Dia yang Berbeda

2253 Kata
Di dunia ini selalu ada batasan-batasan yang tak boleh dilanggar demi menjaga kenyaman saat bersama. Tak melanggar batasan yang ada membuatmu bisa menjaga kedamaian hati. Hal-hal tak tertulis itu harus kau patuhi untuk menjaga hatimu sendiri dan juga dirinya. Sehabis menyantap makan siang, ketiganya pindah duduk di taman samping rumah. Meja di antara ketiganya telah dihiasi dengan teh dan juga camilan untuk menemani waktu santai mereka. Sejak tadi, nenek Rai dan Amanda asyik bercerita, membuat Rai tak mengerti mengapa keduanya begitu cepat akrab. Tak ada lagi kecanggungan, seakan keduanya sudah lama saling mengenal, sementara Rai hanya bisa mengamati keduanya dan sesekali menimpali cerita keduanya. Aneh karena kini hati Rai berdesir hangat memandang keduanya. Hari ini pula, Rai melihat sisi lain dari Amanda, atau memang begitulah diri wanita itu yang sebenarnya. Seorang yang ceria dan suka menebar tawa. Lagi-lagi, ada kehangatan yang merasuki sanubari. Hal yang seharusnya tak pernah ada di sana karena ada batasan yang tak boleh dilanggar di antara mereka. Rasa yang sudah semestinya ditekan. “Jadi bagaimana menurutmu, Rai?” pertanyaan itu membawa Rai kembali ke alam nyata, dengan cepat dipalingkan pandangannya yang semula jatuh pada Amanda. Kedua wanita itu menatapnya penuh tanya, sedang dirinya benar-benar tak tahu maksud dari pertanyaan itu. Dirinya terlalu lama tenggelam dalam pemikiran dan rasa tak biasa, hingga tak menyimak lagi percakapan keduanya. Entah sejak kapan, ia lebih suka melihat senyum kedua wanita itu daripada ikut dalam percakapan keduanya. “Kamu pasti nggak mendengarkan apa yang kami bicarakan,” wanita tua itu menyimpulkannya saat melihat tatapan keheranan yang Rai tunjukkan. “Nenek setuju kalau kalian akan menikah secara catatan sipil tanpa resepsi, namun setelahnya, kalian harus pergi bulan madu. Kalaupun nggak mau bulan madu, kamu harus setuju membuat acara kecil-kecilan di ballroom hotel nenek. Kita akan mengundang sahabat dekat dan keluarga besar saja. Kamu memilih yang mana?” wanita tua itu menatap Rai dengan tatapan meneliti, berharap kali ini cucunya tak menolak kedua sarannya itu secara mentah-mentah. Rai tampak berpikir keras, acara kecil-kecilan bertempat di hotel milik neneknya itu tak ‘kan mungkin menjadi sebuah acara sederhana. Kecil bagi neneknya, adalah hal yang besar bagi Rai dan ia tak menginginkan itu. Lebih baik jika ia memilih untuk pergi bulan madu bersama dengan Amanda dan bisa menikmati sedikit waktu santai. “Bulan madu aja, Nek. Aku nggak mau bikin acara apa pun.” Wanita tua itu mendesah gusar. “Nenek sudah tahu kalau kamu akan memilih itu, tapi biarkan nenek yang memilih Negara dan menyiapkan semuanya untuk kalian. Nenek juga akan memastikan kamu benar-benar libur dari kantor,” wanita tua itu tersenyum penuh arti, sedang Rai menghela napas dalam. Ia tahu, kalau neneknya tak mungkin membiarkannya memilih begitu saja. Neneknya pasti sudah menyiapkan sesuatu dari pilihan yang disiapkan. “Rai pasrah sama nenek.” Wanita tua itu tergelak pelan, lalu mengusap lengan Amanda. “Lihat, Rai itu sebenarnya anak yang baik dan penurut, jadi kamu jangan salah paham sama sikap galaknya.” “Aku nggak galak, Nek,” Rai menimpali, tidak terima dengan perkataan neneknya barusan, sedang kedua wanita itu tertawa melihat ktidaksetujuan Rai. “Asisten di kantormu sering bilang kalau kamu galak saat bekerja,” wanita itu menoleh pada Amanda, “Bukankah dia memang galak kalau sedang bekerja?” Amanda tersenyum tipis. Ia tak tahu bagaimana pria itu di tempat kerjanya. Nyatanya, memang tak banyak yang ia ketahu dari pria itu. Mereka hanya sekadar menyalurkan hasrat birahii dan saling menggunakan tanpa ingin mencari tahu tentang kehidupan masing-masing. Tanpa sadar, keduanya telah membangun batasan yang tak boleh dilanggar tanpa harus diungkapkan hal-hal apakah yang menjadi batasan di antara mereka itu. “Menurut Manda, nggak galak, Nek,” ucap Amanda pada akhirnya. Pria itu tak pernah membentaknya. Hanya mengatakan kenyataan yang kerap menamparnya. Setidaknya, pria itu tak memukul raganya seperti ayahnya dan semua itu membuktikan jika pria itu bukanlah seorang pria mengerikan. Walau pria itu memanfaatkannya, namun pria itu tak membuangnya. “Mas Rai adalah pria terbaik yang pernah kutemui,” lanjut Amanda lagi seraya tersenyum pada wanita tua di sisinya. Ia tak berbohong tentang hal itu. Meski pria itu membayarnya untuk melakukan kebohongan, namun pria itu memberikan semua hal yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Pria itu adalah pria terbaik yang pernah ia kenal. Rai menatap Amanda dalam diam, perkataan wanita itu membuatnya tersenyum miris. Ia tahu, jika apa yang terucap dari bibir wanita itu hanyalah kebohongan semata, sama seperti hubungan di antara mereka, namun dirinya tak pantas dikatakan sebagai pria baik. Toh, ia meminta Amanda di sisinya hanya untuk memanfaatkan wanita itu. Ia tak lebih baik dari semua orang yang ada di bar malam itu. Ia tak menyia-nyiakan apa yang dibelinya, tak mempedulikan perasaan Amanda dan menuntut kepuasan yang diharapkannya setelah membeli tubuh wanita itu. “Kalau dia galak, bilang sama nenek, biar nenek yang jewer,” wanita tua itu melirik ke arah Rai sekilas, sedang yang dilirik mengembuskan napas gusar. Amanda tertawa kecil melihat keduanya. Ia sangat beruntung bertemu dengan Rai yang membuatnya bertemu dengan nenek pria itu. Di balik kemalangannya masih banyak hal baik yang terjadi padanya. “Manda mau bulan madu ke mana? Nanti biar nenek carikan hotel yang bagus di sana.” Amanda tersenyum tipis. Ia tak memiliki memiliki keinginan untuk mengunjungi suatu tempat. Ia tak mempedulikan semua itu. Toh apa yang ada di antara mereka hanyalah sebuah kebohongan. Ia hanya ingin menikmati setiap waktu yang tersisa, di manapun tak masalah. “Ke mana aja boleh, Nek. Aku nggak punya keinginan khusus.” Wanita tua itu menghela napas panjang. “Nenek harap, setelah pulang bulan madu nanti, kalian berdua nggak sama-sama jadi orang yang pasrah dan bisa lebih mengungkapkan keinginan kalian. Kamu harus banyak berusaha untuk menghadapi Rai, makasih banyak atas kesabaranmu ya, Manda,” wanita tua itu lagi-lagi tersenyu, membuat Amanda trsenyum kikuk. Sejujurnya, ia hanya ingin berusaha mendapatkan hal baik dalam hidupnya. Selama ini, ia tak lagi memikirkan orang lain, selain dirinya dan rencana pelariannya. Namun tidak hari ini. Bertemu dengan wanita tua itu membuatnya bukan hanya ingin melakukan pekerjaannya sebagai istri bohongan dengan baik, melainkan hendak menepati janji di atas dusta yang diucapkannya pada wanita itu. Ketiganya kembali bercerita tentang rencana bulan madu yang terdengar begitu indah di telinga Amanda. Ia tak bisa menepis rasa girang yang menyelimuti kalbunya. Ia sadar, jika apa yang di antara mereka hanyalah sebuah sandiwara, namun hatinya tak mau mendengar peringatan otak yang memerintahkannya agar tak tenggelam pada rasa yang bersifat sementara itu. Hatinya terlalu angkuh dan berteriak tak peduli. Amanda hanya ingin menikmati sedikit kebahagiaan yang singgah di dalam hidupnya. Setidaknya hanya untuk sesaat. Senja telah berpulang, kegelapan kini mendominasi langit. Keduanya berpamitan setelah seharian menghabiskan waktu bersama dengan nenek Rai. Wanita tua itu seakan tak rela melepas keduanya, namun tak bisa melakukan apa pun. Sudah dua tahun lamanya Rai memutuskan untuk tinggal sendiri agar tak membuat wanita tua itu mengkhawatirkannya, namun kini wanita itu merasa kesepian. Amanda berjanji akan sering berkunjung dan wanita itu pun terlihat senang, lalu memperbolehkan keduanya untuk pergi meninggalkannya. Benar dugaan Amanda. Nenek dari pria itu adalah wanita tua yang tinggal di sebuah rumah megah, namun kesepian. Hal yang membuat Amanda heran mengapa Rai tak tinggal saja bersama neneknya daripada harus tinggal terpisah. Walau memang banyak asisten rumah tangga yang menjaga wanita tua itu, namun orang asing tak mungkin bisa menepis rasa kesepiannya. “Makasih banyak untuk pertunjukanmu hari ini,” ucap Rai memecahkan keheningan di antara mereka. Amanda yang semula tenggelam dalam pikirannya sembari menatap jalanan di luar sana mengarahkan pandangannya pada Rai dan tersenyum tipis. Sejujurnya, semua yang ia lakukan hari ini bukan sekadar sebuah pertunjukan semata, ia larut dalam kebahagiaan itu. “Aku yang seharusnya berterima kasih,” ucap Amanda setengah berbisik. Terima kasih karena kamu membuatku merasakan bagaimana bahagianya memiliki keluarga yang menginginkanku—ucap wanita itu di dalam hatinya. Pria itu menggeleng, tak menyetujui perkataan Amanda. “Aku yang harus berterima kasih karena kamu membuat nenek lebih banyak tertawa hari ini. Kamu juga mengatakan hal baik tentangku. Sungguh, semua itu sangat berarti bagiku karena aku nggak mau lagi membuatnya khawatir. Melihat perasaan lega di matanya membuatku bahagia,” pria itu menatap Amanda sekilas dan memberikan senyumnya untuk wanita itu. Amanda terpaku sesaat melihat senyum yang pria itu berikan untuknya. Hal yang disyukurinya bukan sekadar mendapatkan keluarga, namun menemukan sisi lain pria itu membuat hatinya berdesir hangat. Meyakinkannya jika Rai bukanlah seorang pria jahat. Pria yang mencintai neneknya dengan begitu dalam, bukanlah seorang yang mampu menyakitinya sebagaimana ayahnya menyakitinya. Pria itu menunjukkan pada Amanda jika tak semua lelaki di dunia ini sama bengisnya dengan pria yang ia sebut ayah. Pria itu berbeda. “Aku nggak berbohong saat mengatakan kebaikan tentangmu. Bagiku, kamu adalah orang baik dan terima kasih karena tidak membuangku kembali ke jalanan,” senyum manis Amanda pamerkan pada pria di sampingnya, sedang Pria itu tercengang sesaat. Bagaimana bisa wanita itu mengatakan perkataan yang terdengar menyakitkan dengan nada yang gembira? Pria itu tersenyum miris. “Kamu salah, semua kebaikan yang kamu ucapkan adalah kebohongan. Aku membelimu dan menggunakan barang yang kubeli dengan baik. Aku nggak pernah bermaksud menjadi pangeran kuda putih ataupun super hero untukmu. Sejak awal, niatku buruk dan kamu nggak pantas menyebutku sebagai orang baik.” Amanda tersenyum tipis menatap wajah datar pria itu. Benar apa yang pria itu ucapkan. Ia tahu niat buruk pria itu, ia juga tahu kalau dirinya tengah dimanfaatkan, namun bukan hanya pria itu saja yang memanfaatkannya, dirinya pun melakukan hal yang sama. Akan tetapi, bila kita melihat sisi dan niat buruk seseorang, maka tak ada satupun orang baik di dunia ini. “Kamu salah juga, Mas,” Amanda tersenyum lirih, “Jika hanya karena niat buruk seseorang dan orang itu tak bisa disebut sebagai orang baik, maka nggak pernah ada orang baik di dunia ini. Aku juga memanfaatkanmu untuk membebaskan diriku dari neraka.” Amanda menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. “Kita sama-sama dua orang jahat yang nggak memiliki niat baik. Pada akhirnya, kita saling memanfaatkan dan mendapatkan keuntungan sebanyak yang bisa kita dapatkan, namun aku tahu kalau kamu adalah orang baik,” Amanda tersenyum pada Rai, “Kamu bisa saja membuangku ke jalanan setelah menggunakanku, akan tetapi kamu nggak melakukannya. Kamu mempertimbangkan permohonanku untuk menjual diriku sepenuhnya padamu. Hanya orang baik yang mampu melihat luka orang lain dan memberikannya kesempatan. Untuk itu, bagiku kamu adalah seorang pria yang baik.” Rai tersenyum miring menatap jalanan di hadapannya. Sungguh sederhana pemikiran Amanda. Walau wanita itu mengatakan mereka saling memanfaatkan, namun kenyataannya tak seperti itu. Justru Rai yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari kebersamaan mereka. “Setidaknya, kamu nggak akan memukulku, membuangku ke jalanan, ataupun menjualku di bar,” Amanda melanjutkan perkataannya dengan lirih, “Yang pantas dikatakan jahat adalah ayahku,” Amanda menoleh pada jendela di sampingnya tak ingin Rai menemukan kesedihan pada matanya. Boneka ataupun barang sepertinya tak sepatutnya menunjukkan emosi pada pemiliknya. Oleh karena itu, ia tak ‘kan membiarkan Rai melihat lagi luka yang dimilikinya. “Pria itu ayah kandungmu?” Rai tahu jika dirinya sudah gila dengan berusaha melanggar batasan di antara mereka, namun ia tak lagi bisa menyembuyikan rasa penasarannya. Ia tahu, jika tak seharusnya mereka saling mencari tahu tentang kehidupan mereka satu sama lainnya, akan tetapi kebersamaan mereka hari ini membuat Rai ingin mengetahui banyak tentang Amanda seperti wanita itu yang telah mengetahui banyak kisah tentangnya dari neneknya. Amanda mengangguk pelan tanpa menoleh pada Rai. Pasti Rai merasa bingung melihat jalan cerita kehidupannya. Bagaimana bisa seorang ayah kandung tega melelang anaknya sendiri demi sejumlah uang? Kisah tentang Amanda terlalu mustahil dan konyol, hingga Amanda tak pernah mau membagi kisahnya kepada semua orang yang dikenalnya. Ia tetap menjaga batasan agar tak ada seorangpun yang mampu menembus benteng pertahanannya. “Kenapa kamu nggak menceritakan sedikit tentang dirimu? Agar semuanya adil. Bukankah kamu mendengarkan banyak cerita tentangku?” pria itu menatap pada Amanda sekilas dan pandangan mereka bertemu begitu Amanda juga menatap ke arah pria itu. Pertanyaan pria itu membuatnya merasa miris. Tak tahu apa yang harus diceritakan tentang dirinya. “Maksudmu tentangku?” Amanda memastikan dan tak menerima respon apa pun dari Si pria yang tampak fokus mengemudi, “Nggak ada yang menarik tentangku,” lanjut Amanda lirih. Rai menggeleng tak setuju. “Bagiku banyak hal menarik tentangmu. Tentang lebam di tubuhmu saat pertama kali aku menyentuhmu. Tentangmu yang kenapa harus dilelang bagai barang di sebuah bar dan tentang tatapanmu yang terlihat begitu kosong, nggak punya tujuan.” Amanda tercengang sesaat. Padahal saat itu Amanda yakin jika Rai tengah mabuk berat saat menyentuhnya. Ia tak menyangkan pria itu mampu mengetahui lebam di tubuhnya yang tak lagi terasa sakit. Luka yang didapakatnnya tiga hari sebelum bertemu dengan Rai. Ayahnya memberikan Amanda luka itu saat Amanda protes saat mendapati celengan yang disembunyikannya di dalam lemari di kamarnya lenyap begitu saja. Hari itu, pria itu menendangnya, membenturkan tubuhnya ke tembok, dan meninggalkannya yang terkulai lemas. Ada perasaan malu yang merasuki sanubari Amanda. Pria itu diam-diam mengamati semua luka yang dibawanya. Amanda tak suka dikasihani seperti yang tengah pria itu lakukan padanya. Menceritakan tentang lebam di tubuhnya pun membuatnya kembali teringat pria breenggsekk yang telah membuatnya seperti itu. Semua perlakuan ayahnya kembali memenuhi benak Amanda, memberikan rasa takut yang membuat tubuhnya gemetar. Rai menoleh sesaat pada Amanda dan paham jika wanita itu tak mau menceritakan tentang dirinya pada Rai. “Aku akan mengantarmu ke rumah. Setelah itu aku harus pergi lagi,” Rai berusaha mengalihkan pembicaraan karena tahu Amanda merasa tak nyaman. Amanda tersenyum dan mengangguk pelan. Keheningan kembali menjebak keduanya. Kesunyian yang entah mengapa sangat Amanda sukai. Mungkin memang inilah dunia tempatnya berada, kosong dan hening. Hal yang memang semestinya menjadi bagian dari dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN