8. Penyusup

2012 Kata
"... meski harus melawan Kakak." Hansel sempat tertegun melihat keakraban keduanya, yang membuatnya teringat Aidan. Rayn tersenyum samar, mengangguk. Anak lelaki itu kemudian mendekati Hansel dan mencabut pisau yang tertancap di sana. Hansel seketika memekik. Mengepalkan tangan, anak itu mengabaikan tetesan darah yang membasahi lantai, menatap murka Rayn. Dia bangkit, walau pusing, mencoba menjangkau Diandra. "Aku─" belum selesai Hansel berujar, dia sudah tumbang ke pangkuan Diandra. "Dieter? Hei, Dieter, bangun! Kakak, bagaimana ini?" Rayn tampak berpikir. Saat ini kedua orangtuanya menghadiri perjamuan dalam rangka merayakan kemenangan Kerajaan Alhanan di istana. Kalau Rayn membawa Hansel keluar untuk pengobatan, tidak akan ada yang menjaga rumah selain pengawal dan pelayan, dan dia tidak mau membiarkan Diandra sendirian, sementara Diandra sendiri tidak boleh keluar rumah. Kalau memanggil tabib dari luar pun tidak mejamin bisa dipercaya. Tapi membawa keluar Hansel dari rumah tanpa izin ayahnya, itu lebih berbahaya. Apa yang harus dia lakukan? "Kakak berpikir terlalu lama! Pendarahannya tidak mau berhenti." Rayn masih memikirkan strategi yang bagus untuk keselamatan semua orang. "Kakak! Lakukan sesuatu, badannya semakin panas dan keringatnya keluar terus. Cepat kirim seseorang untuk memanggil Ayah." "Jarak istana sangat jauh dari sini, itu bisa perjalanan satu pekan dengan kuda berkecepatan tinggi sekalipun. Pembawa pesan malah akan berakhir berselisih jalan dengan ayah yang akan pulang." "Aku tidak mau tahu, Kak. Lakukan sesuatu untuk menolong Dieter!" "Baiklah, kita bawa dia ke balai pengobatan di ujung desa." Rayn pikir tidak masalah membawa keluar Hansel karena desa ini diisi para prajurit Alhanan. Sayangnya, Rayn lupa satu hal, meski ada ribuan prajurit di desa itu, bisa saja seseorang menyusup ke sana dalam penyamaran.   ◊ ◊ ◊   "Kau yakin bisa memercayai Cibil?" Viona fokus mengawasi jalanan di depan kediaman Langford dari tempatnya sembunyi, di balik semak yang berjarak ratusan meter. Setelah melewati tembok pertama dengan menyamar sebagai rombongan sirkus, Dieter dan Viona berhasil menemukan kediaman Lincoln sesuai petunjuk Cibil. Mereka pun berpisah dengan rombongan sirkus yang ingin ke istana untuk menjadi penghibur di Kerajaan Alhanan. Sebelum berpisah, Joker bertindak aneh dengan memberikan sebuah gelang yang terbuat dari senar yang diputuskannya dari harpa. Anak lelaki itu berkata, "Aku tidak punya benda berharga apa pun untuk diberikan kepadamu, tapi tolong bawalah senar ini sebagai ganti diriku. Saat kau kesulitan, gelang ini akan menuntunmu kepadaku." Dieter memijat pelipisnya kala mendengar kalimat Joker itu tadi. "Kalau aku tidak memiliki kesulitan, tapi ingin bertemu denganmu, bagaimana? Apakah gelang ini bisa menuntunku juga?" tanya Viona seolah enggan berpisah. Joker tersenyum, merapikan rambut panjang Viona, menatap lekat iris hijau gadis itu yang seperti maniknya. "Benar. Kita pasti bertemu lagi, kapan pun kau ingin." Dieter memberikan teropong ke Viona, mengenyahkan lamunan gadis kecil itu tentang Joker. Pengawal tersebut lantas melakukan peregangan, lalu memakai janggut dan kumis palsunya, bersiap menyamar menjadi seorang tabib. "Aku percaya Cibil meski tidak percaya ramalan. Dia yang telah menuntun kita sampai sejauh ini. Ingat, Vio, kau jangan ikut campur meskipun melihatku sekarat." Viona terpekur, hanya mengangguk patuh. "Berhati-hatilah. Waktumu sampai langit berubah oranye. Lewat dari itu, aku akan menerobos masuk ke dalam sana dengan segala cara." Dieter tahu Viona tidak asal mengancam. Gadis itu memang nekad kalau menyangkut Hansel. Dia bahkan pernah melukai tangannya sendiri demi menutupi