Namaku bukan SEBASTIAN, apalagi ‘SEBAtas teman tanpa adanya kepaSTIAN.’ HTSan sekian tahun, ngga jadi jaminan dia mau berakhir di atap yang sama dengan kamu!
– jomblo yang diputusin –
“Nikah?”
Bumi agak bingung dengan nada suara Utara.
“Iya, Ra … kita menikah yuk?”
Utara terdiam, tatapan matanya tampak kosong, seolah pikirannya melintasi waktu, dan tak berada di masa kini bersama Bumi.
"Utara?" tegur Bumi, mencoba mengembalikan fokus perempuan yang dicintainya.
“Kita?” Terjeda diam sesaat. “Nikah?” lirih Utara, nyaris tak terdengar di telinga Bumi.
Kening Bumi otomatis mengerut. Kok kayak ngerasa aneh gitu?
Pasalnya, mereka sudah saling mengenal dari zaman putih abu-abu. Akrab dalam tameng persahabatan, meski kalau Bumi agak-agak manja ke Utara dan nunjukin perasaan istimewanya, Utara fine aja, tidak ada penolakan. Mereka sama-sama tau kalau saling mencintai. Bumi selalu berusaha ada untuk Utara, dan Bumi sangat yakin jika Utara pun demikian padanya. Bahkan, mereka sudah pernah berciuman, meski itu hanyalah satu momen di mana keduanya menyatakan perasaan, tanpa berarti melangkah ke hubungan yang lebih dalam – pacaran.
“Ada apa, Ra?” tanya Bumi lagi.
“Justru kamu yang ada apa? Kok tiba-tiba ngajak nikah?”
Lipatan di kening Bumi semakin menjadi. “Ra, kita dekat dari tahun terakhir SMA. Berarti sekarang sudah enam tahun. Bagian mananya yang aneh dengan aku ngajak kamu nikah?”
“Kita temenan doang, Bumi!”
Ketahuilah, cuaca Bandung begitu cerah hari itu. Udaranya pun sejuk. Bahkan untuk datang ke kafe ini saja, tumben-tumbenan Bumi tidak terjebak kemacetan. Ia jadi agak lama menunggu Utara tadi, berhubung Utara langsung ke sini dari Depok. Tapi, Bumi tak kesal sama sekali, karena yang ada di pikirannya, hari ini ia akan melepas masa jomblonya secara resmi. Punya Utara yang bisa ia pamerkan sebagai pacar. Selang beberapa bulan mereka bertunangan. Lalu begitu Utara selesai dengan pendidikan koasnya, mereka menikah. Semua rencana itu sudah rapi di kepala Bumi. Dan Bumi ngga pernah memasukkan frasa ‘temenan’ dalam planning-nya.
Bumi menarik napas panjang, kemudian menghela perlahan. Ia melakukan itu seraya mengelus dadanya. Rasanya … nyeri.
“Oke. Temenan akhirnya menikah juga bukan dosa kan, Utara?” balas Bumi. Ia malas berdebat, karena ia tak pernah menang saat debat dengan Utara. Ia tak pernah kuat saat akhirnya Utara terlihat sedih, atau marah padanya. Bumi selalu seperti ini, mengalah demi Utara.
“Ngga dosa. Tapi aku bukan orang yang bisa melakukan itu! Aku ngga nikah sama temanku!”
Awan gelap tiba-tiba menyelimuti kota Bandung. Bunyi guntur dan kilatan petir saling sinambung menyambut hujan deras yang datang tanpa aba-aba. Bumi hanya bisa memandang Utara dengan tatapan yang semakin kelam, bukan karena cuaca buruk, namun karena kata-kata yang diucapkan perempuan di depannya barusan. Napasnya tercekat, seolah ribuan pertanyaan memenuhi kepalanya, namun tak satu pun mampu keluar.
"Jadi selama ini ... aku benar-benar hanya teman bagi kamu," suara Bumi bergetar, mencoba menahan gejolak emosi yang mendadak meluap. Ia tidak bertanya, hanya bergumam sendiri.
Utara tak langsung merespon, hanya menghela napas panjang sebelum memalingkan wajahnya ke jendela, menatap derasnya hujan yang kini mengguyur jalanan. Jika diperhatikan, ia tampak ragu, seakan tengah mencari kata-kata yang tepat.
"Aku ngga pernah minta lebih, Bumi. Kita dekat, iya. Tapi buatku, kamu bukan seseorang yang ... bisa jadi bagian hidupku dengan cara seperti itu," jawab Utara akhirnya. Suaranya terdengar begitu dingin. "Kamu baik dan menyenangkan, tapi aku ngga ngelihat kita lebih dari sekadar teman."
“We have kissed before, Utara. Kamu juga bilang kamu cinta aku, kamu tulis di telapak tanganku! Apa ada teman yang melakukan itu? Dan aku juga bilang, satu hari nanti aku akan meminta kamu untuk jadi milikku. Kamu juga tau kan, aku selalu berusaha ada buat kamu. Aku ngga meminta lebih – memohon agar kamu memikirkan hubungan kita – karena kamu yang minta, kamu ingin meraih cita-citamu dulu. Aku paham! Aku melamar kamu saat ini bukan berarti kita akan menikah begitu pulang dari sini. Kalau itu yang kamu khawatirkan, tinggal jelasin ke aku, ngga perlu berdalih kalau selama ini kamu cuma nganggap aku teman!” Jelas, Bumi gusar luar biasa. Ia merasa jika Utara tak jujur padanya. Atau lebih tepatnya, ia takut Utara membodohinya. “Ngga lucu, Ra!”
Bumi menunduk, merasakan sesuatu yang patah di dalam dirinya. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin mengungkapkan semua perasaan yang selama ini dipendam. Tentang semua upayanya, tentang kekecewaan yang kerap ia teguk karena respon Utara tak seperti bayangannya. Namun, ocehannya hanya sampai di sana.
“Aku ngga lagi ngelawak,” ketus Utara.
“Utara ... aku sudah terlalu sering ngorbanin perasaanku untuk kamu,” balas Bumi, kali suaranya terdengar lebih tegas. “Setiap kali kamu menolak untuk lebih dekat, aku selalu bilang ke diriku sendiri, ‘mungkin belum waktunya, mungkin kamu butuh waktu.’ Tapi sekarang, kamu bilang kita cuma teman? Selama ini kamu biarkan aku berharap, lalu sekarang kamu bilang begini?”
Kini kening Utara yang kerutannya berlapis-lapis. Jangan lupa, tatapan sinis dan tajamnya. “Seingatku, aku ngga pernah janji apa-apa. Kamu aja yang terlalu baper! Seperti yang kamu bilang, lima tahun berlalu sejak kita ngungkapin perasaan. Apa kamu pikir ngga akan berubah? Segitu naifnya kamu, Bum? Terus, kamu yang baper, tapi nyalahin aku?”
Kata-kata itu menghantam Bumi seolah Utara baru saja menamparnya sekuat tenaga.
"Jadi semua ini hanya di kepalaku, ya?" Bumi tersenyum pahit. “Berarti ... aku yang bodoh.”
Utara diam saja, tak menimpali omongan Bumi barusan.
"Oke. Ini yang terakhir, Ra. Terakhir kali aku merendahkan diriku di depan kamu. Terakhir kali aku biarkan diriku tersakiti karena berharap pada seseorang yang jelas-jelas ngga pernah melihat aku lebih dari sekadar teman."
Seketika suasana kafe terasa begitu menyesakkan. Suara hujan di luar terdengar kian samar dan ketegangan menggantung di udara.
“Playing victim!” balas Utara, sinis. “Kamu ngerasa kalau kamu korban di sini? Kamu yang ngga tau diri! Kamu kok yang baperan, aku ngga pernah bersikap melewati batas!”
Bumi tertegun. Kata-kata itu menggema dalam pikirannya. ‘Gak tau diri, baperan’.
Utara berdiri dengan cepat, meraih tasnya, lalu sebelum melangkah, kata-katanya bak pukulan terakhir yang dilayangkan untuk menghancurkan hati Bumi. “Aku ngga mau lagi berurusan sama kamu. Jangan pernah tanya apa-apa lagi soal ini.”
Bumi hanya bisa menatap punggung Utara yang menjauh, meninggalkannya di tengah hujan yang makin deras. Terdiam, tertegun cukup lama, hingga akhirnya Bumi sadar... semua yang selama ini ia perjuangkan, semua yang ia korbankan untuk Utara, berakhir sia-sia.
Ini yang terakhir. Cukup! Ngga boleh lagi ada rasa sakit karena Utara!