Diandra (2)

955 Kata
"Kalaupun ada pengkhianatnya, kenapa hanya Asyira yang memanfaatkannya? Kami juga bisa berpikir sejauh itu." "Alderich tidak mudah dihasut! Kalaupun ada pengkhianat, hanya muslihat Asyira yang mampu membuat orang-orang Alderich berbelot. Orang-orang di kerajaan kami sudah makmur, dan hidup damai di dalam kerajaan. Aku menjamin mereka sangat setia terhadap kerajaan!" Hansel terpancing amarah. "Huh! Percaya diri sekali! Mudah saja kok untuk kami menghasut orang-orang Alderich." "Oh, ya? Bagaimana misalnya?" Diandra tampak berpikir, pipinya menggembung kesal karena tidak bisa membalas ucapan Hansel. "Aku tidak tahu! Aku benci kau!" Anak itu pun menghancurkan susunan puzzle Hansel dan menangis. Hansel menghela napas. Sifat kekanakannya yang pantang kalah itu malah mengacaukan rencana yang sudah dia susun untuk kabur dengan memanfaatkan Diandra. Dia harus mengatur ulang strategi. Hansel pun mendekati Diandra, mengeluarkan liontinnya. Diandra terdiam saat melihat liontin perak itu, dia menatap Hansel sekarang. "Apa ini?" tanyanya sembari mengambil liontin. "Itu adalah benda paling berharga terakhir yang aku miliki saat ini." "Wah..." Diandra terpukau melihat lukisan wajah Aidan dalam bulatan isi kalung. "Itu Kakakku," ujar Hansel, menerawang jauh menatap cahaya yang menerobos dari jendela perpustakaan di atas sana. "Dia meninggal karena melindungiku dari orang-orang Alhanan." "Dieter...?" Mata Diandra berkaca-kaca kala melihat setetes air bening membasahi pipi Hansel, bahkan Hansel tidak sadar telah meneteskan air mata. "Aku selalu bertanya-tanya, apa salah kerajaanku sampai seluruh rakyat dibantai sebrutal itu. Kalaupun raja kami memang begitu biadab seperti yang dikatakan orang-orang Alhanan, tidakkah seharusnya raja kami saja yang mendapat ganjarannya? Kenapa harus kakakku juga? Kenapa harus mengorbankan anak-anak kecil tidak berdosa, juga wanita-wanita lemah tak berdaya? Kalau begini, siapa yang sebenarnya lebih biadab?" Hansel menoleh ke kanan, terkejut ketika melihat Diandra menangis. "Maafkan aku, Dieter..." Gadis kecil itu menunduk, menyembunyikan wajah, tubuhnya gemetar menahan isak tangis. "Kau pasti sangat membenci ayahku... Maafkan aku... Aku tidak tahu kalau kau sangat menderita... Aku berusaha mengajakmu bermain agar kau senang di sini, tapi sampai sekarang, kau hanya memikirkan orang-orang Alderich itu, kan? Maafkan aku... Maafkan aku..." Air mata Hansel semakin deras mengalir. Seberapa pun dia membenci Lincoln, putrinya ini tidaklah bersalah. Dengan tangan kanannya, Hansel mengusap-usap pucuk kepala Diandra. Dia berkata, "Bodoh! Menyebalkan!" Diandra semakin menangis. Setelah beberapa menit, Diandra diam, hanya menatap Hansel yang menyandarkan punggung ke rak perpustakaan sementara pandangan menatap ke jendela. "Kenapa kau memberikan liontinmu kepadaku, Dieter?" Hansel melirik sekilas. "Itu jimat. Kata Ibu, jika kau memakainya, kau akan selalu sehat." Tentu saja Hansel berbohong, itu hanya liontin biasa, tapi demi mendapatkan kepercayaan Diandra, dia harus melakukan ini. "Kenapa malah memberikan jimat penting ini kepadaku?" "Kau bilang selalu sakit-sakitan sejak kecil, kupikir kau lebih membutuhkannya daripada aku." "Kau nanti pakai jimat apa?" Hansel tersenyum manis. "Kau akan selalu bersamaku, kan? Jadi, jimat itu juga akan melindungiku." Pipi Diandra memanas, dia refleks mengalihkan pandangan. "A-aku lapar setelah menangis. Aku akan cari makanan dulu." Gadis kecil itu pun beranjak dan meninggalkan Hansel yang menyeringai puas. Satu langkah lagi untuk membujuk Diandra. Besok pagi, dia akan beralasan ingin jalan-jalan di luar kediaman, dan Diandra pasti akan menurutinya. Tepat setelah Hansel memikirkan rencananya itu, sebilah pisau melayang ke arahnya. Dia refleks menghindar ke kanan, dan pisau kecil itu menancap ke rak perpustakaan. "Sudah kuduga kau mencurigakan!" Hansel refleks menunduk saat mendengar suara di dekat lemari dan siluet yang dilihatnya sekilas. Sedikit syok karena mendapat lemparan pisau dari Rayn. Bagaimana kalau dia sungguh terkena lemparan itu tadi? Dia bisa mati seketika. Hansel menghela napas, mencoba tenang walau debaran jantung berpacu. Semakin waspada memerhatikan setiap gerak lawan bicaranya. "Kau memanfaatkan adikku." Tiba-tiba Rayn melayangkan tinju ke wajah kiri Hansel. Refleks, Hansel menghindar ke kanan. Namun rupanya sudah diprediksi Rayn, sehingga mudah baginya bergerak cepat ke belakang Hansel dan menendang punggung anak itu sampai terjatuh. Hansel terengah-engah, berusaha melepaskan diri dari pijakan Rayn di punggungnya. "Sampai kapan kau akan berpura-pura?" Rayn menduduki punggung Hansel, memilin tangan kiri anak itu sampai terdengar pekikan menyakitkan. "Aaaaa!" teriak Hansel saat Rayn menancapkan pisau ke punggung tangan kanannya. "Katakan, siapa namamu?" Hansel menangis, kakinya mengentak-entak karena rasa sakit di tangan. "Dieter itu nama pengawal di keluarga Alderich. Anehnya, tidak ada jejak identitas tentang putra bungsu Robert. Apa kau sungguh anak mereka?" Rayn mencabut pisau dari punggung tangan Hansel, lalu menancapkannya lagi. Seketika anak yang telungkup itu menangis histeris, memberontak. Rayn sudah mendapatkan perintah dari sang ayah untuk melakukan penyiksaan, dan dengan senang hati dia menerimanya. "Jawab aku!" Hansel menjerit karena lukanya. "Kau harusnya bersyukur karena ayahku membiarkanmu hidup, padahal raja ingin kau mati, tapi kau malah banyak tingkah." Hansel terkejut dengan fakta itu. Dia tahu alasan Lincoln tidak membunuhnya karena Diandra, tapi tidak menduga kalau bungsu Lincoln itu ada dalam prioritas utama setelah Raja. Hansel akhirnya tersadar sesuatu; Diandra adalah kelemahan Lincoln. "Kakak!" Rayn terkesiap, segera berdiri menghadapi Diandra di ambang pintu perpustakaan. "Apa yang Kakak lakukan?" Diandra mendekat, matanya berkaca-kaca ketika melihat Hansel berdarah. "Dia milikku, Kak. Jangan sembarangan menyentuhnya." Hansel sedikit bernapas lega, namun masih terisak menahan luka. Rayn pun sadar tujuan lain sang ayah dari perintah menghukum Hansel; mengujinya menaklukkan Diandra. "Dia hanya memanfaatkanmu untuk kabur dari sini." "Apa dia yang mengatakannya sendiri? Bahwa dia ingin meninggalkanku?" Rayn memejam sejenak, ini akan sulit. "Tidak." "Kalau begitu Kakak tidak berhak bilang dia akan kabur dari sini." "Diandra─" "Dia bilang ingin selalu bersamaku, Kak! Aku tidak pernah marah kalau Kakak lupa janji kita main puzzle, tapi saat ada yang bisa menemaniku main puzzle, kenapa Kakak malah mau membunuhnya juga? Terkahir kali aku sangat suka temanku, Kakak juga membunuhnya. Apa Kakak tidak pernah suka kalau aku punya teman?" Mata Hansel terbelalak. Anak lelaki ynang hanya berbeda usia setahun dengannya ini seorang pembunuh? "Aku membunuh mereka semua karena mereka berniat mengkhianatimu. Begitu pula dengan anak ini." "Berniat mengkhianati, dan mengkhianati, itu berbeda, Kak!" teriak Diandra, dia terisak setelah berteriak. "Aku benci Kakak!" Rayn memijat tulang hidungnya, lantas mendekati Diandra. Saat melihat mereka berdekatan itulah Hansel tersadar sesuatu; kedua kakak-beradik itu kembar. Rayn menekan kening Diandra dengan telunjuknya, berkata, "Maaf." Diandra menarik ingusnya, lalu mengangguk. "Kakak jangan coba membunuh Dieter, lagi,  ya, karena lain kali, aku akan melindunginya meski harus melawan Kakak."   ◊ ◊ ◊  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN