Marvin meletakkan tangannya di pundak Valentina. Pelan, dielusnya pundak gadis itu.
“Val, menurutku sebaiknya kamu..,” baru saja dia mulai berbicara, telepon genggam Valentina kembali berbunyi. Dan sebelum Valentina sempat mengangkatnya, mereka mendengar bunyi anak kunci yang diputar.
Pintu unit apartemen Valentina terbuka, bersama dengan gerakan Veranda yang melongokkan kepalanya keluar, ke arah selasar. Cukup sebentar celingukan, ia segera menemukan apa yang dicarinya. Langsung dimatikannya teleponnya. Maka dering telepon genggam Valentina juga berhenti. Veranda mencibir.
“Hm. Pas banget! Pantesan tadi aku dengar kok nada deringnya tuh nada dering telepon selulernya Mbak Val. Dekat banget lagi dari unit. Ngapain aja sih? Bukannya langsung masuk. Masih perlu nambah di koridor, pacarannya? Sudah. Masuk. Aku sudah lapar berat nih. Kita makan dulu mendingan. Nanti setelah selesai makan, aku langsung deh menyingkir, nggak ganggu kalian berdua. Mau dilanjutkan pacarannya juga terserah!” celoteh Veranda tanpa jeda. Valentina sampai jengah dibuatnya.
“Heh! Apa sih Ver! Kamu ini kalau ngomong nggak ada remnya,” keluh Valentina.
“Ayo Vin, masuk. Anak ini kalau lapar bisa ngamuk soalnya,” tambah Valentina kemudian.
“Makanya! Buruan masuk. Cuci tangan, terus langsung makan,” Veranda menguakkan daun pintu lebar-lebar.
Marvin tertawa kecil.
‘Lagi-lagi mau ngomong, terhalang. Harus sampai kapan coba?’ batin Marvin kemudian. Ada sedikit kesal yang menyelusup di hatinya.
*
“Mbak Val, Jumat malam sampai Minggu pagi aku nggak menemani Mbak di sini ya? Enggak apa-apa, kan? Minggu sore, baru aku balik kemari,” kata Veranda sambil mengangkat piring kotor ke tempat cuci piring.
Valentina terkejut.
“Hah? Kenapa? Mau kemana memangnya? Ke luar kota? Sama siapa?” tanya Valentina beruntun.
Mendadak saja dia merasa cemas. Dipikirnya, jangan-jangan adiknya ini ‘kumat’ lagi.
“Jumatnya aku ada janji sama teman-teman, Mbak,” kata Veranda.
“Ya kan bisa pulang kemari, Ver? Mau kemana memangnya? Kamu menginap sama teman-temanmu? Awas ya kalau kamu macam-macam!” selidik Valentina.
Veranda menggoyangkan tangannya.
“Enggak sih. Cuma mau hang out sepulang kerja. Kan sudah lama nggak ketemuan sama mereka. Takut pulangnya terlalu malam, Mbak,” alasan Veranda.
Valentina mendengus kecil.
“Kan kamu bawa mobil Mbak, Ver. Terus, katanya kamu sudah berubah, nggak serampangan lagi?” tanya Valentina.
Veranda berdecak.
“Ya enggak gitu juga kali Mbak! Cuma pergi hang out. Apa salahnya sih? Aku tahu batasan, kok. Aku bisa jaga diri,” kata Veranda.
“Oke. Pegang kata-kata kamu. Terus, Sabtunya mau kemana, malam mingguan? Sama siapa lagi?” korek Valentina.
Veranda memutar bola matanya.
“Mbak Val kelihatan nggak percayaan amat sih sama aku. Ya hari Sabtu aku mau pergi sama kawan-kawan yang lainnya dong Mbak, mungkin sampai sore. Malam Minggu off. Sudah tahu aku lagi ngejomblo juga, pakai ditanya segala. Itu termasuk perbuatan yang tidak menyenangkan, tahu?” Veranda bersungut-sungut.
Valentina mengedikkan bahu.
“Ya sudah, Sabtunya itu, setelah selesai acara sama teman-temanmu, kenapa nggak balik kemari?” tuntut Valentina.
“Eng.., aku kepengen tidur di rumah, Mbak. Ganti suasana. Mau ngegangguin si Mbok juga. Mbak Val menginap di rumah sekalian deh. Aku juga nggak mau ya, kalau aku tinggal dua malam berturut-turut begini, terus Mbak Val mengkonsumsi obat tidur lagi,” kata Veranda, lalu mengalihkan tatapan ke arah Marvin yang duduk di sofa.
“Mas, tolong bilangin nih, pacarnya!” kata Veranda seenaknya, di antara gerakannya mengeringkan piring yang telah dicuci oleh Valentina.
Valentina menepuk keras lengannya.
“Apa sih! Ngawur banget kamu! Pacar, pacar, apa sih!” tegur Valentina, kala memergoki Marvin senyum-senyum saja ke arah mereka.
“Auww! Pedes sekali itu tangannya! Lagi pula, jadi basah kan, lenganku! Memang sudah pacaran, sudah bangkotan kok pakai malu-malu mengakui pacar sih! kayak abege aja!” protes Veranda sembari mendelikkan matanya.
Valentina menggelengkan kepala. Mendadak, dia teringat pada Meisya. Diabaikannya ucapan-ucapan Veranda.
“Ya sudah kalau begitu, kamu jangan macam-macam lho ya. Biarin nanti si Melo yang menemani Mbak di sini. Tadi katanya mau menginap, tapi karena Mbak bilang ada kamu, enggak jadi deh dia,” kata Valentina kemudian.
Veranda mengernyitkan alis.
“Ye! Kenapa nggak jadi? Ada masalah apa dia itu sama aku, pakai menghindar segala?” cela Veranda spontan.
“Mana Mbak tahu,” timpal Valentina yang segera mengeringkan tangannya. Dihampirinya Marvin.
“Sebentar, aku kabarin Meisya dulu. Soalnya kelihatannya dia kepengen banget, menginap di sini,” Valentina mengambil telepon selulernya dan mengetik pesan singkat kepada Meisya.
“Halah! Pasti mau curhat! Nyampahin pikiran Mbak-ku aja! Ketahuan banget tuh!” Veranda yang mendengarnya, kembali mencibir.
“Ssst! Ver! Apa sih!” tegur Valentina.
“Biar Mas Marvin tahu sekalian, itu, sahabatnya Mbak, sekaligus teman kantor kalian itu seperti apa sebenarnya. Mbak, pernah nggak dia peduli, peduli yang sesungguhnya sama persoalan yang dihadapi Mbak? Hmmm.., aku kok nggak yakin. Dia itu type orang yang lain di bibir lain di hati, kayaknya,” celetuk Veranda.
“Ver!” Valentina menggelengkan kepala dengan tegas.
Veranda tak peduli.
“Menurut Mas Marvin, yang namanya Meisya itu seperti apa Mas? Sudah pernah ketemu kan?” tanya Veranda yang mendekati mereka berdua.
Marvin membaca situasi. Entah mengapa, dia merasa mendapatkan petunjuk bahwa ada sesuatu hal yang harus disibakkan dari sosok Meisya. Mendadak saja sebuah gagasan melintas di benaknya. Dia ingin meihat secara langsung sosok Meisya.
“Kalau kalian nggak ada acara keluar, Val, ajak Meisya makan di unitku Sabtu siang atau sorenya. Anggap saja sekalian kenalan,” kata Marvin.
Veranda berdecak gemas menanggapinya.
“Tuh, kan, giliran nggak ada aku aja, ngundang makan,” protes Veranda sembari memonyongkan mulutnya.
“Lho, sama kamu Minggu sorenya, Ver. Tenang, waktu itu habis makan masakan Mas, kalian enggak pada sakit perut, kan?” Marvin tersenyum lebar.
Mata Veranda membulat.
“Beneran? Enggak sakit perut lah. Malahan Mbak Val kelihatannya ketagihan sama masakan Jepangnya mas Marvin. Ya sudah, Minggu ya Mas. Wah, Mbak Val irit banget nih, makan gratis melulu. Gimana nggak cepat kaya,” oloknya.
Valentina mengabaikan ucapan Veranda karena telepon genggamnya berbunyi.
“Hallo,” sapa Meisya begitu Valentina menerima panggilan teleponnya.
“Hei, Lo, Jumat ya, kemari. Nih, kita diundang sekalian buat makan di unit-nya Marvin, hari Sabtunya. Masakannya enak lho, maklum, sudah kebiasaan tinggal di perantauan soalnya, biasa ngurus apa-apa sendiri, kata dia sih,” sahut Valentina, yang memelankan ucapannya pada kalimat-kalimat akhir.
“Wow! Dalam rangka apa? Gue malah baru mau tanya, kenapa adik lo mendadak balik ke rumah? Eh tapi, undangannya boleh juga tuh, Le. Boleh banget. Jadi Jumat gimana, ketemu di lobby apartemen lo atau gue ke kantor pusat?” tanya Meisya antusias. Betapa berbanding terbalik dengan kekecewaannya beberapa saat sebelumnya.
“Ketemu di lobby apartemen gue deh, Lo,” sahut Valentina.
“Oke, sampai nanti ya, hari Jumat,” balas Meisya, yang mendengar suara percakapan laki-laki dan perempuan, yang ditengarainya adalah Veranda serta Marvin. Itu sebabnya dia memilih segera mengakhiri komunikasi via telepon mereka.
“Oke, daagh!” pungkas Valentina.
Veranda tersenyum miring.
“Hm. Tercapai deh cita-citanya Mbak Meisya. Aku tinggal ya Mbak, mau nonton lanjutan drama Korea dulu. Mas Marvin, aku tinggal ya,” Veranda undur diri.
“Oke, Ver, terima kasih lho, traktirannya,” kata Marvin sembari mengacungkan jempolnya.
“Sip!” Veranda pun membalikkan badan dan berlalu.
“Vin, aku baru ingat, tadi itu kan kamu mau ngomong sesuatu, yang kepotong sama si Veranda. Apa?” tanya Valentina.
Marvin menatap Valentina secara intens, seakan ingin memastikan gadis di depannya ini sungguh-sungguh mau menerima apa yang hendak dikatakannya.
* * Lucy Liestiyo * *