Waktu bisa membuat seorang asing menjadi tak asing lagi. Bahkan beberapa orang merasa tak asing meski mereka baru saja bertemu. Begitulah hubungan dimulai dari yang asing menjadi kenal, dari yang kenal menjadi asing. Kau tak bisa mencegah perputaran yang terjadi dan membiarkan semua tetap mengalir, membiarkanmu terbawa arus.
Mobil yang Rai kendarai sudah tiba di depan rumah dua tingkat yang mereka tempati bersama. “Turunlah, aku harus pergi ke suatu tempat,” ucap pria itu tanpa melirik ke arah Amanda. Wanita itu tersenyum dan mengangguk.
“Hati-hati di jalan,” ucapnya seraya beranjak keluar dari mobil. Amanda berdiri di tempatnya dan menunggu hingga mobil Rai menghilang dari pandangannya, lalu ia pergi masuk ke dalam rumah. Amanda menatap ke sekeliling dan tersenyum tipis. Ia telah kembali ke dunia nyata, kebahagiaan yang sempat dirasakannya tadi seakan mimpi yang telah berakhir.
Amanda tak lagi ingin berpikir, ia memutuskan berjalan ke lantai atas membersihkan diri, lalu melanjutkan kebahagiaan yang tadi ia rasakan di dalam dunia mimpi. Setidaknya, dengan tertidur ia mampu melupakan semua rasa sakitnya. Hanya dengan cara itu ia bisa berlari dari kenyataan pahit yang terbentang luas di hadapannya. Hal yang sangat disukai Amanda, tidur.
Mentari pagi mengintip secara malu-malu melalui celah jendela. Amanda merasa berat untuk membuka mata. Ia tak seperti kebanyakan orang yang suka menyambut pagi dengan gembira dan menganggap jika pagi adalah harapan bagi mereka yang hidup dengan impian.
“Kamu masih mengantuk?” suara bariton yang datang dari sisi Amanda, membuat wanita itu segera membuka mata dan menoleh ke sumber suara. Amanda tak mampu menyembunyikan keterkejutannya begitu menemukan Rai tengah berbaring miring ke arahnya. Untuk sesaat mereka hanya saling berpandangan dalam diam, seakan tengah menikmati moment yang ada.
Sedetik kemudian, Rai sudah mempertipis jarak di antara wajah mereka, terlihat hendak mencium Amanda. Reflek Amanda segera menjauhkan wajah mereka dan menutup bibir dengan tangannya, menolak untuk dicium dan membuat pria itu menjauhinya di kemudian hari.
Pria itu tertawa kecil. “Aku menginginkanmu pagi ini,” ucap pria itu menatap lurus ke dalam manik mata Amanda, membuat wanita itu tersenyum kikuk. Ia belum mempersiapkan dirinya. Apalagi mereka bukanlah dua orang yang saling mencintai. Tentu saja, bercinta di pagi hari dengan seorang asing dalam keadaan yang belum siap bukanlah hal yang menyenangkan.
“Bisa berikan waktu aku untuk mandi sebentar.”
Pria itu menggeleng. “Aku nggak mau menunggu selama itu. Untuk kali ini nggak pa-pa,” ucap pria itu memaksa. Ia tak lagi mempedulikan apa pun. Ia hanya ingin segera menjamah tubuh wanita itu dan mendapatkan keuntungan dari barang yang dibelinya.
“Maaf, setidaknya biarkan aku sikat gigi,” Amanda masih berusaha. Ia tak mungkin bisa membiarkan pria itu menciumnya di pagi hari seperti ini. Rai menyerah, mengangguk, memberikan persetujuan untuk Amanda pergi dan membersihkan diri.
“Aku nggak akan lama,” Amanda yang paham akan tanggungjawabnya tak ‘kan membiarkan pria itu terlalu lama menunggunya. Sebagai wanita yang sudah dibayar, dirinya harus melakukan tugasnya dengan baik dan tak mengecewakan pria yang membayarnya.
Menit berlalu, Amanda sudah kembali setelah menyikat gigi dan mencuci wajahnya. Rai sudah berbaring di tempat tidur dengan bagian tubuh yang tak mengenakan kaos putih yang semula menutupi bagian atas tubuhnya. Pria itu tak memberikan senyum, sedang Amanda tak pernah bisa membuang kegugupannya saat harus melakukan tugasnya itu.
Amanda bergabung dengan Rai di tempat tidur. Tanpa menunggu lagi, Rai segera membawa Amanda di dalam dekapannya. Wanita itu mengambil tempat di atas dan Rai segera mencumbuu bibir Amanda dengan rakus. Wanita itu selalu mampu memancing hasratnya. Tangan Rai mulai masuk ke dalam pakaian Amanda, mengusap punggung wanita itu dengan bibir yang masih saling berpagutan. Lidah mereka saling beradu dan mengecap.
Tak perlu menunggu lama untuk pria itu menyatukan hasrat mereka. Amanda sadar benar jika yang diinginkan pria itu adalah tubuhnya sebagai pemuas hasratnya, tidak pernah lebih dari itu. Akan tetapi, kali ini ia mampu melihat hal lain pada sepasang mata pria itu.
Apa mungkin karena saat ini adalah pagi hari dan pria itu tak menegak minuman keras sebelum menyentuhnya, hingga Amanda mampu melihat arti lain dari gerakan tubuh pria itu. Amanda mungkin telah kehilangan akal sehatnya, akan tetapi samar-samar ia seolah melihat bukanlah hasrat seperti biasa yang ada di dalam netra pria itu. Ada amarah dan perasaan menggebu-gebu yang berusaha pria itu tunjukkan dari gerakan tubuhnya yang kini sudah mengambil alih permainan mereka dan menggerakkan pinggulnya lebih cepat dan lebih liar dari biasanya. Aneh, mengapa Amanda merasa pria itu tak biasa.
Beberapa menit kemudian, pria itu melenguh panjang, menancapkan miliknya dalam-dalam dan menuju puncak kenikmatan yang membuatnya merasa mabuk kepayang. Selesai melakukannya, pria itu segera turun dari atas Amanda dan berbaring telentang berusaha mengatur napasnya yang masih terengah-engah.
Sementara Amanda memiringkan tubuhnya, menatap pria itu penuh tanya. Apa yang terjadi pada pria itu tadi malam? Apakah setelah kepergiannya ada hal yang membuatnya marah, hingga pria itu tak mampu lagi menahan amarahnya dan melampiaskannya pada tubuh Amanda. Lagi-lagi, pria itu selalu membuatnya merasa diinginkan dan direndahkan di saat yang bersamaan dengan sikap datarnya setelah permainan yang sempat membakar tubuh mereka dengan hasrat gelora. Seakan semua hal itu tak lagi berarti apa pun setelah mencapai apa yang dicari. Seakan raga tak harus lagi berdekatan bila sudah mendapatkan apa yang diinginkan.
Amanda tak berani bertanya walau ia penarasan akan apa yang terjadi tadi malam setelah kepergiaan pria itu. Amanda tak boleh melanggar batasan di antara mereka. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menikmati rasa penasaran yang hendak membunuhnya. Rai yang merasa diperhatikan segera memiringkan tubuhnya dan kini keduanya saling berpandangan.
“Kenapa kamu terus melihatku? Ada yang mau kamu bicarakan?”
Amanda tersenyum tipis. Merasa tak pantas untuk membangun hubungan seperti itu di antara mereka. Walau penasaran, ia tak boleh melakukan hal yang akan merusak apa yang ada di antara mereka. Ya, lebih baik tak mengetahui apa pun dan hidup masing-masing layaknya sepasang asing yang hanya tinggal di bawah atap yang sama. Tak perlu bersikap layaknya seorang yang memiliki hubungan yang mempedulikan hal yang tak seharusnya.
“Nggak pa-pa,” ucap Amanda pada akhirnya, “Mau sarapan?”
Rai menggeleng. Pria itu melingkarkan tangannya pada pinggang Amanda, menarik Amanda semakin dalam pada dekapannya. “Aku nggak mau sarapan dan kamu nggak boleh pergi kemanapun. Siapa tahu aku mau melakukannya lagi, jadi tetaplah tinggal di sisiku.”
Di dalam pelukan Rai, Amanda tak bisa menahan air mata yang disembunyikannya dari pria itu. Hatinya mendadak begitu perih karena perasaanya yang semakin kacau karena sikap lelaki itu padanya. Sesaat pria itu memperlakukannya seperti barang, namun di sisi lain pria itu bisa memperlakukannya bagai seorang manusia yang mampu merasa.
Mungkin inilah jalan takdirnya, menjadi boneka yang hanya bisa dimainkan dan digunakan sesuka hati, lalu bisa ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan apa pun. Tak ada ikatan yang mengharuskannya untuk merasa sedih, akan tetapi hatinya tak mau mendengarkan apa yang otaknya perintahkan. Sanggupkah ia menjalani kebohongan itu untuk sisa hidupnya?
Saat membuka mata, Amanda tak lagi menemukan pria itu di sisinya. Tempat di sampingnya sudah kosong, tangannya meraba bagian itu dan rasa dingin yang berada di sana membuat Amanda yakin jika pria itu sudah lama terbangun lebih dulu.
Amanda segera bangkit berdiri dan turun dari kasur yang tadinya mereka tempati bersama. Pelukan pria itu terasa begitu nyaman, hingga mampu membuatnya kembali tertidur lelap. Sudah lama sekali Amanda tak pernah tidur senyenyak itu, hingga ia tak perlu rasa kantuk untuk mengantarkannya ke dalam dunia mimpi. Semua terjadi begitu saja. Kenyamanan yang pria itu bagikan dan kehangatan tubuh polos mereka yang saling bersentuhan membuatnya terbuai dengan sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Amanda segera berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Ia harus segera menyiapkan makanan untuk pria yang akan menjadi suami bohongannya. Banyak tugas yang harus ia lakukan, tak hanya memuaskan di tempat tidur, tetapi ia juga harus melayani pria itu dengan baik, seperti seorang istri sungguhan, dengan status yang hanya kebohongan belaka. Amanda segera turun ke lantai bawah dan mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk menemukan di mana Rai berada. Apa pria itu sudah pergi ke kantor? tanya Amanda dalam hati.
Amanda menghentikan langkah begitu tiba di dapur dan menemukan Rai berdiri di depan mesin kopi. Mendengar langkah Amanda, pria itu membalik tubuh dan bertanya. “Sudah bangun?” Amanda tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan pria itu. Amanda berjalan mendekati Rai dan mengamati apa yang tengah pria itu lakukan.
Pria itu menuangkan kopi hitam ke dalam cangkirnya, lalu kembali bertanya. “Kamu suka kopi hitam atau mau minum yang lain?” Amanda menggeleng merespon pria itu.
“Aku akan membuat minumanku sendiri, Mas.”
Amanda mengambil cangkir, meletakkan teh dan gula ke dalam cangkir, lalu menuangkan air panas di sana. Rai mengamati apa yang wanita itu lakukan dengan menyesap Americano tanpa gula miliknya. Amanda menoleh dan memperhatikan pria itu.
“Kamu suka kopi hitam? Pakai gula atau tanpa gula?” Amanda ingin mencari tahu banyak tentang suami bohongannya itu. Ia harus bisa memberikan semua yang terbaik untuk pria itu, agar Si pria tak merasa membuang uangnya secara sia-sia.
“Tanpa gula,” Rai mengambil toples berisi biji kopi di samping mesin kopi dan menunjukkannya pada Amanda, “Aku suka kopi yang ini,” lanjutnya. Amanda mengangguk dan mengingat semua informasi yang pria itu berikan padanya.
“Mulai besok, aku akan membuatkannya untukmu.”
Rai tersenyum dan mengangguk, melihat senyum pria itu sekilas membuat Amanda merasa jika kemarahan yang tadi pagi ditemukannya pada sepasang netra Rai hanyalah sekadar pemikirannya saja. Mungkin ia terlalu banyak berpikir, hingga melihat ilusi di sana.
“Bukankah nggak ada kalau hanya kamu yang terus-terusan mengetahui banyak tentangku, tapi aku nggak tahu apa pun tentangmu? Tentunya selain nama dan informasi yang ada di kartu tanda pengenal maupun kartu keluargamu,” pria itu meletakkan cangkir yang tadi berada di tangannya ke kitchen bar, lalu menempatkan sebelah tangannya pada pipi Amanda, “Terkadang, rasa penasaran mampu membunuh seseorang dan aku nggak suka dengan perasaan menyebalkan ini. Menurutmu, apa yang harus kulakukan?” lanjut pria itu.
Amanda tersenyum tipis. “Apa yang mau kamu ketahui tentangku?”
Amanda tahu jika perasaan penasaran bukanlah hal yang mudah untuk kau bunuh. Mungkin, berbagi sedikit rahasianya tak ‘kan membuat Amanda tersiksa. Walau bagaimanapun, pria itu sudah membelinya dan tak mungkin bila Amanda terus-terusan bersikap tertutup.
Pria itu menatap Amanda lekat, lalu mengambil cangkirnya kembali. “Entahlah, sesuatu,” pria itu mengendikkan kedua bahunya tak acuh, “Apa kamu nggak lapar?” pria itu mengarahkan pandangannya ke pada plastik berisikan Styrofoam yang diletakkannya di ujung kitchen bar.
“Aku membeli makanan, tapi aku nggak tahu apa kamu menyukainya. Mau makan?”
Senyum terukir pada kedua sudut bibir Amanda. Pria itu mengangguk. “Mas duduk saja lebih dulu di meja makan dan aku akan menyiapkan makanan kita,” Amanda segera mengambil plastic tersebut, lalu memindahkan makanan yang ada di dalam Styrofoam ke dalam piring. Rai yang diminta pergi lebih dulu tak melakukannya. Pria itu malah terus memperhatikan semua gerak-gerik Amanda dan segera mengambil piring berisikan makanan yang disiapkan wanita itu.
“Terima kasih,” ucap pria itu seraya membawa piringnya sendiri ke meja makan.
Amanda tersenyum mengamati pria itu. Sikap pria itu bagai angin yang tak bisa diketahui ke manakah arahnya berembus. Angin yang bisa terasa lembut, namun menjadi ganas secara tiba-tiba. Amanda tak pernah bisa menebak pria yang terus berubah-ubah itu.
Kini, keduanya sudah duduk berhadapan dengan makanan di hadapan mereka. Rai tak lagi mengulang pertanyaan tentang keinginannya untuk mengetahui sedikit kisah tentang Amanda, sedang wanita itu pun merasa lega karena Rai tak lagi menanyakan hal yang tak ingin ia ceritakan. Sejujurnya, ia belum siap untuk menceritakan kisahnya pada siapapun. Keheningan menjebak keduanya, hanya suara alat makan yang saling beradu lah yang memenuhi ruangan.
Sedetik kemudian bel rumah berbunyi. Amanda hendak berdiri dan membuka pintu, namun Rai menggerakkan tangannya di udara, memberikan tanda jika wanita itu tak perlu melakukannya. Rai segera bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu untuk mencari tahu siapakah yang membunyikan bel pintu rumahnya, sementara Amanda melanjutkan kegiatannya.
Ponsel Rai yang bergetar di meja membuat wanita itu segera mengarahkan pandangan ke ponsel pria itu. Amanda mengarahkan pandangan ke arah pintu dan tak bertanya-tanya tentang apa yang harus dilakukannya pada ponsel Rai yang terus berbunyi. Entah keberanian dari mana, Amanda mengambil ponsel pria itu, hanya untuk sekadar mencari tahu nama Si penelpon dan melaporkannya pada Rai begitu pria itu kembali.
Terlambat, panggilan telah berakhir begitu Amanda mengambil ponsel Rai. Amanda terpaku begitu layar ponsel pria itu menampilkan potret seorang wanita berambut coklat dengan gaya keriting gantung yang tengah tersenyum manis ke arah kamera. Wanita yang tampak begitu cantik bak bidadari yang turun dari surga. Bibir berwarna peach milik wanita itu membuatnya tampak begitu segar dan ceria. Sempurna.
Amanda terkejut begitu Rai menarik paksa ponselnya dari tangan Amanda. Pria itu menatap Amanda penuh amarah dan berkata dengan setengah berteriak. “Jangan pernah berani menyentuh barang-barang pribadiku!” rahang pria itu mengeras.
Refleks Amanda memundurkan kursi yang ditempatinya saat mendenga apa yang keluar dari mulut pria itu. “Maaf …” hanya satu kata itu yang pada akhirnya keluar dari bibir Amanda.
Wanita itu bahkan tidak berani menjelaskan jika ia hanya ingin mencari tahu nama Si penelpon dan segera memberitahukannya pada Rai begitu pria itu kembali. Tak ingin membuat pria itu semakin marah, Amanda segera bangkit berdiri dan meninggalkan meja makan.
Terlalu sering diteriaki dan dimaki, membuat ada rasa trauma tersendiri di dalam hatinya. Mendengarkan suara seseorang yang sedikit lebih keras membuatnya tak kuasa mencegah tubuhnya bergetar dan ketakutan mendominasi sanubarinya. Ia tak bisa menghindari hal itu dan apa yang diperbuat Rai, telah membuat ketakutan kembali menghantuinya.
Amanda tak lagi ingin menjelaskan apa pun. Yang ia inginkan adalah segera pergi dari sana sebelum tubuhnya kembali gemetar hebat karena ketakutan yang mulai mengambil alih dirinya. Semuanya selalu dimulai dengan teriakan, makiaann, lalu berakhir dengan pukulan di sekujur tubuhnya. Semua selalu dimulai dengan cara yang sama, namun terkadang memiliki akhir yang berbeda. Ia pingsan karena kesakitan atau berhasil kabur dari siksaan itu.