kebohongan Hansel di depan Myra. Kejadian itu setahun lalu saat Hansel berbohong, mengatakan terpaksa ke kamar Aidan untuk mencari obat karena tangan Viona terluka, padahal Hansel ingin mengambil pisau Aidan untuk belajar bela diri agar bisa diajak ke luar kerajaan. Saat mencuri dengar percakapan ibu dan anak itu, Viona langsung ke dapur dan mengiris telapak tangannya. Begitulah kesetiaan Viona terhadap Hansel. Tidak ada yang bisa menyainginya. Dieter mengepalkan tangan. Dia harus menyelamatkan dua nyawa dalam satu misi malam ini. Hansel dan Viona. "Kau tidak perlu melakukan apa pun. Aku akan mengubah takdirmu." Dieter mengusap kepala Viona. "Aku sudah berjanji kepada Ayah untuk melindungimu." Dia lalu ke luar tempat persembunyian, dengan jalan sedikit membungkuk. Viona mengamati Dieter yang mendatangi gerbang kediaman Lincoln dan berbicara dengan seorang penjaga di sana. "Kami tidak memanggil tabib," kata si penjaga. "Maaf, Tuan, sepertinya aku salah rumah," ujar Dieter, bersiap pergi. "Tunggu, apa kau bilang, kau seorang tabib?" tanya seorang pelayan yang baru datang dengan tergesa dan akan memberi tahu sesuatu kepada penjaga gerbang. Dieter mengangguk. "Benar, Nyonya." "Buka gerbangnya," kata si pelayan wanita. "Tuan Muda Rayn baru saja memberi perintah untuk membawa teman Nona Diandra ke tabib di desa ujung benteng, tapi jika ada tabib di sini, mereka tidak perlu ke sana." Si penjaga mengangguk paham, lantas membuka gerbang besar tinggi itu. Derit karat pintu gerbang membawa Dieter masuk. Dipimpin si pelayan, dia mengamati bangunan dua lantai yang megah ini. Benar kata Cibil, rumah Lincoln adalah satu-satunya kediaman di dalam benteng selain perkemahan prajurit. Dieter mengamati setiap jalan yang dia lalui, merekamnya dalam otak. Setelah melalui gerbang, dia melihat seorang anak lelaki rambut hitam berponi menyamping yang memiliki anting bentuk salib; dia Rayn, yang hendak menuju gerbang. "Kenapa lama sekali?! Apa kau sudah menyiapkan kereta kuda?" tanya Rayn kepada pelayan. "Maaf, Tuan Muda, saya lama karena mendengar kedatangan seorang tabib. Kita bisa memakai jasanya tanpa perlu ke ujung benteng." Rayn kini menatap Dieter yang telah menyamar, dia mengernyit sesaat seolah mencurigai sesuatu. "Kau benar seorang tabib?" Dieter mengangguk, sedikit membungkuk. "Benar, Tuan Muda." "Ikut aku!" titah Rayn, langsung berjalan sedikit cepat ke dalam rumahnya. Mereka melewati aula, menuju perpustakaan. Dieter terkejut melihat kondisi Hansel yang mengenaskan. Hampir saja dia menjatuhkan buntelan kain berisi obat herbal. "Tabib, tolong selamatkan dia." Diandra yang tadinya memangku kepala Hansel, kini mendekat dengan panik ke arah Dieter. Dieter bersikap waspada. Menurut ramalan Cibil, gadis berpita merah adalah pemicu gelapnya dunia Viona. "Selamatkan Dieter-ku." Jantung Dieter berdegup ketika Diandra menyebut namanya. Dia bertanya-tanya apakah Hansel memakai namanya untuk menyembunyikan identitas? Tidak mau buang waktu, Dieter memeriksa keadaan Hansel. Dia terbelalak saat menyadari ramalan Cibil lagi-lagi benar. Segera saja Dieter tahu apa yang harus dia lakukan. "Bisakah saya meminta semangkuk air hangat?" tanya Dieter. Diandra langsung ke luar kamar, menuju dapur dan kembali lagi dengan sebaskom air hangat dan kainnya. "Ini untuk membersihkan lukanya, kan? Bisakah aku yang melakukannya?" tawar Diandra. Dieter mengangguk, membiarkan gadis kecil itu membersihkan luka di tangan Hansel. Sang pengawal kini memerhatikan betapa besar kepedulian Diandra terhadap pangerannya, bahkan gadis kecil tersebut sangat berhati-hati ketika mengusap luka di telapak tangan Hansel. Setelah yakin tangan Hansel bersih dari darah, Dieter menyiapkan obat dari dedaunan yang telah dia lumatkan, membalut di tangan Hansel yang terluka, lalu menutup dengan kain, melilitkannya sedemikian rupa agar ramuan obat bisa tetap menempel pada luka Hansel. "Kau sudah tahu kalau lukanya karena benda tajam?" Pertanyaan Rayn membuat Dieter menyeringai. Dengan luwes, dia berkata, "Ya, saya mendapat laporan adanya prajurit yang terluka usai berperang. Itulah tujuan awal saya ke benteng ini, tapi saya malah dibawa masuk oleh pelayan Tuan Muda ke sini." "Setelah melihat kondisinya, kau tidak bisa membiarkannya begitu saja, benar, kan, Tabib?" tanya Diandra, yang kembali memangku Hansel dan mengelus-elus kepala anak lelaki itu seolah dia mainan. Dieter mencoba tersenyum meski agak seram dengan kelakuan Diandra. "Begitulah." "Kau tidak boleh pergi dulu sebelum Dieter-ku sadar." Dieter menyeringai kecil, memang itu tujuannya, tapi dia tidak boleh menunjukkan niat sebenarnya. "Maaf, Nona Muda, saya harus ke perkemahan prajurit karena mereka membutuhkan pertolongan saya." "Jangan membantahku!" teriak Diandra, matanya melotot tajam, berbanding terbalik dengan gadis manis yang tadi sangat mengkhawatirkan Hansel. "Duduk di sana, tunggu sampai Dieter-ku sadar!" "Duduk dan perhatikan. Jika kau macam-macam, pisau ini yang akan bicara," kata Rayn. Dieter menelan ludah kala melirik Rayn yang memainkan pisau kecilnya dengan menusuk-nusuk udara sambil duduk melipat kaki di kursi. Dia tahu kalau Rayn adalah anak Lincoln yang berbahaya, tapi dia tidak tahu identitas Diandra yang ternyata lebih berbahya karena bisa membuat Rayn menuruti perkataannya. "Baik, Nona Muda," jawab Dieter, lantas duduk bersimpuh di lantai menunggu Hansel sadar. Menurut ramalan Cibil, lima belas menit setelah dia mengobati Hansel, beberapa komplotan musuh datang menyerbu rumah Lincoln. Tidak heran kalau ada kerajaan yang memanfaatkan situasi lengang pasca penyerbuan Alhanan ke Alderich untuk menyusup dan membuat keributan, dan saat yang tepat itu adalah hari ini. Hari ketika raja Alhanan mengundang prajurit tangguhnya untuk berpesta di istana, hari ketika penjagaan di benteng Timur akan sedikit mengendur, dan hari yang tepat bagi beberapa musuh untuk melakukan pembalasan terhadap si kejam Lincoln. Dieter menghitung waktu. Sekitar lima menit lagi sebelum musuh datang. "Tuan Muda!" teriak seorang pelayan, yang langsung menerobos masuk perpustakaan. "Beraninya kau!" murka Diandra ketika melihat si pelayan memegang tangan Rayn. Si pelayan segera bersujud, sampai kepalanya terbentur lantai dengan sedikit keras. "Maafkan Pelayan ini, Tuan Muda, Nona Muda, kediaman kita sekarang diserang sekelompok orang. Mohon ikuti saya untuk keluar kediaman ini dari jalur rahasia di belakang dapur." Rayn mendengkus. "Mereka juga sudah memblokir jalan keluar." Si pelayan mendongak, terkejut. "Tapi kita belum mencoba...?" "Kalau ada yang bisa menerobos bagian depan kediamanku, itu artinya ada orang dalam yang berkhianat. Orang itu pasti telah lama mengamati kami." Rayn mendekati si pelayan, dengan sebilah pisau yang digenggamnya kuat. Dieter menyadari sesuatu, tapi sebelum mencegah sebuah nyawa melayang, dengan kecepatan kilat, Rayn menyayat leher si pelayan wanita. Seketika pelayan itu menggelepar kesakitan memegang lehernya. "Kau lah pengkhianatnya," kata Rayn, dia menginjak tangan si pelayan, lalu menancapkan dua pisau ke masing-masing telapak tangan wanita malang tersebut. Diandra tampak biasa saja melihat pemandangan itu, sementara Dieter sudah syok di sana. "Dengan asumsi apa Kakak mengatakan dia pengkhianatnya?" tanya Diandra. Rayn menendang kepala si pelayan yang masih menggelepar, iris hitamnya memancarkan aura yang sangat dingin, tidak ada belas kasih sedikit pun di sana. "Jalur rahasia hanya diketahui oleh anggota keluarga kita, dan Dennis, si pelayan setia ayah itu." "Ah, benar. Berarti dia sudah lama merencanakan ini." "Tiga tahun. Aku ingat, tiga tahun lalu, dia pertama kali datang ke sini sebagai b***k yang dibeli ayah dari kerajaan tetangga, atas saran seorang prajurit. Prajurit ini memiliki luka sayat di bawah matanya, dia bertarung bersamaku dari sayap kiri penyerang garis terdepan pada p*********n ke kerajaan Alderich kemarin." Dieter merinding dengan ingatan Rayn. Ada banyak pelayan, pengawal dan prajurit di dalam benteng itu, bagaimana anak ini bisa mengingat semuanya? Bahkan kejadian tiga tahun lalu pun dia masih ingat. Bahaya! Meski Dieter sudah tahu masa depan, bagaimana bisa dia melawan anak di depannya ini? "Sekarang kita harus bagaimana, Kak? Mereka pastilah sudah mengepung kediaman kita." Rayn tampak berpikir, sangat lama menurut Diandra. "Kakak!" teriak Diandra, panik, saat mendengar derap langkah mulai membahana di luar perpustakaan. "Strategi nomor 11," putus Rayn. Diandra terkejut, Dieter kebingungan. Gadis kecil itu meninggalkan Hansel, menahan pergelangan Rayn yang hendak membuka pintu perpustakaan. "Tidak bisa, Kak! Aku tidak mau pakai cara itu," kata Diandra, matanya mulai berkaca-kaca. Rayn menekan kening Diandra dengan telunjuknya, tersenyum samar. "Sembunyilah. Beberapa menit setelah aku keluar, kau pergilah dari sini memakai jalur rahasia di belakang dapur, lalu ke gubuk kecil itu, nyalakan suar merah dua kali ke udara. Pasukan garis depan benteng akan segera datang ke sini." Diandra menggeleng, bersikukuh memegang tangan Rayn. "Aku mau bersama Kakak. Mereka ada banyak, Kak, aku tidak mau terjadi hal buruk sama Kakak." Rayn menghela napas sejenak, lalu menatap tajam Dieter yang masih duduk di sana. "Kau jaga adikku," katanya sembari melempar sebilah pisau dari dalam bajunya. Ada berapa banyak pisau di balik baju itu? Rayn segera melepas cengekeraman tangan Diandra, lalu mengendap keluar perpustakaan. "Maaf, Nona Muda, apa maksudnya strategi nomor 11?" Dieter mengambil pisau pemberian Rayn, memasukkan ke balik baju. Diandra menghapus air matanya, mengambil pisau yang tertancap di tangan si pelayan. "Pohon Prem berkorban untuk pohon Persik." Sungguh, Dieter lebih baik tidak bertanya tadi, karena dia malah semakin bingung sekarang. Diandra memahami kebingungan Dieter, lantas berkata, "Ini disebut strategi kambing hitam, dimana seseorang dikorbankan untuk menyelamatkan yang lain." Ah, Dieter paham sekarang. Rayn yang berkorban agar Diandra bisa keluar dari kediaman ini. "Apa kau bisa membunuh seseorang, Tabib?" tanya Diandra yang memegang pisau berdarah bekas tancapan tangan pelayan itu dengan tangan gemetar. "Belum pernah." "Aku juga." "Kalau begitu, jangan pernah." Diandra tersenyum kecil. "Aku harus melakukannya untuk melindungi Dieter-ku." Dieter bergerak ke dekat Diandra, menggendong Hansel di punggungnya. "Saya akan membawanya, tetap berjalan di belakang saya, Nona Muda." "Aku akan berjalan di depan untuk menuntun jalan." Semua tidak sesuai prediksi naif Rayn. Beberapa menit kemudian, ketika Diandra membuka pintu, saudara kembarnya telah dilumpuhkan oleh seorang pria badan besar yang menyeringai menunjukkan deretan gigi cokelatnya yang menjijikkan. "Kakak!" Diandra mendekati Rayn yang baru dilemparkan pria badan besar ke lantai. "Lari..." lirih Rayn, mati-matian mempertahankan kesadarannya. "Halo, Nona Muda, apa kau putri kesayangan Lincoln?" Pria badan besar menyeringai lagi, membuat Diandra ingin muntah. "Apa yang kau mau?" Diandra inginnya berteriak lancang nan angkuh, tapi apa daya, suaranya malah bergetar khas ketakutan. "Membawamu ke kerajaan Fordish."   ◊ ◊ ◊
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN