggeleng tak setuju dengan Syahquita, “Tidak, aku hanya pelampiasanmu saja. Kau tidak pernah peduli padaku!!!”
“Kau. Tidak. Pernah. Perduli. Padaku!!!” desis Albert dengan penekanan disetiap kata.
Keemosian Albert berlanjut pada pukulan keras yang ia layangkan ke dinding di sebelah kanannya. Pukulan itu membuat tangan Albert terluka. Pria itu memberikan tatapan tajam ke Syahquita.
Syahquita menyadari satu hal yaitu warna mata Albert sudah berubah menjadi merah darah itu artinya Albert jauh di luar kendali.
“Oh, god!!!” gumam Syahquita langsung berlari menghampiri Albert.
Syahquita menutup mata Albert dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya memeluk pinggang suaminya, “Tenangkan dirimu, sayang. Please, lakukan untukku.”
Syahquita terdiam sejenak sehingga ia dapat memastikan bahwa emosi Albert sedikit mereda. Syahquita meletakkan dagunya di atas bahu Albert dan mempererat pelukannya. Dapat Syahquita rasakan sesuatu melingkar di pinggangnya lebih erat dari yang dilakukan.