Jika dia jodohku, mudahkanlah kami bersatu. Jika bukan, tolong atur ulang biar berjodoh. Pokoknya, jodohinlah aku dan dia, ya Allah. Aamiin.
-Jomblo minta dijodohin-
Pagi di Paris terasa berbeda ketika Desember hampir berakhir. Matahari masih enggan menampakkan diri di langit kelabu, sementara angin dingin memaksa Yuna menarik syal tebalnya lebih rapat. Dari jendela unitnya, ia bisa melihat sungai Seine yang mengalir tenang, menyapu pandangannya seolah mengucapkan sampai jumpa lagi di tahun yang baru.
“Keburu telat ini,” gumamnya. Ia mengecek ponselnya sekali lagi, memastikan jadwal penerbangannya ke Jakarta tidak ada perubahan.
Dan nyaris ketinggalan! Baju rancangannya dan parfum untuk Bumi! Yuna baru semalam membeli Guerlain Oud Khôl demi mengincar diskon akhir tahun. Lumayanlah selisihnya untuk jajan di Bandung nanti, itu juga kalau ngga diminta balik sama Bumi.
Yuna keluar dari unitnya dengan koper besar yang hampir dua kali lipat dari tubuhnya. Trotoar kota Paris yang biasanya ramai dengan wisatawan kini sepi, hanya ada beberapa pejalan kaki yang juga bergegas berlindung dari angin.
Ia mengulurkan tangan ke satu unit taksi yang mendekat dengan tag "libre", menandakan kendaraan tersebut kosong dan bisa mengantar Yuna ke tujuan. Sopirnya, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, membuka jendela dan bertanya dengan aksen Prancis kental, "Ke mana, Mademoiselle?"
“Aéroport,” jawab Yuna.
Pria itu keluar, melangkah ke bagasi, membantu Yuna menempatkan kopernya. “Masuklah,” ujarnya kemudian.
Begitu duduk di jok penumpang, suara halus mesin dan kehangatan dari pemanas di dalam mobil langsung membuatnya merasa sedikit lebih nyaman. Yuna tidak begitu menyukai berada di luar saat musim dingin begini. Ia lebih memilih menghabiskan waktu di unitnya untuk sketching atau menjahit dalam kondisi suhu udara serendah ini.
Sambil menyandarkan kepala di jendela, Yuna memandangi jalan-jalan Paris yang semakin jauh. Lampu-lampu kota masih menyala, menciptakan kilau lembut di trotoar basah akibat hujan yang baru reda. Sesekali, ia melirik jam tangan, memastikan dirinya tidak terlambat untuk penerbangan. Namun, meski sudah berulang kali meyakinkan dirinya, rasa gugup tetap tak bisa disembunyikan — ini bukan hanya sekadar pulang, tapi kembali untuk menghadapi pria yang sudah lama ia relakan tak teraih. Siapa lagi? Tentu saja Bumi!
Yuna menggeleng cepat, menghilangkan sosok Bumi yang kian hari kian tajam di pikirannya. Layar ponsel ia aktifkan, masuk ke salah satu grup chat yang dihuni keluarganya juga para antek-anteknya.
Badasses.
Yuna: @InvestorUtama Pa, yang jemput Adek siapa?
ProdukPercobaan: Naik taksi elah! Kek orang susah aja lo!
Yuna: Dih, yang nanya Mas @ProdukPercobaan siapa? Konslet!
TukangMalak: Mbak ngga bisa, Dek.
Yuna: Kapan sih Mbak @TukangMalak bisa?
TukangMalak: You know me so well.
Yuna: Tabahkanlah hamba ya Allah *emoji-berdoa*
BiarPercobaanTapiBibitUnggul: Pokoknya nanti ada yang jemput. Tenang aja.
Yuna: Mas Rio @BiarPercobaanTapiBibitUnggul, Kang Taksi juga banyak yang siap jemput Yuna.
BiarPercobaanTapiBibitUnggul: Tunggu aja di situ.
Yuna: Situ mana Mas @BiarPercobaanTapiBibitUnggul? Situ gendeng atau situ waras?
BiarPercobaanTapiBibitUnggul: *emoji-tertawa-sampai-menangis*
ProdukPercobaan: Situ gila @Yuna.
Yuna: Diam kamu! @ProdukPercobaan
Yuna: Papaaa yuhuuu anybody home??? Paaa @InvestorUtama. *emoji-menangis* Papa jemput Adek. Adek ngga mau naik taksi, takuuut.
ProdukPercobaan: @Yuna naik DAMRI aja udah.
Yuna: @ProdukPercobaan ngga ada oleh-oleh buat Mas Ara!
ProdukPercobaan: *sticker-nangis-sampai-banjir-biar-dimaafin*
Yuna: *sticker-ngegaplok-pakai-sandal-jepit*
TukangMalak: *sticker-asik-ngunyah-cilok*
BiarPercobaanTapiBibitUnggul: *emoji-ketawa-sampai-nangis*
IbuNegara: Papa masih di masjid Dek @Yuna. Nanti Mama bilangin Papa.
IbuNegara: Kalau ngga ada yang mau jemput, Mama yang jemput @Yuna.
ProdukPercobaan: Bismantara Airlangga nan ganteng dan soleh pamit dulu, ngga asik lagi kalau @IbuNegara nongol!
IbuNegara: Cuci piring! Mas @ProdukPercobaan
ProdukPercobaan: Nggih Kanjeng Ratu.
TukangMalak: *berderet-emoji-tertawa-sampai-menangis*
Yuna: Oke, Ma. Nanti Yuna kabarin kalau sudah mendarat. Love you all.
Yuna tersenyum tipis, setidaknya mereka semua di grup itu akan memastikan kepulangannya aman. Siapa pun yang menjemput tak masalah, yang penting Yuna ngga naik taksi sendirian. Cengkareng – Bandung berdua doang sama Kang Taksi kan horor juga!
Begitu tiba di bandara Charles de Gaulle, suasananya tak jauh berbeda dengan yang ia bayangkan: sibuk, meski tenang, ngga grasak-grusuk. Orang-orang berjalan cepat dengan langkah pasti, koper-koper melintasi lantai marmer bandara, dan suara pengumuman terdengar menggema di setiap sudut.
Ia meletakkan koper di dekat tempat duduknya, lalu mengeluarkan kamera kecil untuk mengabadikan beberapa momen sebelum meninggalkan kota yang sudah jadi rumahnya selama tiga tahun terakhir. “Another end of year in Paris,” bisiknya.
Tak lama kemudian, konter check-in untuk penerbangannya dibuka. Yuna turut mengantri dengan penumpang lain. Sembari menunggu gilirannya, ia menyapukan pandangan ke sekitar, mendapati beberapa pasangan yang terlihat mesra. Ya, winter seperti ini, tentu saja paling nyaman nempel dengan yang tersayang.
Setelah proses check-in yang lancar dan menunggu waktu boarding sembari menghabiskan dua cup mocha panas, Yuna naik ke pesawat dan memilih menonton film komedi atau tidur sepanjang penerbangan untuk mengalihkan pikirannya dari Bumi. Meski nyaris tak ada pengaruhnya, karena momen video call dan chat-nya dengan Bumi sejak drama sabun colek ‘pacar-boongan' benar-benar intens. Bahkan Yuna sendiri agak bingung, sebenarnya mereka jadi pacaran benaran atau tidak.
“Aa ngga ngejar Utara lagi?”
“Nggalah!”
“Tobat?”
“Hmm.”
“Ngga butuh masa inkubasi?”
“Kok inkubasi sih, Neng?” tanya Bumi di antara tawa. Buat Yuna, tawanya Bumi tuh damage banget! Bikin jantungnya jejedugan ngga keruan!
“Inkubasi jadi gelo.”
“Sudah gelo. Telat Neng mah ngasih peringatannya.”
“Gitu?”
“Enya. Gelo mikirin seseorang.” (enya = iya)
“Selatan? Timur? Atau Barat?”
“Paris!”
Paris tuh gue bukan? Atau ada cewek lain yang namanya Paris? Jangan baper Yuna! Jangaaan!
***
Sekitar 19-jam kemudian, roda pesawat mendarat mulus di landasan Soekarno-Hatta. Yuna menarik napas dalam-dalam, ada perasaan lega akhirnya tiba di 'rumah.' Namun, ada pula asa yang membuat perutnya ngilur. Ia kini bingung, bagaimana caranya agar ia tak salah tingkah di depan Bumi nanti?
Badasses
Yuna: Lagi nunggu bagasi. Yang jemput siapa?
ProdukPercobaan: Hmm. Spot biasa.
Yuna: Thanks Mas *emoji-lempar-cium*
“Yeiy sudah dijemput,” Yuna bermonolog sembari mengambil koper dari conveyor belt. Ia sudah membayangkan Bisma dengan senyum lebar dan gayanya yang sok keren, siap meledeknya tentang betapa tak imbangnya berat koper dengan sang pemilik.
Yuna melewati semua proses. Dari pengecekan imigrasi, pengambilan bagasi, juga pemeriksaan keamanan hingga akhirnya pintu keluar terminal kedatangan internasional berada beberapa langkah lagi di depan sana.
Cengkareng hujan. Meski begitu kehangatan kota ini terasa jauh berbeda dengan Paris yang dingin. Pukul 11:15 waktu setempat.
Saat melewati gerbang kedatangan, ia memindai wajah-wajah yang sedang menunggu, mencari sosok abangnya yang serakah mengambil banyak gen sang ibu yang bule banget. Namun, Bisma tak di sana. Yang terlihat pertama kali justru seseorang yang membuatnya gugup seketika. Bumi.
"Tewas gue!" gumam Yuna yang hanya terdengar telinganya sendiri, nyaris tersedak kejutan kecil tersebut. “Kok Aa?” tanyanya kemudian, begitu jarak mereka hanya tersisa sekitar dua langkah. Bingunglah pasti!
Bumi mencengir, meski berusaha senatural mungkin, tetap saja terlihat jika ia pun tak kalah gugup. “Surprise?”
“Aa jemput Yuna?” Yuna masih merasa ini ngga nyata.
“Iyalah. Ngapain coba Aa ke sini?”
“Konser mereun? A Day With Jungkook.” (mereun = mungkin)
“Konsernya dibatalin,” kekeh Bumi. “Demi Neng Yuna, hari ini Aa jadi driver dulu.”
“Emang Mas Ara mana? Mas Rio?” tanya Yuna lagi. Ada harapan kecil di hatinya abang-abangnya cuma nge-prank. Soalnya kalau berduaan sama Bumi doang, takutnya Yuna malah cosplay ngigo sambil ngendus-ngendus lehernya Bumi, secara parfumnya Jungkook KW itu kawin banget dengan scent asli tubuhnya alias notes akhirnya cocok banget — lembut, deep and seksi. Menggoda Yuna untuk menerkam Bumi!
“Ada," jawab Bumi. "Tapi mereka pada ada kerjaan.”
“Papa?” tanya Yuna lagi.
“Kasihan Papa Jagat atuh, Neng. Masa jauh banget nyetir sendiri ke sini?”
“Iya sih.”
“Neng ngga suka Aa yang jemput?”
Suka banget! Tapi takut naksir. “Biasa aja!” ketus Yuna.
“Mulai,” canda Bumi.
“Ih ngapain manis-manis sama A Bumi?”
Wajib atuh bermanis-manis sama calon teman hidup. “Biar dijajanin,” jawab Bumi sekenanya. Walau di lubuk hati terdalam pengennya mah bilang 'biar diijabin!'
“Neng lapar ngga?” tanya Bumi lagi seraya meraih koper Yuna.
Entah kenapa Yuna seperti bukan dirinya sendiri. Canggung akut. Padahal, belakangan, mereka selalu bercanda lepas lewat chat atau video call. Namun sekarang, bertatap muka langsung, yang ada malah grogi.
“Ini aja?” tanya Bumi lagi.
Yuna mengangguk pelan.
“Berat pisan sih ini koper, Neng? Bawa apaan?” (pisan = banget)
Bawa cinta buat Aa. Astaga! Cheesy banget sih Yuna! “Menara Eiffel, dipotekin rangkanya masuk ke situ,” canda Yuna, tapi ekspresinya serius banget.
“Tinggal dikiloin berarti nyak? Let's go, Neng! Menang banyak iyeu!” tanggap Bumi. (iyeu = ini)
“A Bumi ih,” kekeh Yuna. “Ngabodor wae!” (bercanda aja!)
“Kamu juga.”
Keduanya melangkah beriringan, menuju pelataran parkir. Bumi gegas menyalakan mesin, mengatur suhu, lalu menyeberang ke sisi kopilot dan membukakan pintu untuk Yuna.
“Mau naruh koper dulu, A”
“Iya, Aa yang taruh. Neng masuk aja.”
Biar jantung aman, Yuna ya nurut. Selepas pintu ditutup, Bumi beringsut ke belakang, memasukkan koper-kopernya Yuna. Baru setelahnya ia kembali ke balik kemudi. Yang selanjutnya Bumi lakukan adalah mengatur playlist. Yang easy listening aja, agak nge-jazz dikit karya anak negeri, tapi lumayan jadul. Kata Edo, album pertamanya keluar pas zaman kuliah tingkat akhir.
Playlist bertajuk Maliq & D'essentials Best Songs Bumi atur diputar acak. Konyolnya, lagu pertama yang mengisi ruang adalah Pilihanku. Mau diganti kok ya ketauan banget nervous-nya. Ngga diganti kok kayak lagi ngelamar secara tersirat.
Ngga mungkinlah Yuna mikir begitu. Iya kan? Ngebatin sendiri, nyari dukungan sama diri sendiri juga. Padahal tinggal tanya aja sama Yuna biar ngga bingung. Siapa tau Yuna langsung bilang iya. Iya urang gelo maksudna.
Bumi memasang seatbelt-nya. Sebelum menonaktifkan rem tangan, ia memastikan kondisi Yuna dulu. Taunya, Yuna belum memakai sabuk pengamannya. Lucunya, bukan malah nyuruh pasang, Bumi malah ngelihatin Yuna. Urang kamana wae nyak? Ada yang cakep banget begini urang bisa ngga lihat?
Yuna ditatap begitu pasti dong keder. Ia memalingkan wajahnya yang terasa panas, takut Bumi lihat lalu perasaannya terbaca jelas.
Yang Yuna ngga sangka adalah saat satu tangan terulur melewati wajahnya. Yuna otomatis menoleh dan saat itu juga, jarak mereka tiba-tiba begitu dekat. Ujung hidung mereka hampir bertemu, membuat Yuna terdiam, bahkan nafasnya tersendat. Mata Bumi juga melebar, tubuhnya kaku sesaat. Detik terasa melambat.
Saat lagu berganti, memecah keheningan yang memaku mereka berdua. Dengan hati-hati, Bumi akhirnya menyelesaikan gerakannya — memasang sabuk pengaman Yuna dengan tangan yang gemetar halus. Setelah itu, ia membenahi duduknya, lurus ke depan, seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Jantung keduanya masih bertalu kencang. Masing-masing menyembunyikan debaran itu dalam diam. Bumi menginjak pedal gas dan mobil pun melaju, namun tetap tak ada kata yang terucap. Meski begitu, di wajah mereka tersungging senyuman kecil — senyum yang tak bisa disembunyikan oleh apa pun, karena sesaat tadi mereka sama-sama sadar ada asa yang terasa berubah dan menyenangkan hati.
Bumi mengulurkan tangan kirinya ke jok belakang, meraih sesuatu, lalu meletakkannya di atas pangkuan Yuna. Sebuah mini flowers bouquet yang semua bunganya berwarna putih.
“Aa? Ini apa?”
“Welcome home, Neng.”
“Apaan sih?” kekeh Yuna.
“Aa jadi supir Neng selama Neng di sini boleh?”
“Kok jadi supir?”
“Ngga boleh ya, Neng?”
“Ya kan Aa bukan supir, Yuna ngga sejahat itu kali, A.”
“Ya sudah, jadi kesayangan Neng Yuna yang anterin Neng ke mana-mana deh.”
Yuna menutup parasnya dengan buket yang diberikan Bumi, lalu memalingkan wajah menghadap kaca di sampingnya, menahan senyum, semakin terbawa perasaan.
Tangan Bumi terulur, mengusap singkat kepala Yuna. Yang diusap hatinya ambyar, meleleh pindah ke perut.
"Tidur aja, nanti kalau sudah sampai restonya, Aa bangunin. Jangan capek-capek, ya Neng? Jangan sakit."
Ya ampun, A. Jangan tembak Yuna sekarang, pelase. Ngga kuat da. Soalnya … pasti Yuna jawab — iya! Jodohin A Bumi buat Yuna dong Allah. Kalau bukan jodoh Yuna, coba tolong diatur lagi biar Yuna dan A Bumi berjodoh. Aamiin.