"Dalam berumah tangga, pertengkaran adalah bumbu. Namun, jangan sampai emosi membuat kehilangan kendali. Ada hal-hal yang harus ditahan agar tidak keluar dari mulut meskipun amarah telah sampai di ubun-ubun."
_ Jamal _
Saat menikah, terkadang, kita harus menyesuaikan banyak hal. Tidak hanya soal selera, prinsip dan kesamaan, ada banyak hal yang harus disesuaikan. Tidak hanya soal bertoleransi, tetapi saling menghargai dan menghormati, serta tidak sampai menghalangi atau membatasi hal-hal yang sudah dimiliki pasangan masing-masing sebelum bersama. Meskipun batasan akan semakin luas setelah menikah, ada hal-hal yang tidak bisa berubah meskipun sudah menikah. Ini bukan soal masalah waktu, tetapi soal bagaimana pasangan saling mengerti dan memahami, sehingga masalah itu tidak akan menjadi masalah di kemudian hari.
Saat taaruf dengan Jamal, Ria sudah mengetahui kalau Jamal adalah perokok. Meskipun tidak setiap hari, hanya saat stress atau pusing memikirkan kerjaan saja, tetap saja, perokok tetaplah perokok. Ria tidak suka perokok, selain membenci asapnya, bagi Ria, mengeluarkan uang demi rokok adalah pemborosan. Jamal juga memiliki penyakit maag. Merokok tentu tidak baik untuk kesehatannya. Usia Jamal juga sudah menginjak tiga puluh dua tahun. Merokok tidak akan baik untuk sel s****a lelaki itu, hal itu akan berdampak pada keturunan mereka nanti. Ria tidak mau hal itu terjadi. Jadi, setelah menikah, Ria pun melarang Jamal merokok apapun yang terjadi. Jamal pun mengiyakan karena tidak mau istrinya marah.
Di mata Jamal, Ria adalah sosok perempuan yang suka meluap-luap dan meledak-ledak saat marah. Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu sering kali tidak bisa menyembunyikan kemarahan atau ekspresinya. Semua terlihat jelas dari wajahnya, seolah, dia tidak akan bisa mengendalikan diri bila terus dipancing. Itu sebabnya, Jamal sering kali memilih diam atau tidur bila Ria marah. Istrinya akan calm down sendiri bila dibiarkan, seperti yang sering terjadi selama ini. Ria sering menangis saat marah dan bila dipancing bicara, perempuan itu akan berteriak, seolah suaranya tidak akan keluar bila dia tidak melakukan hal itu. Jamal mencoba mengerti keadaan Ria, sehingga semarah apapun Ria, dia hanya membiarkannya. Bukan tidak peduli, tapi di matanya, Ria akan lebih calm down bila didiamkan. Yang terpenting baginya, Ria tidak berbuat kasar padanya atau membanting barang. Dia tidak suka perempuan yang menggunakan emosi untuk melakukan tindakan kekerasan, sudah mirip preman. Jamal tidak akan bisa menerima kemarahan seperti itu. Pernikahan mereka masih seumur jagung, sehingga dia tidak ingin ada keretakan. Jadi, bila Ria sedang menjadi api, dia memilih untuk menjadi tanah, diam saja dan membiarkan api kemarahan Ria reda sendiri.
Besok adalah hari Sabtu, Jamal libur bekerja. Itu sebabnya, dia meminta izin pada Ria untuk pergi ke rumah temannya yang bernama Bayu. Bayu adalah mantan teman Jamal saat di pabrik lama, pabrik sebelum Jamal bekerja di pabrik saat ini. Mereka cukup dekat. Bahkan, saat akan melamar Ria, Jamal meminta pertimbangan dari Bayu yang katanya bisa melihat "kecocokan pasangan". Sejujurnya, Ria tidak percaya dengan hal seperti itu. Namun, dia mencoba menghargai pemikiran suaminya. Juga, tidak ingin menjudge seseorang. Dia juga pernah bertemu dengan Bayu yang lebih tua empat tahun dari suaminya. Orangnya cukup baik, kepribadiannya supel dan Ria merasa nyaman berbicara dengan Bayu ataupun Dian, istrinya. Dia juga cukup dekat dengan anak mereka yang bernama Refi. Bahkan berteman di sosial media dan saling menyimpan nomer masing-masing. Meskipun berbeda usia yang cukup jauh, Refi terkadang menanyakan soal pelajaran atau dunia literasi pada Ria. Mereka sama-sama menyukia literasi, khususnya dalam membuat cerita seperti cerpen atau n****+. Ria merupakan penulis n****+, meskipun dia belum cukup populer seperti penulis terkenal lainnya. Dia menulis di platfrom berbayar dan tidak berbayar. Baginya, menulis cerita adalah kegemaran yang mendatangkan penghasilan.
Ria suka menulis cerita fiksi. Kebanyakan genre yang dipilihnya adalah percintaan remaja, persahabatan, atau drama komedi-romantis. Dia hanya beberapa kali menulis cerita fiksi islami. Banyak yang menanyakan soal motivasinya menulis cerita cinta, mengingat, dia bercadar, tetapi Ria, bukannya ingin menjuruskan orang lain atau memberikan contoh yang tidak baik, menurutnya, menulis adalah suatu yang menyenangkan. Dia tidak ingin menulis sesuatu yang menurutnya berat. Baginya, menulis cerita islami memiliki tantangan yang cukup berat, terutama, karena dia harus menulis dengan banyak melakukan riset, mengkaji berbagai dasar dalam penulisannya dan lain-lain. Itu hal yang bagus, dia bisa sekalian belajar, tetapi dia hanya ingin menulis hal yang ringan, hanya untuk menghibur, bukan menggurui atau memberikan pelajaran. Baginya, menulis hanyalah hobi, bukan profesi. Lagipula, dia tidak pernah menunjukkan wajahnya pada siapapun. Dia menulis dengan nama pena, bukan nama asli dan tidak pernah menunjukkan wajahnya. Dia bukannya takut, hanya merasa risi bila nanti banyak orang menjudgenya ini dan itu hanya karena tahu kalau dia adalah seorang perempuan bercadar. Teman di dunia nyata saja begitu, apalagi dunia maya, pikirnya. Memang, tidak semua orang seperti itu, tetapi kemungkinan itu akan jauh lebih besar karena di dunia nyata, dia sudah diperlakukan demikian.
Saat Jamal ke rumah Bayu, biasanya, Ria akan ikut. Namun, hari ini, dia merasa malas sehingga membiarkan suaminya pergi ke sana sendirian.
"Jangan malam-malam, Mas. Jangan ngerokok juga ya," pesan Ria saat Jamal akan berangkat.
Jamal hanya mengangguk mengiyakan pesan dari istrinya. Ini memang belum genap sebulan Jamal berhenti merokok, tetapi dia berjuang keras untuk itu. Dia tidak bisa menggantikan rokok dengan permen, karena maag, dia tidak bisa makan makanan manis seperti permen, minuman manis atau kue. Itu sebabnya, dia menjadi banyak makan nasi akhir-akhir ini, meskipun dampaknya hanya sedikit sekali. Bila tidak mengunyah atau minuman apapun dalam waktu lama, Jamal merasa mulutnya sangat pahit. Dia juga tidak bisa meminum kopi atau teh karena maag yang dimilikinya. Dia menjadi sedikit tersiksa, tidak, bahkan sangat tersiksa karena tidak bisa merokok. Namun, demi istri tercinta, dia berusaha untuk melakukan permintaan istrinya, meskipun itu membuatnya menderita dalam tanda kutip. Jamal tahu, Ria memikirkan dirinya, tetapi terkadang, dia ingin merokok, sekali atau beberapa kali sebulan. Namun, dia tahu, istrinya akan marah bila dia memaksa. Tidak ada jalan lain selain mengalah dan menahan diri. Bagaimanapun, mereka baru menikah dan penyesuaian karakter memang fase terberat di dua tahun pertama pernikahan. Begitu yang dia dengar dari salah satu teman baiknya, Asep, Perkataan itu ternyata benar, Jamal mengakuinya.
Sementara Jamal pergi ke rumah Bayu, Ria hanya tinggal di kontrakan, menulis n****+ melalui ponsel karena laptopnya bermasalah. Jamal memang menjanjikan akan membelikannya laptop baru, tetapi lelaki itu belum gajian dan banyak kebutuhan yang harus lebih diprioritaskan dibandingkan membeli laptop. Itu sebabnya, Ria berusaha menahan diri untuk tidak memaksa Jamal ataupun merengek kepadanya. Dia tidak mau dianggap manja oleh Jamal. Sebab, dulu, mantan suaminya, berkata jijik padanya karena bersikap manja, terlebih bila dia dibelikan atau dihadiahi sesuatu. Dulu, saat marahan, dia juga cendrung membaik setelah diajak makan atau dibelikan es krim. Hal itu membuat mantan suaminya menyebutnya perempuan murahan. Dia menjadi sangat sakit hati, bahkan sampai saat ini. Ria tidak ingin mengulang kesalahan yang sama sehingga dia tidak pernah meminta apapun pada suaminya yang sekarang. Dia tidak ingin gagal untuk kedua kali. No way! Ria akan berusaha agar hal buruk itu tidak terjadi lagi.
Sekitar pukul sebelas malam, Jamal akhirnya pulang. Ria belum tidur, sengaja menunggu Jamal pulang. Meskipun pintu dikunci dari luar, Ria tidak bisa tidur kalau suaminya belum ada di rumah. Lain halnya kalau Jamal bekerja, dia tidak akan mengkhawatirkan lelaki itu. Namun, dia pergi ke rumah teman, jadi, Ria khawatir kalau ada sesuatu yang buruk menimpa suaminya di jalan. Dia bukan over thingking, hanya khawatir saja. Lagipula, dalam hubungan suami-istri, mengkhawatirkan pasangan adalah hal yang wajar. Dia bukan alay, hanya sangat perhatian. Meski Jamal, sering kali menganggap Ria berlebihan. Namun, siapa yang peduli? Ria tidak bisa untuk tidak perhatian dan khawatir pada Jamal yang dulunya bujangan dan menyukai kebebasan. Ria bukannya ingin mengekang, hanya saja, dia ingin suaminya senantiasa dalam jangkauan mata. Kalaupun Jamal ingin pergi sendiri, dia harus tahu ke mana dan tidak boleh lama-lama. Tadi Jamal berangkat sekitar jam 7 dan baru kembali jam sebelas, itu adalah waktu yang cukup lama baginya, 4 jam. Meski bagi Jamal, tentu itu sangat sebentar, mengingat, biasanya, dia bisa menginap atau pulang subuh bila ke rumah Bayu sebelum menikah dulu. Tentu, status membatasi waktu bermainnya, dilarang atau tidak, dia harus tahu batasannya sekarang. Dia sudah berkeluarga sehingga tidak akan sebebas dulu lagi.
Jamal melepaskan jaketnya, dan Ria langsung menangkap bau yang tidak asing darinya.
"Mas, kamu merokok?" Ria langsung menatap Jamal dengan lekat. Dari ekspresinya, dia tahu, kalau istrinya sudah mulai emosi.
"Nggak, Yang. Tadi ada tamu, mas Bayu dan tamunya juga merokok, jadi, asapnya mungkin kena jaket," katanya beralasan.
"Aku nggak percaya," sanggah Ria.
"Beneran, Yang." Jamal mencoba meyakinkan.
"Sini." Ria meraih kepala Jamal dengan kedua tangannya, mendekatkan diri sampai ke mulut lelaki itu.
"Coba buang napas," suruhnya. Dia sepertinya ingin memastikan apakah suaminya merokok atau tidak.
Jamal menuruti permintaan istrinya.
"Bau rokok." Ria menatap tajam ke arah Jamal. "Kamu bohong, Mas? Kamu ngerokok kan?"
Ini bukan tuduhan atau kecurigaan, tapi dia sedang meminta pengakuan. Jamal tentu tahu, dia tidak bisa mengelak lagi. Penyangkalan hanya akan membuat semuanya menjadi lebih runyam. Dia tidak suka pertengkaran.
"Iya, Yang. Tadi ada tamu, terus aku ditawarin. Aku cuma ngerokok satu batang, kok, Yang." Jamal mengaku.
"Kamu bohong, Mas. Kan sudah dibilang! Aku nggak mau kamu ngerokok. Kok, kamu ingkar janji, sih?" Ria mulai berkaca-kaca. Sebentar lagi, mungkin dia akan menangis.
"Maaf, Yang. Tadi darurat. Lagian, aku nggak akan bisa langsung berhenti, Yang. Aku stress, Yang. Aku butuh merokok." Jamal mengeluarkan uneg-unegnya.
"Kamu nggak boleh ngerokok, Mas. Kamu udah janji sama aku!" Ria tidak mau kalah.
"Yang, pelan-pelan, dong. Aku nggak akan bisa langsung berhenti begitu, satu batang sebulan nggak apa-apa, deh. Ya?" Dia mencoba bernegosiasi.
"Kamu udah ingkar sekarang, terus mau ingkar lagi, Mas? Kamu nggak sayang sama aku hah?"
Jamal mencambak rambutnya asal, "Yang, nggak sayang apa, sih? Kalau nggak sayang, nggak mungkin aku nikah sama kamu, ya kan? Ini masalah rokok aja kok jadi gini, sih?" Ia protes.
"Kok, jadi gini? Masalah rokok doang? Kamu bohong, Mas. Itu masalahnya, kamu ingkar janji!" Ria ngotot.
Jamal mendesah kasar, "Egois kamu, Yang."
"Kamu yang egois! Kamu yang ingkar! Kok, nyalahin aku, sih? Kamu nggak mau diatur? Iya? Kalau gitu, aku mau pulang aja, Mas. Biar aja kamu di sini, hidup sendiri!"
Ria sebal. Bahkan mengeluarkan koper dan baju-bajunya dari lemari.
"Aapa, sih, Yang! Kok, emosi gitu, sih?" Jamal merebut koper dari tangan Ria, membuat pakaian perempuan itu berhamburan. "Jangan kayak anak kecil begini."
"Kamu yang kayak anak kecil, Mas. Kamu bohong sama aku. Huhu..." Ria mulai menangis, membuat Jamal terdiam. Capek.
"Aku ngantuk, Yang. Terserah kamu maunya apa. Kita bicara besok aja." Jamal pun tiduran dan menghadap tembok, membelakangi Ria.
Ria hanya diam, menangis tersedu-sedu. Hatinya sakit. Luka yang pernah ada, karena pernah dibohongi kembali terbuka. Memang kasus dan orang yang berbohong beda, tetapi kebohongan tetaplah kebohongan. Sakitnya sama.
Ria menangis sampai matanya bengkak. Dia kemudian berhenti menangis dua jam kemudian. Selama itu, dia merenung. Teringat pertengkaran terakhirnya dengan mantan suaminya dulu. Dia juga mengancam hal yang sama, meminta dipulangkan dan suaminya yang mulai jengah, akhirnya mengiyakan permintaan itu. Mereka hujan-hujanan, sekitar jam dua malam, hanya untuk ke bandara. Meskipun akhirnya batal karena Ria menyesal. Saat itu, dia menjadi teringat hal itu, Ria tidak mau melakukan hal yang sama. Dia tidak ingin Jamal mengiyakan permintaan konyolnya yang tercetus karena emosi. Tidak mau!
Ria mendekati Jamal yang tertidur, merebahkan diri di bahu lelaki itu.
"Ampuni aku, Mas," bisiknya. "Aku sayang mas banget."
Jamal yang terjaga memeluk istrinya, "Aku minta maaf juga, Yang."
Mereka pun berbaikan.
Emosi laksana api, dia bisa membakar apapun, sehingga yang tersisa hanyalah penyesalan dan kesedihan di akhir. Itu sebabnya, semarah apapun pada pasangan, usahakan untuk tetap bisa mengontrol diri. Sebab, keutuhan rumah tangga berawal dari bagaimana pasangan bisa saling menekan emosi saat terjadi perkelahian. Malam pun berganti, kedua insan yang baru baikan itu terlelap dengan saling berpelukan. Damai akan selalu lebih indah daripada saling bertengkar karena ego.