Hal Yang Semestinya Tak Ada

2247 Kata
Kata orang, sepasang anak manusia yang saling menyimpan luka di dalam hati mereka tak sepatutnya bersama. Hati yang terus merasakan sakit, tak ‘kan mungkin bisa membiarkan rasa lain untuk masuk dan menyentuhnya. Pada hakikatnya, hati yang sama-sama mati, tak ‘kan bisa menyembuhkan hati lain. Pada akhirnya, mereka hanya menjadi bom waktu yang menunggu untuk meledak dan menghancurkan semua yang mereka miliki. “Abang bisa duduk di tempat duduk di sudut sana,” pria yang tadi diperkenalkan bernama Doni membuyarkan lamunan Rai. Pria itu segera menoleh ke arah Rai dan mengucapkan terima kasih, kemudian pria itu segera duduk ke tempat yang Doni tunjuk. Rai mengeluarkan ponsel dan hendak menyibukkan dirinya sendiri. Secara tiba-tiba saja bayangan Amanda kembali merasuki benaknya, membuat pria itu heran dan menggeleng-geleng. Melihat senyum wanita itu dan semua luka yang dibawanya, entah mengapa membuat hati Rai mulai tak tenang. Ia tak ingin menemukan kesedihan yang sama lagi di mata wanita itu. “Ini minuman ditraktir Bu Dian buat Abang. Silahkan diminum,” ucapan itu kembali membuyarkan lamunan Rai. Dirinya tak ingin seperti ini, namun entah kesedihan Amanda mulai mempengaruhinya. Mereka belum lama bersama, baru hitungan hari, akan tetapi ada sesuatu di dalam diri wanita itu yang mampu menarik perhatiannya. “Makasih banyak. Nggak perlu repot-repot,” ucap Rai berbasa-basi. Pria bernama Doni itu mengamati Rai. Sesungguhnya, pemilik mini market tak ada memerintahkannya untuk memberikan minuman. Itu hanya akal-akalan Doni agar memiliki alasan untuk mendekati Rai, hendak mencari tahu semua tentang pria itu dan juga Amanda. Ia merasa ada yang ganjal dalam hubungan keduanya dan tak mampu menekan perasaannya. Sementara, Rai mampu melihat hal yang ganjal di dalam pandangan pria itu padanya. Ia merasa aneh dengan cara pria itu memandangnya seakan banyak yang ingin Doni tanyakan, namun menanti saat yang tepat. “Apa benar yang saya dengar kalau Abang ini calon suaminya Manda?” tanya Doni dengan hati-hati. Ia tak ingin membuat calon suami teman kerjanya itu merasa tak nyaman dengan pertanyaannya barusan, akan tetapi Doni tak mampu mengenyahkan rasa penasarannya. Rai tersenyum ramah dan menganggu. “Ya, benar,” ucap Rai tanpa ada keraguan, meyakinkan Doni jika memang pria itu adalah calon suami Amanda. Wanita cantik yang penuh misteri itu secara tiba-tiba saja kembali dengan membawa calon suami. Tampaknya, memang tak ada seorang pun yang mampu mengerti Amanda. Waktu tak mampu mengubah fakta itu. “Bagaimana kalian bertemu?” Doni sungguh tak bisa mengerti bagaimana bisa secara tiba-tiba Amanda memiliki seorang calon suami bila selama ini Doni tak pernah sekalipun melihat seorang lelaki mendekatinya. Apalagi Amanda kerap bersikap dingin dengan semua pria yang menunjukkan ketertarikan mereka secara terang-terangan. Tak sedikit rekan kerja pria yang memutuskan keluar dari pekerjaan begitu ditolak mentah-mentah oleh Amanda. Hal yang membuat Doni tak berani melanggar batasan di antara mereka. Rai menautkan kedua alisnya begitu mendengarkan pertanyaan Doni. Bagaimana mereka bertemu? Haruskah Rai bilang jika mereka bertemu di sebuah bar saat Amanda dilelang di sana, lalu Rai yang mabuk dan tak bisa berpikir jernih membeli wanita itu dengan mudah seperti tengah membeli barang untuk digunakannya? Haruskah juga dirinya bilang jika dirinya mereka bertemu di tempat yang pasti tak pernah orang-orang bayangkan akan menemukan Amanda di sana? Sungguh, tak ada satupun yang baik dari kisah mereka. “Kenapa sangat penasaran?” Rai berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin membicarakan banyak kebohongan lagi. Ia pun tak ingin orang-orang berpikiran buruk tentang Amanda. Sudah cukup semua beban yang wanita itu tanggung. “Anu … itu ….” Doni tak mampu menyembunyikan kecangungannya dengan pertanyaan Rai, namun dirinya tak mampu menemukan alasan yang tepat. Memang tak seharusnya ia bertanya hal pribadi pada seorang pria yang akan menjadi calon suami dari teman kerjanya. Apalagi Doni adalah seorang pria juga, hal ini pasti akan menyebabkan kesalahpahaman. Sungguh bodoh dirinya yang tak mampu mencegah rasa penasaran mengambil alih dirinya. “Maaf, Bang. Saya harus kembali bekerja,” ucap Doni pada akhirnya seraya menundukkan setengah tubuhnya, lalu pergi meninggalkan Rai, sementara Rai mulai bernapas lega melihat kepergiaan pria itu. Setidaknya, ia tak perlu lagi memutar otak untuk merakit kisah bohong lainnya untuk memperkuat dusta yang sudah mereka sebarkan. Rai menatap sekelilingnya dan mengulum senyum tipis. Ia membayangkan Amanda yang bekerja di tempat itu sebelum berkenalan dengannya. Ia tak mampu membiarkan otaknya terus memutar berbagai bayangkan tentang Amanda yang menyibukkan diri dengan wajah datarnya di balik mesin kasir. Hal itu membuat Rai tergelak kecil. Apa tak ada pembelii yang kabur? Di sisi lain, Amanda segera memeluk Dian begitu menemui wanita itu. Dian membalas pelukan Amanda tak kalah eratnya. Wanita paruh baya itu bahkan tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya begitu menemukan Amanda yang telah lama menghilang tanpa kabar. Sedetik kemudian, Dian melepaskan pelukan mereka dan menatap Amanda dengan tatapan meneliti. “Kamu kenapa menghilang tanpa kabar, Da? Udah seminggu Ibu nyariin kamu ke sana-ke mari. Mana alamat di kartu tanda pengenalmu adalah alamat lamamu. Ibu bener-bener khawatir. Kamu sebatang kara di kota ini, jika sesuatu terjadi, apa yang harus Ibu lakukan?” Amanda tersenyum tipis. Sesungguhnya, Amanda tak pernah menceritakan apa pun tentang dirinya pada semua orang di sekitarnya. Bila ada yang membicarakan tentang keluarga, kekasih, ataupun orangtua mereka, maka Amanda akan perlahan pergi agar tak harus menimpali topic pembicaraan yang kerap membuat dadanya sesak bukan main. Ia tak mungkin mengatakan jika ayahnya adalah seorang pria baik dan menyayanginya, bila ada orang yang memamerkan dibelikan barang oleh ayah mereka sebagai hadiah ulang tahun. Amanda juga tak mungkin mengatakan jika ibunya kerap membelanya, sebagaimana teman-teman kerjanya yang kerap membicarakan ibu mereka yang kerap membela jika Sang ayah murka. Amanda juga tak mungkin membicarakan seorang kekasih yang tak pernah ia miliki. Mungkin hal seperti ini sederhana bagi sebagian orang, namun tidak untuk Amanda. Ia membiarkan semua orang di sekitarnya menerka-nerka tentang keluarga ataupun kehidupan pribadinya. Waktu setahun adalah waktu yang sangat panjang untuk dirinya yang terus menghindar, menciptakan kebohongan demi kebohongan yang membuatnya mulai mahir melakukan hal itu. Hingga pada akhirnya, tak ada seorangpun yang berani menanyakan tentang keluarga atau kehidupan pribadinya. Mereka menduga, jika Amanda sebatang kara tinggal di ibukota. Amanda membiarkan hal itu dipercayai oleh semua orang di sekitarnya. Toh apa bedanya ia dengan seorang yang tak memiliki siapapun untuk bergantung. Dirinya hanya memiliki orang tua di dalam kartu keluarga, namun di kehidupan nyata, tak ada seorangpun yang peduli pada dirinya. Ia hidup ataupun mati tak ‘kan ada yang mau mengetahuinya. Mereka hanya mencarinya bila saat gajian tiba. Selepas itu, Amanda tak lagi berguna dan tak perlu dicari tahu keberadaannya. Hal yang sebenarnya malu untuk Amanda akui. “Maaf, Bu. Semuanya terjadi begitu saja dan saya nggak sempat memberikan kabar. Ibu tahu sendiri kalau saya nggak punya hape,” Amanda tersenyum segan, “Saya memang bersalah karena membuat banyak orang mengkhawatirkan saya. Oleh karena itu, sesudah sempat saya langsung ke sini untuk menjelaskan semuanya,” lanjut Amanda menatap wanita itu tak enak. Dian tersenyum dan menggeleng. “Nggak perlu meminta maaf, Da. Ibu paham jika berkomunikasi adalah hal yang sulit bagimu. Oleh karena itu dulu Ibu mau meminjamkan ponsel ibu padamu, tapi kamu menolaknya,” wanita itu mendesah gusar, sedang Amanda tersenyum kikuk. Sebenarnya, Amanda bukan tak memiliki ponsel sama sekali. Dirinya pernah membeli ponsel bekas yang murah, namun tak peduli berapa banyak ponselnya. Pria yang dipanggilnya ‘papa’ itu selalu membanting ponselnya ketika marah ataupun menjualnya, hingga Amanda tak pernah lagi memberikan nomer ponselnya pada orang-orang yang dikenalnya. Toh semua itu tak ada gunanya. Ponsel di tangannya tak pernah berusia lebih dari satu minggu. Jadi, ia selalu mengatakan jika dirinya tak punya ponsel dan tak mau membuang uang untuk sesuatu yang belum begitu mendesak. Padahal, ponsel di zaman sekarang adalah hal yang sangat penting untuk berkomunikasi. Apa daya, kehidupan yang membuat Amanda seperti ini. Amanda juga tak mungkin menerima pinjaman ponsel dan mengambil resiko hancur ataupun dijual oleh ayahnya. Tak memiliki apa pun jauh lebih damai dan baik untuk dirinya. Dirinya tak pernah bisa memiliki apa pun, termasuk kehidupan. “Saya nggak mau menyusahkan siapapun, Bu. Bisa diterima bekerja di sini saja sudah menjadi anugerah bagi saya dan nggak seharusnya saya membuat orang-orang kesusahan karena saya,” Amanda tersenyum manis, “Sebenarnya saya ke sini untuk memberikan ini pada Ibu,” lanjut Amanda seraya membuka tas, mengeluarkan sesuatu dari sana, lalu mengulurkan sebuah amplop pada Dian yang langsung diterima oleh wanita itu dari tangan Amanda. Tanpa membuka isinya, Dian bisa menebak jika apa yang ada di sana adalah surat pengunduran diri. “Amanda mau menikah, Bu,” ucap Fira yang sedari tadi berdiri di belakang punggung Amanda, “Manda ke sini sama calonnya,” lanjut Fira girang. Kebahagiaan wanita itu menular pada Dian yang langsung menoleh pada Amanda dan menatap wanita itu tak percaya. “Beneran, Manda? Jadi kamu menghilang karna mau menikah?” Yang ditanya adalah Amanda, namun Fira lah yang mengangguk antusias dengan kebahagiaan yang terlukis jelas di wajahnya, sementara Amanda hanya tersenyum kikuk. Semua ini tak semestinya terjadi di antara mereka. Rai tak seharusnya mengenal orang-orang di kehidupan pribadinya dan Amanda pun begitu. Semua ini salah. “Orangnya ganteng banget, Bu. Cocok sama Manda yang cantik,” ucap Fira lagi dengan antusias, “Pantesan selama ini Manda selalu dingin sama lelaki lain. Semua yang mendekat ditolak mentah-mentah. Ternyata calonnya itu luar biasa, Bu. Kayak aktor luar negeri. Mana matanya coklat muda. Aduh, Bu. Lihat sendiri deh biar Ibu paham gantengnya kebangetan,” Fira yang kelewat girang segera menarik-narik tangan wanita paruh baya itu, sementara keantusiasan Fira sudah menular pada Dian yang menurut saja ditarik begitu saja oleh Fira untuk keluar meninggalkan gudang dan mencari tahu setampan apakah pria yang dimaksudkan oleh Fira. Amanda yang melihat pemandangan itu hanya bisa tersenyum masam. Andai semua yang terjadi bukanlah kebohongan, mungkin Amanda akan menunjukkan kebahagiaan yang lebih dari apa yang Fira tunjukkan. Sayang sekali, tak pernah ada hubungan seperti itu di antara mereka. Semua hanyalah sebuah ilusi yang akan segera berakhir. “Mas Rai,” panggil Amanda begitu mereka bertiga sudah kembali bertemu dengan Rai. Kedua wanita itu bergenggaman tangan dan tampak antusias menanti Rai menoleh ke arah mereka, sedang Amanda mengulum senyum melihat kebahagiaan itu. Rai segera berdiri begitu melihat Fira dengan seorang wanita paruh baya yang ia yakin bernama Bu Dian seperti yang ia dengar dari pembicaraan keduanya tadi. Rai tersenyum ramah dan sedikit membungkukkan tubuhnya. Pria itu mengulurkan tangannya pada Dian seraya menyebutkan namanya, sedang Dian tampak terpukau dengan ketampanan pria di hadapannya dan tersenyum penuh arti seraya menerima uluran tangan Rai sembari mengucapkan namanya pada Rai. “Amanda memang pintar memilih pasangan,” ucap wanita itu seraya melirik Amanda. Rai dapat melihat ketidaknyamanan Amanda dan segera menarik pinggang wanita itu untuk mendekat. Rai paham, Amanda pasti sama dengannya yang mulai lelah dengan terus-terusan bersandiwara dan mengungkapkan kebohongan tentang mereka. Ia tahu, inilah saatnya mereka pergi sebelum keadaan semakin tak bisa dikendalikan. “Saya yang pintar memilih karena bisa menemukan wanita seperti Amanda,” ucap Rai. Fira dan Dian tersenyum gembira melihat kemesraan keduanya, sedang Rai menoleh pada Amanda, “Urusanmu sudah selesai, Sayang? Kita harus segera pergi,” lanjut wanita itu. Amanda tersenyum, mengerti akan pertolongan yang lagi-lagi Rai berikan untuknya. Amanda segera menoleh pada Dian dan juga Fira. “Maaf, Bu. Kami harus segera pergi dan maaf saya harus mengundurkan diri dengan cara seperti ini,” ucap Amanda seraya tersenyum tidak enak. Dian menggeleng dan menggenggam tangan Amanda. “Pergilah, Manda dan semoga kali ini kamu bahagia,” ucap wanita itu dengan tulus. Amanda mengangguk, mengaminkan peraktaan wanita itu. Ia harap, suatu saat nanti dirinya akan menemukan kebahagiaan yang diidam-idamkannya. “Oh ya, Bu. Pernikahan kami nanti nggak dirayakan dan tidak aka nada pesta, bukan bermaksud nggak mengundang, tapi kami hanya mau semuanya sederhana dan merayakan hari bahagia itu berdua saja,” ucap Amanda seraya tersenyum segan, sedang Dian kembali menggeleng dan tersenyum menenangkan. “Manda … nggak usah mengkhawatirkan pemikiran kami. Sesekali, pikirkan tentangmu dan juga kebahagiaanmu sendiri,” Dian mengeratkan genggaman tangannya, “Sebuah pernikahan nggak perlu dimulai dengan sebuah pesta mewah. Yang penting sah dan kamu bahagia. Yang ibu harapkan, kamu nggak melupakan kami semua di sini dan main sesekali ke sini,” lanjut wanita itu yang langsung memeluk Amanda erat-erat. “Jangan pernah merasa sendiri Manda. Kami semua yang ada di sini adalah keluargamu. Jadi, jangan lupa pulang jika membutuhkan tempat untuk kembali,” Dian melepaskan pelukannya dan menatap Amanda dengan mata berkaca-kaca. Hati Amanda berdesir hangat. Air mata jatuh dan membasahi pipi Amanda. “Makasih banyak, Bu,” Amanda beruntung. Keluarga sendiri tak menginginkannya, namun banyak orang yang mau menjadi keluarganya. Kini Fira yang memeluk Amanda. “Jangan lupa kalau Kak Fira akan selalu ada buat Manda. Semoga kamu bahagia selalu ya, Da,” wanita itu ikut menangis. Fira melepaskan pelukannya dan keduanya saling berbagi senyum. “Calon pengantin itu nggak boleh nangis,” ucap Fira seraya mengusap air mata Manda. “Kakak juga ngapain nangis,” Amanda melakukan hal yang sama, lalu mereka saling berbagi tawa. Dian mengusap lengan kedua wanita yang sudah menjadi bagian dari keluarganya itu dan bertukar senyum dengan mereka. Kemudian Dian menoleh pada Rai. “Rai … titip Manda, ya. Jaga dia baik-baik,” ucap wanita itu penuh permohonan. Rai mengangguk. Sebagian dari dirinya menyanggupi permintaan wanita itu, meski hanya ada kebohongan di antara mereka. “Ibu nggak perlu lagi khawatir.” Keduanya segera berpamitan dari sana. Sebelum keluar dari tempat itu, Amanda menyempatkan diri untuk berpamitan pada Doni yang menatap wanita itu dengan tatapan yang tak bisa diartikan olehnya. Semua orang yang berada di sana mengantarkan kepergiaan Amanda dengan senyum, berharap wanita malah itu bisa menemukan akhir bahagia untuk kisahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN