CHAPTER TIGA PULUH DELAPAN : Gamang

2115 Kata
                Apa yang disampaikan oleh Marvin benar-benar membuat Valentina dilanda keresahan. Gadis itu sampai tercengang.                 Dan betapapun Marvin telah berusaha untuk menyampaikannya sehati-hati mungkin serta menata kata untuk menguatkan serta menentramkan hati Valentina, tetap saja Valentina merasa gamang. Bukan hanya sesaat setelah Marvin mengatakannya, akan tetapi sampai ke hari-hari selanjutnya. Ini benar-benar melebihi perasaan gentar yang dialami Valentina kala mendengarkan celotehan Ivan, si bocah kecil yang anehnya, sekarang jarang berpapasan dengannya di apartemennya. Terkadang, Valentina sampai bengong sendiri karena memikirkan apa yang diutarakan oleh Marvin. Tentu saja hal ini mengganggu pekerjaannya.                 Suatu kali, di saat Richard yang mendadak mendekati kubikelnya dan menanyakan sesuatu kepadanya, Valentina yang kurang konsentrasi tergeragap dan tak dapat memberikan jawaban akurat atas pertanyaan Richard. Akibatnya, Richard seperti mendapat celah untuk menyudutkan anggota timnya itu. Ia tersenyum sinis menanggapi reaksi yang diperlihatkaan oleh Valentina.                 Lalu ucapan nyinyirnya, yang lumayan lama tidak didengar Valentina, kembali menyapa telinga gadis itu.                 “Saya tahu sih, masa-masa dimana seseorang baru saja jadian memang lagi indah-indahnya, tapi nggak perlu sering dilamunkan juga. Lihat-lihat waktu dan tempat deh. Kalau lagi kerja, konsentrasi ya! Saya nggak mau mengulang apa yang sudah saya katakan!” ucap Richard pedas, menyaingi emak-emak yang gagal menawar produk yang sekian lama diincarnya karena uang belanja yang diberikan suaminya terbatas.                 Seketika Valentina tersentak. Telinganya terasa panas, dan hatinya juga sakit mendapat teguran yang dinilainya salah tempat itu. Apa daya, dia tak dapat membalas dengan ucapan yang super ketus untuk menuntaskan kedongkolan hatinya. Pasalnya, ia mendapati tampang Richard jelas-jelas seperti seseorang yang tengah menahan geram. Dan anehnya..., Valentina menangkap ada nada iri di dalam kalimat yang dilontarkan atasannya itu. Rasanya belum apa-apa Valentina udah kalah gertak. Seakan-akan dia telah melakukan kesalahan fatal saja.                 Valentina menekan emosinya, meski sebetulnya dia ingin sekali mencakar manusia nyinyir yang tengah berdiri di depan kubikelnya ini.                 “Tadi Pak Richard tanya apa?” tanya Valentina.                 Enggan diucapkannya kata ‘maaf’ sebab setelah sesaat dia mempertimbangkan baik-baik, menurutnya mereka sama-sama salah. Dia sadar dirinya salah karena melamun di jam kerja, sementara Richard super salah, menuduhnya melamunkan seseorang, yang Valentina tahu pasti, siapa yang dimaksud. Jadinya, di mata  Valentina mereka berdua seri, alias tak perlu minta maaf.                 Beruntung, Richard tidak mempermasalahkan keengganan Valentina mengucapkan kata ‘maaf’ tersebut.                 “Ini terakhir ya, saya ulangi pertanyaan saya. Lain kali jangan harap,” ucap Richard.                 Valentina menyembunyikan tangannya yang sudah terkepal, di bawah meja. Ucapan Richard barusan benar-benar menyinggung perasaannya, seolah dia sudah sering melakukan kesalahan serupa, padahal baru kali ini saja terpergok bengong saat ditanyai.                 Andai saja bisa, ingin sekali ditonjoknya wajah tampan di depannya. Sayangnya, dia masih belum berminat cari keributan di kantor. Juga belum berniat mencari pekerjaan serupa di perusahaan lain.                 ‘Sabar, sabar, sabar. Sabar, Valentina, sabar!’ ucap Valentina dalam hati, sembari menyangkan dirinya tengah mengelus d**a.                 “Tadi saya tanya, berapa lama kamu bisa kasih ke saya pilihan sketsa untuk t-shirt design dasi yang bisa dipakai untuk acara formal maupun unformal? Saya perlu untuk diajukan ke rapat mingguan di minggu kedua nanti,” kata Richard dengan nada mengintimidasi yang telah dihafal dengan baik oleh Valentina.                 ‘s**t! Itu doang?’ maki Valentina dalam hati.                 “Saya usahakan dua hari sebelum jadwal rapat sudah saya ajukan ke Bapak, supaya kalau ada revisi dari Bapak, masih sempat saya lakukan,” kata Valentina.                 “Oke,” sahut Richard pendek, dan segera berbalik badan lalu berlalu begitu saja.                 ‘Ih! Dasar nggak sopan! Nggak pernah makan bangku ekolah yang keras itu, dia! Ini pertanda hubungan percintaannya sama tunangannya sama sekali nggak sehat, jadi kebawa-bawa deh, sampai ke kantor! Ya elah, tampang ada, duit ada, kalau nggak happy, putusin deh Tunangannya. Terus pacarin siapa gih, sana! Asal jangan gue! Ih! Ogah! Dulu-dulu mah kirain dia baik, makin ke sini, ditukar tambah sama Marvin juga ogah banget deh! Eh! Kok Marvin? Dia kan belum ngomong apa-apa..,’ berbagai percakapan singgah di kepala Valentina.                 Valentina memonyongkan mulutnya dengan gemas di balik punggung sang atasan yang kian menjauh.                 ‘Sial. Sial! Ini sampai kapan sih semuanya ini? Why me, God? Why me?’ keluh Valentina dalam hati, sembari mengingat-ingat, serentetan peristiwa di luar perkiraan yang menimpanya. Hal-hal yang sama sekali tidak dikehendakinya.                 Valentina menghela napas panjang, sekaligus mengundang energi baik. Dia benar-benar memerlukannya sekarang.                 Dengan perasaan lelah, diurutnya keningnya, lalu menyeret langkah menuju ke pantry.                 “Eh, Mbak Valent, mau bikin apa? Kok bukannya aiphone saja, kan bisa saya buatkan,” sapa Riska, sang office girl yang masuk di shift ke dua. Di kantor mereka memang karyawannya seringkali bekerja melebihi jam operasional kantor, dan itu terjadi nyaris setiap hari. Karenanya, perusahaan menerapkan aturan kerja shift untuk para office boy, office girl, resepsionis serta bagian security.                 “Mau bikin kopi, Ris. Ini kepala pusing soalnya,” kata Valentina sembari merobek kemasan kopi ginseng sachet yang dibawanya serta ke pantry. Dituangkannya ke dalam cangkir yang diambilnya dari lemari pantry lalu meletakkan cangkir itu di depan dispenser.                 “Mau saya buatkan, Mbak? Sini,” kata Riska, menawarkan bantuan.                “Nggak usah, Ris. Saya sekalian mau minum di sini, kok,” kata Valentina yang segera mengaduk kopi dicangkirnya, setelah memencet tombol merah pada dispenser.                 Valentina menyeret sebuah kursi dan duduk, lalu meniupi kopi di cangkirnya.                 “Lembur lagi ya Mbak?” tanya Riska.                 Valentina melirik arlojinya.                 “Iya. Tapi paling satu jam lagi juga pulang,” sahutnya.                 “Mbak Valent mau dibeliin makanan nggak?” tanya Riska lagi.                 “Enggak Ris, terima kasih,” sahut Valentina, lalu menyesap kopinya.                 Riska mengamati air muka Valentina.                 “Mbak, kelihatannya kok capek sekali, sih?” tanya Riska penuh perhatian.                 “Biasa lah, Ris, namanya juga kerja,” ucap Valentina.                 Usai menghabiskan kopinya, Valentina segera beranjak meninggalkan pantry. Efek kafein tak serta merta dirasakannya. Pening itu masih dirasakan di kepalanya. Dia tahu apa penyebabnya. Ya Richard, ya ucapan Marvin tempo hari.                 Selagi berjalan menuju ke kubikelnya, percakapan dengan Marvin terngiang-ngiang di telinganya.                 “Val, jangan dilawan, Val. Jangan dihindari. Kamu hanya perlu membuka hati. Menurutku, kamu adalah satu dari sedikit orang yang diberikan penglihatan. Kamu hanya perlu lebih mengasah kepekaan kamu. Nggak usah merasa dijajah, ya. Mereka menampakkan diri kepadamu, pasti ada maksudnya. Kamu.., ikuti saja alurnya ya,” demikian yang diucapkan oleh Marvin setelah mereka makan malam bersama dengan Veranda di unitnya beberapa hari lalu. Sesuatu yang sengaja disimpannya untuk dirinya sendiri dahulu, tidak hendak dibagikan kepada sang adik untuk menghindari keomentar-komentar yang tidak diinginkannya.                 “Vin, kamu jangan nakut-nakutin aku! Maksudnya apa, yang jelas coba!” bibir Valentina bergetar kala mengucapkannya.                 Marvinpun menghela napas dan meraih tangannya.                 “Val, kamu harus kuat. Dari dalam sini,” Marvin menepuk dadanya sendiri.                 Valentina terbungkam.                 “Val, kamu ingat, pertama kali kita ketemu di dalam lift? Ketika Meisya berceloteh soal apa yang terjadi padanya di kolam renang dan reaksi yang kamu tampilkan? Tanpa kalian sadari, aku mendengarkan dan mengamati semua. Saat itu pula aku sudah mendapatkan semacam tanda, bahwa nantinya kamu akan memiliki kemampuan supranatural. Kamu akan bisa melihat sesuatu yang tidak diliht orang lain.., kamu..,” .... “Vin! Vin! Stop! Jangan dilanjutkan! Aku nggak mau mendengarnya! Aku nggak mau! Aku nggak membutuhkannya!” potong Valentina panik, sebelum Marvin meneruskan penjelasannya.                 Marvin menepuk-nepuk tangan Valentina.                 “Kamu jangan takut. Kadang-kadang, kita nggak bisa memilih apa yang kita mau dan apa yang kita nggak mau. Aku bukan orang yang bisa melihat hal-hal semacam itu. Tetapi entah mengapa, aku mendapatkan pertanda, nanti kamu justru akan bisa menolong orang banyak Val,” terang Marvin.                 “Enggak! Aku nggak mau!” bantah Valentina.                 Marvin melihat kecemasan yang besar pada sorot mata Valentina.                 “Val..,” ucap Marvin lembut.                 Tatap mata mereka bertaut. Tidak ada kata yang terucap, namun seolah Valentina mendengarkan sebuah suara, yang jelas-jelas bukan suara Marvin.                 “Kalau semesta telah memilihmu, jangan menghindar. Hadapi prosesnya.”                 Badan Valentina langsung gemetar. Sekelebatan dia melihat visual yang menakutkan dirinya. Dia melihat dirinya yang berjalan di belantara, ketakutan dan tanpa daya.                 “Enggak, aku nggak mau!” keluh Valentina sambil menggelengkan kepalanya kuat-kuat.                 Marvin tak dapat lagi berdiam diri. Ia paham apa yang ditakuti Valentina. Isi mimpinya kembali terbayang. Ia mendekat dan merengkuh tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Valentina sama sekali tidak menghindar.                 “Val, tenangkan hati kamu. Ada aku. Aku akan menemanimu melaluinya,” bisik Marvin.                 Entah mengapa, Valentina merasakan getaran pada suara Marvin. Getaran yang membuat dirinya juga gamang.                 “Val, kalau semakin kamu lawan, nanti prosesnya semakin panjang. Kamu.., pasrah saja Val. Perbanyak berdoanya. Dan jangan takut. Kalau kamu takut, yang jahat akan mengintimidasimu, sementara yang baik menjadi ragu untuk meminta pertolonganmu,” kata-kata Marvin begitu membingungkan Valentina. Dia sampai menduga-duga, sungguhkan Marvin yang barusan bicara padanya, ada salah satu dari ‘makhluk-makhluk aneh’ itu yang meminjam mulut Marvin.                 Dering telepon genggam Valentina membuyarkan lamunannya. Saat melihat nama Meisya tertera pada layar telepon genggamnya, segera dijawabnya panggilan telepon tersebut.                 “Iya, Lo,” sapa Valentina.                 “Hei! Kok lemes banget Le? Masih lama, pulangnya? Kerjaan gue hampir selesai, nih. Atau gue jemput saja, gue ke kentor pusat, ya? Elo bilang si Marvin nggak balik ke kantor dan mobil elo dibawa si Veranda kan?” tanya Meisya.                 “Ah, nggak usah. Paling ogah gue ditunggu kalau lagi kerja. Memangnya gue tayangan tivi yang bakal ditonton apa? Elo kemana dulu kek. Atau kalau berasa gabut dan sudah telanjur sampai ke apartemen gue, makan dulu di food court atau gimana,” tolak Valentina.                 “Oh ya sudah. Gue buat rencana kerja untuk minggu depan deh kalau begitu. nanti kalau sudah beres kerjaannya dan sudah dapat taksi daringnya, kasih tahu gue ya, Le,” pinta Meisya.                 “Oke, daagh!” Valentinapun mencemplungkan telepon genggamnya ke saku blazer.                 Satu setengah jam berlalu. Valentina memandang draft sketsanya.                 “Percuma. Sudah nggak bisa konsentrasi lagi. Rasanya cukup mencuri start pekerjaan hari ini,” kata Valentina pelan.                 Digerak-gerakannya lehernya dan bersiap membereskan kertas kerjanya.                 “Val,” sebuah suara memanggilnya.                 Valentina mengernyitkan alis.                                                                                                                                                                    * Lucy Liestiyo *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN