5, Tetangga

1316 Kata
"Berbuat baik pada tetangga adalah sikap baik yang diajurkan, tetapi bila tetangganya kepoan, anggap saja mereka seperti gelembung Spongebob ; Transparan." _ Jamal _ Ria baru saja selesai bersih-bersih, seperti mencuci baju, menyapu dan mengepel, serta membersihkan tempat tidur sampai menyikat kamar mandi. Badannya terasa sangat lelah. Dia pun memutuskan untuk berbaring di tempat tidur sembari bermain gawai. Dia melihat-lihat i********: dan youtube, sebagai bentuk penghiburan diri. Ria sudah tinggal sebulan berada di kontrakan, tetapi dia tidak pernah bermain ke rumah tetangga. Selain dia tidak paham bahasa Sunda, Ria juga enggan membicarakan orang lain. Sebab, dari sekilas saja, dia sudah tahu kalau para tetangganya berkumpul untuk membicarakan orang lain. Ria tidak suka berkumpul hanya untuk itu. Meskipun harus berbaur agar tetap rukun dengan tetangga, bagi Ria, merukunkan diri dengan mereka memakai sarana "ghibah", bukanlah hal yang benar. Bukannya sok alim, tetapi Ria lebih memilih menonton TV, bermain gawai atau tidur daripada membicarakan orang lain. Sejak dulu, dia memang begitu, si penghuni kamar, begitu orang tua dan tetangganya di Madura menjulukinya dulu. Dia bukan tidak mau berbaur, hanya enggan berkomentar terhadap hidup orang lain. Sekadar mendengarkan pun rasanya malas. Sikap Ria memang begitu. Dia tidak pandai berpura-pura. Kontrakan Ria dan Jamal terdiri dari dua ruangan yang cukup besar, ada ruang untuk tempat tidur di bagian tengah, di depan ada tempat untuk ruang tamu, sekaligus tempat ibadah, di belakang ada kamar mandi yang bercampur dengan dapur. Meskipun kalau sedang ada urusan alam, bisa terdengar oleh orang yang sedang memasak, suaranya bisa tersamarkan dengan suara kran. Kontrakan mereka memanjang, dengan dua tetangga di sebelah kanan, dan rumah kerabat pemilik kos di sebelah kiri. Di depan rumah, ada teras sedikit, dilengkapi tempat menjemur pakaian dan pagar cukup tinggi, dikarenakan di depan rumah adalah rumah orang lain. Di antara teras dan pagar, ada ruangan sedikit, tempat untuk meletakkan sampah. Setiap dua Minggu sekali, para penghuni kontrakan harus membayar uang sampah sekitar dua puluh ribu rupiah. Jika bulanan, hanya membayar tiga puluh rupiah. Namun, sampahnya juga akan diangkut setiap sebulan sekali, baunya akan sangat menyengat. Itu sebabnya, banyak yang memilih dua Minggu sekali diangkut. Kontrakan Ria juga yang paling bagus. Sebab, Jamal sudah mengecat kontrakan itu sebelum ditempati. Lelaki itu juga membeli banyak barang sebelum ditempati, sehingga Ria hanya perlu menata, tidak perlu membeli perabotan dan lain-lain. Meskipun hanya pekakas dapur dan rumah tangga umum, belum alat eletronik seperti mesin cuci, kulkas dan lain-lain, Jamal sudah menghabiskan uang hampir sepuluh juta rupiah untuk semuanya. Namun, Ria bersyukur karena Jamal sangat perhatian padanya. Dia menjadi semakin mencintai suaminya. Dari hari ke hari, meskipun pertengkaran sering terjadi, nyatanya, Ria tidak pernah marah pada Jamal. Dia hanya meledak-ledak seperti popcorn, kemudian kembali tenang setelahnya. Selama Jamal bekerja, Ria banyak menghabiskan waktu di dalam rumah. Pintu kontrakan sering tertutup, tidak banyak terbuka, kecuali dia menyapu, sedang mengepel lantai atau akan menjemur pakaian. Walau begitu, dia sudah berkenalan dengan dua tetangganya di sebelah kanan, dan juga dengan penjual pop ice dan jajanan seperti sosis, tempura dan lainnya, yang berada tepat di dekat jalan yang akan menuju ke kontrakannya. Kebetulan, kontrakan Ria harus masuk melalui gang sempit, juga terhimpit di antara banyak rumah, sehingga agak masuk ke dalam, sepuluh meter dari jalan gang sempit. Dan, penjual sosis, tepat berada di depan pagar yang akan menuju ke kontrakan Ria. Tetangga paling ujung dari kanan, dihuni oleh wanita bernama Ratih. Dia adalah seorang ibu dari empat orang anak. Anak sulungnya sudah menginjak bangku SMP, sedangkan yang lain masih SD kelas 4 dan kelas 2. Setiap hari, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap alias serabutan, terkadang menjadi supir, kuli bangunan, dan lain sebagainya. Dia tidak banyak tinggal di rumah. Ria hanya bertemu sesekali saja, saat dia pulang bekerja, itu pun karena kebetulan Ria sedang keluar rumah, untuk membeli sesuatu di warung atau sedang menyapu teras di sore hari. Jika tidak keluar rumah pun, Ria dapat mendengar suara sepeda motornya. Mereka tidak banyak berkomunimasi. Karena sejujurnya, Ratih begitu tertutup, sama seperti Ria. Meskipun, dia terkadang bergabung dengan kumpulan ibu-ibu yang nongkrong di rumah sebelah kanan Ria, alias di sebelah kiri kontrakan Ratih, kontrakan paling tengah dari tiga kontrakan yang berjajar dan terletak di dalam kepungan rumah warga. Tengah-tengah, mirip terhimpit. Di kontrakan nomer dua atau paling tengah, dihuni oleh seorang wanita bernama Nur. Ria tidak tahu nama panjangnya, tetapi semua orang memanggil ibu dari satu orang anak itu dengan sebutan Nur. Anaknya masih berusia 3 tahun. Bocah lelaki berkepala plontos yang sangat imut, meskipun berjenis kelamin lelaki. Nur bekerja sebagai pekerja konveksi, dia mendapatkan orderan dari pabrik, untuk memotong benang atau menjahit kancing, dan lain sebagainya. Profesi suami Nur tidak diketahui. Ria tidak pernah menanyakan atau mendengar berita tentang suami Nur. Namun, dia cukup akrab dengan Nur. Ria banyak mengobrol, terutama kalau mereka tidak sengaja berpapasan, saat Ria menyapu, sedangkkan Nur, mengerjakan pekerjaan di teras depan kontrakan. Meskipun berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, Nur tidak terlihat canggung membuat Ria sedikit nyaman berkomunikasi dengan tetangganya tersebut. Mereka cukup akrab, meskipun hanya mengobrol seperlunya saja. Lima sampai sepuluh menit, setelahnya, Ria biasanya menyudahi obrolan. Dia memang tidak suka banyak bicara, terkecuali penting. Di sebelah kiri, ada kerabat pemilik kontrakan. Ria belum pernah bertemu. Yang setiap pagi dilihatnya, hanyalah sepeda motor gede milik pemilik rumah. Bagaimana rupanya, Ria sama sekali tidak tahu. Jarang keluar. Rumah itu juga kebanyakan kosong. Menurut informasi, yang diketahui dari Jamal, suaminya, si pemilik rumah adalah seorang pedagang. Mereka berangkat pagi-pagi buta dan datang menjelang mangrib, sehingga Ria tidak pernah bertemu mereka. Sebab, perempuan itu lebih suka mengurung diri di rumah daripada berkeliaran di depan rumah atau sekadar nongkrong. Awalnya, Jamal menegur istrinya, memintanya bergaul, tetapi Ria, tidak mudah mengubah kebiasaan lama. Pada akhirnya, Jamal menyerah. Selama tidak merugikan orang lain, Jamal merasa tidak keberatan dengan sikap tertutup Ria. Sebagai orang Madura asli, di mana ibu dan bapaknya, asli berdarah Madura, Ria tidak tahu bahasa Sunda sama sekali. Namun, Ria bisa berbahasa Jawa sedikit, karena dulu, keluarga mantan suaminya berasal dari Gresik. Selebihnya, dia tidak tahu bahasa daerah lain. Dia juga tidak pernah tinggal di kota lain, selain Pamekasan ataupun Padang, Sumatera Barat, karena mantan suaminya dulu bekerja di sana. Dia ikut selama beberapa bulan, tidak sampai setahun, sebelum akhirnya dia dipulangkan dan diceraikan. Suaminya berselingkuh dengan perempuan lain. Bahkan, perempuan itu sampai hamil. Namun, semua adalah masa lalu. Ria sudah move on. Yang dia cintai saat ini, hanyalah Jamal, suaminya saat ini. Mereka bertemu tanpa cinta, menikah pun karena keyakinan dan komiten untuk serius saja. Namun, sekarang, Ria mengerti, bahwa cinta bisa tumbuh seiring waktu. Sebab, Allah yang membolak-balikkan hati manusia. Selama dilandaskan demi Allah, maka segala urusan akan dipermudah. Ria percaya itu dan dia sama sekali tidak salah. Baginya, menikah adalah ibadah dan adapun urusan perasaan, masalah belakangan. Dia pun mengenal Jamal dari teman, tanpa pacaran, hanya keyakinan, dia menerima lamaran Jamal. Mereka memang sering cekcok karena kebiasaan, sikap dan visi yang berbeda, tetapi Ria dan Jamal selama ini masih bisa menahan diri. Sebab, Ria tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu, sedangkan Jamal, tidak ingin buru-buru mengakhiri sesuatu yang dimulainya sendiri. Pernikahan bukan masalah cocok atau tidak, melainkan bagaiamna mencocokkan segala yang berbeda untuk satu tujuan, kebersamaan. Tidak mudah menyatukan opini, tetapi selama kedua pihak mau bertoleransi, itu bukan masalah lagi. Ria dan Jamal, masih mencoba menerka-nerka, perihal tabiat masing-masing dan mencoba untuk mengatasi emosi yang kadang naik-turun silih berganti. Mereka sama-sama percaya, segala perbedaan akan memiliki celah, di mana dengan celah itu, mereka akan menemukan perbedaan dan alasan untuk bertahan. Sebab, menurunkan ego, bukan berarti bego. Dan, menahan diri untuk tidak emosi, bukan berarti lemah, justru sebaliknya, itu adalah sikap mulia dan luar biasa sekali. Jamal dan Ria, sedang mencoba beradaptasi. Mau saling mengenal atau tidak sebelum menikah, nyatanya, setiap pasangan yang menikah, membutuhkan waktu untuk saling menyesuaikan diri dan mengenal kebiasaan atau sifat pasangan masing-masing. Dan, terkadang, butuh waktu yang tidak sebentar hanya untuk saling memahami dan bertoleransi satu sama lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN