Semua pertemuan diawali dengan dua orang asing yang dipertemukan oleh takdir, lalu membiarkan takdir melakukan perannya pada hidup seseorang. Kau tak bisa mencegah sebuah pertemuan yang memang sudah ditakdirkan. Seperti pertemuan Amanda dan juga Rai. Bolehkah Amanda menganggap jika memang takdirlah yang mempertemukan mereka?
Setelah perbicangan keduanya, keheningan menjebak keduanya kembali. Akan tetapi, keganjalan yang sempat dirasakan tak lagi berada di dalam hati keduanya. Mungkin memang benar, setiap permasalahan haruslah diluruskan agar hati bisa menemukan kedamaian.
“Di depan belok kiri, Mas,” Amanda memberikan arahan, sedang Rai menurutinya.
Hujan sudah berhenti begitu mereka sudah mendekati tempat tujuan. Amanda tersenyum melihat cuaca yang kembali cerah. Dalam hati ia bertanya, apakah selalu seperti itu? Apakah hidup Amanda bisa seperti langit? Setelah hujan deras yang mengerikan, langit akan kembali cerah dan nampak indah. Bolehkah ia berharap, jika akan ada keindahan di dalam hidupnya?
“Mas nggak harus turun dan bisa tetap di mobil,” ucap Amanda seraya membuka sabuk pengamannya. Wanita itu memperbaiki posisi tas tangan yang diletakkannya di bahu.
Rai menatap Amanda dengan tatapan meneliti. “Kenapa? Kamu malu kalau teman-temanmu melihatku jalan bersamamu? Atau kamu memiliki seorang yang kamu sukai?”
Ah … Rai tak berpikir, jika wanita secantik Amanda pastilah memiliki seorang pria yang disukainya tau menyukainya. Melihat mereka bersama pasti membuat wanita itu tak nyaman. Apa memang ada pria lain di hidup wanita itu selain dirinya? Rai tak pernah memikirkan hal itu sebelum merenggut seluruh hidup Amanda dengan meminta wanita itu menjadi istri bohongannya. Sebab itukah Amanda menanyakan apa ada jangka waktu dalam hubungan mereka? Mungkin memang Amanda ingin segera bebas untuk bersama dengan orang yang diinginkannya. Rai terbuai dengan tatapan kosong Amanda yang menunjukkan tak ada keingnan ataupun tujuan, hingga membuatnya tak berpikir apa yang ada di dalam hidup Amanda sebelum pertemuan mereka? Wanita itu pasti memiliki kehidupannya sendiri ataupun cinta.
“Apa ada pria lain di hidupmu selain aku?” pria itu melanjutkan pertanyaannya saat melihat Amanda tak lagi merespon ucapannya, membuat Rai mengira jika semua ucapannya adalah kebenaran. Tak heran bila Amanda terlihat begitu kosong.
Amanda menggeleng dan tersenyum tipis. “Bukan seperti itu. Nggak pernah ada pria lain di hidupku,” kini keduanya saling bersitatap, “Aku nggak mungkin mau menerima tawaran darimu, jika aku memiliki kehidupan. Pada nyatanya, aku memang nggak memiliki kehidupan.”
Rai menatap wanita itu dengan tatapan nanar. Mengapa selalu kata-kata menyedihkan yang keluar dari bibir wanita itu? Mengapa wanita itu selalu bersikap seakan dirinya bukanlah manusia yang harus dihargai? Apa yang menyebabkan wanita itu selalu bersikap bak boneka yang selalu digunakan tanpa harus dipikirkan perasaannya? Anehnya, Rai tak suka mendengarkan perkataan menyedihkan yang wanita itu ucapkan. Ada perih yang menjalar ke penjuru hatinya, rasa yang tak membuatnya merasa jika orang asing di sebelahnya itu tak terasa begitu asing. Melihat ke dalam netra pria itu membuatnya seakan tengah berkaca, hingga dirinya benci melihat hal yang sama ada di dalam manik mata wanita di hadapannya.
“Setiap manusia selalu memiliki kehidupan,” Rai tak setuju, “Begitupun denganmu, jadi berhenti mengatakan hal-hal yang tak masuk akal dan membuatku jengah.”
Amanda menunduk, merasa bersalah karena lagi-lagi membuat pria itu marah padanya, “Maaf,” ucapnya setengah berbisik. Amanda tak bermaksud membuat pria itu merasa jengah dengan semua kata yang terucap dari bibirnya. Ia hanya mengungkapkan kenyataan tentang hidupnya yang begitu malang, hingga ia lupa jika di dunia ini ada cahaya yang bisa menerangi kegelapan. Ia lupa, jika sebagai manusia, ia harus merasa hidup dan juga berharga.
“Berhenti mengucapkan kata maaf,” ucap Rai sembari berusaha mengukir senyum di wajahnya yang entah mengapa tak begitu sulit dilakukan jika harus dipamerkan untuk Amanda. Wanita itu sama seperti neneknya yang mampu membuatnya mudah tersenyum. Mungkin hal ini pula yang membuat Rai tak suka mendengarkan perkataan menyedihkan yang diucapkannya.
“Kamu nggak perlu mengucapkan kata maaf jika tak melakukan kesalahan. Kamu itu berharga, Manda. Kamu bukan sampah yang harus dibuang begitu saja.”
Hati Amanda berdesir hangat mendengarkan perkataan Rai. Baru kali ini ada yang mengatakannya berharga dan bukan sampah. Biasanya ia selalu disakiti bukan hanya dengan kata-kata, namun juga kekerasan pada tubuhnya. Betapa hebat pengaruh kata-kata yang keluar dari mulut, bukan? Bisa setajam pisau dan menyakitkan, bisa pula seperti embun pagi yang menyejukkan. Amanda terbiasa disakiti dengan kata yang mengatakannya tak berguna, tak berharga, tak berarti, hingga perlahan kata-kata itu mengkonsumsi hatinya. Tanpa sadar, pikirannya teracuni dan mempercayai hal menyakitkan itu. Dirinya tak berharga.
“Makasih sekali lagi,” ucap Amanda lirih, senyum pria itu menular padanya.
Aneh, bagaimana dua orang yang memiliki tatapan yang sama-sama memiliki luka bisa berbagi senyum dengan mudahnya. Aneh, bagaimana seorang yang memiliki luka, mampu mengajarkan dan membuatnya merasa jika dirinya berharga. Apakah memang semua ini rencana takdir untuk menunjukkan pada Amanda cahaya yang sempat hilang dari hidupnya.
“Sekarang, kita harus turun dan bertemu dengan bosmu,” Rai membuka sabuk pengamannya, lalu membuka pintu di sampingnya. Amanda melakukan hal yang sama, membuka pintu mobil di sisinya dan keluar dari mobil.
Mini market dua lantai itu tampak sepi pengunjung di jam siang seperti ini. Swalayan itu bukanlah tempat dengan brand terkenal seperti yang kebanyakan tersebar di seluruh negeri, namun tempat itu tampak lengkap dan menjual berbagai kebutuhan sehari-hari. Sudah setahun lamanya Amanda bekerja di sana dan Si pemilik tempat pun kerap memperlakukannya dengan baik. Hal ini yang membuat Amanda tak ingin pergi begitu saja tanpa berpamitan.
Suara bel terdengar begitu pintu kaca didorong, seorang perempuan yang berdiri di balik mesin kasir mengarahkan pandangan ke sumber suara dan membelalakkan kedua mata begitu melihat Amanda yang tersenyum padanya. Wanita itu bahkan mengabaikan tugasnya dan segera keluar dari mesin kasir untuk berlari ke arah Amanda, sedang Rai yang berdiri di belakang punggung Amanda hanya bisa memperhatikan pemandangan itu dalam diam. Melihat ada seorang yang memeluk Amanda dan menyambutnya, membuat Rai merasa bersyukur. Sepertinya, masih banyak orang yang begitu menyayangi Amanda. Wanita itu hanya harus mencintai dirinya seperti orang-orang yang ada di sekitarnya.
“Manda ke mana aja? Kami semua khawatir. Kamu nggak pernah sekalipun libur ataupun membolos, lalu tiba-tiba hilang begitu aja seperti ditelan bumi,” ucap wanita itu seraya melepaskan pelukan, “Kamu nggak pernah kasih tahu tempat tinggalmu. Bu Dian aja udah mondar-mandir ke alamat yang ada di KTP-mu dan nggak bisa menemukanmu sama sekali di sana. Kami takut, kamu kenapa-napa, Da,” lanjut wanita yang terlihat lebih tua dari Amanda beberapa tahun itu dengan nada khawatir.
Amanda tersenyum lirih, merasa bersalah mendengarkan kekhawatiran rekan kerjanya. Apalagi cerita tentang Bu Dian—pemilik mini market tempatnya bekerja yang mencari ke alamatnya kartu tanda pengenalnya, alamat lama mereka yang kini telah ditempati orang lain.
“Maaf Kak Fira. Aku harus pergi ke suatu tempat secara mendadak dan nggak sempat menyampaikannya pada Bu Dian maupun Kakak,” Amanda menatap wanita itu dengan tatapan bersalah, “Bu Dian sedang ada di toko atau di luar kak?”
Wanita itu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. “Kamu jangan melakukan hal ini lagi. Kami benar-benar peduli padamu, Da. Kalau ada masalah, ceritakan. Kamu nggak harus menyimpan semuanya sendiri agar bisa merasa lega,” wanita itu mengusap lengan Amanda, “Bu Dian ada di gudang. Beliau pasti senang bertemu denganmu,” lanjut wanita itu girang seraya menggenggam tangan Amanda dan hendak mengajak wanita itu menemui pemilik tempat, namun urung dilakukannya begitu sadar ada seorang pria yang sedari tadi berdiri di belakang punggung Amanda. Terlalu fokus dengan Amanda, membuatnya tak sadar bila sedari tadi seseorang tengah mengamati mereka secara diam-diam.
Amanda mengarahkan pandangannya ke arah Raid an mendadak bingung harus menjelaskan siapakah pria itu pada rekan kerjanya. Sesungguhnya, tak ada hubungan apa pun di antara mereka dan Amanda tak menemukan kata yang tepat untuk mengenalkan pria itu.
“Anu … ini …,” Amanda menarik napas panjang dan mengelanya perlahan, “Hanya seorang kenalanku,” lanjut Amanda pada akhirnya. Ia sungguh tak mengerti hubungan di antara mereka selain orang asing yang tak begitu asing. Amanda tak mungkin memperkenalkan pria itu sebagai teman karena mereka tak memiliki hubungan itu. Apalagi sebagai kekasih atapun calon suami, status itu tak pantas Amanda sebutkan untuk pria itu. Pria asing yang menampungnya.
Wanita bernama Fira itu menautkan kedua alisnya dan menatap Amanda penuh tanya. Baru kali ini ia melihat wanita itu bersama dengan seorang lelaki. Biasanya, Amanda paling anti bila ada lelaki yang mendekatinya, membuat Fira agak terkejut mengetahui Amanda memiliki lelaki sebagai seorang kenalan. Padahal wanita itu kerap bersikap dingin walau ada rekan kerja maupun pelanggann yang datang dan menunjukkan ketertarikan mereka secara terang-terangan.
“Kenalan itu seperti teman, saudara, atau semacam ….” Fira tak mampu lagi menemukan kata yang tepat. Tak mungkin ada seorang wanita yang memperkenalkan kekasihnya sebagai seorang kenalan bukan? Apa seperti tetangga? Sejak dulu, Fira tak bisa menebak kehidupan Amanda. Wanita itu memang baik, namun sangat tertutup dan tak ingin membiarkan orang masuk ke dalam hatinya. Wanita itu tak ingin ada yang tahu apa yang ada di hatinya.
Rai melirik ke arah Amanda dan mampu melihat kegugupan wanita itu. Ia bisa menebak, jika Amanda tak mampu menjawab pertanyaan yang sebenarnya sangat mudah untuk dijawab. Rai sebenarnya paham apa yang membuat wanita itu sulit mengatakan apa yang ada di antara mereka karena terlalu banyaknya kebohongan yang mengikat mereka.
Rai mengulurkan tangannya. “Salam kenal, Kak Fira. Saya, Ra, calon suaminya Amanda,” Rai tersenyum manis pada Fira, namun wanita di hadapannya itu membelalakkan kedua mata dan tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Begitupun dengan Amanda yang sudah menoleh ke arah Rai dan menatap pria itu dengan tatapan tak percaya.
Di dalam hati, Amanda terus bertanya, mengapa pria itu mengenalkan diri sebagai calon suami jika apa yang ada di antara mereka hanyalah kebohongan semata? Harusnya, teman-temannya tak perlu tahu hubungan mereka berdua. Apa pria itu tak masalah bila temannya menganggap Rai sebagai calon suaminya? Apakah pria itu tak merasa janggal?
Fira yang tersadar dari lamunannya segera menyambut tangan Rai dan tersenyum tak kalah manisnya. “Saya Fira, temen kerjanya Amanda,” wanita itu lalu menoleh ke arah Amanda yang masih fokus menatap Rai dan menepuk pelan lengan wanita itu, “Manda, ternyata kamu menghilang untuk mencari calon suaminya. Ishh … diem-diem udah ada yang punya aja,” lanjut wanita itu dengan senyum menggoda yang membuat Amanda merasa kikuk. Dirinya masih tak menyangka bila Rai mau mengaku sebagai calon suaminya. Apa yang pria itu pikirkan?
“Maaf jika membuat Amanda menghilang karena kesibukan kami mempersiapkan pernikahan. Maaf membuat kalian sangat khawatir,” ucap Rai ramah.
Wanita bernama Fira itu tersenyum senang dan menggerak-gerakkan tangannya di udara, “Nggak perlu minta maaf. Hanya saja, Amanda itu adalah keluarga kami dan kami semua nggak bisa mengabaikannya begitu saja. Tapi saat tahu apa yang terjadi, kami lebih tenang sekarang.”
Mendengarkan penjelasan Rai membuat Amanda tersenyum tipis. Ia sangat bersyukur pria itu mau membantunya berbohong. Tampaknya, yang mereka pintar lakukan memanglah hanya berbohong. Hal yang menyatukan mereka dan mungkin ini pula yang perlahan membuat keduanya merasa damai. Tak ada kebenaran dan selamanya bisa tenggelam dalam ilusi bersama.
“Maaf Kak Fira,” Amanda menimpali, “Aku ingin bertemu Bu Dian,” lanjut Amanda lagi. Ia tak ingin terlalu lama membiarkan Rai merasa jengah dengan harus melempar kebohongan demi kebohongan hanya untuk membantunya. Amanda terlalu banyak berhutang budi pada Raid an tak ingin lagi menumpuk hutang yang ia tak tahu bagaimana cara membayarnya. Cukup semua kebaikan yang ia terima dari pria itu.
“Oh ya, Kakak sampai lupa. Sebentar, Kak Fira panggil Doni dulu buat jaga mesin kasir, setelah itu Kakak anterin ketemu Bu Dian,” wanita itu menatap sekeliling dan menggerakkan tangannya di udara begitu menemukan pria yang sedari tadi memperhatikan mereka yang tengah bercakap-cakap dengan tatapan penuh tanya. Merasa dipanggil, pria bernama Doni itu segera melangkah mendekati ketiga orang itu.
“Manda, gimana kabarnya?” tanya Doni begitu berdiri di depan Amanda.
Amanda mengulum senyum. “Aku baik-baik aja,” ucap wanita itu, “Kamu gimana?”
Doni tersenyum senang dan menjawab. “Aku juga baik-baik aja.”
“Aduh .. udahan reuninya. Tolong jagain mesin kasir ya, Don,” Fira memotong percakapan keduanya. Ia tak ingin membiarkan Amanda menunggu lama, terlihat wanita itu tengah terburu-buru dengan terus menatap raid an juga pintu keluar secara bergantian. Membuat Fira menebak, jika Amanda ingin segera meninggalkan tempat itu.
“Mas Rai tunggu di sini sebentar ya,” Amanda menoleh pada Rai yang segera mengangguk mendengarkan arahan dari wanita itu. Amanda segera mengandeng lengan Fira dan berjalan menuju gudang melalui pintu belakang yang berada di tempat itu.
Dalam diam Rai mengamati punggung Amanda yang terus menjauh. Wanita itu tampak berbeda. Kini, Rai mampu melihat kilatan kebahagiaan di wajah Amanda yang tengah bercanda tawa dengan rekan kerjanya. Keduanya berbicara seru dan sesekali tertawa sepanjang perjalanan. Rai seakan terhipnotis melihat tawa Amanda yang terlihat begitu memukau.