Salah pilih ayang sama aja salah investasi. Bukannya happy malah nyeri.
-jomblo terjebak investasi bodong-
“Anying, baek-baek setruk!”
Meski samar, Bumi masih bisa mendengar umpatan Bintang barusan. Tentu saja bukan ditujukan pada Bumi, namun ke Utara. Meski, Bumi pun merasa pusing, namun entah yang mana penyebabnya – apakah tekanan darahnya anjlok seketika atau justru menukik naik dalam sekejap sebagai akibat penemuannya malam ini.
“Sorry, aku ngga nyangka kamu bakal nelpon. Kupikir kamu mau marah-marah karena seharian aku belum nelpon kamu. Jadi, disapa semanis tadi, aku malah sibuk meleleh,” ujar Bumi, lanjut bicara dengan Yuna. Ia lalu terkekeh. Sementara Yuna nampak menaikkan kedua alisnya.
“Masih di situ ya A orangnya? Ngangguk aja, ngga usah jawab lisan, nanti malah ketauan lagi nge-prank.”
Bumi mengangguk.
“Ish! Aa sih! Bloon banget jadi cowok! Sudah Yuna bilang dari dulu tinggalin, kan akhirnya Aa yang ditinggal.”
Ngga mungkin Bumi marah. Satu, kalau ada orang di muka bumi ini yang paling sering ngasih tau dia biar ninggalin Utara, ya Yuna orangnya. Bintang dan Sam saja, sekalipun ngga sreg dengan Utara, ngga pernah frontal ngasih tau Bumi. Dua, Yuna saat ini lagi nolongin dia, Bumi harus berterima kasih kan, bukannya malah tersinggung.
“Baju kamu bagus, sayang? Coba muter, aku pengen lihat bagian belakangnya,” ujar Bumi lagi. Ngga maksud ngalihin pembicaraan, justru biar terkesan natural. Masa pacaran tapi diam-diaman?
Tersua jeda. Yuna memasang earbuds-nya, lalu meletakkan ponsel di tripod agar Bumi bisa melihat penampilannya secara keseluruhan. Ia lalu berputar, menunjukkan Bumi salah satu baju rancangannya. “Serius bagus, A?” tanya Yuna. Ia bahkan gugup menanyakan hal tersebut.
“Hmm. Bagus banget! Mbak Zia ngga minta?”
“Minta. Yang warna hitam.” Yuna beringsut, mengambil atasan dengan desain yang sama namun berbeda warna. “Ini, A. Yang buat Mbak Zia, Yuna modif sedikit biar ngga terlalu sama," jelas Yuna seraya mengangkat baju hitam itu ke depan kamera. "Yuna ngga yakin cocok buat Yuna, tapi Mbak Zia suka banget.”
“Tapi emang bagus kok. Keren ih sayangnya aku! Makin unik desainnya.”
Yuna tergelak yang terdengar begitu merdu di telinga Bumi. “Yuna lagi bikin mini collection, A. Kurikulumnya kami di sini begitu. Tahun ketiga full proyek dan eksplorasi kreatif. Nanti semester genap Yuna magang. Summer kemarin Yuna internship di Channel, lanjut lagi semester genap ini. Biar portofolio Yuna bagus. Tapi beneran kece kan, A?”
Bumi mengangguk. Senyumnya tak lekang, enggan pergi. Ia tau pasti, senang mendengar Yuna menceritakan banyak hal padanya. Tak seperti sebelum-sebelumnya di mana asal ketemu pasti berujung diketusin Yuna.
“Mau dong. Coba bikinin baju buat aku, nanti pas kamu pulang, aku pake,” tanggap Bumi.
“Sip!” sahut Yuna. “Eh, A Bumi pakai parfum Guerlain ya?”
“Iya, yang Oud Khôl. Pas banget sudah mau habis. Aku nitip ya, sayang?”
“Transfer dulu dong! Udah dibeliin nanti malah kabur atau pura-pura amnesia kan Yuna yang amsyong! Bangkrut!”
Bumi ngangguk seraya terkekeh.
Bagian lebih lucunya, Bumi bahkan lupa kalau di kafe itu ada Utara yang tengah memerhatikannya. Bumi tak tau jika tatapan Utara begitu sendu, matanya memerah menahan tangis, ekspresinya terlihat nelangsa. Bahkan, cowoknya sampai mendengus bolak-balik berhubung Utara selalu kehilangan fokusnya.
“Aa, jangan lupa info Yuna soal lukisannya. Bagus deh itu kalau di-print, sesuai juga sama tema yang Yuna usung.”
“Oke. Nanti aku telpon kamu lagi kalau sudah di rumah ya?”
“Oke, A.”
“Bye. Sayang kamu.”
Yuna tergelak. “Total banget sumpah!”
Bumi tak lagi menanggapi, ia melambaikan tangan, mengucap salam. Setelah Yuna menjawab, panggilan video itu pun berakhir. Kepalanya terangkat, tak lagi menunduk, dan tanpa sengaja bersitatap dengan Utara. Bumi santai saja, melengoskan wajah senatural mungkin, meletakkan erabuds, lalu menatap Zia seraya mengucapkan terima kasih tanpa bersuara – hanya gerakan bibir saja. Sampai detik ini Bumi masih yakin kalau Zia yang nyuruh Yuna nolongin Bumi.
Hatinya sudah cukup tenang, namun kini perutnya yang bergejolak. Tadinya ngga nafsu makan, sekarang kayaknya Bumi bisa makan banyak. Sebelum asam lambung naik, Bumi melambaikan tangannya, memanggil seorang waiters.
“Tambahan pesanan, A Bumi?”
Bumi mengangguk. “Kumaha? Damang, Vad?” balas Bumi kemudian pada waiters tersebut. (Gimana? Kabarmu baik, Vad?)
“Damang alhamdulillah, A,” jawab Vadi. “Aa ngga nyanyi?” (Baik.)
“Makan dulu, abdi lapar.”
“Pesan apa, A?”
“Saya pesan … Happiness Bowl, Warm My Heart, and I Want to Kiss Her.” Di kafe ini, menunya memang sepuitis itu, tapi ngga usah khawatir bingung, karena penjelasan tentang isi dari hidangan juga disebutkan setelahnya.
“Ada lemon ginger shoot, A. Perlu ngga?”
“Mau, Vad. Sekalian ya?”
“Oke. Ada lagi, A?”
“Cukup. Hatur nuhun.”
“Sami-sami, A.”
Begitu Vadi pergi, kembali ke posisinya, meja yang dipenuhi geng 404 Not Found – nama geng persepupuannya Bumi – semakin meriah. Adalah Rain sang biang kerok yang melontarkan jokes-jokes sindiran. Betul memang, jangan mancing orang introvert marah, karena urusannya bisa sampai ke kantor polisi atau poli kejiwaan. Kalau marahnya sampai kepancing, yang nyari gara-gara bisa ngenes seumur hidup. Ya gimana Rain ngga marah, Bumi kan adiknya, mana dia juga tau banget gimana berjuangnya Bumi buat Utara. Eh tau-tau disia-siain, pake acara bilang Bumi baperan dan ngga tau diri! Rain yang tau Bumi dari lahir aja ngga pernah ngerasa Bumi begitu.
Namun, bukannya ikutan dalam keseruan itu, Bumi malah menyalakan layar ponselnya lagi. Kali ini yang jadi fokusnya adalah lukisan yang diminta Yuna. Lukisan abstrak yang hanya menggunakan tiga warna. Putih, hijau, dan coklat kemerahan seperti warna tanah liat. Warna hijau menyebar dan bergradasi di sudut atas, menghadirkan bayangan dedaunan yang segar. Lalu, semburat merah lembut sampai menjadi coklat kemerahan yang bergradasi hingga sudut bawah, seperti pantulan sinar matahari di dinding tanah liat. Tekstur kasar yang tebal menambah dimensi, sebagai perwakilan emosi Bumi yang tengah kacau. Setiap goresannya adalah harapan Bumi yang pupus, tentang ia yang berharap hubungannya dengan Utara menenangkan dan hangat. Namun, tak lagi bisa dipaksa, karena sebuah hubungan hanya akan berjalan jika diupayakan oleh kedua belah pihak. Mungkin itu sebabnya latar belakang putih – sebagian Bumi biarkan bak kanvas kosong, seolah mewakili isi hatinya yang kini sepi.
Lalu, seseorang mencolek punggung Bumi, membuyarkan semua lamunan. Bumi menoleh ke arah pelaku. Adalah Rio, abang yang paling dituakan di geng tersebut. Tanpa mengerti apa yang tengah mereka semua bahas, di mana awal mulanya, Bumi mulai menyimak dari kalimat yang dilontarkan Rain. "Aku orang yang cukup baik untuk memaafkan, tetapi tidak cukup bodoh untuk mempercayaimu lagi. Tah eta! Camkan Bum!” Sekalinya nyimak auto berasa tertohok. Mana Rain kayak abis nelan toa. (Nah itu!)
Dipikir-pikir, yang Rain bilang memang benar, lima tahun bukan waktu yang singkat untuk menguji kepercayaan, dan melihat Utara secepat itu berpaling, seolah membuktikan jika selama ini Bumi salah mempercayai orang.
“If someone can walk away from you, let them. The way they leave tells you everything. You deserve someone who is terrified of losing you. Not someone who is indifferent to your presence,” sambung Rio yang terdengar seperti tamparan bagi Bumi. Cara Utara meninggalkannya memang menunjukkan arti dirinya ke Utara – yang ternyata bukan siapa-siapa. Bahkan hari itu, saat Utara kembali ke meja mereka karena ponselnya tertinggal, sempat-sempatnya perempuan itu menegaskan, “mulai sekarang, kita jalan masing-masing aja, ngga lagi ada hubungan apa pun, termasuk persahabatan. Kita cuma kebetulan satu sekolah saat SMA.”
Lalu … beberapa langkah di sana, Utara berdiri dari duduknya, pergi begitu saja meninggalkan Bams yang tampak kebingungan. Apa Utara nyimak yang diomongin di meja ini? Dih, aneh da, kepoin mantan sahabat kok sampai baper! Sudah gitu, Bams ngga ngejar Utara sama sekali. Padahal dulu urang mah paling ngga kuat ditinggalin begitu. Bisa-bisanya eta cowok adem pisan? Hebat euy!
“You’ll be fine.” perkataan Rain barusan membuat Bumi menoleh kembali ke abang sepupunya itu.
“I know, A,” tanggap Bumi, tersenyum hangat.
“Aa teh harusnya begitu tau!” ujar Cantika, salah satu sepupunya Bumi juga, tapi masih piyik, masih 17-tahun, lagi kiyut-kiyutnya.
“Naon, Ca?” tanggap Bumi. (Apaan, Ca?)
“Harusnya dulu Aa ngga usah da ngejar-ngejar eta perempuan ngga jelas. Kalau dia ngambek mah biarian aja.”
“Ngga bisa, Ca.” Samudera yang menanggapi. “Kita nih ngga dilahirkan dalam mode acuh tak acuh begitu.”
“Kayak ngerti aja maneh acuh tak acuh apaan,” sinis Bintang.
“Susah, Ca. Gen bucinnya Ayah Edo terlalu kental diturunkan ke trio Wisesa ini,” tanggap Reina – istrinya Rio. “Tau kan kelakukan bucin? Disuruh pergi aja, dia tetap ngekor, apalagi ditinggal, yang ada dia kejar. Lima tahun lho, Ca! Sampai ganti Presiden! Ih, pengen banget gue garuk muka tuh cewek pakai garpu jerami! Jiwa psikopatku meronta-ronta.”
“Koplok emang A Bumi.” Yang barusan ngomong adalah Anne, si paling ayu dan lemah lembut di antara mereka. Seketika keheningan mengisi meja. Semuanya shock mendengar umpatan Anne. Koplok adalah frasa kasar dalam bahasa Sunda, yang artinya g0blok. Membayangkan Anne mengatakan hal itu, sunggung mencengangkan. Lalu … mereka tergelak bersama, memberi tepuk tangan pada Anne yang akhirnya bisa mengumpat.
“Perlu rukiyah, Ne?” ujar Ben – cowoknya Anne – yang duduk di sampingnya. “Jangan sampe sepanjang jalan pulang aku dikoplok-koplokin!” Anne malah terkekeh, menyandarkan keningnya ke lengan Ben.
“Bum?” tegur Zia kemudian.
“Apa, Teh?”
“Ada satu pesannya Papa ke abdi. Kayaknya sih ditanamin juga di otaknya Mas dan Yuna. Kata Papa; a relationship that doesn’t make you happy or helps you grow is a bad investment. In Indonesia we said … investasi bodong!”
Bumi terkekeh. Namun, setelahnya ia mengangguk. Paham apa maksud Zia. Ya, saat kita mencintai seseorang, apalagi ingin hidup bersama, artinya kita mempertaruhkan sekaligus menginvestasikan sisa usia kita bukan? Dan kalau investasinya salah, kita yang rugi. Bukan cuma soal waktu, tapi juga hati.