Terkadang, kerasnya hidup membuatmu tak mampu lagi melihat keindahan dunia yang kau tempati. Terlalu lama berdiam diri di kegelapan, membuatmu lupa jika ada cahaya di dunia ini. Perlahan, kau menjadi sama hitamnya dengan kehidupan yang kau jalani. Kau pun lupa, bagaimana indahnya perasaan bahagia. Jangan menyalahkan dirimu, jangan pula menyalahkan takdir. Yang harus kau lakukan adalah terus berharap, jika suatu saat nanti kau bisa kembali merasakan kebahagiaan itu. Kau bisa sekali lagi menemukan cahaya di jalanmu yang gelap.
Wanita tua itu mengusap-usap punggung Amanda, mencoba meredakan tangis wanita itu. Ia paham, jika Amanda pastilah merasa sedih karena tak pernah memiliki keluarga. Wanita tua itu tersenyum dan memberikan kehangatan yang selama ini sempat Amanda lupakan.
“Maaf, Nek. Manda jadi cengeng,” Amanda melepaskan pelukan mereka dan mengusap sisa air matanya, “Tapi ini bukan air mata kesedihan. Manda nangis karena bahagia,” wanita itu tersenyum, “Manda nggak pernah tahu gimana rasanya punya keluarga dan ini adalah anugerah terindah dari Tuhan. Ini adalah hari paling bahagia di dalam hidup Manda.”
“Kamu harus lebih banyak tersenyum jika memang bahagia, jangan menangis lagi,” wanita tua itu tersenyum pada Amanda, “Rai, kamu juga harus sering tersenyum. Kalian berdua itu harus banyak tersenyum,” lanjut wanita itu seraya melirik ke arah Rai.
“Aku sering tersenyum, Nek.”
Wanita tua itu mendengkus kesal. “Banyak laporan tentangmu di luar sana. Ketemu sama sepupu aja, kamu nggak senyum. Kemarin ada sepupumu yang komplain ke Nenek,” wanita itu lalu mengarahkan pandangannya pada Amanda, “Kamu jangan ikut-ikutan kaku kayak Rai ya, Manda. Nenek yakin, kalau kamu bisa mengajarkan Rai caranya tersenyum.”
Amanda mengangguk dan tersenyum pelan. Sesungguhnya, dirinya sama seperti Rai. Lupa caranya untuk tersenyum, lalu bagaimana ia bisa mengajarkan pria itu hal yang tak diketahuinya? Mungkin, mereka harus banyak belajar untuk melakukan hal tersulit dalam hidup, tersenyum tulus dari dalam hati. Entah bagaimana akhir kisah mereka nanti.
Amanda harap, mereka bisa kembali tersenyum bahagia. “Kami berdua akan sama-sama belajar, Nek,” Amanda mengarahan pandangannya pada Rai, “Manda menyukai senyum Mas Rai, jadi Manda akan berusaha untuk selalu membuatnya tersenyum. Nenek jangan khawatir.”
Rai terpaku mendengarkan jawaban Amanda. Semua ini hanyalah sekadar sandiwara, namun Rai dapat merasakan ketulusan dari ucapan Amanda seakan wanita itu benar-benar menyukai senyumnya. Wanita itu terlihat bersungguh-sungguh ingin membuatnya tersenyum. Rai tak seharusnya terbuai, namun kesedihan yang selama ini nampak di mata Amanda, membuatnya merasa bila perkataan Amanda adalah hal yang luar biasa. Bagaimana seorang yang tak pernah bahagia, bisa membuat orang yang sama untuk tersenyum. Konyol, bukan?
Wanita tua itu tersenyum lega dan mengusap lengan Amanda penuh kelembutan. “Nenek tenang karena Rai menemukan wanita sepertimu,” wanita itu menoleh pada Rai, “Rai kamu juga harus melakukan hal yang sama. Kalian harus bahagia,” wanita tua itu menatap keduanya bergantian. Rai mengangguk dan tak berani berjanji pada neneknya jika mereka akan bahagia.
Wanita tua itu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, ada kelegaan di dalam hatinya karena kini Rai tak lagi kesepian karena ada seseorang yang akan segera menjadi istrinya dan menemani hari-hari pria itu. “Jadi, kapan kalian akan menikah?”
Pertanyaan wanita tua itu membuat Amanda dan Rai saling bersitatap, lalu Rai berdehem, memberi kode pada Amanda jika dirinya yang akan menjawab pertanyaan itu. Amanda yang mengerti, seulas senyum menghiasi wajah wanita itu.
“Kami sedang mengurus surat-surat untuk keperluan menikah, Nek. Jika semuanya selesai, akhir pekan nanti kami akan menikah secara catatan sipil.”
Wanita tua itu tampak terperanjat. “Hanya catatan sipil? Bagaimana dengan pernikahan gereja? Kalian akan melakukan resepsi, bukan?” wanita tua itu menatap cucunya dengan tatapan meneliti. Ia harap, semua pemikiran buruknya tidak benar. Ia menduga jika Rai yang tak suka sesuatu yang berbelit tak menginginkan pernikahan gereja ataupun resepsi.
Rai mengangguk tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Ya, hanya catatan sipil, Nek.”
Nenek Rai memijat pelipisnya mendengarkan jawaban singkat cucunya. “Kamu nggak boleh melakukan semua ini, Ra,” wanita itu tampak murka, “Nenek memang memintamu segera menikah, tapi bukan berarti kamu hanya menikah secara catatan sipil tanpa dirayakan. Apa kamu nggak kasihan sama Manda? Pernikahan ini seharusnya sekali dalam seumur hidup. Oleh karena itu, kamu harus meresmikannya secara agama dan membuat pesta megah,” protes wanita itu.
Amanda mengusap lengan nenek Rai. “Nggak pa-pa, Nek. Manda baik-baik aja. Lagipula, Manda nggak terbiasa hadir ke pesta dan akan sangat janggal bila harus ada resepsi.”
Wanita tua itu menghela napas gusar. “Manda … hadir dan menjadi tuan rumah atas sebuah pesta itu adalah dua hal yang berbeda. Masa kamu nggak mau mengenakan gaun pengantin dan menjadi ratu sehari? Itu ‘kan impian semua wanita di dunia ini,” wanita itu menatap Amanda dengan tatapan meneliti, sedang yang ditatap hanya bisa tersenyum kikuk.
Benar apa yang dikatakan oleh wanita tua itu. Mengenakan gaun pengantin yang indah, menjadi ratu sehari adalah impian sebagian besar wanita di dunia ini, namun bukan untuk wanita sepertinya. Mendapatkan status sebagai istri seseorang saja sudah membuat Amanda bahagia. Ia tak boleh bersikap serakah dengan mengharapkan lebih.
Tampil bak ratu di dunia dongeng dengan gaun terbaik memang pernah menjadi impiannya, memiliki akhir bahagia bak kisah dongeng pun pernah menjadi mimpinya, akan tetapi semua itu telah dikuburnya rapat-rapat begitu ia menginjak usia sepuluh tahun dan rentetan kemalangan mengikutinya. Ia tak lagi berani untuk bermimpi dan tak pernah berharap lebih.
“Nek … aku nggak suka hal yang ribet. Nenek tahu itu,” Rai harap neneknya itu bisa memahaminya. Ia tak suka berkumpul dengan banyak orang yang mengharuskannya tersenyum sepanjang hari. Lagipula, pernikahan di antara mereka hanyalah kebohongan semata.
“Kalian benar-benar menyebalkan, membuat nenek penasaran bagaimana kalian bertemu dan kenapa dua orang yang memiliki sikap sama ini bisa saling jatuh cinta?” wanita itu menatap keduanya secara bergantian. Amanda mendadak gugup. Walau sudah diberitahu jika nenek Rai suka mencari tahu tentang kisah cinta cucunya, namun berbohong secara langsung dengan wanita sebaik nenek Rai bukanlah hal yang mudah. Rasa bersalah seakan menghantuinya.
“Seperti yang kubilang …”
Wanita tua itu menempatkan tangannya di udara, membuat Rai menggantungkan ceritanya di udara. “Biarkan nenek mendengarkan kisah kalian dari mulut Amanda,” wanita itu mengarahkan pandangannya ke arah Amanda dan tersenyum. Dengan cepat Amanda mengubah raut wajahnya dan berusaha tenang. Ia harus melakukan perannya dengan baik.
Amanda tersenyum dan menoleh ke arah Rai. “Mas Rai adalah penolongku, Nek,” Amanda mengarahkan pandangannya pada wanita tua di sampingnya, “Saat itu, aku sedang kesusahan. Saat semua orang menjauh, dia yang mengulurkan tangan dan membantuku keluar dari kesusahan. Dia bahkan memberikanku pekerjaan. Memang semuanya terasa ganjal karena kami sama-sama orang yang nggak begitu banyak bicara, namun Mas Rai berbeda saat bersamaku,” lagi-lagi-lagi senyum menghiasi wajah Amanda. Ia bagai tengah mengarang kisah cinta impiannya. Cerita yang hanya ada di dalam pemikirannya dan tak ada di dunia nyata. Namun, tak semua ceritanya adalah kebohongan. Pria itu benar menyelamatkannya dan memberikannya pekerjaan, walau berakhir dengan sama-sama memanfaatkan.
“Perlahan, kecanggungan di antara kami retak dan tanpa sadar, kami sudah jatuh cinta. Aku sempat nggak percaya dengan perasaannya. Mengingat aku adalah gadis miskin dan juga bawahannya. Aku pikir, dia hanya membual, namun perlahan aku dapat merasakan ketulusannya. Kami nggak mau lagi menunda dan ingin segera menikah. Meski, belum berkenalan begitu lama dan baru menjalin hubungan, aku nggak ragu padanya,” Amanda kembali menoleh pada Rai, “Walau dia dalah orang yang sulit dipahami, namun hatiku berkata, jika kami memiliki rasa yang sama. Kami akan bahagia.”
Rai tercengang mendengarkan cerita Amanda. Ia hanya bercerita jika mereka adalah bawahan dan atasan tanpa memberikan cerita detail pada neneknya, namun Amanda seakan mampu membuat cerita yang terdengar begitu nyata. Bukan hanya membuat dirinya kagum, begitu juga dengan neneknya yang tersenyum bahagia menatap keduanya.
“Dia memang sulit dipahami, namun bukan orang jahat, Manda,” perkataan nenek Rai membuat Amanda kembali menatap ke arahnya, “Terkadang, dia hanya nggak bisa mengungkapkan perasaannya, jadi terlihat nggak tulus. Terima kasih kamu mau memahaminya.”
“Entah apa jadinya cucu nenek yang sedingin es ini jika kamu nggak memahaminya. Mungkin, dia akan berakhir dengan menyimpan perasaan sendiri seperti yang sering dia lakukan,” wanita tua itu mengusap lembut lengan Amanda, “Dulu, dia adalah anak yang ceria, namun semuanya berubah ketika kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan di usianya yang ke dua belas tahun. Dia menjadi pribadi yang tertutup. Oleh karena itu, nenek mendesaknya menikah, namun perlahan nenek takut kalau dia asal menikahi wanita karena permintaan nenek. Syukurlah, kali ini dia melakukan hal yang benar dengan jatuh cinta padamu.”
Amanda menoleh ke arah Rai. Kini, ia mulai mengerti sikap kaku dan dingin pria itu. Kehilangan dua orang yang dicintai di usia yang begitu muda adalah hal yang sulit. Tampaknya, ini adalah salah satu kesamaan mereka, kehilangan cinta di usia muda. Masih banyak lagi hal yang ingin Amanda ketahui dari Rai, pria yang menutup dunianya.
“Aku yang bersyukur karena bertemu dengannya, Nek,” ucap Amanda begitu kembali mengarahkan pandangan pada nenek Rai, sedang Rai yang duduk di hadapan dua wanita itu hanya bisa menatap datar keduanya. Ternyata, berbohong memanglah hal yang sulit. Apalagi ada perasaan dan hubungan yang terjebak di antara dusta itu.
“Kita semua sama-sama beruntung,” ucap wanita tua itu pada akhirnya, “Saatnya kita makan sekarang, nanti kita lanjutkan lagi cerita yang menguras emosi ini,” lanjut nenek Rai dengan mempersilahkan Rai dan Amanda untuk segera menyantap makanan di meja.
“Nek … aku lupa membawa kotak kue yang tadi kubeli untuk nenek tadi. Kalian makan duluan saja,” ucap Rai seraya berdiri. Ia harus butuh ruang untuk menenangan perasaannya yang kacau. Tiba-tiba saja ia merasa bersalah karena membohongi nenek yang begitu mencintainya.
“Nanti saja diambilnya, Rai.”
Rai menggeleng, tidak menyetujui permintaan neneknya itu. “Takut kuenya kepanasan di mobil dan nggak enak lagi nantinya. Aku hanya sebentar, Nek. Kalian makan saja dulu,” wanita tua itu tak lagi bisa memaksa dan meganggukkan kepalanya. Rai berpamitan sekali lagi dan keluar meninggalkan keduanya yang sudah mulai menyantap makanan di hadapan mereka. Rai tak sanggup melihat pemandangan itu. Ia harap, neneknya tak pernah mengetahui dosanya ini.
Sepeninggalan Rai, nenek pria itu kembali melanjutkan perbincangan untuk menghiasi acara makan mereka. “Kamu harus banyak sabar dengan Rai. Kamu nggak perlu merasa rendah hanya karena perbedaan kasta seperti yang kamu pikirkan. Yang terpenting adalah kalian saling mencintai. Semua perbedaan akan runtuh dengan cinta yang besar.”
Amanda mengangguk. “Ya, Nek. Aku akan mencintainya dengan benar.”
Wanita tua itu mengangguk-angguk, wajahnya tampak senang. “Kalian sama-sama pernah kehilangan. Kini, nenek paham, mengapa kalian bisa saling mencintai. Meski, sama-sama kaku, mungkin luka yang membuat rasa hadir di dalam hati kalian. Terkadang, cinta bisa hadir pada hati yang penuh luka, tapi jangan jadikan kesedihan itu sebagai penghalang kalian untuk menemukan kebahagiaan,” wanita tua itu meletakkan sendok dan garpu yang tadi digenggamnya dan kini tangannya mengusap lengan Amanda, membuat wanita muda itu bersitatap dengannya.
“Hidup nenek nggak akan lama lagi, Manda,” perkataan wanita itu membuat kesedihan menjalar ke penjuru hati Amanda, “jadi kamu harus berjanji pada nenek untuk nggak pernah meninggalkannya, meski kalian bertengkar. Terkadang, dia selalu mengatakan perkataan yang nggak dari hatinya dan membuat orang salah paham. Mungkin, permintaan nenek ini sangat egois, tapi tolong jangan pernah menilainya hanya dari kata-kata yang terucap dari bibirnya. Kamu harus mencari tahu dulu maksudnya dan jangan tinggalkan dia. Sebenarnya, Rai adalah orang yang paling takut ditinggalkan. Mau berjanji sama nenek, kan?”
Amanda tercengang mendengarkan permintaan wanita tua itu. Jika saja, hubungan di antara mereka nyata, maka dengan mudah wanita itu memberikan janji itu padanya. Namun keadaan yang ada di antara mereka hanyalah kebohongan semata. Mampukah Amanda menambah kebohongan dengan janji yang tak mungkin bisa ia tepati?
Wanita tua itu mengusap lembut lengan Amanda, menyadarkanya dari keterpakuan. “Permintaan nenek sulit ya? Nenek harap, kalian akan saling mencintai. Percayalah, kalau dia nggak akan berubah dan selalu menginginkanmu, Manda. Tetaplah di sisinya dan memberikannya banyak cinta yang nggak pernah dia dapatkan,” ucap wanita itu seraya menatap Amanda penuh permohonan. Semua ini sulit bagi Amanda yang berencana untuk pergi dan membebaskan diri, namun entah kebodohan dari mana yang membuatnya mengangguk.
“Aku akan selalu berada di sisinya dan mencintainya, Nek. Jangan mengkhawtirkan hal itu. Lagipula, nenek akan berumur panjang, jangan mengatakan hal yang membuat Manda bersedih lagi ya, Nek,” Amanda memeluk erat wanita tua itu.
Sudah lama ia tak merasakan perasaan diinginkan seperti ini. Terlalu lama dibuang dan dijauhi, membuatnya melupakan betapa bahagianya perasaan ini. Rasa yang membuat hatimu berdesir hangat. Meski semuanya hanya kebohongan, Amanda berharap, ia bisa menepati janjinya pada wanita tua itu, keluarga yang begitu menginginkannya.