Setelah sarapan pagi, Camilla memutuskan untuk bersantai sejenak di balkon kamar. Wanita itu sedikit merenung tentang kejadian beberapa jam lalu. Apa ia dan Danieru benar-benar berteman sekarang? Jika mengingat awal pertemuan, tentu itu begitu tak mungkin.
Danieru yang awalnya sangat angkuh, wajah datar, tatapan dingin, dan tingkah laku yang menyebalkan. Danieru yang merenggut kebebasannya, dan dirinya hanya dijadikan barang untuk membayar hutang. Lalu ... masih banyak lagi hal yang membuat semuanya tak mungkin.
Camilla masih tak mengerti, bagaimana dirinya bisa melakukan hubungan intim dengan pria yang sama sekali tidak ia pikirkan? Apa dirinya tak akan bisa bebas dari kebiasaan buruk itu? Selama ini ia sadar, jika kebiasaan buruk itu membuatnya semakin hancur. Tetapi ... seks juga keperluan baginya.
“Kau terlalu banyak berpikir, Kitty.”
Camilla segera mengalihkan tatapannya, ia melihat Danieru yang kini berdiri dengan handuk putih melingkar pada pinggangnya.
“Ada apa?” tanya Danieru.
“Aku hanya memikirkan beberapa hal ...” Camilla mengalihkan tatapan, ia sedikit mengulas senyum. “... Dan sialnya itu tentang dirimu.”
“Jangan jatuh cinta, karena kita hanya sebatas teman. Apa kau mengerti?” tanya Danieru.
Camilla yang mendengar penuturan pria itu mendadak jengkel, ia meraih pisau pengupas buah yang ada di atas meja, lalu melemparkannya ke arah Danieru.
Danieru dengan gesit menghindar, dan beruntung saja ia selamat dari keganasan Camilla.
“K-kau ingin membunuhku?” tanya Danieru sambil menatap pisau yang sudah terhempas di atas lantai.
“Kau terlalu percaya diri. Dengarkan ini, AKU ... TIDAK ... AKAN ... JATUH ... CINTA ... PADAMU!” ujar Camilla sambil menekan beberapa kalimat dengan sangat jelas.
“Benarkah?” Danieru tersenyum lagi, ia tak menyangka jika tingkat emosi Camilla benar-benar buruk. Apa wanita itu masih terus berpikir tentang pernikahan mereka yang berlandaskan kontrak, dan itu semua disebabkan hutang orang lain? Mungkin saja Camilla memikirkan itu.
Camilla bersandar pada kursi, ia menatap Danieru yang masih berdiri tak jauh dari pintu. “Untuk apa aku berbohong padamu? Aku tidak akan jatuh cinta dengan siapa pun.”
“Baiklah, ayo kita kembali membicarakan hal ini. Pertama, kenapa emosimu sangat mudah meledak?” Danieru menghampiri Camilla.
Camilla mengembuskan napas kasar. “Itu bukan urusanmu.”
“Apa kau masih marah karena dijadikan jaminan untuk melunasi hutang?” tanya Danieru lagi.
Camilla tak menyahut, ia hanya terus diam dan menatap ke arah dinding.
“Kau merasa jengkel padaku, atau pada ibumu?” tanya Danieru.
Mendengar pertanyaan itu, membuat Camilla segera menatap Danieru. “Aku masih kesal pada wanita tua itu, dan aku juga kesal karena awal pertemuan kita.”
“Kau bahkan tidak mengakui jika dia ibumu,” balas Danieru.
Camilla menatap tajam, rasa kesalnya pada sang ibu masih membumbung tinggi, dan Danieru sengaja memancing amarah dengan membicarakan sang ibu.
“Baiklah, aku minta maaf tentang awal pertemuan. Dan yah ... sebaiknya kau segera mencari cara untuk menyelesaikan rasa kesalmu pada Nyonya Alistair.”
“Kematiannya saja tak cukup bagiku,” Camilla mengucapkan itu sambil tersenyum getir. Ia mengingat beberapa kejadian di masa lalu, dan sialnya ia masih bisa memaafkan wanita gila tersebut.
“Sepertinya hubungan kalian benar-benar buruk,” ujar Danieru.
“Huh ... hanya masalah keluarga yang tidak penting.” Camilla segera berdiri, ia menuju ke pagar pembatas balkon dan menatap gedung-gedung tinggi sambil merenung.
Danieru yang melihat hal itu tidak bisa memberikan tanggapan. Ia tidak memiliki hak untuk tahu lebih jelas tentang keluarga Alistair. Merasa semuanya semakin canggung, Danieru mencoba mengingat beberapa hal.
“Bersiaplah, kita harus segera pergi ke suatu tempat dan memilih gaun pengantin.” Danieru kembali menjauh dari Camilla, dirinya tak ingin terlalu lama mengganggu wanita itu dengan sikapnya. Ia bisa melihat jika Camilla mulai tidak ingin bicara, dan untuk menghindari hal-hal tidak berguna, dirinya memilih pergi dan mengalihkan pembicaraan.
Camilla yang mendengar kalimat Danieru segera mengalihkan perhatiannya, wanita itu melangkah dan mengejar Danieru. Ditariknya tangan Danieru, dan ia berhasil menghentikan langkah pria itu.
“Ada apa?” tanya Danieru. Ia menatap Camilla yang kini masih memegang tangannya, kulit wanita itu memang sangat halus. Sejujurnya, Danieru juga masih mengingat jelas tubuh Camilla yang putih dan mulus.
“Mari kita buat perjanjian lagi, anggap saja ini sebagai permainan.” Camilla sangat berharap Danieru setuju. Ia tak peduli pada risiko permainan ini dikemudian hari.
“Perjanjian?” Danieru membeo.
Camilla segera menganggukkan kepala.
“Katakan.” Danieru mulai tertarik, ia menaikan sebelah alisnya.
Camilla segera menarik napas agak panjang, ia kemudian mengembuskan napas itu perlahan. “Jika di antara kita ada yang lebih dulu jatuh cinta, jangan pernah mengatakannya. Segera pergi, dan jangan kembali lagi.”
Danieru mengulum senyum. “Apa kau sangat yakin bahwa aku akan jatuh cinta padamu?”
Camilla menyeringai. “Apa kau sangat yakin tidak akan jatuh cinta padaku?”
“Apa ini menunjukkan jika kau bisa jatuh cinta padaku?” tanya Danieru.
“Aku juga tak akan jatuh cinta padamu. Jika kita sama-sama yakin dengan hal ini, kenapa kau tidak langsung menyetujuinya?”
Danieru mendekatkan wajahnya dengan Camilla, ia tersenyum, lalu menyentuh bibir wanita itu dengan ibu jarinya.
Camilla menatap, wanita itu membalas senyuman Danieru.
“Akan aku pastikan kau bertekuk lutut padaku, Kitty.” Pria itu menatap tajam, ia benar-benar beradu pandangan mata dengan Camilla.
“Kita lihat saja, siapa yang akan menjadi pemenangnya.” Camilla menepis tangan Danieru yang menyentuh bibirnya, wanita itu segera melangkah, ia tak punya waktu banyak untuk bicara sekarang.
Ia akan berusaha membuat Danieru jatuh cinta padanya, dan dengan begitu Danieru akan pergi. Secepatnya ... secepatnya Danieru akan bertekuk lutut.
Danieru segera menarik tangan Camilla, pria itu kemudian memeluk tubuh Camilla dan langsung melumat bibir wanita tersebut.
Camilla yang dalam keadaan tak siap dengan mudah jatuh dipelukan Danieru. Wanita itu membelalakkan mata saat Danieru langsung melumat bibirnya. Beberapa detik, Camilla tidak bereaksi. Ia bahkan tak tahu harus melakukan apa sekarang. Yang ada dalam benaknya hanya ribuan pertanyaan.
‘Kenapa Danieru melakukan hal tak penting?’
Atau ...
‘Apa Danieru berusaha membuatnya jatuh cinta sekarang?’
Masih banyak pertanyaan yang tak bisa ia pecahkan, dan Camilla merasa gusar. Pria itu sudah mengambil tindakan, pria itu sudah melempar dadu, dan pria itu melancarkan serangannya terlebih dahulu.
Danieru segera melepas tautan bibir mereka, ia mengeringkan bibir Camilla yang sedikit basah dengan ibu jarinya.
“Jangan pernah menyesal dengan taruhan ini, Kitty. Aku bukan orang yang akan mengingkari janjiku sendiri. Sekali pun aku jatuh cinta padamu, aku tak akan pernah mengatakannya, dan aku akan menghilang tanpa kau bisa menemuiku lagi.”
“Kau sangat percaya diri,” balas Camilla.
Danieru segera meninggalkan wanita itu, ia juga harus mengganti baju dan mereka juga bisa bergegas pergi. Setelah ini, ia akan membicarakan masalah pernikahan dengan keluarganya, dan dirinya sangat yakin jika kedua orang tuanya akan setuju.
Berbeda dengan Danieru, Camilla malah berharap jika yang lebih dulu jatuh cinta adalah pria itu. Ia tak akan mengambil risiko, karena dirinya sadar ... cinta tak pernah ada, cinta hanya bualan. Dan yang lebih parah dari semuanya adalah, perasaan manusia itu bisa berubah. Bahkan jika dirinya jatuh cinta, ia juga akan melakukan hal yang sama.
“Kitty, apa kau akan terus berdiri di sana? Pakaian yang kau pesan sudah datang. Segera mandi, siapkan dirimu.” Suara Danieru terdengar agak nyaring dari dalam kamar.
Camilla segera sadar dari lamunannya, ia menatap ke atas langit sekali lagi, dan merasa sedikit tenang. Wanita itu kembali pada kenyataan, semuanya tetap harus berjalan.
“Hei ... Kitty, apa kau mendengarku?” tanya Danieru yang sudah ada di depan pintu.
“Bodoh, aku mendengarnya, dan jangan terlalu banyak memperingatkan aku.”
“Hah ... wanita m***m ini,” ujar Danieru, pria itu kembali masuk ke kamarnya.
Camilla memilih tak peduli, ia hanya harus menjalaninya sekarang ini.
“Cinta seorang ibu juga tidak semuanya tulus, apalagi cinta dari orang yang tidak memiliki hubungan darah.” Camilla bergumam pelan, ia melangkah cepat dan masuk ke dalam kamar Danieru. Camilla juga tak menyangka, jika Danieru begitu cerewet.