9. Liontin

1944 Kata
"Membawamu ke kerajaan Fordish." Diandra terbelalak saat Dieter kebingungan di sana. Begitu lagi. Terlalu banyak hal yang tidak diketahui pengawal pribadi Hansel ini. "Bukankah kerajaan itu dalam naungan kerajaan Alhanan?" tanya Diandra. "Dalam mimpimu," kata pria yang baru datang dengan sebuah balok di tangannya, namanya Philip. "Ayahmu memang berhasil menaklukkannya, tapi ayahmu gagal menaklukkan kerajaan kami yang miskin itu, karena dia meninggalkan tanah tandus kami begitu saja saat merasa tidak ada lagi yang bisa dia keruk." Diandra menelan ludah. Jika ada satu kerajaan paling menyeramkan untuk ditinggali, itu adalah Fordish. Kerajaan yang penuh tindak kriminal, miskin segalanya, bahkan untuk bernapas saja sangat sulit di sana. Setiap orang yang melewati daerah itu untuk menuju Asyira, dipastikan akan mengalami satu kesialan; entah barang-barangnya dicuri atau mengalami luka di badan, tak jarang juga ada yang mati. Itu dulu, lima tahun lalu, sebelum Lincoln mendapat perintah menaklukkan kerajaan tersebut. Dia pikir, di bawah naungan kerajaan Alhanan, kerajaan Fordish bisa lebih baik, tapi melihat adanya orang seperti Philip, jelas, telah terjadi kekacauan di dalam kerajaan itu.  Diandra tidak sempat berontak ketika si pria balok mengangkatnya dengan satu tangan dan meletakkan di bahu lebar itu, karena terlalu syok. "Kau sangat cantik. Saat besar nanti kau bisa menarik banyak orang untuk datang ke kerajaan kami dan menghabiskan uang mereka. Tentu saja dengan tubuhmu. Hahahhaahah...." Diandra berontak, berulang kali memukul-mukul punggung Philip. Rayn mencoba bangkit, tapi tubuhnya mati rasa setelah dihajar habis-habisan oleh pria badan besar bernama Darius. "Ketua, harus aku apakan orangtua yang membawa bocah di punggungnya ini?" tanya Darius sembari menunjuk Dieter. "Bawa saja pria tuanya. Mungkin dia bisa berguna. Tapi bocah yang sakit itu tinggalkan saja. Akan merepotkan kalau kita harus membawanya juga." Diandra pikir itu yang terbaik untuk Hansel. Kalau anak lelaki itu tetap di sini, dia bisa selamat. Sayangnya, tabib mengacaukan segalanya. Dieter berlutut di depan pria balok usai meletakkan Hansel dengan hati-hati di ubin. "Aku akan membawanya. Aku janji tidak akan merepotkan kalian." Pria balok meludah sembarangan, dia menendang kepala Dieter dengan kuat. "Ah, terserah. Asal jangan membuatku repot." Dieter secepatnya berlutut kembali sembari mengangguk. "Aku janji tidak akan merepotkan." Dia meringis menahan sakit, segera bergerak mengangkat Hansel lagi. Setelah Hansel dalam gendongan Dieter, pria badan besar mengangkat Rayn yang pingsan. Mereka pun bergerak, dengan Dieter berada di antara kedua pria. Di persimpangan jalan menuju aula, mereka berpapasan dengan kawanan penjahat lain. Ada sekitar tujuh orang berpakaian serba hitam dengan penutup wajah; yang bisa dilihat hanya mata mereka. Kesemuanya berlutut di depan Philip, mulai melaporkan semua hasil kerja. "Bagus," kata Philip. "Bawa semua harta rampasan ke dalam gerobak, dan kita lewati Benteng Timur. Menuju Fordish." "Maaf, Ketua," kata salah satu bawahan, "untuk melewati Benteng Timur akan semakin sulit karena raja mereka mengadakan acara. Penjagaan akan semakin ketat. Kita tidak bisa melawan mereka karena seperti yang Ketua tahu, pada puncak-puncak tembok besar itu telah dijaga ratusan pemanah dari berbagai sudut. Panah mereka bukan sembarangan, panah itu telah diberi racun." "Cih! Orang-orang Alhanan ini benar-benar membuatku kesal. Apa kau punya rencana?" "Satu-satunya hal yang terpikirkan saya hanya si pelayan yang membawa kita masuk, tapi pelayan itu telah tewas di tangan anak Lincoln." Pria balok menatap tajam Rayn yang dalam gendongan pria badan besar. "Mereka menyusahkan sampai akhir." "Baiklah, kalau begitu, kita gunakan anak-anak Lincoln ini untuk membawa kita keluar gerbang." Philip kemudian melempar Diandra ke ubin. "Jangan harap!" teriak Diandra sambil meringis mengusap tangannya yang terbentur lantai. "Aku tidak sudi membawa kalian keluar dari sini." Sebelum protes Diandra lebih lanjut, pria badan besar menjatuhkan Rayn dan meletakkan pedang besarnya ke leher anak lelaki itu. Diandra pun terbelalak. Dia tahu maksudnya. Tak ada yang bisa dilakukan bungsu Lincoln itu selain menunduk dnan menangis. "Masih tidak mau?" tanya pria balok. "Akan kulakukan," cicit Diandra, nyaris tak terdengar. Dieter prihatin melihat Diandra, tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Dia harus tetap sesuai rencana orang-orang Fordish ini untuk bebas dari Alhanan.   ◊ ◊ ◊   Sebelum itu, di luar kediaman Lincoln, Viona melihat ada hal aneh sesaat setelah Dieter masuk rumah besar itu. Dia melihat sekelompok orang berpakaian hitam mengendap-endap di depan gerbang dan seorang pelayan wanita datang membukakan mereka pintu. Hanya satu hal yang terpikirkan Viona saat itu; penyusup. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, Viona sempat terdiam di tempatnya sembunyi selama beberapa menit, sampai dia memutuskan berlari kembali ke tempat terakhir dia berpisah dengan rombongan sirkus. Viona hanya mendapati gurun yang kosong dengan pasir berterbangan karena tertiup angin. Dia terduduk lemas. Tidak tahu harus ke arah mana karena sejauh mata memandang hanya ada gurun. Dia pun mengusap wajah. Lama dia merenung di sana, sampai terdengar suara harpa. "Merindukanku, Nona Kecil?" Viona mendongak, menutup mulut karena tak percaya Joker masih di sana. Segera bangkit, refleks dia memeluk Joker. "Syukurlah kau masih di sini..." Dia terisak. Joker tersenyum, mengelus-elus kepala Viona. "Aku tidak bisa meninggalkanmu lagi." Kalimat misterius Joker tidak membuat Viona penasaran karena dia lebih mengkhawatirkan Hansel saat ini. "Tolong bantu aku!"   ◊ ◊ ◊   Perjalanan itu sunyi bagi Dieter. Dia menatap Hansel yang belum sadarkan diri, melirik Diandra yang menangis memeluk kakaknya yang juga pingsan, lalu sesekali melihat pasir di luar kereta kuda. Waktu sudah berlalu sekitar setengah hari. Sebentar lagi malam, tapi kawanan Fordish ini tampaknya tidak akan berhenti untuk berkemah. "Maaf, Nona Muda, boleh saya bertanya sesuatu?" Diandra mengangguk seolah tak ada tenaga untuk bicara. "Bagaimana kita melewati Benteng Timur? Bukannya saya meragukan Nona Muda, hanya ingin tahu, apakah semua orang di dalam benteng mengenal Nona, sampai jika Nona berdiri saja di sana, mereka akan membukakan gerbangnya?" Diandra menatap Dieter, masih mengelus-elus kening kakaknya yang membengkak. "Benar. Satu-satunya anak perempuan berpita merah dengan anting emas inisil 2L hanya aku." Barulah Dieter memerhatikan Diandra. Tidak salah lagi, bungsu Lincoln ini memang memiliki anting itu. "Apakah penjaga gerbang tidak akan curiga jika Nona Muda keluar kediaman tanpa pengawal yang mereka kenal?" "Aku sering berganti pengawal karena ketidakpuasan ayah, jadi mereka tidak akan curiga. Yang aku takutkan kalau mereka curiga aku bisa keluar kediaman tanpa kakak." Dieter menganggukkan kepalanya. Sedikit paham dengan gadis kecil di depannya ini. Sementara itu, Viona dan Joker mengikuti dari belakang dengan kuda yang entah dari mana didapat Joker tadi. "Kau tidak ikut bersama rombonganmu, Joker?" tanya Viona, yang pinggangnya dipegang Joker dari belakang, sementara dia memegang harpa milik si penunggang itu. "Saya ini pengelana, Nona Kecil. Kebetulan saja bertemu dengan kelompok sirkus itu dua bulan lalu. Mereka menarik karena banyak wanita cantik, jadi saya mengikuti mereka dari satu kerajaan ke kerajaan lain." "Lantas kenapa sekarang malah pergi dari mereka?" "Karena kau lebih cantik." "Hahaha... Kau ini... Apa selalu begitu kepada semua perempuan?" "Benar. Saya sangat menyukai wanita. Ngomong-ngomong, Nona Kecil, siapakah gerangan kelompok yang sedang kita ikuti ini?" Wajah Viona berubah serius, tatapannya menyipit. Saat tudung jubah hitam dikepalanya terjatuh, Joker membenarkan letaknya kembali. Viona berkata, "Aku ingin menyelamatkan Hans. Dia orang paling penting dalam hidupku saat ini." Joker melirik Viona meski jarak wajah mereka sangat dekat saat ini. "Kau menyukai anak ini?" Viona mengangguk. Joker tersenyum. "Baiklah. Ayo kita selamatkan orang ini. Aku penasaran dia setampan apa."   ◊ ◊ ◊   Perjalanan ke gerbang benteng terkesan lambat. Mereka baru tiba keesokannya. Setelah rombongan Dieter keluar gerbang, barulah Viona dan Joker ke area gerbang. Gadis kecil itu bertanya-tanya bagaimana cara keluar gerbang tanpa plakat undangan dari rombongan sirkus. Di luar dugaan, Joker memiki plakat kayu bertuliskan 'Asyira' yang ditulis dengan tinta emas. Penjaga gerbang seketika menunduk. "Maafkan ketidaksopanan saya, Tuan Muda." "Ya, ya, sudah-sudah jangan dibesar-besarkan," kata Joker, mengambil kembali plakat kayu miliknya. "Apakah kau sebenarnya orang penting, Joker?" tanya Viona ketika mereka kembali berkuda, usai keluar gerbang. "Hahaha... tidak, tidak. Saya ini hanya seorang pengelana, Nona Kecil. Tapi, perlu Nona tahu, tidak ada gerbang di benua ini yang tidak bisa saya buka." Viona terpaku ketika melirik Joker yang tersenyum di balik bedak tebal itu.   ◊ ◊ ◊   Setelah melewati gerbang benteng, rombongan Dieter melalui jalan pegunungan. Di ujung pegunungan ini ada dua jalan; ke kanan adalah menuju Alderich, ke kiri menuju Asyira. Kerajaan Fordish berlokasi di sekitar kerajaan Asyira,tapi tidak termasuk dalam wilayah bagian Asyira. Mereka berbelok ke kiri. Setelah berjalan cukup jauh, mereka memasuki kawasan tebing yang cukup curam dengan hanya jalan kecil tak lebih dari satu kereta kuda yang bisa melewati ini. Di pertengahan jalan, kereta kuda yang membawa Diandra sedikit oleng akibat tersandung batu. Kepala Diandra terantuk dan sialnya, kalung yang disimpannya di baju malah terjatuh ke luar kereta kuda tanpa tirai itu. "Berhenti!" teriak Diandra. "Aku menjatuhkan liontinku! Hentikan kereta kuda!" Gadis kecil itu keluar kereta kuda dan melihat liontinnya terjatuh ke ranting pohon di sisi jurang. "Hei, Bocah! Kita tidak ada waktu untuk liontin itu," kata si penarik kuda. "Kita harus melewati tebinh sebelum gelap." Pria balok yang ada di kereta kuda lain ikut berhenti, bertanya permasalahannya. Penarik kuda menjelaskan seadanya, dan pria balok pun memarahi Diandra. "Aku tidak akan pergi tanpa liontinku!" Diandra masih bersikukuh. "Meskipun tanpa kakak tersayangmu?" Diandra mengabaikan itu, bersiap terjun ke jurang untuk mengambil liontin. Tepat sebelum dia melompat, Philip menahan tangannya. "Apa-apaan kau, hah?" "Aku mau liontinku!" kesal Diandra, berusaha melepaskan cengkeraman tangan Philip, meski sangat jelas dia sangat ketakutan saat ini. "Tunggu di sana!" putusnya akhirnya walau dengan wajah sangat kesal. Philip mengamati tebing. Memang ada jalan-jalan sempit di bagian dalam tebing, tapi itu hanya bisa dipijak oleh satu kaki, artinya, jika ingin berjalan di sana, dia harus berpegangan pada batu-batu tebing. Selain itu, dengan bobot tubuhnya, jalan kecil itu bisa dipastikan akan langsung longsor ke bawah, tepat ke laut sana. Mustahil dia bisa melewati jalan itu dan mendarat mulus di ranting pohon. Sungguh, mustahil. Dia juga tidak mau mempertaruhkan nyawanya hanya untuk sebuah liontin. "Lupakan saja liontin itu!" Diandra tahu alasan pria balok mengatakan itu, tapi dia tidak mau kehilangan liontin Hansel. Kalau disuruh terjun pun, Diandra ragu dia bisa bertahan satu detik di jalan kecil itu, apalagi dengan embusan angin kencang begini. Kakinya pasti akan gemetar dan dia langsung terjatuh ke laut. Jadi, yang dilakukan Diandra hanya melihat tebing curam dengan tatapan sedih. Tepat saat dia akan menyerah, Dieter yang sedari tadi melihat interaksi Diandra-Philip pun mengambil inisiatif. Dia berkata, "Aku akan mengambilnya." Diandra menatap Dieter yang melepas jubah belakangnya, juga sepatu, lalu menatap pembatas jalan dan ranting pohon. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi angin kencang ini benar-benar membuat tekadnya sedikit goyah. "Kau tidak perlu melakukannya," kata Philip, sedikit simpatik dengan keberanian Dieter. "Itu liontin yang berharga," kata Dieter, membuat Diandra tertegun. Dieter memgembuskan napas, dia lalu melewati pembatas jalan, jongkok, lalu bergelantungan dengan berpegangan pada badan jalan. Dengan sangat hati-hati, kakinya menapak di jalan kecil dalam sisi tebing, masih memegang kuat badan jalan. Selangkah demi selangkah, perlahan-lahan, Dieter bergeser ke kiri, semakin dalam ke sisi jurang, dia pun mulai berpegangan pada batu-batu yang menonjol, sampai dia tiba di ranting pohon. Sesaat setelah tiba di sana, dan dia berhasil mengambil liontin, angin kencang menerpa wajahnya. Dieter mengurungkan niat untuk melangkah, kakinya goyah. "Tabib!" Diandra teriak, bermaksud menunjukkan air pasang yang hampir mencapai tempat Dieter berdiri, tapi pengawal itu sudah menyadarinya, dan dia berpegangan kuat pada batang pohon. "Hei, Bocah!" teriak Philip, cemas. Rupanya pria itu sudah tahu penyamaran Dieter. Lagipula mana ada pria tua yang berani berjalan di tebing curam, kan? Dieter memakai liontin itu ke lehernya, khawatir akan terjatuh lagi jika dia hanya memasukkan di bagian dalam bajunya. Setelah menghela napas berulang kali, Dieter kembali memanjat tebing, dengan cara yang sama. Ketika hampir tiba di atas jalan utama, kakinya tergelincir dan pegangannya terlepas. Untung saja pria balok cepat mengulurkan baloknya, dan Dieter tangkas menegang balok itu. Diandra sampai teriak tertahan karena sangat cemas. Philip dibantu penarik kuda pun menarik Dieter kembali ke jalan utama. "Astaga, kau sangat berani bocah. Boleh kutahu namamu?" tanya pria balok. Dieter melirik Diandra sekilas, gadis kecil itu bernapas terengah-engah dengan buliran keringat di dahi dan leher jenjangnya, seolah dia yang tadi menuruni dan memanjat tebing. Untuk itu, Dieter tersenyum samar. "Aku Filio," kata Dieter. "Terima kasih, Filio," kata Diandra, sudah menggenggam tangan Dieter. "Meksi kau berbohong menjadi tabib, tapi kau sudah menebusnya dengan mengambilkan liontin itu." Dieter melepas kumis dan jenggot palsu itu, kemudian memberikan liontin ke Diandra. "Tolong jaga ini dengan sangat baik, Nona Muda." Diandra mengangguk. "Aku akan menjaganya dengan nyawaku."   ◊ ◊ ◊
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN