Tak perlu mengharapkan hal lebih, bila kau tahu bagaimana akhir dari kisah yang tengah kau jalani. Tak perlu juga meminta hal yang tak mungkin. Yang harus kau lakukan adalah menjalani hari seperti semestinya dan tak memaksakan keadaan. Pada akhirnya, setiap pertemuan pasti akan menemukan kata akhir juga. Akhir yang kau harapan menjadi penutup manis dari kisah hidupmu sendiri. Tak perlu seindah kisah dongeng, yang kau mau hanyalah sebuah kisah sederhana di mana pada halaman akhir aka nada wajahmu yang tersenyum di sana.
Seminggu persiapan pernikahan mereka dan hari ini adalah saat yang dinantikan. Amanda akan menjadi seorang istri untuk pria yang membelinya. Mulai hari ini ia menuliskan janji di dalam hatinya, jika ia akan melakukan yang terbaik untuk menyenangkan pria itu.
Nenek Rai yang ikut ke acara pernikahan menangis haru begitu keduanya menandatangani surat nikah mereka. Wanita tua itu memeluk keduanya secara bergantian. Kini, tak ada lagi yang dikhawatirkannya. Rai bisa mendapatkan kebahagiaan yang tak pernah didapatkannya, itulah yang neneknya ketahui begitu melihat Amanda.
“Makasih banyak karena kamu sudah mau mengabulkan permintaan nenek untuk segera menikah ya, Rai,” ucap wanita tua itu seraya menatap Rai lembut, “Kalau begini, nenek nggak khawatir lagi bila secara tiba-tiba Tuhan menjemput nenek,” lanjut wanita itu yang membuat Rai langsung menatapnya tidak suka. Ia tak suka bila neneknya mulai mengucapkan kata seakan wanita itu akan pergi meninggalkannya dalam waktu dekat. Hal yang sebenarnya membuat Rai gusar dan berniat untuk menikahi siapa saja dalam waktu dekat.
“Jangan mengatakan hal seperti itu, Nek. Aku nggak suka,” protes Rai yang membuat tawa wanita tua itu terdengar. Si wanita tua itu tersenyum lembut pada cucunya.
“Kamu sudah dewasa, Rai. Kamu pasti tahu benar jika semua orang akan berpulang pada Sang pencipta. Lagipula, nenek sudah tua. Usia nenekmu ini hanya tinggal menghitung kalender. Oleh karena itu, nenek mendesakmu untuk segera menikah. Maaf kalau kamu berpikir nenekmu yang tua ini menyebalkan. Nenek hanya ingin kamu mendapatkan kehidupan yang nggak pernah kamu dapatkan dulu,” wanita tua itu mengusap wajah Rai yang menatapnya sedih.
“Walau mungkin salah satu alasanmu menikah adalah karena paksaan nenek, namun nenek nggak mau kamu menjadikan alasan itu sebagai hal yang akan membuatmu merasa jenuh dalam pernikahanmu nanti,” wanita itu menoleh pada Amanda dan mengusap lengan wanita itu, “Manda, pernikahan bukan hal yang mudah. Meski saat ini kalian saling mencintai, namun jenuh akan selalu mengintai. Saat rasa itu datang, ingatlah saat di mana pertama kalinya kalian jatuh cinta. Pernikahan adalah komitmen seumur hidup,” lanjut wanita itu sembari tersenyum. Amanda mengangguk dan mengingat semua perkataan wanita tua di hadapannya, meski tak pernah ada cinta di antara mereka. Ia akan selalu mengingat hari di mana Rai membelinya dan membawanya pergi dari tempat terkutuk di mana pria itu menjualnya. Itu sudah lebih dari cukup.
Wanita tua itu lalu mengarahkan pandangan ke arah Rai. “Sekarang, kamu ada tanggungjawab, Rai. Bukan dirimu saja yang harus kamu pikirkan.”
“Iya, Nek. Aku mengerti dan nggak ada apa pun yang harus nenek khwatirkan. Kami berdua akan hidup bahagia dan saling mencintai seperti yang nenek minta.”
Wanita tua itu memeluk Rai dan mengusap-usap punggung cucunya. “Nenek harap kalian bahagia untuk selamanya. Jangan pernah ada kta perceraian dan nenek harap kamu paham akan hal itu, Rai,” wanita itu melepaskan pelukan dan menatap cucunya lekat. Sedang Rai mengangguk mantap. Dirinya pun tak pernah berpikir untuk bercerai saat menikah dengan Amanda. Walau hubungan mereka hanyalah kebohongan semata, Rai tak ingin melakukan hal rumit seperti pernikahan lagi. Ia hanya ingin menjadi manusia normal yang mengikuti sistem kehidupan, tumbuh dewasa, lalu menikah, dan kembali pada Sang pencipta.
Wanita itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dari tas tangannya dan memberikannya pada Amanda. “Penerbangan malam ini ke Bali,” wanita itu tersenyum lembut pada Amanda, “Tadinya, nenek mau membelikan kalian tiket keluar negeri, tapi Amanda belum ada passport, jadi kalian bisa melakukannya lain kali. Nenek sudah pilihkan hotel yang bagus dan yang perlu kalian lakukan di sana adalah bersenang-senang,” lanjut wanita tua itu.
“Bali sudah sangat bagus, Nek. Amanda senang karena belum pernah ke sana,” ucap Amanda dengan girang. Wanita tua itu tersenyum lega karena Amanda menyukai hadiah yang ia berikan. Wanita itu harap, keduanya bisa menikmati perjalanan bulan madu mereka.
“Nenek akan langsung pulang atau mau mampir ke rumah?” tanya Rai yang sudah menggenggam tangan Amanda. Ia tak mau neneknya itu lelah karena terus berada di catatan sipil tempat di mana keduanya melangsungkan pernikahan. Tanpa pesta, tanpa makanan, dan tanpa tamu undangan. Acara yang tentu saja terasa aneh untuk seorang yang mempunyai keuangan yang bagus seperti Rai, namun wanita tua itu tak mau memaksa. Melihat Rai mau menikah saja sudah lebih cukup darinya. Ia tak mau menuntut lebih pada cucunya itu.
“Nenek akan pulang karena kalian kan harus segera berkemas,” wanita tua itu memanggil seseorang yang sedari tadi berdiri di belakang punggungnya. Bi Tuti, begitu Rai memanggil wanita paruh baya yang selama ini telah menjaga neneknya dengan baik.
“Bi Tuti, tolong jaga nenek dengan baik selama kepergian saya. Segera hubungi jika ada sesuatu hal yang terjadi di rumah,” ujar Rai begitu Bi Tuti berdiri di samping neneknya. Wanita paruh baya itu tersenyum dan mengangguk mengerti dengan perintah yang Rai berikan padanya.
“Saya akan segera melaporkan jika ada sesuatu hal yang terjadi,” ucap wanita itu seraya menggenggam lengan nenek Rai, lalu menoleh pada Amanda dan Rai secara bergantian, “Kalau begituk, kami permisi untuk pulang. Selamat atas pernikahan Mas Rai,” lanjut wanita itu seraya mengulurkan tangannya pada Rai yang langsung disambut dengan Rai seraya mengucapkan kata terima kasih. Sekali lagi, keduanya berpamitan dengan nenek pria itu dan berpelukan.
Setelah melihat neneknya sudah masuk ke dalam mobil. Rai segera menginsyaratkan pada Amanda untuk masuk ke mobil. Wanita itu menurut dan segera masuk ke dalam mobil Rai yang terparkir di samping mobil milik neneknya tadi.
Jantung Amanda berdebar begitu kencang. Meski apa yang ada di antara mereka hanyalah kebohongan semata, namun sebagai seorang wanita ia tak bisa menepis perasaan gemuruh yang menguasai sanubarinya. Meski semuanya diawali dengan dusta dan bukanlah pernikahan sesungguhnya, namun Amanda bahagia. Walau tak ada pesta, tamu undangan, dan juga gaun pernikahan yang diidamkan banyak wanita, Amanda tetap merasa gembira. Inilah impian semua para wanita di dunia ini yang mampu diwujudkan Amanda, walau dengan cara yang salah. Setidaknya, ia masih bisa merasakan menjadi seorang istri. Tak mengapa bila semuanya hanyalah ilusi. Ia hanya ingin menikmati moment singkat itu bersama Rai.
“Kamu sudah mengemasi semua barang-barangmu untuk seminggu kepergian kita, bukan?” tanya Rai begitu mobil yang mereka tumpangi sudah melaju dan meninggalkan parkiran mobil, pria itu menatap Amanda sekilas dan dengan cepat kembali menoleh ke jalanan di depan.
“Sudah, Mas,” jawab Amanda seraya menoleh pada Rai, “Apa Mas Rai mau aku yang mengemasi barangmu juga atau kamu bisa melakukannya sendiri?”
