Sosok itu melintas begitu saja di depan kendaraan Marvin yang tengah melaju mencari lot parkir di lantai 5 menjelang malam itu. Ia berjalan teramat lamban, seperti orang lanjut usia saja. Ia bahkan seperti sengaja menoleh ke arah Valentina dan Marvin. Dua detik Sosok itu berhenti. Tatapan matanya yang menyorotkan permohonan, wajah piasnya yang tampak demikian sedih, membuat Valentina tersentak.
Alangkah janggalnya. Sosok itu mendadak muncul, entah dari arah mana. Ia tidak tampak seperti seseorang yang baru saja memarkirkan kendaraan atau keluar dari kendaraan mana pun, tetapi seperti sengaja mendistraksi konsentrasi orang yang melihatnya, sengaja menarik perhatian orang yang disasarnya.
“Marvin, awas! Itu! Ada orang menyeberang!” seru Valentina nyaring. Telunjuk Valentina sontak mengarah ke kaca depan.
Marvin yang terkaget segera menginjak pedal rem dan sedikit membuang setir ke arah kiri.
Dalam hitungan detik, Valentina tersadar, tidak ada siapapun yang melintas di depan mereka. Area parkir tampak sepi. Gadis itu menggelengkan kepala kuat-kuat.
“Maaf!” sesal Valentina sambil menepuk lengan Marvin, lantas mencekalnya tanpa sadar.
Badannya langsung gemetaran. Keringat dingin mengucur begitu saja.
Valentina nyaris menangis. Kesal pada dirinya sendiri. Kesal pada gangguan yang kembali datang, penglihatan yang sama sekali tidak diinginkannya. Nyaris saja dia membuat orang lain celaka.
Marvin menatap ke samping sesaat dan berkata, “It’s ok, Val. It’s ok.”
Valentina menggigit bibirnya. Ia mendiamkan saja ketika Marvin menepuk punggung tangannya.
“Hei..., jangan begitu,” kata Marvin prihatin.
Rasa kaget yang tadi menyapa karena seruan Valentina, rupanya telah sepenuhnya sirna. Marvin lekas menguasai keadaan.
“Sebentar ya Val,” ucap Marvin lantas kembali melajukan kendaraannya. Mereka cukup beruntung, karena ada lot parkir yang kosong. Lebih beruntung lagi, karena ketika Marvin mengerem mendadak tadi, tidak ada kendaraan lain di belakang mereka.
“Val,” panggil Marvin setelah kendaraan berhenti sempurna.
Valentina tertunduk. Ia terlihat amat terguncang.
Marvin tak tahan lagi. Hatinya tergugah. Entah mengapa, melihat Valentina yang begitu terguncang, hatinya terasa sakit. Sakit seperti anggota badannya sendiri yang dilukai.
“Val, lihat aku,” kata Marvin sambil mengulurkan kedua tangannya. Marvin menangkup wajah Valentina dengan kedua telapak tangannya. Hati Valentina berdebar dibuatnya. Dia hafal jenis getaran ini, bahkan akrab. Bukan, ini jelas bukan getaran lantaran takut dan panik barusan. Ini jenis getaran yang lain, getaran yang telah sekian lama tidak dirasakannya, yang juga ampuh mengusir rasa takutnya.
Marvin menatap Valentina dengan intens. Gadis itu membalasnya.
“Aku hampir saja mencelakakanmu, mencelakakan kita, Vin. Dan kamu nggak tanya apa penyebabnya? Kamu nggak tanya apa yang kulihat tadi?” tanya Valentina lirih, berbalut keluhan yang berusaha keras ditahannya.
Marvin memajukan wajahnya, kian mendekat ke paras Valentina. Valentina kembali tertunduk. Marvin kian merapat. Valentina tahu itu dari embusan napas Cowok itu, yang terasa begitu dekat. Jantung Valentina berdetak kencang, bersama terhapusnya jarak di antara mereka berdua.
Detik berikutnya, sesuatu yang lembut dan lembab, menempel di bibir Valentina. Begitu lembutnya, sehingga sanggup menerbitkan perasaan mendamba di benak Valentina, menjalar ke segenap sel-sel tubuhnya.
Mulanya Marvin hanya mengecup bibir Valentina begitu lembut. Namun kemudian, Marvin melumat bibir Valentina sepenuh perasaan. Seolah aliran darah mengalir demikian derasnya, membangkitkan kembali rasa yang telah sekian lama tertidur. Valentina merasakan kembali kepakan ribuan kupu-kupu di perutnya. Sesuatu yang sudah demikian lama tak dialaminya.
Dan atas sebuah dorongan yang tak dapat dicegahnya, Valentina membalas ciuman Marvin. Beberapa saat lamanya bibir mereka saling berpagutan. Valentina tak tahu, mengapa dia merasa amat nyaman karenanya. Rasa yang telah lama hilang itu, kini kembali menyelimuti hatinya. Dahaganya terpuaskan.
Saat tersadar keberadaan mereka di tempat parkir, perlahan Valentina mengurai ciuman itu, tak membiarkan Marvin menuntaskan gairahnya. Valentina memalingkan wajahnya ke samping. Dengan ujung jarinya, diusapnya bibirnya.
Marvin memergoki hal tersebut. Cowok itu menahan desah kecewanya.
“Sorry,” ucap Marvin lirih.
Lantas, didaratkannya sebuah kecupan di puncak kepala Valentina. Valentina terbengong karenanya. Dia seperti..., menemukan sebuah oase di padang gersang. Rasanya seperti ada yang melindungi. Rasanya seperti ada seseorang untuk berbagi. Seperti tidak berjalan sendirian lagi.
Valentina menggeleng singkat. Diberinya sedikit waktu bagi dirinya sendiri untuk memahami apa yang baru saja terjadi, juga rasa yang berkembang di hatinya.
Marvin mengembuskan napas dan memundurkan badannya, bersandar kembali pada sandaran jok pengemudi. Ia meraih tangan Valentina, menggenggamnya erat.
“Val, aku tahu kok, apa yang kamu lihat,” kata Marvin.
Bagai baru kembali ke dunia nyata, Valentina teringat apa yang mereka percakapkan sebelum ciuman yang melenakan barusan. Valentina menggeser duduknya, agak menyamping.
“Kamu.., kamu melihatnya juga, Vin? Maksudku, tadi itu...! Ah! Aku baru ingat siapa dia! Dia itu yang over dosis di unitnya. Vin, padahal..., beberapa saat belakangan, aku pikir gangguan sudah sepenuhnya mereda. Tapi kenapa, dia mendadak muncul, dan tampak begitu nyata?” keluh Valentina.
Ingin sekali Marvin menjawab, “Aku nggak melihatnya. Tapi aku bisa mengira-ngira, Val. Dan apa pun yang kamu katakan tentang apa yang kamu lihat, aku nggak akan menyangsikannya.”
“Val, kamu jangan takut, ya,” kata Marvin persuasif.
“Kalau dia memperlihatkan diri kepadamu, mungkin ada yang ingin dia sampaikan, Val. Sementara yang lain-lainnya yang telah mereda itu, bisa jadi hanya mendistraksi perhatianmu saja. Kamu.., teguhkan saja hati kamu, ya. Kamu ingat yang dikatakan sama anak kecilyang bernama Ivan itu kan? Ada yang mengikutimu...,” ... ”Vin! Stop!” sebelum Marvin usai dengan kalimat yang dia sendiripun bingung dirangkainya dari mana dan atas pertimbangan apa, Valentina sudah memotong ucapan Marvin dan menutup kedua telinganya.
Apa yang diucapkan Marvin barusan, sudah lebih dari sebuah penegasan bagi Valentina, bahwa Cowon itu tidak melihat apa-apa, tadi. Sudah jelas, Cowok itu bereaksi spontan karena pekik kecilnya.
'Itu artinya memang hanya aku yang dikasih lihat. Dan semestinya marvin akan baik-baik saja, nggak melihat siapa-siapa, kalau nggak bersamaku. Dia hanya berusaha memahamiku, mendukungku, karena dia tahu aku nggak mendapatkannya dari yang lainnya,' pikir Valentina kecewa.
“Aku harus pindah, Vin! Aku harus pindah! Aku nggak peduli, dikasih ijin sama pak Richard ataupun enggak. Aku bisa nyicil pindahan setiap Sabtu dan Minggu,” kata Valentina.
Mata Marvin memejam. Ia tak dapat berkata apa-apa lagi. Dipalingkannya wajahnya ke samping.
“Sini, Val,” kata Marvin lembut, sembari menghela tubuh Valentina ke dalam pelukannya.
Dan sekali lagi Valentina tidak berdaya. Ia menyerah, tanpa perlawanan sama sekali. Menyerah pada kehangatan yang mengalir di hatinya. Pasrah dalam rasa teduh yang memenuhi benaknya. Tidak ada satu kata pun yang terlontar baik dari celah bibir Valentina serta Marvin. Keduanya meresapi momen ini dalam diam.
Telepon genggam Valentina berbunyi.
* Lucy Liestiyo *