‘Huh! Ganggu aja!’ keluh Marvin dalam diam. Disesalinya gangguan yang mengusik momen indah mereka yang baru saja tercipta ini.
Perlahan, Valentina mengurai pelukan mereka. Gadis itu merogoh saku blazer-nya. Dia terkaget kala menatap layar telepon genggamnya. Yang barusan itu bukanlah sekadar panggilan suara, tetapi panggilan video. Diabaikannya kernyitan dahi Marvin.
Buru-buru Valentina memperbaiki posisi duduknya dan menjawab panggilan video tersebut.
“Hallo? Ada apa Ver? Kamu sudah pulang?” sapa Valentina.
“Sudah sekitar setengah jam lalu. Mbak Val, ada di mana? Astaga! Di dalam mobil tuh? Masih di jalan? Masih lama?” tanya Veranda beruntun. Matanya dipicingkan, seperti meraba-raba di mana posisi sang kakak sekarang.
Valentina tergeragap.
“Eng.., ini, Mbak baru saja sampai. Kamu sudah di unit, ya?” Valentina balik bertanya.
Veranda mengernyitkan alisnya. Tatapnya terkesan menyelidik.
“Eh? Kenapa gelagepan gitu? Seperti maling kepergok? Hayooooo! Lagi pacaran ya? Di mana? Hm...! Coba aku tebak. Di parkiran, ya? Ck ck ck! Nggak bisa cari tempat yang lebih proper apa? Pacaran kok di parkiran! Malu-maluin banget! Sungguh nggak elegan. Dua-duanya punya unit padahal! Mbak, aku nggak mau lho ya, punya kakak yang ditegur satpam karena terpantau kamera cctv lagi pacaran di parkiran. Hina banget itu! Nista! Sudah ngapain aja itu dari tadi? Enggak yang sampai bikin mobil bergoyang, kan?” cerocos Veranda lancar, tanpa di-filter sedikitpun. Tak peduli kakaknya merasa jengah mendengarnya.
Rona merah langsung menjalari wajah Valentina. Valentina berdecak kesal.
“Ck! Apa sih? Ngawur banget deh. Sembarangan mulutnya kalau ngomong. Kamu telepon ada apa? Ini Mbak sebentar lagi juga sampai ke unit kok. Eh kamu mau dibeliin makanan nggak? Kalau mau, Mbak turun sebentar ke food court,” Valentina segera mengalihkan pembicaraan.
‘Enggak Veranda, enggak Meisya, sama-sama bocor mulutnya. Anehnya, kenapa dua-duanya itu seperti dari kutub yang sama sehingga punya daya tolak begitu tinggi satu sama lain?’ tanya Valentina dalam hati.
“Sebentar Mbak, aku mau kasih lihat ini! Tarr .... raaa!” Veranda melambai-lambaikan sebuah kertas.
“Apa itu?” tanya Valentina sambil memberik isyarat pada Marvin, bahwa dirinya akan turun dari mobil. Marvin menganggukinya.
“Ehm..., Letter Of Agreement, Mbak. Aku diterima! Dan saking menawannya diriku, langsung dikasih surat perjanjian kerjanya. Jadi..., aku minta maaf ya, nggak jadi ngurusin toko daring punya Mbak. Besok pagi aku mau mengajukan surat permohonan pengunduran diri. Biar berkurang satu orang tuh, korban colak-colek atasan celamitan,” kata Valentina ceria.
“Wah! Selamat ya Ver! Tapi bukannya kantornya jauh, Ver? Mbak nggak setuju lho, kalau kamu kost. Mama sama Papa juga pasti keberatan. Kamu tetap tinggal di apartemen saja deh, ya. Lokasinya lebih dekat ke apartemen dari pada ke rumah, kan? Eh, kita lanjutkan ngomong di unit nanti. Kamu mau pesan makanan apa? Cepetan nih!” potong Valentina sambil menutup pintu mobil. Marvin yang lebih gesit, sudah lebih dulu turun lantas menekan remote mobilnya lalu mengelilingi setengah badan mobil, mengecek pintu satu demi satu. Karena gerak cepatnya, sebentar saja dia sudah kembali berada di sisi Valentina.
“Nggak usah! Nih! Lihat! Aku beli ini buat kita. Ajak calon kakak iparku sekalian. Pasti belum makan juga kan? Kita makan bertiga. Buruan naik ke unit. Aku sudah lapar!” Veranda mengalihkan layar telepon genggamnya ke meja makan. Ada nasi putih, sapo tahu sea food, hekkeng, ayam saus mentega, cah kaylan dengan irisan sapi, salad buah dan air jeruk nipis yang tampaknya baru saja dibuat oleh Veranda.
“Astagaaaa! Boros sekali! Siapa yang mau makan sebanyak itu?” Valentina menggeleng-gelengkan kepala sembari melangkah menuju lift.
“Kan merayakan aku diterima kerja Mbak. Dan terbebas dari orang genit,” ucap Veranda kalem.
Valentina mendengus kecil, lalu menatap ke Marvin. ia mengedikkan dagunya.
“Diundang makan nih, sama Veranda, Vin. Anak itu memang super duper boros,” kata Valentina.
“Boleh,” jawab Marvin tanpa beban.
“Bukan boros, Mbak, dibilang merayakan kemenangan juga,” koreksi Veranda.
“Lha kamu kan baru terbebas bulan depan,” kata Valentina. Diperhatikannya Marvin yang memencet tombol lift.
“Biarin! Lagi pula, aku tuh nggak ditempatkan di kantor yang tadi aku interview, kok. Aku ditempatkan di cabang barunya, cuma dua puluh menit dari sini. Makanya proses seleksinya nggak lama karena dia perlu cepat. Tapi kelihatannya nggak ada kendaraan umum lho Mbak, tempatnya masuk banget ke dalam. Kalau berat di ongkos taksi, aku pinjam mobil seminggu minimal dua kali ya. Selebihnya aku ganti-ganti deh, naik ojek pas tanggal tua, naik taksi kalau tanggal muda,” kata Veranda.
Valentina tertawa.
“Nanti kita lanjutkan obrolannya di unit Ver. Ini Mbak lagi naik sekarang. Daagh!” dan Valentina tak menunggu sahutan dari Veranda. Diakhirinya panggilan video itu. Namun saat itu juga, secuil gamang menyapanya. Marvin mengamati perubahan air mukanya.
“Hei, kenapa Val?” tanya Marvin.
“Enggak, kok,” sahut Valentina.
Marvin merengkuh bahu Valentina, membuat Valentina sedikit terkejut. Apalagi saat Marvin meremas perlahan pundaknya. Didekatkannya mulutnya ke telinga gadis itu.
“Val, ada aku. Kamu boleh cerita ke aku. Kamu boleh berbagi beban ke aku. Lagi pula, sekarang kita jadi punya lebih banyak waktu untuk berangkat dan pulang kerja bersama. Sudah, biar mobilmu dipakai sama Veranda saja,” bisik Marvin di telinga Valentina. Rasa percaya dirinya kian tebal saja. Dia yakin, telah memenangkan hati gadis di sampingnya ini.
Denting lift menyadarkan mereka berdua, bahwa mereka telah sampai di lantai 8. Veranda masih belum mengatakan apa-apa.
“Tell me,” bisik Marvin kala mereka melangkah keluar dari lift. Pintu unit di mana Valentina tinggal sudah di depan mata.
Valentina menghentikan langkahnya.
Otomatis, Marvin pun turut mengikuti gerakannya.
Valentina menahan napas sebelum berkata, “Vin, kantornya Veranda itu ternyata dekat sini.”
“Oh, itu. Iya, aku dengar, tadi,” sahut Marvin ringan.
“Itu artinya, dia akan tinggal di sini sementara aku tetap kembali ke rumah. Tanpa dia. Tadinya sebelum aku tahu kalau dia bakalan ngantor nggak jauh dari sini, ya aku..., aku kepengen ngajak dia tinggal di rumah, dan hanya sesekali saja ke sini. Akhir pekan atau mungkin tiga hari sekali,” ucap Valentina.
Marvin terdiam. Diamatinya wajah Valentina dengan cermat.
‘Kenapa kamu begitu labil, Val? Tadi aku dengar sendiri kamu akan menyuruh Veranda tinggal di sini karena pertimbangan posisi kantornya, bahkan sebelum dia mengatakan akan ditempatkan di kantor cabang. Ini kamu memang lagi nggak konsen, ataukah jangan-jangan..., kamu sudah mulai ... oh enggak! Jangan!’ berbagai percakapan singgah di kepala Marvin.
Marvin menggoyangkan kepalanya, mengusir pikiran-pikiran buruk itu. Digenggamnya tangan Valentina, lantas dikecupnya. Ia mencondongkan mulutnya ke telinga gadis itu.
“Itu artinya, memang kamu digariskan tinggal di sini. Malah kamu dicarikan teman, tuh, Veranda. Pas, kan? Kalaupun kamu mau sesekali mengecek keadaan rumahmu, kan justru bisa dibalik, tinggal di sana seminggu sekali atau seminggu dua kali, mungkin?” bisik Marvin.
Dia sungguh tidak tega untuk melanjutkan, “Karena kamu memang harus melalui proses itu, Val. Kamu harus membuka hati kamu dan menyibakkan satu demi satu. Bukankah semakin kemari, semakin terarah? Selama kamu mengikuti alurnya dan membiarkan hatimu peka, segalanya akan baik-baik saja.”
Maka ditelannya kembali kalimat-kalimat itu. Apalagi kala melihat selintas gentar yang tergurat di paras Valentina.
Valentina menatapnya.
Marvin tahu, dia sudah tak mungkin lagi untuk menahan lebih lama, apa yang hendak dikatakannya. Dia pikir, ini adalah saat yang tepat.
* Lucy Liestiyo *