"Kok lama banget?"
"Ya kan Dina ada urusan sebentar, Ma," bohongnya. Padahal ia saja yang sengaja memilih penerbangan yang muter ke sana dan ke mari. Biar apa coba? Biar sempat jalan sebentar. Seperti sekarang. Setelah penerbangan selama dua jam lebih dari Wina, kini ia sedang istirahat sebentar di London. Iya, di London. Gak ke mana-mana sih. Dina cuma jalan-jalan di sekitaran bandara. Toh, Farrel dan Ferril sudah tak di sini. Kenapa? Sudah lulus lebih dari setahun lalu. Sekarang keduanya malah sibuk di Indonesia. Mau tau kesibukannya?
Ferril, tentu saja meneruskan titah Fadli. Lelaki itu belajar banyak dan mulai mengambil alih kekuasaan Fadli yang mendominasi. Disamping itu, ia melakukan jual-beli saham dan properti dari tabungannya selama kuliah. Hasilnya? Semuanya diberikan pada Bundanya. Katanya, biar Bunda saja yang simpan. Mau digunakan Bundanya sampai habis pun tak apa. Iya lah, semuanya juga dikasih sama Ferril kalau Bunda yang minta. Urusan rejeki kan bisa dicari lagi. Dan lagi, Ferril percaya kok, justru dengan ia memberikan semuanya pada Bunda menjadi investasi dunia-akhirat yang tak ternilai harganya. Alih-alih miskin, ia malah semakin kaya. Dan lagi Bunda juga tak menggunakannya. Selain karena mendapat dari suaminya, tentu saja ia lebih memilih untuk menyimpan uang itu untuk masa depan Ferril dan cucu-cucunya nanti dari anak sablengnya itu.
Kalau Farrel? Masih membiarkan Papanya sibuk sendiri di rumah sakit. Hihihi! Walau yah, kadang Farrel suka datang ke rumah sakit hanya untuk belajar. Sisanya, ia habiskan untuk membuka bisnis baru bahkan beberapa bulan lalu, ia resmi merilis aplikasi pelayanan rumah sakit yang sekaligus dinobatkan sebagai founder dan menjadi CEO-nya. Hingga beritanya lumayan gaduh. Kini nama Farrel cukup terkenal di ibukota. Karena selain jadi CEO muda, ia juga sukses menjadi motivator bisnis. Ditambah usaha martabak gantengnya yang kini sudah merambah hingga ke luar negeri. Sudah sampai di beberapa kota di Inggris, Turki dan beberapa negara di Asia Tenggara. Hanya satu yang kurang nih dari Farrel. Apa? Jodohnya! Hihihi. Kalau persoalan jodoh ini sih, tak perlu ditanya lah ya. Bunda saja capek karena terus bertanya tapi tak ada jawabannya pula. Jadi biar kan waktu yang menjawab. Hihihi.
Satu jam sebelum penerbangan langsung ke Malaysia, Dina segera kembali ke bandara dengan taksi. Ia hanya jalan-jalan mencari oleh-oleh seraya merasakan udara London. Ia sih tertarik dengan kota ini karena suka dengan bangunan-bangunannya yang kece. Andai ia memiliki kesempatan lain untuk menatap di sini lebih lama, mungkin ia akan menghabiskan waktu untuk mengambil banyak foto di sini karena akan keren sekali ketika dibagi. Rasanya seperti sudah lama sekali tak datang ke sini. Terakhir, ia datang saat wisuda Farrel-Ferril. Setelah itu, ia tak pernah datang lagi.
Sebetulnya ada saat di mana Dina tak bisa melupakan satu hal. Satu hal yang mati-matian ia hindari tetapi masih mencari. Bagaimana pun, asmaranya pernah terjadi meski kini telah berlalu seiring berjalannya waktu. Dan setiap kota yang ia jalani, selalu mengingatkannya pada seseorang yang masih sangat berarti. Mungkin siapa pun tahu. Karena meskipun Dina berupaya berlari menjauh, hatinya tak pernah beku. Walau dingin namun tetap lah rindu. Iya, diam-diam ia meneteskan air mata. Kemudian menghela nafas panjang. Cepat-cepat ia matikan ponselnya lantas menatap jendela.
Apa kabar, Dit? tanyanya. Namun tak pernah ada jawabnya. Kenapa? Karena ia hanya bertanya melalui hatinya. Ia tak pernah berani bertanya pada orangnya langsung. Dan lagi, ia mana tahu keberadaan lelaki itu sekarang. Entah berada di mana, Dina sudah tak punya kewajiban untuk tahu. Barangkali ia memang harus membuka lembaran buku di halaman yang baru? Atau mengganti buku itu dengan yang baru?
Meski dua tahun berlalu dan kehidupan Dina yang kini sangat berubah tapi hatinya tak pernah berubah. Hingga berkali-kali pun ia menatap akun lelaki itu, namun ia tak pernah menemukan jawabannya. Iya, jika yang kau pastikan itu adalah Adit. Itu benar. Karena Dina tak pernah bisa melupakannya.
Satu tahun pertama tanpa Adit, Dina tak pernah mencarinya. Urung untuk melakukannya. Walau sebenarnya sangat mudah melakukannya. Tapi ia tak ingin membuka hatinya saat itu. Hanya berpasrah pada takdir yang ia kira akan bisa ia lalui. Walau akhirnya menyerah diujung jalan. Karena ternyata, tetap buntu. Hatinya masih sama.
Dan setelah satu tahun berlalu, Dina baru berani membuka akun lelaki itu. Mencoba mengintip kehidupannya dengan alasan mengobati sedikit luka. Barangkali bisa sembuh dengan tahu keberadaannya. Namun hasilnya masih sama seperti tadi. Dina masih tak menemukan jawaban. Adit seolah menghilang dan tenggelam. Tak pernah muncul di permukaan walau hanya buihnya saja. Sempurna menghilang. Karena tak ada apapun lagi postingan terbaru Adit. Lelaki itu sempurna pergi dan meninggalkannya sejak malam itu.
Ya, Dina memang tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Namun ia sempat tahu beberapa hal. Salah satunya, Adit yang mengundurkan diri dari kantor Om-nya saat lelaki itu akan dipromosikan sebagai kepala proyek setara dengan Hussein. Tapi lelaki itu malah pergi dan hingga kini Dina tak pernah tahu kabarnya. Bahkan bukan hanya Dina, Ardan atau pun Fasha tak pernah tahu apa kabarnya dan dimana keberadaannya kini. Karena lelaki itu sempurna pergi tanpa meninggalkan bayangannya.
@@@
"Taataaaaaaa maaaauuuu ikuuuuuuuuut!" teriak gadis kecil itu. Ia berkacak pinggang di depan pintu kamarnya. Omong-omong, ia baru punya kamar sendiri setelah sekian lama tidur di antara ibu dan ayahnya. Tapi sebetulnya, kamar ini juga jarang ia tiduri. Gadis itu masih lebih suka menempel pada ibunya karena katanya takut. Apalagi Rain dengan usilnya, hobi sekali menyuarakan suara hantu di depan pintu kamarnya dan menggetuk-getuk pintunya kemudian berlari terbirit-b***t tanpa suara. Sengaja membuat Tata yang penakut itu semakin ketakutan. Biasanya gadis itu hanya akan diomeli Ayahnya tiap melakukan itu. Tapi yang namanya bebal adalah nama belakang Rain. Gadis itu hanya akan tertawa saja. Fasha? Hanya geleng-geleng kepala.
"Buruan masuk!" dumel Rain ketika tiba di depan pintu mobil Fasha. Gadis itu sudah mengeluarkan mobil dan tentunya ia sudah duduk cantik di kursi kemudi. Ia baru tahu kalau Tata ikut ketika mendengar kasak-kusuk di luar. "Jangan nangis ya! Kalo nangis nanti turunin aja di kuburan, Kak!" ancam Rain yang memang hobi sekali membuat Tata menangis. Keduanya juga hobi bertengkar tapi paling dekat dan akur. Fasha geleng-geleng kepala.
Tata duduk di belakang sendirian sambil mendesis lantas mobil itu melaju kencang menuju tempat tujuan. "Kak Dina pulang jam berapa sih, Kak?"
Kening Fasha mengerut kemudian mengendikan bahu.
"Lah?"
"Urusan nanti lah itu," ucapnya sambil nyengir. Ia hanya ingin keluar dan jalan-jalan sebetulnya. Acara menjemput Dina ini hanya lah alasan agar diizinkan oleh ayah mereka untuk berkeliaran. Hihihi.
"Terus bertiga aja?"
"Gak lah!"
"Ajak siapa lahi? Bang Ardan?"
Fasha nampak berpikir. "Ke rumah Ann dulu deh!" usulnya.
"Nanti tuh bocah ngomel lagi!" keluh Rain. Pasalnya, Anne sudah mulai bisa msngomel. Padahal gadis itu biasanya selalu diam. Fasha terkekeh mendengar itu. Anne sebetulnya bukan mengomel tapi hanya menyampaikan ketidaksukaannya. Hanya saja, berhubung anaknya kalem jadi terkadang suka salah ditanggapi. Kalau Fasha sih memaklumi. Karena ia memang setipe dengan Anne jadi paham dengan karakter Anne. Meskipun Anne pendiam, sejujurnya gadis itu masih lebih bisa bercanda dengan yang lain dibandingkan dengannya. Karena ia sering melihat Anne tertawa dengan Ferril atau Ardan. Tapi akan diam jika berada di dekatnya. Mungkin segan. Hihihi. Ya mau bagaimana lagi? Ia sudah begini dari sananya kan? Dan lagi, ia juga bersyukur kok dengan karakternya ini.
Sementara itu......
Hampir tiga belas jam di pesawat membuat Dina super lelah. Perjalanan yang sangat lama itu nyatanya membuatnya seolah baru keluar dari pintu ajaib Doraemon. Bagaimana tidak? Saat penerbangan dari London tadi berangkat pukul 18.25 tapi tiba di Kuala Lumpur, masih di jam yang sama, yaitu 18.25. Yah, seolah-olah melintasi waktu tapi saat tiba, ternyata ia masih di jam yang sama hanya negara saja yang berbeda. Kadang ia sangat takjub. Betapa mahahebatnya Allah menciptakan semua ini dengan begitu detil. Ya kan?
Penerbangan ke Jakarta masih empat jam lagi. Dina mulai mengelilingi bandara Kuala Lumpur yang besar dan sangat ramai. Keluar-masuk toko coklat titipan geng krucil. Sebenarnya, Dina sudah cukup banyak membawa oleh-oleh. Tapi entah kenapa, ia selalu merasa ada yang harus ia beli dari setiap negara yang ia kunjungi. Lagi pula, pekerjaan ditambah penghasilan usaha rotinya kini sangat lumayan untuk diporotin geng krucil. Meski ia sendiri masih sering memeras dompet Ardan dengan alasan malas mengambil uang ke ATM. Hihihi...
Omong-omong tentang Ardan, tak ada yang berubah. Masih jomblo dan masih hampa. Kalau soal move on masih belum bisa dipastikan karena Ardan orangnya setia. Tapi gak mungkin Ardan pakek title 'ku tunggu jandamu, Tatal' karena gak baik mendoakan yang tidak baik. Hihihi!
"Masih tiga jam lagi, pa. Sampe jam setengah dua belasan lah. Nanti Ferril yang jemput kok," begitu terangnya ketika papanya sibuk menelepon.
Papanya mengiyakan saja. Cukup lega karena Ferril yang menjemput bukan istrinya. Ia juga tak akan memberi izin kalau Aisha harus ke bandara semalam itu. Selain itu, di Jakarta sana, seperti biasa, Ferril mulai bermanja ria dengan berbaring di pangkuan bundanya yang membuat papanya senewen karena gak kebagian. Lelaki manja yang satu itu lagi senang-senangnya. Kenapa? Dengar-dengar sih lagi jatuh cinta. Tapi gak ada yang tahu siapa si perempuannya. Karena belum dikenalkan pada bunda. Tapi ia sudah berjanji pada bundanya, kalau sudah oke, pasti akan ia bawa ke rumah. Janji lainnya, katanya ini yang terakhir. Iya, perempuan ini yang ingin Ferril jadikan pelabuhan terakhirnya. Ketika ditanya apa alasan Ferril begitu serius dengan perempuan yang satu ini, lelaki itu hanya menjawab, 'karena mirip sekali dengan bunda'. Papanya sih senang-senang saja kalau memang Ferril serius ingin menikah. Yah, dari pada anaknya jadi playboy lagi kan ribet urusannya. Mendingan juga nikah meski ia lihat masih kekanakan sekali tingkahnya. Tapi Fadlan pikir, barangkali anaknya bisa belajar lebih dewasa nanti. Toh Fadli juga begitu. Alasan menyenangkan lainnya bagi Fadlan tentu saja istrinya. Hihihi! Kalau Ferril menikah kan, cuma ia yang akan manja-manjaan sama istri dan gak akan diganggu anak sablengnya itu lagi! Hihihi!
"Katanya mau jemput Dina, deeek!" tegur bunda yang tentu saja mengingatkan.
"Masih lama, bun. Nyampenya tengah malem begitu!"
"Setengah dua belas kaliii! Udah ih siap-siap! Kan pada jemput yang lain juga!" semprot Farras dari tangga dengan penampilan yang sudah rapi.
Ferril terbelalak lantas buru-buru bangun saat mendengar suara cempreng Rain menyapa dari ruang tamu. Gadis itu datang membawa Anne yang ogah-ogahan, ada Tata juga ditambah Fasha yang baru saja memarkir mobilnya.
As-ta-ga!
Cuma menjemput satu orang aja yang ikut dan ributnya kayak jemput orang sekampung yang baru pulang haji!
@@@