Valentina teramat mengenali suara itu. Amat sangat mengenal! Suara itu telah cukup dan kian familiar dengan indra pendengarannya, terutama belakangan hari ini.
karenanya, Gadis itu langsung mengangkat wajahnya, menatap ke arah suara yang menyapanya.
Seketika mata Valentina menyipit melihat Marvin tengah berdiri tegak, tepat di depan kubikelnya. Tatapan intens Marvin menyapu parasnya.
“Sudah mau pulang kan Val?” tanya Marvin lagi,mengulang pertanyaan yang sama.
“Hei Vin! Kok kamu balik ke kantor lagi? Katanya dari pabrik mau langsung balik ke apartemen?” alih-alih segera menjawab, Valentina malahan balik menanyai Marvin.
Marvin mengedikkan bahu sebelum menjawab.
“Aku sudah dua jam lalu balik ke kantor kok,” sahut Marvin kalem setelahnya.
“Masa sih? Ada apa Vin? Kok jadwalnya berubah begitu?” tanya Valentina.
“Ada panggilan mendadak dari si Bos, tadi. Ini, belum lama selesai, diskusinya. Makanya aku sekalian cek kemari, ternyata kamu belum pulang. Pulang sekarang yuk Val!” ajak Marvin, yang melihat meja Valentina sudah bersih dari kertas-kertas kerja serta laptop.
Valentina menganggukinya.
“Oke. Aku baru mau pesan taksi daring sih,” kata Valentina.
“Oh,” itu saja yang diucapkan Marvin. Tidak biasanya dia berucap sesingkat itu.
Valentina mengamati wajah Cowok itu. Tampak keruh.
“Kenapa Vin? Ada masalah di pabrik?” tanya Valentina.
“Enggak. Di kantor cabang,” kata Marvin.
Dahi Valentina mengernyit.
“Kantor cabang yang mana? Bukan yang tempat Meisya dong?” tanya Valentina penasaran.
Marvin tidak menjawab. Ia terlihat seperti orang yang tidak mendengar pertanyaan Valentina.
Valentina segera tersadar akan posisi Marvin sebagai kepala bagian Human Resources Department. Tentunya tidak semua informasi dapat dibagi kepadanya, betapapun hubungan mereka tengah dekat saat ini.
“Singgah sebentar ke kafe sebelah ya Val. Kamu nggak terlalu terburu-buru mau pulang, kan?” tanya Marvin ketika Valentina menyampirkan tas laptopnya ke pundak dan melangkah keluar dari kubikelnya.
“Boleh juga tuh Vin. Biar sekalian, sampai unit nggak perlu ribet cari makan lagi. Bosan juga kan, makan di food court melulu,” jawab Valentina.
“Eh, tapi si Meisya nanti kelamaan nunggunya, ya?” begitu teringat janjinya dengan Meisya, Valentina langsung ragu.
“Cuma sebentar. Sekadar mau ngopi sama cari udara segar,” kata Marvin.
“Oke kalau begitu. Itu muka kamu kelihatannya kusut banget Vin, berat banget masalahnya?” korek Valentina.
Marvin mengedikkan bahu lagi.
“Biasa kok Val. Kamu sendiri, kelihatannya lagi bete. Kenapa?” tanya Marvin sambil melangkah.
“Si Richard, cari gara-gara. Nyebelin,” dumal Valentina.
Marvin terusik. Dia cukup heran mendengar dumalan Valentina. Pasalnya, dari beberapa kali percakapannya dengan Richard, dia berpikir bahwa Richard tidak se-'resek' itu.
“Cara gara-gara bagaimana?” Marvin mendahului langkah Valentina, menguak pintu kaca kantor mereka. Sikap yang sungguh gentle.
Valentina menggeleng dengan enggan.
“Ah, sudahlah. Nggak masalah. Nyinyirnya kambuh, itu saja Vin. Mungkin sudah kelamaan nggak nyinyir macam mak-mak, kangen juga dia,” kata Valentina.
Marvin menatap Valentina lekat-lekat.
“Nyinyir, Val? Nyinyirin apa? Kerjaanmu baik-baik saja, kan? Kalau kebetulan ketemu di pabrik, dia kasih komentar yang baik kok, soal kamu,” korek Marvin dengan pandang menyelidik.
Valentina mengibaskan tangannya.
“Sudahlah. Kita duduk di situ saja ya. Vin, kamu kalau mau makan, makan saja. Aku mau pesan yang take away saja, biar bisa makan bareng Meisya di unit nanti. Aku kabarin dia dulu, supaya enggak beli makanan,” kata Valentina sembari menunjuk sebuah meja. Diketiknya sebuah pesan teks untuk temannya itu.
“Aku belum lapar kok Val. Cuma mau minum. Biar dibungkus saja pesanannya semua,” kata Marvin.
“Oke kalau begitu,” kata Valentina singkat.
*
Saat tiba di lobby apartemennya, Valentina mendapati Meisya telah menunggu dengan wajah jemu. Meisya segera mengenali orang yang berjalan di sisi Valentina adalah orang yang sama dengan yang dulu berada di dalam lift seusai dirinya mengalami kecelakaan.
“Nah! Nongol juga akhirnya si Lele! Sudah hampir disemutin gue, saking manisnya, kelamaan nungguin elo di sini. Ternyataaaa...! Pacaran dulu, kalian berdua? Hmm..., dijemput sama gue nolak, bilangnya mau pakai taksi daring. Enggak tahunya...” ucap Meisya sarkas.
“Apa sih Lo! Ini tadi gue enggak tahu kalau ternyata dia balik ke kantor,” kata Valentina enggan lalu menoleh ke samping.
“Iya, tadi memang ada perubahan rencana,” tambah Marvin, menguatkan jawaban Valentina.
“Vin, sudah pernah ketemu, kan? Ini Meisya. Lo, ini Marvin,” Valentina memperkenalkan mereka berdua. Keduanya langsung berjabat tangan.
“Hai. Aku Meisya. Lupa deh, kapan hari di lift kita sudah kenalan atau belum ya?” Meisya menyebutkan namanya sembari menggaruk-garuk kepalanya.
“Hai Meisya. Aku Marvin. Kelihatannya belum,” sahut Marvin. terlihat biasa saja, walau sebetulnya dia sedang ‘membaca’ Meisya. Apalagi, berdasarkan apa yang didiskusikan dengan sang Bos tadi sore. Diam-diam Marvin jadi menghubung-hubungkan semua informasi yang sempat didapatnya dari anggota timnya tentang sosok Meisya, juga bagaimana kesan yang tersirat dari sikap Veranda. Dia juga mendapati betapa tatap mata Meisya juga seperti orang yang tengah menelisik.
“Ngomong-ngomong, kalian berdua sudah jadian kelihatannya. Le.., pajak jadian Le. Gue harus minta ke elo atau ke dia nih!” tanpa segan, Meisya menunjuk kepada Marvin. Ditekannya rasa cemburunya agar tidak mencuat ke permukaan.
Valentina terkaget.
“Lo! Dehidrasi atau kurang waras sih!” dicubitnya tangan Meisya.
“Auuuw! Ketangkap basah sampai segitunya,” Meisya sengaja memekik kecil untuk memberikan efek dramatis.
Marvin tersenyum mengamati gerak-gerik dua sahabat itu. Diisyaratkannya agar mereka segera melangkah menuju lift dan mendahului langkah keduanya. Dipencetnya tombol lift.
“Ngomong-ngomong, kalian berdua pacarannya sudah ngapain saja? Baru sebatas ini, ini, ini, atau semua?” bisik Meisya kala mereka berada di dalam lift. Jari telunjuknya bergerak memutari area wajah, leher, d**a, dan akhirnya telapak tangannya seenaknya diarahkan dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Valentina mendelik. Rasanya seperti dipermalukan di depan Marvin saja. Namun tak urung dia teringat akan ciuman pertama mereka di dalam mobil. Hatinya berdesir.
“Lolo, Lolo. Itu mulut makin rusak deh, semenjak elo di kantor cabang,” kata Valentina pelan.
“Dih! Marah beneran tuh! Mukanya segitu tegang,” olok Meisya, tepat saat lift berdenting di lantai 8. Lantai di mana Valentina tinggal.
Valentina melengos.
“See you, Vin,” ucap Valentina, seperti sebuah kode keras bahwa sebaiknya Marvin tidak singgah ke unitnya.
Marvin menangkap jelas kode tersebut.
“Oh, oke. See you Val. See you Meisya. Besok siang silakan ke unitku, ya,” timpal Marvin. Cowok itu menepuk pundak Valentina sebelum gadis itu keluar dari lift.
Meisya mencermati bahasa tubuh Marvin, juga cara Cowok itu menatap Valentina. Jenis tatapan mata yang mengingatkannya pada cara Robin menatap Valentina dulu. Sekejap saja dadanya langsung terasa sesak.
‘Elo itu selalu mendapakan yg terbaik, Le. Dan begitu mudahnya elo dapatin segalanya. Sepertinya semua keberuntungan mengejar elo. Sementara gue? Harus puas jadi penonton pencapaian elo?’ keluh Meisya dalam hati.
*
* * Lucy Liestiyo **