Terkadang, orang memasang benteng tinggi pada dirinya sendiri sebagai pelindung agar tak lagi mendapatkan luka yang sama. Orang-orang memilih menutup hati, agar tak ada yang bisa masuk dengan mudah dan mengacaukan kedamaian dalam hatimu. Semua orang selalu belajar dari pengalaman dan tak sedikit yang mengalami trauma dari apa yang terjadi di masa lalu. Hal wajar yang tak bisa kau hindari saat banyak luka yang kau alami.
Amanda segera masuk ke dalam kamarnya dan duduk di tepi tempat tidur. Wanita itu mencoba mengendalikan perasaan berkecamuk yang menguasai hatinya. Ada ketakutan yang tak mau pergi dari sana. Ia khawatir bila masa lalunya kembali terulang.
Amanda tak marah dan tak juga tersinggung dengan teriakan pria itu. Hanya saja, ia perlu waktu menepi untuk mengendalikan perasaannya sendiri. Namun kini dirinya merasa janggal dengan kepergiannya begitu saja. Takut-takut bila Rai mulai menganggapnya marah. Amanda menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, ia butuh pergi dari sana. Tak peduli Rai mengiranya marah, akan lebih janggal bila Amanda tetap berada di sana setelah membuat Rai marah akan kelancangannya.
Wanita itu segera mengganti pakaiannya. Dirinya harus kembali ke tempat kerjanya yang dulu dan memberitahukan jika hendak mengundurkan diri dari sana. Ia masuk secara baik-baik dan sudah semestinya berhenti bekerja dengan cara yang sama. Setidaknya, Amanda jadi memiliki alasan untuk meninggalkan rumah itu. Setelah apa yang terjadi di meja makan, ia takut akan ada rasa tak nyaman begitu mereka kembali bersama. Ia juga tak ingin Rai menganggapnya marah. Amanda tahu akan posisinya sendiri dan marah ataupun tersinggung bukanlah hal yang boleh dilakukannya.
Hujan mulai turun dengan deras begitu Amanda selesai berganti pakaian, namun cuaca buruk tak 'kan menghalangi Amanda untuk pergi dari tempat itu. Ia yang tak lain hanyalah seorang asing yang menumpang harus tahu diri dan pergi saat membuat suasana mendadak tak enak dengan Si tuan rumah. Ia tahu, pria itu pasti menganggapnya sebagai beban dengan sikapnya di meja makan tadi. Andai saja Amanda mampu mengendalikan dirinya sendiri, maka semua ini tak 'kan terjadi di antara mereka. Kini hanya banyak kata andai saja yang memenuhi benaknya. Namun begitulah semuanya dimulai, dari kata andai saja, lalu terus merasa bersalah.
Amanda menuruni anak tangga dengan perlahan. Tak ingin Rai menyadari kehadirannya. Dirinya pun tak lagi menemukan Rai di tempat yang sama. Bahkan piring, bekas makannya tak ada lagi di meja. Hati Amanda semakin disiksa dengan rasa bersalah dan tak enak. Seharusnya, ia tak membiarkan masa lalu membuatnya bersikap seperti ini dan membiarkan Rai semakin tak senang dengan kehadirannya di sana. Entah mengapa, Amanda selalu melakukan hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang otaknya perintahkan.
Amanda menatap sekeliling, mencoba mencari payung untuk pergi dari tempat itu, namun ia tak tahu di mana pria itu menyimpan payung di rumah itu, fakta yang menyadarkan Amanda jika dirinya memang hanyalah seorang yang menumpang. Orang asing yang akan tetap seperti itu, meski mereka berbagi hasrat dan kehangatan tubuh di malam hari. Nyatanya, hubungan intim tak bisa mengubah apa pun di antara mereka, penyatuan dua tubuh itu hanya sebagai pelepas hasrat bagi keduanya, tak 'kan pernah bisa menjadi sesuatu yang lebih.
Amanda tak lagi ingin mencari dan memutuskan untuk keluar rumah. Jika hujan tak begitu deras, ia bisa menembus hujan dan berlari ke arah halte busway yang berada di luar komplek perumahan. Ia bisa berlari kencang dan semuanya akan baik-baik saja. Amanda mengangguk penuh keyakinan, akan tetapi semua rasa yakinnya sirna begitu ia keluar rumah dan berdiri di teras. Hujan belum juga reda, bahkan lebih deras dari sebelumnya.
“Bagaimana bisa pergi kalau terus hujan seperti ini?” gumamnya pelan. Amanda mengulurkan tangannya keluar, membiarkan rintikan hujan jatuh ke telapak tangannya. Dinginnya air hujan merambat perlahan, menyebabkan tubuhnya mulai merasa dingin. Ia tak mungkin bisa menembus hujan seperti ini. Amanda terus memikirkan cara lain untuk pergi.
“Terlalu lama di sini akan membuatku bertemu dengan Mas Rai. Kami nggak semestinya bertemu untuk beberapa saat. Aku yakin, jika dia akan kembali memarahiku. Memang seharusnya, aku nggak menyentuh barang pribadinya. Aku yang bersalah,” ucap Amanda dalam hatinya. Wanita itu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Entah apa yang merasukinya, hingga ia bisa bersikap begitu berani dengan menyentuh ponsel seorang asing.
Amanda hendak melanjutkan langkahnya, namun berhenti begitu merasakan cengkraman pada pergelangan tangannya. Wanita itu membalik tubuh dan tak mampu menyembunyikan keterkejutannya begitu menemukan Rai di belakang punggungnya.
“Kamu mau ke mana?” tanya pria itu penasaran.
“Anu … aku mau pergi ke tempat kerjaku yang lama dan mengatakan jika aku nggak lagi bekerja di sana,” Amanda merasa sedikit kikuk. Setelah deteriaki, Amanda tak mampu mencegah rasa ganjal yang ada di antara mereka, rasanya aneh jika ia membiarkan mereka terlibat percakapan setelah apa yang terjadi dan bersikap seolah-olah tak ada yang terjadi.
“Di saat hujan seperti ini?” pria itu mengarahkan pandangannya pada hujan yang terus turun, lalu kembali menoleh pada Amanda, “Kamu bisa pergi setelah hujan berhenti,” lanjutnya lagi seraya menatap Amanda dengan tatapan meneliti, sedang yang ditatap tersenyum kikuk.
“Aku akan tetap pergi, Mas. Kamu nggak perlu memperdulikanku,” Amanda tak ingin kembali ke dalam rumah dan terjebak berdua dengan pria itu. Saat ini saja hatinya sudah tidak tenang dengan kebersamaan mereka. Ia takut jika pria itu kembali marah padanya.
Pria itu mengeratkan cengkraman tangannya pada pergelangan tangan Amanda begitu Si wanita hendak beranjak pergi menembus hujan. Ia tak ‘kan membiarkan wanita itu melakukan hal bodoh dengan menambah beban hatinya bila wanita itu jatuh sakit karena kebodohannya.
“Aku akan mengantarkanmu,” ucap pria itu sembari menatap Amanda tajam, terlihat tak ingin ditolak lagi. Ia harap, Amanda tak ‘kan bertindak nekad.
Amanda ingin menolak, namun tatapan pria itu membuatnya ragu. Takut kalau-kalau pria itu akan kembali marah dan meneriakinya, namun berduaan saja pasti tidak nyaman. “Aku akan pergi jika hujan sudah reda, Mas. Kamu nggak perlu mengantarkanku. Aku hanya mau menyerahkan surat pemunduran diri dan berpisah dengan semua temanku di sana,” Amanda masih berusaha mencari alasan agar tak semakin merepotkan pria yang sudah begitu baik dengan menampung dan juga memberikannya gaji. Ia tak boleh menjadi beban bagi pemiliknya.
“Aku nggak peduli. Aku akan mengantarkanmu, jadi jangan lagi berlasan.”
Amanda hendak mencegah pria itu, namun terlambat karena Rai sudah masuk kembali ke dalam rumah. Amanda bisa menebak jika pria itu hendak membawa barang pribadi dan juga kunci mobilnya untuk mengantarkan Amanda. Wanita itu menghela napas gusar. Kenapa malah jadi seperti ini? Berduaan di mobil pasti akan lebih parah lagi.
Amanda tak lagi ingin memikirkan hal yang akan membuat hatinya semakin tak nyaman. Ia berusaha membiarkan dirinya tenggelam dalam suara merdu rintikan hujan yang kerap menghibur dirinya. Hujan bukan hanya mampu menyirami hatinya yang terasa kering, namun mampu menyamarkan air mata yang kerap turun tanpa bisa ia hentikan saat meratapi hidupnya yang malang. Mungkin, di dunia ini, orang-orang seperti Rai tak mungkin bisa mengerti akan kehidupannya. Orang-orang kaya seperti itu tak perlu mengkhawatirkan hujan untuk menyejukkan hati ataupun membiarkan air hujan menyamarkan air mata yang jatuh.
“Kita pergi sekarang!” Rai membuka payung yang dibawanya dari dalam rumah. Merangkul lengan Amanda dan mempertipis jarak di antara tubuh mereka, namun Amanda tampak tak nyaman. Rai menebak jika wanita itu pasti merasa ganjal setelah apa yang terjadi.
“Nanti kamu kebasahan, jadi mendekatlah padaku,” ucap pria itu lagi, seraya mempererat dekapannya pada lengan Amanda. Wanita itu tersenyum kikuk dan tak lagi bisa menolak. Keduanya berjalan menuju mobil yang terparkir di depan rumah, Rai membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Amanda untuk masuk. Kemudian, dirinya segera mengitari bagian depan mobil dan menempati kursi kemudi.
“Dimana alamat tempat kerjamu yang dulu?” tanya Rai begitu sudah duduk di sisi Amanda dan menyalakan mesin mobilnya. Ia tak mau bersusah payah menoleh pada Amanda.
Amanda menyebutkan alamat tempat kerjanya yang dulu dengan susah payah dan Rai segera mengangguk mendengarkan jawaban Amanda. Keheningan kembali menjebak keduanya, kesunyian yang sudah menjadi teman setia di setiap kebersamaan mereka terasa begitu berbeda hari ini. Mungkin karena ada kejadian yang semestinya diluruskan. Namun sayang, tak ada hubungan apa pun di antara mereka yang mengharuskan keduanya saling meminta maaf ataupun meluruskan permasalahan yang ada. Semua yang ada di antara mereka tak pernah menjadi penting dan sekadar kebohongan yang tak perlu diperbaiki. Hal yang terasa menyedihkan.
“Nggak seharusnya aku berteriak padamu,” pria itu memecahkan keheningan di antara mereka setelah beberapa menit berkendara, “Aku hanya nggak suka ada orang asing yang memegang barang pribadiku. Aku nggak nyaman dengan semua itu,” lanjut pria itu.
Amanda tersenyum tipis. Ia tak menyangka, bila pria itu mau menjelaskan persoalan yang sempat membuat mereka merasa janggal seperti sekarang. Amanda mengangguk mengerti. Benar dugaannya, tak akan ada yang berubah di antara mereka. Keduanya hanyalah sekadar orang asing yang terpaksa tinggal bersama. Apa yang dikatakan pria itu seakan penegas bila mereka tak perlu mencampuri urusan pribadi satu sama lainnya. Mereka harus tetap menjadi asing walau melakukan kebohongan yang sama. Sesungguhnya, Amanda mengerti akan hal itu meski tak diberitahukan. Ia paham benar akan batasan-batasan di antara mereka berdua.
“Aku yang bersalah. Seharusnya aku nggak lancang,” ucap Amanda setengah berbisik. Ia merasa tak perlu menjelaskan niatan awalnya melakukan kelancangan itu. Ia tahu jika penjelasannya tak ‘kan mengubah apa pun. Tak juga bisa mengubah situasi di antara mereka.
“Lain kali, aku nggak akan melakukannya lagi,” Amanda tak sekadar memberikan janji itu untuk Rai, namun mengukir janji itu di dalam hatinya sendiri. Janji yang tak ‘kan ia langgar demi menjaga hati keduanya. Inilah yang seharusnya ia lakukan sejak awal.
Rai menatap Amanda sekilas, lalu tersenyum tipis. “Makasih banyak atas pengertianmu, jadi kamu nggak marah lagi, bukan?” Rai kembali mengarahkan pandangannya pada jalanan di depan mereka, sedang Amanda tersenyum lirih. Lagi-lagi dugaannya benar, pria itu mengira alasannya pergi begitu saja karena kemarahan akan sikap pria itu padanya.
Amanda tak segila itu hingga merasakan amarah pada pria yang sudah membelinya. Ia tak diperbolehkan memiliki rasa apa pun. Dirinya hanyalah boneka pemuas nafsu belaka. Selain hasrat, ia tak boleh membiarkan ada perasaan berkemacuk di dalam hatinya, termasuk amarah.
“Aku nggak marah sama sekali. Maaf karena membuatmu merasa begitu,” Rai kembali menoleh pada Amanda, sedang wanita itu melanjutkan perkataannya, “Aku hanya terkejut. Apa pun yang kamu lakukan, aku nggak akan merasakan apa pun, termasuk marah. Kamu berhak melakukan apa pun yang kamu suka padaku karena kamu telah membeliku.”
Entah mengapa perkataan Amanda membuat hati Rai merasa begitu sedih. Ia tahu jika memang itulah yang ada di antara mereka, namun saat Amanda mengatakannya dengan nada yang begitu menyedihkan, Rai merasa dirinya seperti seorang pria kurang ajar dan tak berperasaan sama sekali. Bagaimana bisa seorang wanita mengatakan hal yang begitu mengerikan dengan datar seakan tak kebenaran itu tak berpengaruh apa pun untuk dirinya.
“Aku membeli tubuhmu, bukan hati dan juga kebebasanmu, jadi jangan mengatakan hal itu seperti aku yang memiliki kuasa atas semua kehidupanmu. Kamu adalah dirimu sendiri dan sebagai seorang manusia kamu juga akan memiliki kemauan sendiri. Hal itu nggak kubeli darimu, jadi jangan bilang kalau aku bebas melakukan apa pun padamu.”
“Hubungan di antara kita memang hanyalah saling memanfaatkan dan penuh kebohongan, tapi semua itu nggak akan membuatmu kehilangan hakmu sebagai seorang manusia,” Rai kembali menoleh sekilas pada Amanda dan tersenyum tipis pada wanita itu.
Perkataan Rai membuat hati Amanda bergemuruh senang. Hatinya berdesir hangat mendengarkan perkataan pria itu yang memanusiakan dirinya. Ia pikir, dirinya telah kehilangan seluruh haknya sebagai manusia. Selama ini, semua orang di sekitarnya tak lagi memperlakukannya bak seorang manusia, tak boleh bermimpi, tak boleh memiliki kemauan, dan tak boleh melakukan apa pun yang ia inginkan. Dirinya selalu diberikan arahan bagaimana menjalani hidup, melanjutkan hidup demi siapa, dan tak pernah ada tentang dirinya.
Rasa haru menjalar ke penjuru hati Amanda. Heran, mengapa hatinya kini mulai merasakan begitu banyak rasa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Meski pria itu terlihat tak peduli dan dingin, namun pria itu adalah seseorang yang kerap memperhatikannya dalam diam. Tidak, Amanda bukan merasa senang seperti seorang kekasih yang diperhatikan. Ia bahagia karena masih ada yang bisa melihat kehadiran dirinya, seorang manusia yang ingin dihargai.
“Terima kasih atas semuanya,” dengan mata berkaca-kaca, Amanda mengukir senyum manis pada kedua sudut bibirnya, “Pandanganku padamu masih sama. Kamu adalah pria yang baik, Mas. Terima kasih karena membuatku merasa bagaimana bahagianya menjadi seorang manusia,” lanjut Amanda dengan air mata yang jatuh tanpa bisa ia hentikan. Akan tetapi, ada rasa lega dan bahagia yang meliputi hatinya, air mata itu tak jatuh karena sakit dan pedih.
Tidak ada jiwa yang tak terluka, kalimat itu mungkin benar adanya karena hakikatnya, jiwa keduanya sama-sama terluka dan tak lagi utuh. Hingga mendengarkan hal-hal sederhana seakan mampu menghibur jiwa yang terluka. Jiwa yang telah kering sejak lama dan berharap ada seseorang yang menyiraminya agar bisa kembali hidup. Bolehkah Amanda berharap jika dirinya bisa kembali merasa berharga sebagai seorang manusia saat bersama Rai?
Rai menatap ke arah Amanda sekilas dan terkejut mendapati wanita itu sudah menangis di sampingnya. Kini Rai mampu melihat banyak ekspresi dari diri Amanda. Bukan sekadar wajah putus asa dan juga hampa yang diperlihatkan wanita itu di saat pertemuan pertama mereka. Kini, Rai dapat melihat sisi lain seorang Amanda. Wanita itu sama saja seperti manusia lain yang bisa tertawa dan juga menangis, tak seperti robot yang kosong. Hal ini membuat Rai bertanya-tanya, apa yang akan terjadi pada mereka yang tak jauh berbeda itu?