Meski kini dirinya adalah istri sah dari pria di sampingnya, Amanda tak berani menyentuh barang-barang pribadi Rai. Ia tak ingin kejadian yang lalu terulang kembali karena kelancangannya yang menyentuh ponsel Rai. Ia tak ingin diteriaki dan dianggap tak sopan. Meski kini status mereka telah berubah, namun tidak dengan hubungan keduanya. Mereka hanyalah sepasang asing yang tinggal di bawah atap yang sama.
“Nggak perlu, aku bisa mengemasi keperluanku seorang diri,” jawaban pria itu membuat Amanda mengulum senyum. Kebahagiaan yang sempat dirasakannya karena statusnya telah berubah menjadi istri seseorang kini terasa begitu salah karena pria itu terlihat tak menginginkan dirinya mengambil tanggungjawab sebagai istri. Pria itu hanya perlu pemuas hasratt saja, tak pernah lebih dari itu. Pria itu hanya butuh dihangatkan tubuhnya, bukan hati.
“Apa kamu nggak mau mengunjungi keluargamu?” Pria itu menoleh pada Amanda sekilas, “Mungkin, untuk sekadar memberitahukan pernikahan kita agar mereka nggak mencarimu,” lanjut pria itu seraya menatap Amanda dengan tatapan penuh tanya.
Meski selama ini, wanita itu tak menunjukkan jika dirinya peduli pada keluarganya, namun Rai merasa bila pernikahan adalah hal yang besar bagi seorang wanita. Setidaknya, wanita itu bisa memberitahukan pada keluarganya agar mereka tak memasukkan nama Amanda dalam daftar orang hilang. Seperti teman-teman kerjanya, pastilah ada keluarga Amanda yang akan mencarinya. Tak mungkin ada keluarga yang benar-benar tak peduli, bukan?
Amanda tercengag sesaat mendengarkan perkataan Rai. Ia tak lagi memiliki keluarga ketika berumur sepuluh tahun. Tak ada yang peduli dan dirinya tak perlu membagi kebahagiaan dengan orang-orang yang tak mau menganggapnya ada. Amanda yakin, bila ibunya malah merasa tenang karena ia tak lagi tinggal bersama mereka, sedang ayahnya?
Ah … tak pernah ada yang pria itu pedulikan selain dirinya sendiri. Ia tak lagi memiliki orang yang bisa disebutnya sebagai keluarga selain kedua orang itu, jadi tak masalah bila taka da lagi yang tahu tentangnya. Mungkin, dianggap mati adalah jalan terbaik baginya.
“Aku nggak punya keluarga,” ucap Amanda seraya mengarahkan pandangan keluar jendela, menyembunyikan kesedihan yang tak lagi bisa ia bendung, sementara Rai menatap Amanda sekilas dan bisa menebak bila wanita itu tak sepertinya. Yang merasakan cinta begitu dalam dari keluarga walau tak memiliki orang tua lengkap. Kini, dirinya tak merasa jika ia adalah anak paling malang di dunia ini saat melihat keadaan Amanda. Ah … tapi dirinya tak mengetahui banyak hal tentang Amanda maupun keluarganya. Ia pun tak pasti bila Amanda masih memiliki seorang ibu. Yang ia tahu, ayahnya lah yang menjual wanita itu.
“Ayahmu? Lelaki di bar waktu itu?” Rai tak bisa mencegah rasa keingintahuannya tentang Amanda meski wanita itu mengatakan bila tak ada yang menarik tentangnya. Bagi Rai, kemisteriusan wanita itu malah membuatnya semakin ingin mencari tahu.
Awalnya, Rai memang tak peduli, tak mau ambil pusing. Akan tetapi, terus-terusan melihat kehampaan di dalam manik mata Amanda membuatnya semakin penasaran. Bagaimana kehidupan yang wanita itu jalani? Apakah memang sangat buruk, hingga tak lagi memiliki tujuan dan kemauan yang terlihat di sepasang netra milik wanita itu.
Amanda tersenyum miring mendengarkan pertanyaan Rai. “Bagaimana denganmu? Apa hanya nenekmu yang harus mengetahui pernikahan kita? Apa kamu nggak harus memberitahukannya pada keluargamu yang lain tentang pernikahan ini?” Amanda mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin membahas terlalu banyak tentang keluarganya pada Rai karena tak suka dikasihani. Ia tak ingin pria itu menatapnya penuh iba mendengarkan kisah keluarganya yang jauh dari kata menarik. Lagipula, orang dengan dunia yang begitu berbeda dengannya, tak mungkin bisa paham dengan permasalahan yang ada di dalam hidupnya.
“Ada Om dan tanteku, tapi aku nggak terlalu suka memberitahukan permasalahan pribadiku dengan mereka,” perkataan Rai membuat Amanda tak mampu menahan tawanya. Tawa yang membuat Rai menoleh ke arah Amanda dan menatap wanita itu dengan tatapan meneliti, tak mengerti dengan tawa yang wanita itu tunjukkan saat ini. Apa ada hal yang lucu?
“Apa yang membuatmu tertawa?”
Pertanyaan pria itu membuat Amanda segera menutup mulutnya dan menatap Rai. “Tampaknya, kamu memang nggak suka membagi hal-hal pribadi tentang dirimu, meski dengan keluargamu sendiri,” Amanda mengukir seulas senyum di wjahnya, “Tampaknya, kita memiliki banyak kesamaan. Tak suka orang lain mengetahui kehidupan pribadi kita.”
Pandangan mereka saling bertemu begitu Rai menoleh pada Amanda. Dengan cepat pria itu membuang pandangannya dari Amanda, tak ingin wanita itu mengetahui jika ia menyetujui perkataan Amanda. Mungkin karena banyaknya kesamaan di antara mereka itulah yang membuatnya merasa nyaman bersama dengan Amanda. Walau tak suka melihat pantulan yang sama di manik mata wanita itu, Rai tak mampu menepis kebenaran jika luka itulah yang membuatnya memberanikan diri memilih Amanda sebagai istri bohongannya.
“Aku nggak suka bila banyak orang yang tahu dan mereka mulai mencampuri kehidupanku. Aku nyaman dengan kesepian dan kesendirian. Hanya nenek yang boleh ikut masuk ke dalam duniaku. Yang lain, nggak begitu penting,” Rai menjelaskan.
Amanda mengulum senyum. Pria itu sangat beruntung. Setidaknya, ia masih memiliki seseorang yang dipanggilnya keluarga dan bisa diajak masuk ke dalam dunianya. Sayang, Amanda tak memiliki keberuntungan yang sama. Meski Rai tak memiliki orang tua lengkap, namun nenek pria itu tak membiarkannya kekurangan cinta.
“Ya, terkadang mengunci diri sendiri dalam kehampaan adalah cara yang paling ampuh untuk memberikan rasa aman dan damai di dalam hati.” Amanda mengerti sensasi kesendirian yang Rai bicarakan. Dengan membentengi diri, maka kau tak ‘kan pernah bisa terluka.
“Jadi, hanya nenek yang tahu tentang pernikahan kita?” Amanda kembali bertanya.
Rai mengangguk. “Ya, hanya nenek. Sahabat dan teman kerjaku pun nggak ada yang mengetahui hal ini,” ucap Rai dengan wajah datar handalannya, “Tapi, kebenaran ini nggak akan berlangsung lama bila nenek mengetahuinya. Dia pasti sudah memberitahukannya pada semua keluarga besar kami. Aku juga takut, bila diam-diam dia menyiapkan resepsi pernikahan.”
Amanda tergelak pelan. Amanda mulai mengerti mengapa Rai bisa menebak seperti itu. Sehari sebelum pernikahan mereka, nenek pria itu menginap di rumah Rai dan masih memprotes keinginan Rai untuk tidak mengadakan pesta apa pun sebagai perayaan hari gembiranya. Wanita itu bahkan dengan kesal mengatakan, jika Rai harus mengadakan resepsi pernikahan mereka.
“Nenekmu memang nggak bisa diduga,” ucap Amanda dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Ia bisa membayangkan wajah nenek pria itu yang antusias menyiapkan kejutan untuk cucunya yang terlalu tak peduli dengan semua hal di sekitarnya.
“Ya, nenek memang seperti itu.”
Keduanya saling bersitatap dan bertukar senyum. Entah sejak kapan, mereka bisa berbicara dengan santai seperti ini. Mengobrol bak manusia normal pada umumnya tanpa merasa ganjal. Mungkin karena keterbiasaan atau memang keduanya mulai merasa nyaman membicarakan banyak hal yang biasanya tak suka mereka bicarakan.
Hal itu mulai membuat Amanda merasa jika pernikahan bohongan mereka tak begitu buruk. Setidaknya, dirinya bisa menemukan kenyamanan yang tak ia dapatkan dari orang-orang yang disebutnya keluarga. Pernikahan adalah hari yang semestinya bahagia bagi kebanyakan wanita di dunia ini dan Amanda mulai paham akan perasaan itu. Memiliki seseorang yang bisa kau jadikan tumpuan dan teman berbagi cerita adalah hal yang menyenangkan dari pernikahan.