10. Tujuh Prajurit Kematian Asyira (1)

994 Kata
"Aku akan menjaganya dengan nyawaku." Dieter tersenyum. "Sudah seharusnya." Meski dia bingung alasan Hansel memberikan liontin ke Diandra, tapi dia percaya, kalau Diandra akan menjaga liontin itu dengan baik mulai sekarang. Philip menatap tajam Diandra. "Cukup sampai di sini kau berulah, Nona Muda. Cepat kembali ke kereta kuda!"   ◊ ◊ ◊   Sebelum malam, rombongan telah melewati tebing. Pada keesokan paginya, barulah mereka memasuki kawasan kerajaan Fordish. Desa pertama yang masuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan ini disebut sebagai Desa Sunyi, karena lahan tandus ini benar-benar sedikit sekali penghuninya. Sejauh mata memandang, semua daerah tampak rata dengan tanah. Tak ada satu pun bangunan yang berdiri kokoh, seolah desa ini telah dikutuk. Rupanya keterkejutan hukan hanya dialami pendatang baru, tapi para pria berpakaian hitam pun tampak syok. "Kenapa Desa Sunyi jadi begini?" gumam Philip. "Ketua, saya akan memeriksa desa lain lebih dulu. Mohon tunggu di sini selagi beristirahat." Bawahan itu pun pergi dengan menunggang kuda. "Kalau boleh saya tahu, Tuan, bagaimana keadaan desa ini sebelum Tuan-tuan pergi?" tanya Dieter setelah rombongan memutuskan berkemah dan duduk mengelilingi api. Pria pembawa balok tampaknya menyukai Dieter sejak kejadian di tebing tadi, karena pria itu dengan senang hati menjawab pertanyaannya. "Kami kekuar kerajaan dua tahun lalu. Saat itu, Desa Sunyi memang tidak memiliki banyak rumah karena kebanyakan orang enggan berdiam di lahan tandus ini. Pendapatan kepala keluarga pun hanya bergantung dari hasil rampokan para pendatang, tapi masih ada pepohonan dan perkebunan penduduk walau tidak banyak. Bukan seperti sekarang, yang seolah diterpa badai. Tiada penduduk ataupun rumah sama sekali." Dieter menatap sekitar. Hanya ada lahan kosong, tidak ada rumah yang berdiri, benar-benar seperti baru diserang badai. "Apakah desa lain juga seperti ini, Tuan?" "Tidak separah ini." Philip lalu menyesap alkohol dari botol yang diberikan salah satu bawahan, dia menawarkan ke Dieter, tapi pengawal pribadi Hansel itu menggeleng. "Ada tiga desa di lima provinsi dalam kerajaan kami. Kesemuanya dihancurkan si biadab Lincoln itu lima tahun lalu. Banyak penduduk yang tewas, dan yang bertahan hanya bisa mendapat makanan dari merampok pendatang. Ada pasar di seberang Desa Sunyi ini, tepatnya di Desa Bunyi, yang buka setiap pagi menjelang sore, tapi penghasilan dari sana pun tidak bisa cukup untuk memakmurkan provinsi. Keluarga kerajaan telah lama menjadi anjingnya Alhanan. Mereka hanya duduk-duduk menikmati anggur mahal tanpa memedulikan rakyat." "Kalau begitu, kalian ini pemberontak kerajaan?" "Hahaha..." Philip menepuk-nepuk bahu Dieter. "Benar sekali. Kami memprovokasi penduduk di lima provinsi untuk menggulingkan raja. Dengan rakyat yang kurang dari dua ribu jiwa, kami menyebar ke lima provinsi. Aku dan kawanan ini mendiami kerajaan untuk membuat kesan bahwa kerajaan kami baik-baik saja, dan tetap berpura-pura menjadi anjing setia Alhanan. Aku bahkan mengirim beberapa orang ke Alhanan hanya untuk merampok mereka." Dieter tersenyum samar. "Menggerakkan dua ribu orang untuk tetap bungkam di dalam kerajaan kecil ini, Anda pastilah seorang pemimpin yang baik, Tuan." Pria pembawa balok melirik Dieter. "Aku baru mendengar ini darimu. Hei, Filio, aku menyukai keberanianmu. Maukah kau ikut bersamaku ke kerajaan? Aku yakin kau bisa membuat kerajaan kami besar perlahan-lahan. Aku melihat kecerdasan di bola matamu." Dieter membungkuk, satu tangan di d**a. "Terima kasih, Tuan, tapi aku hanya mengikuti Tuanku. Jika Tuanku ingin bangkit dengan memakai kerajaan Tuan, maka Filio ini akan mengikuti keinginan Tuan." "Hemm menarik. Siapa Tuanmu?" "Tuanku bernama Dieter," kata Dieter setelah melirik Diandra yang ternyata mendengarkan mereka sejak tadi. "Kami juga memiliki permasalahan yang sama dengan kerajaan Alhanan." Pria balok menyeringai. "Anak yang sejak tadi kau bawa itu adalah Tuanmu?" "Benar, Tuan." "Ketua, anak Lincoln sudah bangun, bolehkah aku sedikit bersenang-senang?" tanya pria badan besar saat melihat Rayn minum air dibantu Diandra. "Ck, Darius, kau ini. Biar bagaimanapun dia masih anak-anak. Kau sudah cukup bersenang-senang sampai membuatnya babak belur begitu." "Aku tidak puas, Ketua. Aku ingin bermain lagi dengannya. Baru kali ini ada yang menandingiku. Aku jadi semangat ingin melawan Lincoln. Jika anaknya saja sekuat ini, ayahnya pasti lebih menarik lagi, kan?" Philip melirik Rayn yang sudah menatap Darius dengan tatapan membunuh. Dia awalnya tidak ingin meladeni tingkah kekanakan pria badan besar, tapi pria itu sedang dalam masa semangatnya untuk bertanding. Jika itu bisa membangkitkan nafsunya membunuh Lincoln, sebagai pemimpin, sudah kewajiban Philip untuk memenuhi harapan pengikutnya, kan? Maka dia pun memutuskan, mengatakan, "Baiklah. Aku izinkan." Darius berdiri, mengambil pedangnya yang juga besar itu, seringai lebar terlukis di wajah seramnya. "Ayo bersenang-senang, Bocah!" teriaknya ke langit malam penuh bintang malam ini. Rayn hampir tak mampu berdiri. Darah mengucur dari wajah dan lengan. Kakinya gemetar, tapi dia masih berusaha berdiri. "Ada apa, bocah? Kau tidak bisa melawan tanpa pisau kesayanganmu?" Pria badan besar mencoba melayangkan pukulan, tapi Dieter malah refleks menghalanginya. Setelah menahan tangan pria badan besar, Dieter membungkuk penuh hormat. "Maafkan aku, Tuan. Aku dibesarkan di lingkungan kelas kesatria. Ketika melihat seseorang menyerang orang lain tak bersenjata, dan dalam keadaan lemah, badanku refleks bergerak sendiri. Silakan dilanjutkan, Tuan." Dieter pun menyingkir. "Hahahahaha... Aku suka anak ini! Hahaha..." teriak Philip. "Filio, sepertinya aku harus mengancam Tuanmu agar bisa memilikimu di sisiku." Dieter membungkuk, sebenarnya sangat takut seandainya itu benar terjadi. Melirik pria badan besar, Dieter menghela napas. Sungguh, dia tidak ingin ikut campur, apalagi menjadi perhatian orang-orang ini, tapi badannya memang bergerak sendiri untuk melindungi Rayn tadi. "Hei, Darius, lupakan saja anak itu," kata Philip, sembari menepuk bahu pria badan besar. "Tidak menyenangkan melawan musuh yang bahkan tak mampu berdiri normal." Darius hanya mendengkus sembari duduk kembali di tanah, dan menenggak minumannya. "Maaf, Ketua. Aku terlalu bersemangat sampai lupa melihat lawan." Philip abai saja. Dia mendekati Dieter, benar-benar tak menyembunyikan ketertarikan. "Kemarilah, Filio, ikuti aku," katanya, masih membawa-bawa baloknya ke area lahan tandus yang jauh dari rombongan. Setelah yakin cukup jauh, barulah pria balok berbicara. "Ada yang ingin aku katakan." "Aku akan mendengarkan, Tuan," kata Dieter, menunduk sopan. "Aku serius saat mengatakan kau anak yang menarik, Filio. Kau sopan, setia, pemberani, dan kesatria sejati. Aku yakin kau seorang pengawal dari sebuah kerajaan, dan kerajaan itu jelas bukanlah Alhanan." Dieter hanya terkejut sesaat, sudah menduga sejak awal kalau pria usia 30-an di depannya ini memiliki penglihatan yang tajam. Percuma berbohong di depannya, tapi dia juga tidak mampu menceritakan kebenaran karena tidak bisa memercayai orang ini. "Maaf, Tuan, aku tidak ingin berbohong kepada Tuan, tapi aku juga tidak bisa menceritakan yang sebenarnya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN