"Kelihatannya bu Indah lagi kesusahan," gumam Sarka pelan ketika netranya melihat gurunya itu membawa sebuah tumpukan buku. Dari gerakannya berjalan yang pelan dan raut wajahnya yang menyiratkan bahwa beliau terlihat kesusahan dan banyak menaruh beban, membuat Sarka dengan cepat berlari ke arah guru cantik tersebut.
"Bu Indah, mau saya bantuin bawa bukunya?" Sarka menawarkan diri begitu ia sudah sampai di hadapan bu Indah.
Raut wajah bu Indah langsung berubah cerah, matanya berbinar seolah baru saja menemukan sebuah harta karun yang terpendam selama jutaan tahun lamanya. "Kamu beneran mau nolong ibu?"
"Iya," jawab Sarka seraya mengangguk. "Kelihatannya ibu kesusahan bawa bukunya. Kalau ibu nggak keberatan, saya bisa bawakan." Diakhir kalimatnya, Sarka tersenyum.
"Ibu memang lagi butuh bantuan sih. Beneran kamu mau bantuin ibu bawa buku-buku ini?"
"Nggak pa-pa bu, nggak masalah kok."
Bu Indah tersenyum lebar. "Baiklah, ibu minta tolong, ya?" Sarka mulai mengambil buku-buku dari tangan bu Indah.
Setelah semua buku tersebut sudah berpindah ke tangan Sarka, rupanya memang berat. Pantas saja bu Indah kewalahan. "ini bukunya mau dibawa ke mana bu Indah?"
"Bawa ke meja ibu, makasih ya kamu udah mau bantuin ibu."
"Oh siap bu, sama-sama. Saya senang juga bisa membantu bu Indah."
"Ibu mau ke perpustakaan dulu habis ini, nama kamu siapa?" tanya bu Indah.
"Sarka Bu."
"Baik Sarka, hati-hati ya bawanya. Sekali lagi ibu terimakasih banyak sama kamu."
"Santai aja kok bu, ya udah saya berangkat sekarang, ya?"
"Iya iya silakan." Sarka pun langsung bergegas pergi dari hadapan bu Indah. Setelah sampai di kantor guru, Sarka tidak tahu di mana letak bangku bu indah, mengharuskan ia bertanya kepada guru di sana. Setelah dikasih tahu, Sarka pun akhirnya dapat menemukan meja bu Indah dan akhirnya ia menaruh tumpukan buku yang ia bawa barusan.
Setelah selesai, Sarka keluar lagi dari dalam ruang guru dan langsung melanjutkan berjalan santai untuk kembali ke dalam kelasnya. Ketika sudah sampai di ambang pintu kelasnya dan hendak masuk, tiba-tiba saja Nadine keluar dari sana. Sarka cukup terkejut ketika Nadine tiba-tiba saja berdiri di hadapannya.
"Ada yang mau gue omongin sama lo, bisa ikut gue?" tanya Nadine dengan suara kecil, ia menatap Sarka lurus-lurus, menunggu jawaban dari cowok tersebut. Sarka belum juga menjawab, ia malah memicingkan matanya, menatap Nadine penuh selidik.
Nadine mendesah panjang. "Nggak usah kebanyakan mikir. Lo tinggal jawaban iya atau enggak."
"Mau ngomong apa?" tanya Sarka akhirnya.
"Bukan di sini tempatnya, mau ikut gue?"
"Tapi bentar lagi ..."
"Nggak usah khawatir, tadi katanya kelas kita jam kosong untuk dua jam ke depan." Nadine langsung memotong ucapan Sarka yang belum selesai. Cewek itu mendongak lagi, "bagaimana?"
Menghela napas pendek, kepala Sarka akhirnya mengangguk. Ia juga penasaran dengan apa yang akan Nadine bicarakan. "Oke, mau ngomong di mana?"
"Di rooftop?"
"Oke." Sarka segera menyetujuinya begitu saja. Nadine tersenyum tipis, sebelum akhirnya ia melangkah terlebih dahulu. Sarka mengikutinya dari belakang.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke atas rooftop. Mereka berdua duduk bersebelahan di salah satu kursi. Sejenak, keheningan mengambil alih suasana. Sarka dan Nadine sama-sama diam. Hanya suara angin yang dapat mereka dengar.
Tidak tahan dengan kesunyian yang semakin lama membuatnya muak, Sarka pun sedikit memutar tubuhnya ke arah Nadine. Ia langsung menyeletuk. "Sebenarnya apa yang mau lo omongin sama gue? Penting banget emangnya?"
Nadine membalas sorot mata Sarka. Cewek itu mendengkus pelan. "Gue mau ngomong kalau sebenarnya ..." Nadine menjeda ucapannya. Membawa rasa penasaran Sarka membengkak begitu saja.
"Sebenarnya?"
"Sebenarnya gue itu ..."
"Apaan?"
Kedua mata Nadine terpejam rapat. "Oke fine! Tebakan lo emang benar, lo nggak meleset sama sekali. Gue emang bisa melihat mereka. Gue indigo!" Nadine berbicara cepat dalam satu tarikan napas. Ia kemudian menoleh ke arah Sarka. Senyuman kecut Nadine tersungging di bibirnya yang merah alami. "Itu yang mau gue omongin sama lo. Sebuah pengakuan dari gue."
Sarka masih saja diam.
"Siaal, gue nggak pernah ngaku kayak gini ke orang lain. Lo orang pertama yang denger gue ngomong kayak gini." Nadine menghela napas panjang.
"Tebakan gue nggak salah kan berarti? Lo emang bisa melihat mereka yang nggak bisa dilihat sama orang biasa."
"Kenapa lo bisa tahu? Lo sama kayak gue?"
"Sebenarnya enggak, tapi bisa dibilang iya juga." Sarka tersenyum, membuat Nadine kebingungan dengan kalimat yang ia lontarkan barusan.
"Maksud lo?" Satu alis Nadine memicing ke atas. Ia memperhatikan Sarka dengan raut wajah penuh banyak pertanyaan.
"Gue bakal cerita asalkan lo sendiri janji ke gue bakal cerita juga. Deal?" Sarka mengulurkan tangannya.
"Iya gue janji," jawab Nadine setengah malas.
"Jabat tangan gue dulu," perintah Sarka. Yang langsung dituruti Nadine setengah ogah-ogahan.
"Iya, deal!" Nadine menjabat tangan Sarka, mengayunkannya pelan sebelum akhirnya melepaskan jabatan tangan tersebut.
"Jadi gimana maksud lo barusan? Gue nggak paham."
"Gue sekarang emang bisa melihat apa yang lo lihat juga. Tapi dulunya gue enggak kayak gini. Mata gue sama kayak orang-orang kebanyakan. Lo tahu, gue belum terlalu biasa."
"Maksudnya berarti dulu lo nggak bisa lihat hantu?"
"Iya," jawab Sarka mantap bersamaan dengan kepalanya yang mengangguk. "Gue baru tiga bulan bisa melihat mereka yang udah nggak hidup lagi di dunia ini. Iya, kira-kira tiga bulan kalau gue nggak salah perhitungan."
"Tiga bulan? Apa lo dengan sengaja buka mata batin lo supaya bisa melihat mereka? Lo emang sengaja gitu? Kemauan lo sendiri."
"Bukan! Bukan itu, lo salah. Buat apa gue ngelakuin itu? Nggak, bukan seperti itu kejadian yang sebenarnya."
"Jadi?" Nadine bertanya.
Sarka menarik napas dalam-dalam. "Sembilan bulan yang lalu gue kecelakaan, dan mata gue buta," jawab Sarka dengan jujur. Ia dapat melihat raut wajah Nadine yang penuh dengan keterkejutan. Sarka melanjutkan lagi. "Sampai akhirnya gue dapat donor mata dari orang lain. Dan semuanya pun berubah. Gue akhirnya gini, bisa melihat hantu."
"Berarti ... Mata baru lo itu bisa melihat hantu, kayak mata gue."
"Gue pikir juga begitu. Dan sekarang gue juga lagi menyesuaikan diri dan berusaha untuk menerima diri gue yang sekarang. Gue anggap aja ini sesuatu kelebihan yang nggak dipunyai sembarang orang. Bukannya begitu?"
Nadine terkekeh pelan. "Iya, ini kelebihan. Kita harus berpikir positif."
"Betul!"
"Lo pasti kaget banget awalnya. Lo nggak terbiasa dengan mereka yang ada disekitar kita."
"Yap, itulah yang gue rasain." Sarka menyetujui ucapan Nadine. "Dan itu kisah gue dengan mata baru gue ini. Gue bersyukur aja karena gue bisa melihat lagi."
"Benar, lo nggak boleh ngeluh. Lo harus bersyukur dengan apa yang lo miliki sekarang."
"Pastinya." Sarka mengusung senyuman. "Terus? Gimana dengan lo sendiri?"
"Gue ... Bisa melihat mereka dari kecil."
Sarka kaget dengan ucapan Nadine. "Serius?"
"Buat apa gue bohong?"
"Terus?"
"Gue awalnya juga nggak sadar, gue dulu sering main bareng mereka. Sampai akhirnya gue pun mulai sadar. Ya begitulah kira-kira. Gue juga takut ngaku kayak gini ke orang lain. Lo tahu? Dulu gue sering dibuli karena berbeda dengan orang lain. Oleh sebab itu gue nggak langsung ngaku sama lo. Gue takut lo nggak mau berteman sama gue setelah gue ngomong kalau gue ini indigo."
Sarka menggeleng pelan, ia menyentuh pundak Nadine. "Gue nggak gitu, misalkan gue nggak sama kayak lo, gue bakal tetap nerima diri lo apa adanya."
Ucapan Sarka membuat Nadine merasa lega, "iya, makasih, ya?"
"Gue tahu kalau dari awal lo udah bohong. Rambut lo ditarik-tarik bocah di kelas, terus di kantin waktu itu lo lihat nenek-nenek yang lain nyinden. Di kafe waktu itu, tepatnya di cermin, lo juga melihat ada bayangan perempuan. Dan nggak cuma itu saja, gue pernah nggak sengaja lihat lo lagi ngobrol sama Rose."
Nadine menyengir pelan. Ia kini tidak bisa menutupi apapun lagi. "Lo kenal Rose juga?"
"Iya, gue sama dia temenan. Dia lupa namanya sendiri dan ..."
"Dan nyari nama sendiri, terus dia milih Rose, salah satu member Blackpink, karena dia sangat tergila-gila dengan dance dan lagu-lagu girlband asal Korea itu." Nadine menyambung ucapan Sarka.
Keduanya kemudian menyemburkan tawa secara bersamaan. Sarka menatap Nadine lagi. "Sekarang gue agak lebih normal kayak orang-orang."
"Kenapa?"
"Karena sekarang ada lo, yang secara teknis sama kayak gue. Gue ngerasa ada temannya aja. Dan gue nggak sendirian."
"Sama, gue juga jauh lebih suka kalau ada orang yang gue kenal, dan dia memiliki sesuatu yang gue punya. Lo tahu Ka, berkat lo gue sadar kalau nggak semua orang akan benci sama gue meskipun gue berbeda dari mereka." Nadine tersenyum hangat kepada Sarka.