Tak perlu mengetahui tentang seseorang yang tak benar-benar ingin kau kenali. Tak perlu mengikis jarak untuk mendekati seseorang yang tak bisa membuatmu merasa nyaman. Misteri memang kerap memancing rasa penasaran seseorang untuk memecahkannya, namun setelah semua itu tercapai, kau tak lagi akan merasa ingin melanjutkan hal yang kau mulai.
“Bos dan juga teman-temanmu baik semua,” ucap Rai begitu mereka sudah duduk bersisian di dalam mobil. Amanda tersenyum tipis mendengarkan perkataan pria itu dan membenarkan apa yang pria itu katakan. Semua orang di sekitarnya adalah sekumpulan orang baik dan Amanda beruntung memiliki mereka semua yang mencerahkan hari-harinya.
“Ya, mereka semua adalah orang baik,” Amanda tersenyum tulus ke arah pria itu, “Sama sepertimu, Mas. Terima kasih karena sudah membantu di dalam sana tadi,” lanjut Amanda.
“Selama ini, aku berpikir, kalau kamu nggak punya kehidupan dan nggak ada keluarga sama sekali, hingga nggak mempunyai tujuan hidup,” pria itu menatap Amanda meneliti, “Namun aku salah. Ada yang menanti kepulanganmu. Sebenarnya, kamu memiliki kehidupan.”
Perkataan pria itu membuat Amanda tercengang sesaat. Selama ini, Amanda tak menyadari hal-hal kecil itu dan terus menekankan pada dirinya sendiri bila dirinya tak memerlukan siapapun untuk menjalani kehidupannya. Ia pikir, dirinya bisa hidup sendiri dan mengabaikan kenyataan bila manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan orang lain untuk menjalankan hidup mereka. Tampaknya, Amanda masih saja sama seperti manusia lainnya yang memerlukan orang lain di dalam hidupnya.
“Kamu masih ingin mengetahui tentangku?” wanita itu menatap ke dalam manik mata Rai, mencoba mencari kebenaran dalam sepasang mata di hadapan pria itu. Tanpa aba-aba, Rai mendekatkan wajahnya pada Amanda, membuat wanita itu tanpa sadar menahan napas selama beberapa detik karena kedekatan mereka. Jarak di antara wajah mereka begitu tipis, hingga Amanda mampu melihat pantulan dirinya pada sepasang mata berwarna coklat muda milik Rai.
“Menurutku, pasti banyak hal menarik tentangmu. Kenapa harus bersikap misterius?”
Pria itu menarik sabuk pengaman di samping Amanda seraya tersenyum manis, sedang Amanda tak bisa mencegah jantungnya yang berdebar tak menentu karena apa yang pria itu perbuat padanya. Dengan wajah datar pria itu membantu Amanda mengenakan sabuk pengamannya dan Amanda bisa kembali bernapas lega ketika pria itu menjauhkan wajahnya.
“Sungguh, nggak ada satupun hal yang menarik tentangku,” ucap Amanda seraya tersenyum lirih. Kehidupannya tak menarik sama sekali. Terlalu banyak potongan cerita penuh kesedihan dan juga kemalangan yang akan membuat orang-orang bosan bila kisah hidupnya itu disajikan dalam bentuk film layar lebar. Entah mengapa, Rai begitu ingin mencari tahu tentangnya. Seharusnya, mereka tak perlu melanggar batasan yang ada.
Rai tersenyum mengejek. “Kamu wanita paling misterius yang kukenal.”
Amanda tersenyum masam dan menjawab santai. “Menjadi misterius adalah sesuatu yang baik dan menguntungkan sekali bagiku.” Setidaknya, hal itu telah memberikan banyak jalan keluar bagi Amanda untuk berlari sejenak dari semua permasalahan hidupnya. Dengan bersikap misterius, dirinya tak perlu menjelaskan atau menceritakan kisah hidupnya kepada siapapun. Ia juga tak harus dikasihani dengan semua orang di sekitarnya. Untuk beberapa saat hidupnya normal dengan sikapnya yang membentengi diri sendiri dan tak membiarkan siapapun masuk.
Pria itu tertawa renyah mendengarkan perkataan Amanda. “Apa yang menguntungkan?”
Amanda tersenyum pada pria itu dan mengangguk. “Aku bisa membentengi diriku sendiri dari siapapun. Lagipula, hal ini menguntungkan untuk kita berdua. Jika suatu saat ini, semua hubungan ini berakhir dan aku menghilang, kamu nggak akan bisa menemukanku karena nggak mengetahui apa pun,” ucap Amanda yang langsung merutuki dirinya sendiri dalam hati.
Memang kau pikir, siapa dirimu hingga dia akan mencarimu bila kau menghilang?—Amanda memarahi kebodohannya, merasa otaknya mulai kehilangan fungsinya.
“Menurutmu, aku akan mencarimu?” pria itu menaikkan sebelah alisnya dan tertawa mengejek, namun Amanda tak merasa tersinggung sama sekali. Amanda pun membenci dirinya yang tak bisa mengendalikan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Kata yang terdengar konyol.
“Nggak juga karena memang nggak ada hubungan seperti itu di antara kita yang membuatmu harus mencariku saat aku hilang nanti,” ucap Amanda seraya menunjukkan senyum manisnya, ingin memberitahu pada pria itu bila dirinya tak tersinggung dengan kenyataan yang ada di hadapannya. Ia sangat tahu diri dan mencoba menekan perasaannya dalam hubungan itu.
“Aneh sekali. Kita baru berkenalan dalam hitungan hari, tapi kamu bersikap seperti begitu mengenalku,” Rai mengamati wajah Amanda. Diam-diam, ia berucap dalam hati, jika keanehan itu bukan pada diri Amanda seorang. Rai pun seakan mengenal Amanda.
Amanda tertawa sumbang. “Kamu nggak akan mengenalku lebih dari ini. Perkenalan di antara kita cukup sampai di batas ini dan aku nggak akan membiarkanmu tahu banyak tentangku yang nggak menarik ini.” Amanda sadar, jika dirinya tak boleh terbuai dalam kebohongan yang mereka ciptakan agar dirinya tak tenggelam dan kehabisan napas. Semuanya harus dihentikan, sebelum dirinya terbuai dalam dusta yang mulai terasa manis di antara mereka berdua.
“Aku bisa mencari tahu semua hal yang membuatku penasaran dengan mudah. Kamu belum mengerti kemampuanku dalam mencari informasi. Bila ingin, aku bisa mencari tahu semua tentangmu dengan mudah.” Ketenangan dalam nada suara pria itu tak mampu menyamarkan keyakinan yang ada di dalam nada suara pria itu, membuat Amanda sadar jika memang sangat mudah bagi Rai untuk mencari tahu apa pun yang ia inginkan. Tampaknya, mempunyai uang banyak, mampu membuatmu melakukan hal yang terdengar mustahil bagi orang normal seperti Amanda. Pria itu terlihat begitu percaya diri dengan perkataannya.
“Aku yakin kalau kamu mampu melakukannya, tapi aku juga yakin kalau kamu nggak mau membuang-buang waktumu untuk mencari tahu tentangku, Mas,” Amanda tersenyum manis, “Aku nggak berbohong saat bilang nggak ada satupun hal menarik tentangku.”
Rai tergelak pelan. “Kamu telah mengulik rasa penarasanku,” pria itu lalu menyalakan mobilnya dan hendak menghentikan pembicaraan, “Bagiku, pasti ada hal menarik tentangmu,” lanjut pria itu masih bertahan dengan pemikirannya, sedang Amanda hanya bisa tersenyum tipis mendengarkan dugaan pria itu tentang hidupnya. Apa yang menarik dari diri dan juga hidupnya? Kehidupannya terlalu gelap, hingga cahaya pun takut untuk mendekat. Orang-orang kaya seperti Rai tak ‘kan mungkin bisa mengerti kehidupannya yang jauh dari kata indah.
“Seperti ini sudah lebih baik dan nyaman. Terkadang nggak mengetahui banyak hal malah membuat kita bisa tenang saat bersama,” ucap Amanda dengan senyum di wajahnya.
Rai menatapnya sekilas, lalu mengarahkan pandangan ke kembali ke jalanan di depannya. Benar apa yang Amanda katakan. Terkadang menjadi asing malah bisa membuat sepasang manusia nyaman dan hidup berdampingan. Tak sedikit orang yang saling mengenal dan mengetahui tentang kehidupan masing-masing malah menjadi jauh dengan semua pengetahuan itu. Orang-orang yang tak bisa menemukan kenyamanan saat bersama.
“Ya, benar. seperti ini memang lebih baik,” ucap Rai pada akhirnya.
Keheningan kembali menjebak perjalanan mereka. Tak ada seorangpun yang mau memulai pembicaraan, namun ada rasa terbiasa yang menciptakan ketenangan saat mereka bersama. Kejanggalan tak lagi terasa menyiksa. Mungkin dua orang yang sama-sama menyukai sunyi memang akan cocok berkendara bersama. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.
Percakapan mereka tadi, membuat Amanda berpikir, bila benar suatu saat nanti dia menghilang, apakah kehidupannya akan kembali seperti semula? Atau dirinya akan tenggelam dalam kesedihan atau merasakan kehilangan? Apa mereka akan saling mencari. Amanda menggeleng-geleng, mencoba menepi segala pemikiran itu. Tak mungkin ada yang mencari dan dicari dari hubungan penuh kebohongan yang tengah mereka jalani.
Menit berlalu, keduanya sudah kembali ke rumah. Amanda membuka sabuk pengamannya dan menoleh ke arah Rai. “Mau makan apa malam ini, Mas?”
Amanda harus menjadi orang yang mampu membalas kebaikan agar tak memiliki beban di dalam hatinya. Hutang uang mungkin bisa diusahakan untuk membayarnya, namun hutang budi itu adalah hal yang berat dan sulit untuk dibayar kembali. Kau tak bisa menakar budi.
“Apa yang bisa kamu masak?” Pria itu bertanya tanpa menoleh ke arah Amanda.
“Banyak, kalau pun aku nggak bisa memasaknya, aku bisa mencobanya dengan melihat resep dari internet,” Amanda tak ‘kan mengecewakan Rai dan memberikan semua yang terbaik dari dirinya. Dengan begitu, tak ‘kan pernah ada hutang budi di antara mereka.
Pria itu tergelak. Sekarang, pria itu dengan mudah tertawa atau tersenyum saat bersamanya. Meski, keheningan masih kerap menjebak mereka, namun wajah pria itu bisa mengeluarkan beberapa ekspresi berbeda, tak sedater seperti pertemuan pertama mereka, membuat Amanda secara tak sadar menyukai perubahan yang ada di antara mereka. Ternyata, mereka memang banyak kesamaan. Kerap membentengi diri dengan sikap dingin.
“Masak apa pun yang kamu bisa. Aku bukan orang yang pemilih dalam hal makanan, jadi apa pun yang kamu siapkan, akan aku habiskan,” ucap Rai seraya membuka pintu, “Semua bahan sudah ada atau masih mau berbelanja lagi?” tanya Rai sebelum keluar dari mobil.
Amanda tersenyum dan menggeleng. “Aku akan melihat apa yang ada di kulkas dan memasak bahan-bahan yang ada di sana. Kamu mandi saja dulu.” Rai mengangguk, lalu keluar dari mobil, diikuti oleh Amanda. Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah.
Amanda segera menuju dapur, sedang Rai ke lantai atas untuk membersihkan diri. Terlalu lama hidup seorang diri membuat Rai sedikit senang karena sekarang ada yang memperhatikan makannya dan ia menjadi lebih bersemangat untuk pulang. Mungkin, perasaan ini pula yang membuatnya memilih Amanda untuk mengabulkan permintaan neneknya.
Rai yakin, mereka tak butuh cinta ataupun perasaan dalam hubungan pernikahan itu. Asalkan bisa saling menghargai, menjaga batasan, dan tak terlalu banyak ikut campur, maka selama itu pula mereka bisa hidup berdampingan dengan bahagia. Cinta itu hanya pemanis dalam pernikahan. Yang paling utama adalah komitmen dan orang seperti Rai bisa menjaga komitmen.
Setelah beberapa saat Rai menuruni anak tangan dan segera menuju ke meja makan. Aroma sedap makanan menyambut kedatangannya, membuat cacing di perutnya mulai meloncat kegirangan. Sudah lama sekali ia tak menyantap masakan rumahan. Ia selalu memakan makananan cepat saji ataupun dari restoran. Mungkin ini juga yang membuatnya memilih untuk menikah, agar dirinya memiliki tempat pulang. Entah bagaimana awal pernikahan bohongan itu, namun Rai mampu melihat jika masa depan mereka tak begitu buruk. Setidaknya, mereka berdua akan saling diuntungkan tanpa harus ada kesedihan di antara mereka. Keduanya tak mungkin bisa merasa luka karena sejak awal tak ada perasaan, tak ada ikatan, dan tak ada janji. Hubungan ini jauh lebih baik daripada sepasang manusia yang saling mencintai dan berakhir melukai.
Rai memandang sekeliling untuk mencari Amanda, namun tak menemukan wanita itu di dapur. Ia menduga jika Amanda pastilah membersihkan diri terlebih dahulu. Pria itu duduk di balik meja makan dan tersenyum melihat berbagai lauk pauk yang berhasil wanita itu masak hanya dalam waktu setengah jam. Hanya tumisan dan makanan goreng yang sederhana dengan tambahan sambal terasa yang terlihat lezat, namun mampu memancing selera makan Rai.
“Suka makanannya, Mas?” Pertanyaan Amanda membuyarkan fokus Rai pada makanan di meja. Pria itu menoleh dan menelan ludah dengan susah payah saat melihat Amanda mengenakan gaun tidur tipis berbahan satin bertali satu. Gaun berwarna merah itu tampak sangat pas di tubuh wanita itu, menujukkan lekukan tubuh Amanda yang padat dan indah. Dalam hati Rai terus bertanya apa yang membuat wanita itu mengenakan gaun tidur yang mampu memancing kelakian Rai, membuat dirinya melupakan rasa laparnya? Rai tak lagi bisa fokus.
“Ada yang salah dengan penampilanku?” tanya Amanda yang tak mendapatkan respon apa pun selain tatapan aneh Rai. Tatapan yang membuat wanita itu meneliti penampilannya.
Amanda pikir, selepas makan, pria itu akan meminta haknya karena telah melakukan kebaikan untuk Amanda. Bukankah itu yang ada di antara mereka? Selalu ada alasan dan keinginan dari setiap hal yang mereka lakukan satu sama lain. Hal yang wajar untuk orang-orang yang hanya ingin saling menguntungkan. Oleh karena itu, Amanda yang menemukan pakaian tidur yang indah itu segera mengenakannya. Ia harus berterima kasih dengan cara yang benar pada pria yang telah membantunya terlihat tak begitu malang di depan semua teman-temannya.
“Kamu cantik mengenakannya,” ucap Rai sembari tersenyum manis, membuat Amanda terpaku sesaat. Jantung wanita itu bahkan berdebar dengan liarnya dipuji oleh Rai.
“Makasih, Mas.” Amanda segera berdiri di samping Rai dan hendak menyiapkan makanan pria itu. Amanda mengisi piring Rai dengan nasi, lalu bertanya, “Mau semua lauknya?”
Rai mengangguk dan tak mampu memalingkan wajahnya dari Amanda. Wanita itu tak hanya cantik, namun kekosongan dan kepedihan yang tak bisa wanita itu sembunyikan membuat Rai hendak membawanya ke dalam dekapan dan melindungi wanita itu. Semua ini aneh. Apalagi mereka hanyalah sepasang asing, namun Rai merasa ada hal menarik tentang Amanda.
Setelah melayani Rai, wanita itu mengambil tempat di hadapan Rai dan ikut mengisi piringnya. Beberapa detik, keheningan menghiasi suasana makan mereka, sampai Rai memecahkannya dengan mengatakan. “Tidurlah di kamarku malam ini.”
Amanda tersenyum dan mengangguk menurut. Mereka memang baru berkenalan dalam hitungan hari, namun Amanda seakan mengenal dan bisa menebak dengan apa yang ada di dalam kepala Rai. Ia sangat paham apa arti dari saling menguntungkan yang ada di antara mereka. Memang seharusnya inilah yang mereka jaga, perasaan menguntungkan.