Aku Ingin Menjadi Egois

2098 Kata
Kau tahu tak semua yang kau inginkan bisa kau dapatkan, begitulah hidup berjalan. Mengikuti arus dan berharap menemukan labuhan adalah hal yang harus kau lakukan agar kekecewaan tak menumpuk di hati dan menenggelamkanmu. Setelah menghabiskan sarapan, Amanda kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Ia memulas riasan tipis pada wajahnya agar tampilannya terlihat lebih segar dari sebelumnya. Beruntung, kamar yang ditempatinya itu sangat lengkap, hingga tak sulit bagi dirinya untuk mengubah penampilannya. Amanda tersenyum puas pada pantulan dirinya di dalam cermin. Apa yang terlihat di cermin seperti bukan dirinya. Amanda sengaja menggerai rambut ikal gantung miliknya, memoles lipstick berwarna peach pada bibirnya, dan mengenakan gaun yang membuat tampilannya begitu feminim. Amanda tak pernah tampil secantik ini dan entah mengapa dirinya merasa sedikit bahagia. Dulu, untuk membeli parfum saja, dirinya tak sanggup. Kini, Amanda bisa menggunakan parfum mahal dan juga perlatan make up yang tak sanggup ia beli. Setidaknya, hal kecil itu bisa membuatnya senang walau kemalangan masih mengikuti. Sebenarnya, tak banyak model pakaian yang ada di lemari. Semua gaun yang digantungkan di sana memiliki model yang sama. Gaun selutut dengan motif bunga. Hanya warna yang membedakan semua gaun-gaun yang ada di sana. Namun tak mengapa, Amanda cukup senang mengenakan gaun dan berdandan seperti ini, hal yang tak pernah ia lakukan. “Kamu sudah siap?” suara itu membuat Amanda terperanjat. Senyum yang sempat menghiasi wajah Amanda sirna seketika. Suara pria itu seakan kenyataan yang menampar keras pipinya, menyadarkan Amanda jika semua hal yang didapatkannya ini bukanlah miliknya dan tak bisa ia nikmati untuk selamanya. Semua ini akan berakhir, meski sedikit perasaan senang yang sempat mampir di dalam hatinya. Begitu semua berakhir, maka ia tak lagi bisa bahagia. “Aku sudah siap. Maaf membuatmu menunggu terlalu lama,” ucap Amanda seraya menyambar tas tangan yang ditelakkannya di meja rias. Ia segera berdiri dan membalik tubuh. Amanda terpaku saat melihat pria itu termangu menatapnya. Tatapan pria itu melembut dan pandangan keduanya saling terkunci. Amanda tak paham apa yang tengah terjadi. “Maaf … aku nggak akan membuatmu menunggu lagi,” Amanda memecahkan keheningan di antara mereka. Ia merasa gugup ditatap begitu intens oleh pria di hadapannya. Suara Amanda membuyarkan lamunan Rai. Pria itu berdehem, lalu membalik tubuh. “Bawa kartu keluarga dan juga KTP-mu, asistenku ada di bawah, berikan itu padanya agar dia bisa mengurus semua berkas yang kita butuhkan untuk menikah di catatan sipil,” Rai segera berjalan meninggalkan Amanda. Wanita itu tersenyum tipis, meski Rai tak bisa melihatnya. Amanda masih berdiri terpaku, mencoba mengartikan tatapan Rai barusan. Mengapa pria itu termangu menatapnya. Apakah riasannya terlalu berlebihan atau dirinya tak pantas mempercantik diri? Amanda tersenyum lirih, lalu kembali ke cermin dan menatap pantulan dirinya. Ia menatap sedih bayangannya yang ada di sana. Terlihat begitu palsu. Nyatanya, dirinya tak secerah warna pakaian ataupun riasannya. Semua yang ada di sana tidak nyata. Jantung Amanda seakan diremas, sakit bukan main. Mendapati dirimu tak pantas untuk mendapatkan kebahagiaan ataupun sedikit warna untuk hidupmu. Amanda mengambil tisu, kemudian menghapus lipstiknya. Biarkan bibirnya tak berwarna, seperti hidupnya yang kelam. Tak ingin membiarkan Rai menunggu lagi, Amanda membawa kartu keluarga yang disimpannya di dalam lemari dan mengeluarkan kartu tanda pengenal dari dompetnya untuk diberikan pada asisten Rai, seperti yang pria itu minta padanya. Amanda melanjutkan langkah dan berusaha mengukir senyum agar tak ada seorangpun yang mengetahui luka yang dideritanya. Biarlah hanya dirinya yang tahu betapa kelam hidupnya itu. Biarlah, kesedihan itu dinikmatinya sendiri. Toh, tak ada seorangpun yang peduli padanya. “Maaf membiarkanmu menunggu,” ucap Amanda begitu berdiri di hadapan Rai. Pria itu mengamati Amanda sesaat, lalu berdehem. “Berikan semua berkasmu padanya,” ucap Rai seraya menepuk pelan lengan seorang pria di sampingnya. Amanda tersenyum tipis dan menurut. Ia menyerahkan satu-satunya surat penting yang ia miliki pada seorang pria asing. Amanda tak memiliki kecurigaan ataupun rasa takut. Ia tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi esok. Ia berusaha mempercayakan hidupnya yang malang itu ke tangan Rai. Berharap, bisa segera terbebas dan menemukan kebahagiaan yang diidam-idamkannya. “Urus semua suratnya dan kamu bisa pergi sekarang,” ucap Rai pada Si pria yang mengangguk mendengarkan perintahnya. Pria itu berpaminta dan beranjak pergi meninggalkan keduanya. Rai memalingkan pandangannya pada Amanda dan menatap wanita itu meneliti. “Apa yang terjadi pada bibirmu?” Amanda menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk dan tersenyum tipis. Ia tak menyangka pria itu menyadari perubahan dari wajahnya. “Anu … aku … itu …” Amanda membiarkan perkataannya menggantung di udara, tak mampu menemukan kata yang tepat untuk dijadikan alasan yang akan menutupi perasaan sedihnya yang membuatnya merasa tak pantas mendapatkan warna untuk hidup maupun wajahnya. “Pakai lipstick agar terlihat lebih segar. Wajahmu terlihat pucat, nanti nenek akan bertanya-tanya. Jangan membuatnya khawatir,” ucap pria itu dingin. Amanda mengangguk lemah. Ia pikir, dirinya tak pantas berhias hingga pria itu termangu, namun dugaannya salah. Memang benar pemikirannya, ia harus berias agar bisa dianggap pantas bersama pria itu. “Cepatlah pakai lipstick-mu kembali dan langsung keluar rumah. Aku akan menunggu di mobil,” Amanda yang mendengarkan perintah pria itu segera beranjak pergi menuju lantai atas dan melakukan apa yang pria itu perintahkan padanya. Menit berlalu, keduanya kini telah berada di mobil menuju rumah nenek Rai. Seperti biasa, hanya ada keheningan di antara mereka. Rai fokus dengan jalanan di depannya, sementara Amanda berusaha menentramkan kegugupan yang memenuhi sanubarinya. “Apa kita perlu membawa buah tangan untuk nenekmu?” Amanda memecahkan keheningan di antara mereka. Ia tahu, jika dirinya tak harus bersikap peduli, namun bukannya seorang nenek akan senang mendapatkan buah tangan dari cucunya? Amanda hanya ingin bersikap baik. Bukan untuk Rai, bukan juga untuk dirinya, namun untuk wanita tua yang bisa Amanda tebak adalah seorang wanita kesepian di sebuah rumah yang megah. “Aku sudah membeli kue kesukaan nenek secara daring dan ada di jok belakang,” Amanda melirik jok belakang mobil dan tersenyum tipis. Ia tak menyadari ada kue di sana. “Maaf, aku nggak bermaksud bersikap menyebalkan. Aku hanya berpikir, mungkin nenekmu akan senang bila dibawakan buah tangan,” Amanda menjelaskan begitu tatapannya sudah kembali menatap jalanan di hadapan mereka. Ia bahkan tak berani menoleh ke arah Rai. Takut menemukan tatapan marah yang pria itu berikan padanya. “Aku mengerti,” ucap pria itu singkat. Jawaban Rai membuat Amanda menatap pria itu sekilas. Meski wajah pria itu tampak datar, namun perkataan singkat pria itu membuat hatinya bergemuruh. Selama ini, tak ada seorangpun yang mengerti akan dirinya. Semua yang dilakukannya kerap dianggap tidak berguna bagi orang di sekitarnya. Permohonannya pun tak pernah mau didengarkan. Tak pernah ada yang mengerti dirinya. Oleh karena itu, jawaban Rai membuat hatinya berdesir hangat. Meski, yang pria itu maksudkan bukanlah mengerti dirinya sepenuhnya, namun semua itu cukup untuk membuat Amanda merasa jika dirinya adalah manusia yang dapat dilihat keberadaannya. Perjalanan selama tiga puluh menit itu pun berakhir. Tak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Sunyi yang awalnya ganjal, berangsur-angsur menenggelamkan mereka seperti biasa. Sepanjang perjalanan, mereka bagai dua raga yang berdekatan, namun tanpa hati di dalamnya. Rai membukakan pintu untuk Amanda yang membuat Amanda terpaku sesaat, kemudian ia sadar, jika dirinya tidak boleh terbuai karena mereka tengah melakukan sandiwara. Amanda mengukir senyum pada bibirnya dan menerima tangan pria itu yang terulur padanya. Keduanya saling bertukar senyum. Untuk sesaat, Amanda ingin tenggelam dalam ilusi itu. Setidaknya, untuk saat ini, ia bisa beranggapan mereka adalah sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Rai melingkarkan tangannya pada pinggang Amanda dan mempertipis jarak di antara tubuh mereka. Senyum yang jarang Amanda temui pada wajah Rai terlukis jelas di wajahnya. Di depan pintu, seorang wanita tua dengan rambut yang memutih sempurna menyambut keduanya dengan senyum. Wanita itu berjalan mendekat, terlihat tak sabar untuk segera memeluk Rai. “Akhirnya, cucu nenek bisa menemukan jalan ke rumah nenek juga,” ucap wanita tua itu seraya memeluk erat tubuh Rai, sedetik kemudian wanita tua itu melepaskan pelukannya dan melirik wanita di samping cucunya. Wanita itu tersenyum pada Amanda. Amanda membalas senyuman wanita tua itu. “Nek …” sapanya ramah. Amanda tak tahu bagaimana cara yang benar untuk menyapa keluarga dari kekasih karena ia tak memiliki pengalaman seperti itu. Tak juga pernah diajari oleh ibunya yang terlalu sibuk mencintai seorang lelaki dengan gilaa. Potret tentang cinta penuh ilusi yang membuatnya menjadi tak percaya akan perasaan yang mengerikan itu. Cinta hanyalah sebuah perasaan yang menakutkan. “Jadi, ini wanita yang dibicarakan cucu nenek ini,” wanita itu menangkup wajah Amanda dengan kedua tangannya, membuat Amanda tersenyum kikuk. Sudah lama sekali, tak ada yang menyentuhnya dengan kasih sayang. Sudah lama tak ada yang memberinya kehangatan. “Iya, Nek. Perkenalkan, ini Amanda calon istriku,” senyum lagi-lagi menghiasi wajah Rai. Hal yang membuat Amanda sadar, jika pria itu adalah manusia normal yang bisa juga tersenyum dan tak menunjukkan wajah dingin handalannya. Amanda menyunggingkan senyum pada kedua sudut bibirnya seraya mengulurkan tangannya pada wanita tua di hadapannya. “Salam kenal, Nek. Aku Amanda.” Wanita tua itu tersenyum dan segera membawa Amanda ke dalam dekapannya. “Makasih karena kamu mau bersabar dan menerima cucu nenek yang menyebalkan ini. Nenek sempat khawatir kalau nggak akan ada seorang wanita pun yang mau menjadi istrinya,” tawa wanita itu terdengar begitu ia melepaskan pelukan mereka. Wanita itu melirik pada Rai yang kini sudah memasang wajah datarnya, merasa tak suka dengan perkataan neneknya barusan. “Aku nggak seburuk yang nenek kira.” “Memang, namun kamu jauh lebih buruk,” wanita itu kembali tertawa. Tawa wanita itu menular pada Amanda, hatinya menghangat melihat pemandangan di hadapannya itu. Sebuah potret cinta yang tak pernah ada di dalam keluarganya sendiri. Seketika, Amanda merasa iri pada Rai yang tampak begitu dicintai oleh neneknya. Pria itu sangat berununtg. “Mari, kita masuk Manda. Jangan biarkan pria menyebalkan ini merusak suasana,” wanita itu menggandeng Amanda masuk ke dalam rumahnya, diikuti oleh Rai dari belakang. Wanita tua itu tersenyum bahagia, membuat hati Amanda mendadak nyeri. Dirinya semakin merasa bersalah dengan pilihan yang dijalaninya. Bagaimana bisa ia tega menipu seorang wanita tua yang sangat mencintai cucunya itu? Bagaimana jika, wanita itu mengetahui kebenaran tentang hubungannya dengan Rai? Wanita itu pasti merasa kecewa. “Nenek sudah memasak banyak, jadi kalian harus menghabiskan semua makanan yang ada di sini,” ucap nenek Rai begitu mereka semua sudah duduk di meja persegi panjang yang dihiasi dengan berbagai macam lauk pauk di atasnya. “Semua ini adalah makanan kesukaan Rai. Manda, lain kali datang sendiri ke sini agar nenek bisa memberitahu resepnya. Biar Rai makin cinta sama kamu,” ucap wanita itu girang, sedang Amanda tersenyum canggung. Tampaknya, berpura-pura bukanlah hal mudah baginya. “Seringlah datang dan menemani Nenek, Da,” Rai menimpali dan tersenyum manis pada Amanda, wanita itu membalas senyuman Rai dan mengangguk pelan. “Aku akan sering berkunjung nantinya, Nek. Nenek harus berbagi semua resep ini untukku agar aku Mas Rai nggak pernah berpaling,” Amanda melirik pada Rai dan menemukan keterkejutaan pada wajah pria itu, namun ia abaikan. Jika memang waktu yang ada saat ini adalah sebuah mimpi indah, maka ia ingin menikmati mimpinya itu. Mimpi singkat yang akan segera berakhir begitu ia membuka mata. Oleh karena itu, Amanda ingin menjadi egois. “Manda jangan kaku-kaku sama nenek. Nenek Rai adalah nenekmu juga,” wanita tua itu mengusap punggung tangan Amanda yang duduk di sampingnya. Amanda tak mampu mencegah rasa haru dan kebahagiaan yang merasuki sanubarinya. Apakah ini artinya, ia memiliki keluarga? Amanda tak mampu mencegah air mata yang jatuh karena kehangatan yang menguasi sanubarinya. Wanita tua itu tersenyum dan mengusap air mata Amanda. “Rai udah cerita semuanya. Katanya, Manda adalah anak yatim piatu. Sekarang, Manda jangan takut lagi karena mulai hari ini, kami berdua adalah keluargamu. Kamu nggak lagi kesepian.” Air mata Amanda mengalir semakin deras. Tak kuasa mencegah rasa haru yang mengambil alih dirinya. Amanda segera memeluk erat tubuh wanita tua di hadapannya. “Makasih banyak, Nek. Manda seneng banget hari ini,” ucap Amanda dengan terisak. Amanda berharap, waktu akan berhenti sebentar dan membiarkannya menikmati kebahagiaan singkat itu. Meski semua ini adalah ilusi. Semua itu lebih dari cukup. Setidaknya, sebelum mati nanti, Amanda pernah merasa bahagia. Ia mengenal perasaan yang diidam-idamkannya itu. Walau hanya mimpi, ia sudah cukup puas dengan kehabagiaan itu. “Nenek juga senang karena mendapatkan seorang cucu lagi.” Amanda mengeratkan pelukannya. Ia tak lagi mempedulikan pandangan Rai. Ia akan melakukan sandiwaranya dengan baik dan menjadi seorang yang egois. Ya, bukankah mereka harus saling menanfaatkan? Amanda akan memanfaatkan semua yang diterimanya. Rai tersenyum tipis mengamati keduanya. Pemandangan di hadapannya itu membuat hatinya begitu kacau. Meski semua hanya kepura-puraan semata, ia tak mampu mencegah hatinya yang merasa bahagia saat melihat senyum bahagia Amanda yang tengah memeluk neneknya. Dalam hati, ia terus bertanya; sekelam apa hidup wanita itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN