1: JOMBLO YANG MENGENASKAN

1970 Kata
Kepinginnya maksain cinta. Taunya lihat si dia sayang-sayangan sama yang baru. - jomblo yang mengenaskan - “Mau jalan jam berapa, A?” tanya Edo seraya menyodorkan segelas air dingin untuk putra sulungnya. Ayah dan anak itu nampak kompak, sama-sama mengenakan setelah hitam-hitam, duduk dengan melipat kaki kanan ke atas paha, gerakan mengangkat gelas yang sama, bahkan tampannya sebelas-dua belas. “Agak malas da Aa, Yah,” jawab Bumi. Ia lalu meneguk air pemberian sang ayah hingga tandas. “Ada masalah sama yang lain?” Maksud Edo, sama para sepupu yang sudah menunggu Bumi di sebuah kafe di kawasan Kemang – Jakarta Selatan. Jarang-jarang mereka bisa kumpul 90% lengkap. Dan kafenya juga salah satu tempat favorit Bumi, terlebih malam ini yang bakalan live perform di kafe tersebut adalah teman-temannya. Edo dan istrinya dikaruniai empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Ketiga pria penerusnya itu terlahir dalam keadaan yang bisa dibilang sudah serba ada. Tapi, jangan pernah bayangkan tiga bujangan ini doyan petangtang-petengteng atau bergaya borjuis pakai duit orangtuanya. Sedari SMA, ketiganya sudah biasa mandiri. Hobi nge-gig dari kafe ke kafe, Bumi dengan lukisan-lukisannya yang kerap ia monetize, Bintang yang rajin bikin parfum ‘oplosan’ dari sisa biang parfum di tokonya Edo, dan Samudera yang kerjaan sampingannya memberi terjemahan ke bahasa Indonesia dari drama-drama China yang masuk ke sini. Ayahnya sok pelit, biar anaknya kreatif. Tapi itu Edo lakukan karena ia tau anak-anaknya mampu. “Malas bergaul itu salah satu tanda depresi lho, A. Aa kan bukan introvert,” ujar Edo lagi. “Iya, Yah,” tanggap Bumi, lebih terdengar seperti gumaman. “Masih kepikiran Utara?” “Bumi teh gobl0k pisan ya, Yah?” Curhat yang tiba-tiba! Edo menatap lekat putra sulungnya, mengacak-acak puncak kepala Bumi. “Henteu atuh, A. Namanya juga cinta, lagian yang Aa lakukan selama ini kan menjaga hati, setia sama seseorang yang Aa pikir sayang sama Aa. Kalau ternyata dia ngga sayang, masa Aa yang salah?” “Bingung aja gitu, Yah. Rasanya ada yang salah da. Masa iya Utara ngga punya perasaan sama Aa? Tapi, Aa juga capek sih, Yah.” Edo menghela napas, merasa iba dengan putranya. “Kalau capek jangan diterusin. Jangan dikejar lagi.” “Kenapa, Yah?” “Dalam satu hubungan, kalau sudah sampai di titik capek, tinggal nunggu ilfil aja. Dipaksa pun percuma, kalian hanya akan berulang kali menguji kesabaran satu sama lain. Ujung-ujungnya cuma bertahan karena terbiasa, atau berpisah.” “Aa pikir … selama dua minggu ini Aa diam aja, Utara akan ngubungin Aa.” “Ngga ada sama sekali?” Bumi mengangguk lesu. Edo mendengus keras. “Pengen bakar rumah orang nyak, A? Rumah siapa tapi yang rela dibakar?” Bumi terkekeh, sang ayah pun menyambut. Edo mengulurkan tangannya, merangkul hangat sang putra. “Sana berangkat! Kesedihan itu ngga boleh dipelihara, harus disalurkan ke hal-hal yang baik. Nge-gig kek, ngobrol kek, do something!” “Iya, Yah.” Satu jam kemudian, Bumi sudah tiba di kafe tujuannya, salah satu tempat yang cukup dikenal di Kemang dengan suasana hangat dan intim. Fasad kafe itu dihiasi dengan lampu-lampu temaram yang menggantung di sepanjang teras luar, memberikan sentuhan romantis dan artistik, seakan menyambut pengunjung untuk melebur dalam atmosfernya. Namun, Bumi tak langsung turun dari mobilnya. Ia justru sibuk menatap layar ponselnya, tepat di aplikasi chat dengan nama Utara di bagian atas. Komunikasi terakhir mereka adalah saat sebelum ‘semuanya berakhir.’ Bumi lalu membuka satu-satunya sosial media miliknya, mendapati beberapa notifikasi dari sebuah lukisan yang ia posting di feed-nya. Seperti biasa, Bumi hanya membaca cepat. Namun, salah satu komentar membuatnya tertarik menahan waktu. DyazYuna A, jual ke Yuna tapi didigitalin buat di-print ke kain boleh teu? Bumi langsung mengetuk tombol reply di komentar Yuna tersebut. RayaBumi Nanti Aa hubungin ya? Masih di jalan soalnya. Dan herannya, secepat kilat balasan dari Yuna ia terima. DyazYuna Oke! Awas lho lupa! RayaBumi Kalau lupa teh gimana? DyazYuna Ya jangan lupa atuh ih. RayaBumi *emoji-tertawa* Oke, Neng! Siap! Langsung masuk reminder nih. DyazYuna Hatur nuhun, Aa Jungkook. RayaBumi *emoji-tertawa* sami-sami, Neng. Lucu ya? Perbincangan ringan saja, membuat sesak di dad4 Bumi terasa lebih ringan. Ia pun tak lagi membuang-buang waktu. Mesi ia matikan, turun dari mobilnya, tak lupa membawa gitar kesayangan yang ia sampirkan di bahu. Begitu Bumi melangkah masuk, dentingan gitar akustik dan suara bass mulai menggema, mengiringi suasana malam yang mulai ramai. Getaran musik langsung terasa dari arah panggung. Nampak teman-temannya yang sedang soundcheck di sana, di salah satu sisi kafe yang menjadi pusat perhatian. Namun, yang lebih dulu ia lakukan adalah mencari di mana para sepupunya berada lalu mencengir dan melambaikan tangan pada mereka. Di sekeliling panggung terdapat beberapa kursi panjang bertingkat dua yang mengingatkan kita pada tribun penonton, lalu permukaan datar ke belakang diisi meja dan sofa-sofa. Dan semuanya, reserved atau terisi. Bumi naik ke panggung lebih dulu, menyapa singkat teman-temannya dari Timber Tunes band. “Nyanyi kan maneh?” tanya Brox – si vokalis. “Nggalah, urang mau santai-santai,” jawab Bumi. “Oh tidak bisa!” timpal Dareen – si pianis. “Apa itu santai-santai tanpa main musik?” “Nanti di panggil, maneh kenyangin perut heula,” timpal Kalil – si gitaris. “Maneh kok makin kasep, Bum? Bisa kalah tenar urang, euy!” Si Jazver anak cajón, komennya malah ngga nyambung. “Yakin maneh pada ngizinin Bumi naik panggung?” “Dia ngga ikut nge-gig karena ngurus nikahan, bahlul!” tanggap Brox. “Oh iya bener juga.” “Maneh demensia nyak?” "Ngga. Sebel aja kalau ada yang lebih kasep dari urang.” Padahal mah Jazver cakepnya juga ngga kalah. Kalau Bumi lokal punya, sementara Jazver interlokal alias blasteran bule. Emang dasar Jazver aja suka ngerusuhin batin. “Eh, anying,” ujar Kalil lagi. “Ngomong yang bener maneh!” omel Bumi. “Bumbum! Maneh sudah bubar sama eta Utara TimurLaut?” “Timur Tenggara Selatan BaratDaya Barat BaratLaut Utara TimurLaut,” dendang Dareen sebagai jeda yang membuat kelimanya tergelak bersama. “Jadian aja ngga pernah, gimana bisa bubar?” Brox yang protes. “Bubar saling ngegebet maksud urang.” Bumi memerhatikan gelagat teman-temannya yang larak-lirik ke satu titik pandang, membuatnya curiga dan akhirnya paham mengapa kakinya begitu berat datang ke kafe ini. “Orangnya ada di sini ya?” tanya Bumi. “He euh,” jawab Dareen, sementara yang lain hanya mengangguk. “Kok bisa?” Kening Bumi otomatis mengerut. “Utara paling ngga suka ke kafe dengan live music kayak begini. Berisik ceunah,” ujar Bumi lagi. Jazver mengulurkan tangannya, memijit kening Bumi biar kerutannya ngga jadi permanen. Masa baru 23-tahun sudah ngalamin penuaan dini? “Gagal, Bum?” tanyanya kemudian. “Iya. Urang juga nyerah,” jawab Bumi. “Iyalah. Ngapain ngejar yang ngga mau sama maneh? Besar kepala nanti dia. Ngga usah ngabisin waktu,” tanggap Jazver. “Setuju!” tanggap Kalil. “Ya sudah, urang gabung sepupu-sepupu ya?” “Si Eldra nanti kita panggil juga,” ujar Brox lagi. “Bintang dan Sam nyanyi teu?” "Teuing da. Coba aja nanti panggil kalau ada spot. Tapi kayaknya mah males mereka kalau habis nge-WO.” “Ya sudah, maneh aja sama Eldra.” “Oke.” Bumi berbalik, memandang langsung ke meja tempat para sepupunya berada. Ia sengaja tak menyapukan tatapan, khawatir bersirobok dengan Utara. Meski sepertinya, hal itu tak bisa dihindari. Sejak tamat SMA, Bumi begitu bahagia karena bisa memanjangkan surai legamnya. Jika itu masih sebatas leher, Bumi suka menguncir tengah. Namun jika sudah lebih panjang, ponytail jadi andalannya. Namun, begitu Utara menolaknya, surainya ia pangkas dengan sadis. Buang sial katanya. Sial di PHP-in yang berujung patah hati. Sekarang surainya Bumi ditata fringe haircut style yang pendek berponi. Cukup itu saja yang berubah, karena deretan anting masih mengisi telinganya. Bumi bahkan sudah berpikir untuk menindik bibir, tapi kata Edo – kalau nanti punya cewek mau kisseu susah, mikir lagi kan tuh jadinya. Baru beberapa langkah yang lunas, titik pandangnya bertemu dengan Utara. Memang tak mungkin menghindar, karena lorong yang Bumi jejaki menuju mejanya juga bersisian dengan meja yang diisi Utara dan seorang cowok. Bumi masih mencoba berpikir positif, enggan memprovokasi kesabarannya. Baru dua minggu, pasti temannya da! “Bumi?” lirih Utara yang lebih terdengar seperti suara tikus kejepit pintu. “Hai,” balas Bumi, riang. Lebih tepatnya, ia berusaha terlihat baik-baik saja. “Tumben ke kafe begini?” tanya Bumi kemudian. Entah apakah Utara sadar, jika bibir dan mata Bumi menunjukkan emosi yang bertolak belakang. “Siapa ya?” Cowok yang bersama Utara mengiterupsi. Bumi menoleh ke pria itu. Mencoba memindai sosoknya dengan kecepatan kilat. Sepertinya umurnya lumayan beda jauh sama Bumi dan Utara. Meski kalau dibilang omnya Utara ngga mungkin juga. Dengan mengucap basmallah dalam hati terlebih dulu, Bumi mengulurkan tangannya. Si cowok menyambut tanpa sungkan, menjabat tangan Bumi tanpa ragu. “Bumi, teman SMA-nya Utara.” Jujur saja, Bumi berharap Utara meralat ucapannya. Lima tahun setelah ciuman penuh kasih itu, dan juga banyak hal yang mereka lewati bersama, masa iya cuma temenan? Sayangnya, hingga si cowok merespon, Utara tetap diam saja. “Bams, cowoknya Utara!” Mood Bumi hancur seketika. Petir, badai, hujan deras, gempa bumi, kebakaran bak datang serempak mengiringi remuk hatinya. Namun, di luar, ia tetap berusaha mempertahankan senyum termanisnya. “Ah, I see,” gumam Bumi yang terdengar tanpa sentuhan emosi di telinga Utara. “Sendiri, Bum?” tanya Bams lagi. “Ngga, tuh rame-rame,” jawabnya seraya mendelik ke meja yang personilnya tanpa malu fokus memerhatikan mereka. Gelo emang sepupu-sepupu urang! “Ya sudah, have fun kalian berdua,” pungkas Bumi, enggan berlama-lama menguji kesehatan mentalnya. Bumi memilih tempat duduk paling pinggir, berusaha tetap tersenyum karena khawatir Utara melihat kenestapaannya. Ngga boleh! Ngga ada lagi sedih karena Utara! Dan Utara ngga boleh lihat urang kacau! We’re done! Rain, salah satu sepupunya, menggeser minumannya ke hadapan Bumi. “Abdi pesan aja, A,” ujar Bumi. “Minum atuh ih. Sehat kok gue,” timpal Rain. “Nuhun.,” balas Bumi kemudian. Namun, baru sekali ia meneguk, belum juga padam api di dalam hatinya, suara tumbukan berulang antara ponsel Bumi dan permukaan meja, mengalihkan perhantiannya. Yang bikin Bumi bingung, kok Yuna menghubunginya? Video call pulak! Dikira urang sudah di rumah kali ya? Atuh si Neng teu sabaran. Kebiasaan Bumi, kalau bingung, kening yang jadi korban, auto berombak. Dengan ekspresi seperti itu, ia menggeser ibu jarinya ke tombol terima. “Yuna?” tegur Bumi. “Eh, Aa Jungkook kesayangan Yuna! Makin kasep iiih! Yuna kangen banget tau, A!” Yang ada Bumi cengo. Dagunya jatuh seperti di komik-komik yang bukan obat batuk. Jungkook udah biasa. Yuna kalau lagi ngga kesal sama dia emang suka manggil begitu. Tapi ‘kesayangan Yuna’ dan kasep? Mana suara Yuna terdengar begitu kencang dan lantang, yang sayangnya tidak disadari Bumi. Keburu shock soalnya. Astaghfirullah, hari ini matahari terbit dari mana ya? Masih dari Timur atau sudah dari Barat? “Kok malah bengong sih?” ujar Yuna lagi, sambil terkekeh kayak ngga punya dosa. “Ngga suka ya Yuna nelpon pas Aa lagi hangout?” Bumi masih butuh waktu, untuk mengingat-ingat arah matahari terbit tadi pagi. Dan baru agak sadar saat ia melihat tangan adiknya – Bintang – terulur dan menekan tombol penurun intensitas volume. Maklum saja, Bumi kan habis tugas, as team leader WO. Namanya di ruangan ramai begitu, pasti volume ponsel maksimal punya. Dan entah kenapa, distraksi yang ditimbulkan Bintang itu membuat Bumi tanggap. Ini pasti ada urusannya dengan Zia – istri Rain yang juga kakaknya Yuna. Tuh orangnya duduk di samping suaminya. Mungkin Rain dan Zia ngga rela Bumi tersakiti, terlihat gagal moved on. Dan Yuna berbaik hati untuk menolongnya. Kayaknya begitu, ngga mungkin juga kan urang tiba-tiba jadi kesayangannya Yuna? “Aa?” tegur Yuna lagi. Bumi akhirnya menghena napas. Ia tersenyum, menyambut kesempatan. Oke, let’s play the mind games! “Aku ambil earbuds sebentar ya, sayang?” Sayang ngga tuh? Tiba-tiba urang punya cewek beneran!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN