Merhatiin, ngegodain, dan bikin si dia gemas adalah jalan ninjaku.
-Jomblo Lagi Usaha-
“Pindah ih!” Bintang mengusir Bumi ke jok tengah SUV mereka. “Tangan tremor gitu mau nyetir, kumaha sih, A?”
Betul memang, tangan Bumi gemetaran. Penyebabnya ya karena ia menahan emosinya sepanjang malam hingga mereka meninggalkan kafe.
Satu lagi sifatnya Bumi, kalau marah, dia harus tidur atau minimal dipeluk yang agak lama. Kalau ditahan, bakal berujung emotional tremor. Betul sekali, Bumi itu ngga bisa meledakkan amarah. Waktu kecil pun kalau marah ngatupin gigi, tangan mengepal, kalau sudah pegal baru nangis. Ngga akan diam sebelum dipeluk ayah atau bundanya sampai ketiduran.
Tanpa mendebat Bintang, Bumi keluar dari balik kemudi, membuka pintu tengah, lalu auto menelungkup dengan kaki yang menggantung. Samudera yang melihat kelakuan sulung Wisesa itu malah terkekeh.
Bintang menggeleng, beringsut sejenak, menekukkan kaki abangnya agar pintu bisa ditutup, baru kemudian ia duduk berhadapan dengan roda setir. “Pulang nih, A?” Maksudnya Bintang, ke apartemen mereka di sini, karena besok masih ada job yang alhamdulillah di Jakarta juga. Sebagai pengelola EO, sudah biasa banget tiga pemuda itu bersama Ayah dan Bundanya bolak balik Jakarta – Bandung demi mengurusi acara-acara besar.
“Abdi ngurusin nikahan orang mulu. Tapi jodoh abdi kok makin ngga ketebak,” gumam Bumi sembari menutup mata. Miris banget emang.
“Malah curhat!” ketus Bintang yang bikin Sam makin tergelak. “Abdi nanya kita mau pulang atau ngapain, teu nyambung kayak Jaka Sembung Bawa Golok!” Bintang memang begitu, bawaannya kepingin ngomel mulu kalau ke Bumi atau Samudera. Bumi si Bijaksana. Sementara Sam bagian ngekor dan ketawa dia, namanya juga gagal bontot. “Perlu diperjelas, A?”
“A Bumi mah ngga usah ditanya. Nanti dijawab mau ke kosan atau ke rumah mantan gebetannya malah kita yang repot,” ujar Samudera. “Moal abdi mah! Abdi pasung beneran si Aa!” (Saya mah ngga mau!)
“Enya! Bener-bener!” sahut Bintang. (enya = iya)
“Ke Paris aja,” gumam Bumi lagi. Saat ini, Yuna tengah berada di City of Lights tersebut, menempuh pendidikan strata satunya di Paris College of Art, menekuni bidang Fashion Design sebagai pilihannya. Sudah tahun ketiga. Kalau Bumi sendiri lulusan Seni Rupa Dwimatra-ITB, baru satu tahun yang lalu. Jadi, jelas kan mau ngapain Bumi ke Paris? Stalking berkedok healing. Stalking si ayang-tapi-boong.
“Jangan macem-macem, A! Dikerjain Mas Bisma kelar semuanya! Ya nyawa – ya duit, bersih!” timpal Sam. “Lagian biasa kayak kucing dan anjing sama Teh Yuna, masa langsung punya perasaan, A? Teh Yuna cuma nolongin mereun, ngga beneran niat jadi pacar Aa.” Sam ngetes doang. (Mungkin.)
Mereka mah – kecuali Bumi – sudah tau kenapa Yuna kesal. Dulu, sempat ada prakiraan asa di antara personil 404 Not Found, kalau … Yuna suka sama Bumi. Tapi, Bumi mentok ke Utara. Yuna itu memang dari sananya jutek dan blak-blakan, typical cewek keluarga Airlangga. Tapi, kalau nyolot kan beda cerita, nah selalu kejadian kalau lagi ada Bumi. Kayaknya Bumi salaaah aja terus. Tapi berselang detik, diam-diam ngelihatin, larak-lirik. Sampai akhirnya Yuna naksir tutor DALF-nya. Meski in the end, saat Yuna apply ke PCA, gengnya baru ngeh, kayaknya sih Yuna sok-sok naksir mas-mas Paris biar ngga mikirin Bumi aja.
“Mana Mas Bisma kan gedek banget sama Aa. Dikira pernah suka sama Teh Nina,” timpal Bintang. Mereka memang suka kongkalikong dalam keusilan. Giliran buat ngerjain Bumi tau-tau ‘musuh-tapi-sayang dari bayi' itu bisa kompak.
“Tuh kan, tambah lagi. Berat A ngejar Teh Yuna,” canda Sam kemudian. Memang dasar tiga bersaudara ini, dilarang ada kestabilan emosi di antara mereka, pasti ada saja yang memulai kerusuhan.
Jadi, Yuna adalah bungsu dari tiga bersaudara Airlangga. Yang pertama Bisma, yang kedua Zia, baru ditutup dengan Yuna. Zia menikah dengan Rain sepupunya Bumi. Dan karena domisili mereka sama-sama di Bandung, jadi ya Airlangga’s dan Wisesa’s lumayan sering ketemu.
Ngga sekedar bersua, sialnya, Yuna ini juga acap kali mergokin Bumi lagi jalan sama Utara dalam kondisi Utara ngambek. Ngambeknya Utara tuh mode ‘aku pergi biar kau kejar.’ Beberapa kali melihat scene itu, lumayan bikin Yuna eneg, dan akhirnya tanpa sungkan ia bilang ke Bumi; ‘harusnya cinta tuh timbal balik, Utara juga harusnya kendaliin dong emosinya.’ Tapi, namanya orang lagi jatuh cinta, siapa yang bisa terima masukan?
“Emang ngga ada yang niat kali jadi pacar abdi,” lirih Bumi.
“Ya tinggal cari yang niat jadi istri Aa,” sahut Bintang dengan entengnya. “Happy-happy dululah, ngga usah buru-buru nikah. Apalagi karena patah hati lihat first love sudah punya gandengan baru. Real life bukan kayak n****+ yang tinggal tembak cewek-nemu-di-jalan buat jadi istri bayaran, A.”
“Ada n****+ begitu?”
“Ya ada atuh!”
Bumi terkekeh mendengar tanggapan Bintang, meski belum ada kelegaan di hatinya. Namun, ia bukan menertawakan n****+ yang tadi dibahas, melainkan karena rasanya Bumi sedang melangkah dalam garis abu-abu antara masa lalu yang tak ingin ia ulangi dan masa depan yang masih samar. Jelaslah samar, karena di pikiran Bumi, ngga mungkin Yuna sayang beneran sama dia. Buat Yuna, Bumi cuma cowok lembek, takluk sama cewek sampai rela harga dirinya diinjak-injak.
Tapi, kenapa dari tadi pikiran Bumi penuh dengan nama Yuna?
Teu capek-capek sih Neng lari-lari di pikiran Aa. Cicing atuh ih. (Diam dong.)
Lagian biasanya asal lihat muka urang otomatis berubah ke mode singa. Tumben banget tau-tau jadi anak kucing.
SUV melaju perlahan keluar dari parkiran, menembus jalanan Jakarta yang tetap padat di malam minggu. Senandung merdu suara Samudera menyanyikan Battle Symphony – yang tadi dinyanyikan Bumi di kafe – mengisi ruang, membawa kesadaran Bumi perlahan menghilang, sampai akhirnya ia benar-benar terlelap.
***
“A? Baru pulang?”
“Iya. Sudah gelap ya di sana?”
“Muhun. Aa di Bandung?” (muhun = iya)
“Henteu. Di PP,” jawab Bumi. Sampai unit matanya segar kembali. Mumpung di Paris belum larut, jadilah ia gegas menepati janji menghubungi Yuna. “Neng di mana?”
“Sama, di unit.”
“Aa kira di studio.”
“Studio Yuna ya di unit. Ngga segitu mewahnya sampai nyewa ruang terpisah, A.”
“Kenapa?”
“Ngga apa-apa,” tanggap Yuna. “Jadi gimana, A?”
“Apanya?”
“Lukisannyalah.”
Kirain hubungan kita. “Boleh.”
“Serius?”
“Iya.”
“Berapa, A?”
“Yang pantes berapa?”
“Ih Aa, ngga boleh dong begitu. Emangnya kalau sama orang lain Aa jual berapa?”
“Gini aja ... Neng bikinin Aa baju. Itu aja bayarannya. Kapan lagi Aa punya baju rancangan desainer PCA? Nanti kalau Neng tenar, Aa bisa nyombong.”
“Ngga mau! Yuna marah nih.”
“Ih, kok gitu?”
“Berapa, A?”
“Kalau mahal, nanti ngga bisa bayar gimana?”
“Kasbon dulu, Yuna cicil, A. Yuna udah bikin sketch pakai pola lukisan Aa. Udah kepalang naksir, A.”
“Naksir Aa?”
“Ish geer. Naksir lukisan Aa.”
“Naksir Aa juga ngga apa-apa.”
“Moal ah. Ngapain sama jomblo gagal moved on?”
Ngapain? Udah jadi kesayangan masih nanya ngapain? Kumaha sih si Neng! “Bantuin atuh, biar cepat moved on.”
Yuna malah tergelak.
“Ya, Neng?”
“Ngga.”
“Kenapa? Aa jelek ya?”
“Cowok kayak Aa tuh punya potensi besar bikin patah hati.”
“Kayak Aa?”
“Muhun.”
“Kayak Aa gimana?”
“Gagal moved on.”
“Ngga, Neng. Udah moved on ini.”
“Hmm.”
“Ngga percaya ya?”
“Iyalah.”
“Ya sudah Aa bakal berjuang.”
“Berjuang apa?”
“Berjuang supaya tetap jadi kesayangan Neng Yuna.”
“Pret! Udah ih Aa, Yuna mulas nih dengarnya, jadi mau eek!”
“Eh bocah gelo, jorok!”
“Aa Bumi tuh gelo!”
“Kamu gelo!”
“Aa tuh udah gelo, lemot, blekok pulak!”
“Heh!” Bumi malah ngakak.
Dan pertikaian konyol itu masih berlangsung hingga satu jam kemudian, sampai Yuna lelah dan tertidur sebelum Bumi menutup panggilan videonya.